Disusun Oleh :
Elita Rahmi
G99131004
Catur Nugroho
G99131026
Intan Savira
G99131042
Sofi Ariani
G99131081
Mohamed Mukhriz
G99131052
Pembimbing :
Dr. dr. Senyum Indrakila, Sp.M.
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama
: Tn. T
Umur
: 51 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Karanganyar
Tgl pemeriksaan
: 18 Januari 2015
No. RM
: 01231188
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Mata kanan merah
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli mata RSUD Moewardi dengan keluhan mata
kanan merah. Keluhan dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Awalnya mata
merah di bagian tepi, kemudian semakin lama menyebar hingga sebagaian
besar mata kanan pasien memerah. Keluhan diikuti pandangan kabur.
Pasien mengaku bahwa sebelumnya tidak terjatuh, digigit serangga
ataupun terkena benda apapun. Saat ini pasien sedang dalam masa
pengobatan penyakit jantung dengan aspilet. Pasien rutin minum obat
tersebut sejak + 2 tahun terakhir. Keluhan serupa sebelumnya disangkal.
Pasien tidak mengeluhkan pandangan double, silau, gatal maupun
nyeri. Pusing dan cekot-cekot disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi
: (+) terkontrol
2
: disangkal
- Riwayat alergi
: disangkal
- Riwayat trauma
: disangkal
: disangkal
Riwayat hipertensi
: (+)
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
E. Kesimpulan Anamnesis
OD
- Proses
- Lokalisasi
- Sebab
bleeding
subkonjungtiva
subkonjungtiva bleeding efek samping pengobatan
- Perjalanan
- Komplikasi
dengan aspilet
Akut
-
N = 68x/menit Rr = 16x/menit
B. Pemeriksaan subyektif
OD
6/20
S = 35,9C
OS
6/20
Pinhole
tidak maju
tidak maju
Refraksi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
baik
baik
baik
baik
baik
baik
Tanda radang
tidak ada
tidak ada
Luka
tidak ada
tidak ada
Parut
tidak ada
tidak ada
Kelainan warna
tidak ada
tidak ada
Kelainan bentuk
tidak ada
tidak ada
Warna
hitam
hitam
Tumbuhnya
normal
normal
Kulit
sawo matang
sawo matang
Geraknya
C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
2. Supercilium
tidak ada
tidak ada
Pseudostrabismus
tidak ada
tidak ada
Exophtalmus
tidak ada
tidak ada
Enophtalmus
tidak ada
tidak ada
Anopthalmus
tidak ada
tidak ada
Mikrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Makrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Ftisis bulbi
tidak ada
tidak ada
Temporal superior
normal
normal
Temporal inferior
normal
normal
Temporal
normal
normal
Nasal
normal
normal
Nasal superior
normal
normal
Nasal inferior
normal
normal
Gerakannya
Lebar rima
13 mm
13 mm
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Entropion
tidak ada
tidak ada
Ekstropion
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
6. Kelopak mata
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Palpasi
Tonometer Schiotz
tidak dilakukan
tidak dilakukan
10. Konjungtiva
Konjungtiva palpebra superior
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sekret
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sekret
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Konjungtiva Fornix
Oedem
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sekret
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Injeksi konjungtiva
tidak ada
tidak ada
Injeksi siliar
tidak ada
tidak ada
Sekret
tidak ada
tidak ada
Warna
kemerahan
putih
Penonjolan
tidak ada
tidak ada
Ukuran
12 mm
12 mm
Limbus
jernih
jernih
Permukaan
rata, mengkilap
rata, mengkilap
Sensibilitas
normal
normal
Keratoskop (Placido)
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Fluoresin Test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Arcus senilis
(-)
Konjungtiva Bulbi
11. Sklera
12. Cornea
(-)
jernih
jernih
Kedalaman
normal
normal
Warna
coklat
coklat
Gambaran
spongious
spongious
Bentuk
bulat
bulat
Sinekia Anterior
tidak ada
tidak ada
Ukuran
3 mm
3 mm
Bentuk
bulat
bulat
14. Iris
15. Pupil
Tempat
sentral
sentral
Reflek direct
(+)
(+)
Reflek indirect
(+)
(+)
baik
baik
Ada/tidak
ada
ada
Kejernihan
jernih
jernih
Letak
sentral
sentral
Shadow test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Reflek konvergensi
16. Lensa
6/20
OS
6/20
Pinhole
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Refraksi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Koreksi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Sekitar mata
Supercilium
Kelopak mata
Konjunctiva bulbi
hiperemi (+)
Sklera
Kornea
normal
normal
Iris
Pupil
tidak dilakukan
tidak dilakukan
dalam orbita
Lensa
Kejernihan
Corpus vitreum
V. DIAGNOSIS BANDING
Subkonjungtival bleeding
Pterigium
Konjungtivitis
Glaucoma akut
VI. DIAGNOSIS
Subkonjungtival bleeding
VII. PLANNING
Cendo Lyteers 4 x 1 tetes OD
Edukasi bahwa keluhan bias jadi diakibatkan oleh penggunaan obat,
penyembuhannnya bertahap, paling cepat 2 minggu.
8
VIII. PROGNOSIS
OD
OS
Ad vitam
bonam
Ad sanationam
bonam
Ad functionam
bonam
Ad kosmetikum
bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Mata dan Konjungtiva
Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu
sistem anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada
beberapa sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu :
1. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda
asing yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi
melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang
membentuk film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian
bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar
Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator
palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis.
2. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau
di bawahnya.
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
10
Kornea
Iris
Lensa
Retina
Nervus optikus
11
(Vaughan, 2000).
Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva
12
memperbesar
permukaan
konjungtiva
sekretorik.
Lipatan
13
Histologi konjungtiva
Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya
sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar sebelum sel
tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di dalam sel epitelnya. Sel
goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal dan di konjungtiva forniks,
dimana jumlahnya sekitar 5 10% jumlah sel basal (Ilyas, 2008).
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel sel epitel skuamosa. Sel sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen (Vaughan, 2000).
Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak
kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan
adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur
semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa
kemudian menjadi folikuler.
Perdarahan Subkonjungtiva
A.
Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya
pembuluh darah konjungtiva (ilyas, 20008). Darah terdapat di antara
konjungtiva dan sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat merah dan
biasanya mengkhawatirkan bagi pasien (Vaughan, 2000).
14
C. Epidemiologi
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua
kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan
pertambahan umur (Graham, 2009). Penelitian epidemiologi di Kongo rata
rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun
(Kaimbo, 2008). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral
(90%).
Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan
hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi
hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya
perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah
muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.
Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W
dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa
15
kehamilan
dan
proses
persalinan
dapat
mengakibatkan
perdarahan
Sangat
jarang
mengalami
nyeri
ketika
terjadi
perdarahan
di mata.
Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang
yang ringan.
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi
(American Academy, 2009).
E.
Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian
putih dari bola mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva
merupakan lapisan
pelindung
terluar
dari
bola
mata.
Konjungtiva
mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus.
Pembuluh-pembuluh darah ini
umumnya
tidak
terlihat
secara kasat
cukup
rapuh
mengakibatkan terjadinya
dan dindingnya
perdarahan
mudah
pecah
sehingga
subkonjungtiva.
16
pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena daripada
bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan
kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada
kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena
perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit
(graham, 2009).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan
yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup
berat sehingga menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol
di atas tepi kelopak mata.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat
trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah
konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya,
17
F. Etiologi
1. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara
Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan
terjadinya perrdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik
homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor
predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel Leu34
diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko perdarahan subkonjungtiva
terutama pada kasus yang sering mengalami kekambuhan (Parmeggiani,
2013). Mutasi pada faktor XIII Val34Leu mungkin sangat berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan subkonjungtiva
(Incovaia, 2013).
2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah muntah, bersin)
3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau
ruptur bola mata)
4. Hipertensi (Pitts, 2013).
5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa
adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau
hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.
6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D
yang
telah
mempunyai
hubungan
dengan
terjadinya
perdarahan
18
penting
pada
patomekanisme
terjadinya
perdarahan
subkonjungtiva.
G. Diagnosis dan pemeriksaan
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat
membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan
adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila
perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkahlangkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian
kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata
proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena
sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia
(Chern, 2002).
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada
perdarahan subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan
subkonjungtiva traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh
Lima dan Morales di rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 2000
menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva
disertai dengan trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus <
6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari
itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap
trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada
trauma organ mata lainnya (Graham, 2009).
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek
pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola
mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360. Jika pasien
19
Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres
dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2
minggu tanpa diobati (Ilyas, 2008).
Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea,
dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan.
Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang
simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab
utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi
untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter
memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan
untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko
perdarahan berulang (Rifki, 2010).
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika
ditemukan kondisi berikut ini :
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan
untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata.
J. Komplikasi
20
kekambuhan
didapatkan
kesimpulan
bahwa
perdarahan
Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik.
Karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk
keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau
disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut
lagi (Ilyas, 2008).
21
DAFTAR PUSTAKA
American Academy. 2009. Subconjunctival Haemorrhages. Amerika
Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. 2002.
McGraw-Hill, Massachusetts.
Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscapes
Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 27 Agustus
2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta
Incorvaia C et all.
Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival
hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http://pubmed.com/ac12/
Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in
patients with factor XIII Val34Leu mutation/9372
Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneous
subconjunctival haemorrhages in Congo. Congo. 2008. Diakses pada
tanggal 27 Agustus 2013, dari http://pubmed.com/ Epidemiology of
22
traumatic and
Congo/943iure
spontaneous
subconjunctival
haemorrhages
in
Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and complications
of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http://pubmed.com/ Risk
factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients
taking warfarin/3i2r43
Mimura T, Yamagami S et all. Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage.
2010. Tokyo, Japan. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari
http://pubmed.com
Parmeggiani F et all. Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in
patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara,
Itali.
Diakses
pada
tanggal
27
Agustus
2013,
dari
http://pubmed.com/Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in
patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage/42u3-upr2
Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. Spontaneous subconjunctival
haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http://pubmed.com/aihds.
Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?.id
Rifki, M. 2010. Perdarahan Subkonjungtiva. Jakarta Diakses pada tanggal 27
Agustus
2013,
dari
http://www.medicastore.com/
Perdarahan
Subkonjungtiva.3ii04308azs
Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. [Eye diseases and control of labor.
Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival
hemorrhage (hyposphagmas)] . Johanniter-Krankenhauses Bonn. Jerman.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013
Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum,2000. Widia Meka. Jakarta
23