Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Tenggorokan dianggap sebagai pintu masuk organisme yang menyebabkan


berbagai penyakit, dan pada beberapa kasus organisme masuk ke dalam tubuh melalui
pintu gerbang ini tanpa menyebabkan gejala-gejala lokal yang menarik perhatian.
Penyakit-penyakit orofaring dapat dibagi menjadi beberapa yang menyebabkan sakit
tenggorokan akut dan penyakit yang berhubungan dengan sakit tenggorokan kronis.1
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 temuan
penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan temuan penderita
ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%. Sebagai salah satu penyebab adalah
rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66%
diduga disebabkan ISPA. Tingginya angka kejadian ISPA dapat menunjukkan
tingginya angka kejadian dari infeksi-infeksi di tenggorokan. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996,
prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar
3,8%.2
Selain infeksi yang terjadi pada tonsil baik akut maupun kronis, keganasan juga
dapat terjadi di tonsil. Tumor ganas tonsil merupakan bagian dari tumor orofaring
disamping tumor dasar lidah, dinding faring dan palatum mole. Tumor ini sangat
jarang terjadi. Di Amerika insiden tumor ini hanya 0,8 per 100.000 penduduk. Di
bagian THT FKUI RSCM angka kejadian tumor tonsil ini banyak ditemukan pada
usia dekade 4-6, 54% pada laki-laki dan 46% sisanya pada perempuan. Sebuah badan
patologi di Amerika mempunyai data dari tahun 1945 1976 ada sekitar 70% lebih
dari keganasan di wilayah ini adalah karsinoma sel skuamosa. Karsinoma sel
skuamosa menyerang 3 4 kali lebih sering pada laki laki dibandingkan wanita dan
sebagian besar berkembang dalam decade kelima kehidupan. Limfoma tonsil adalah
keganasan yang paling sering terjadi nomor dua.3
Penyebaran infeksi dapat terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui
mulut masuk bersama makanan, atau melalui tangan dan ciuman. Infeksi dapat terjadi
pada segala usia, terutama pada anak. Dalam keadaan normal tonsil membantu

mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap


bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan
infeksi.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI TONSIL


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.4

Gambar

1.
Tonsil

2.2. EMBRIOLOGI TONSIL


Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke
dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil
pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi oleh epitel. Bagian yang
mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi
kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel
permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul
pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan

ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian
terbentuklah massa jaringan tonsil.5
2.3. ANATOMI TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada
cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada
umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa
pubertas. 4

Gambar 2.
Waldeyer 4

Cincin

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari
cincin waldeyer. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlachs). 5
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan
medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubanglubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil
dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut
Capsula tonsilla palatina.5
4

Tonsil palatina terletak di lateral orofaring dan dibatasi oleh m. konstriktor


faring superior pada bagian lateral, m. Palatoglosus pada bagian anterior, m.
Palatofaringeus pada bagian posterior, palatum mole pada bagian superior dan tonsil
lingual pada bagian inferior. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu
jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel
(terdiri dari jaringan linfoid).5
2

3
4

Gambar 3. Tonsil Palatina 5

Penentuan besar tonsil perlu dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
pembesaran. Pengukuran ini menggunakan batas dari struktur anatomi di sekitar tonsil
sebagai acuan.4
T0

: post tonsilektomi.

T1

: tonsil masih berada di dalam Fossa Tonsilaris.

T2

: tonsil sudah melewati pillar anterior, namun belum melewati garis


para median (pillar posterior).

T3

:tonsil sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median.

T4

: tonsil sudah melewati garis median.

Gambar 4. Grading Ukuran Tonsila Palatina oleh L. Brodsky6


Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi
dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengahkavum mastoid pada bagian lateral.5
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus
bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi.
Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam
antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai
pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul
sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi
lingkungan. 5
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Adenoid6
Fossa
sinus tonsil

Gambar 5.
tonsil atau
dibatasi

oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa
6

tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena
tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.5
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan
ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang
kemudian membentuk septum. 5
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A.
maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A.
palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A.
lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. 5
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri
faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m.
konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim
cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a.
palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan
palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring.5

Gambar 6. Vaskularisasi Tonsil6


Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah
bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening

servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening
selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. 5
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui
ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus
(N. IX). 5

14
15

Gambar 7. Sistem Limfatik Kepala dan Leher6


16

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal

profunda

(deep

jugular

node)

bagian

superior

di

bawah

m.sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus


torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.4,5
2.4. FISIOLOGI TONSIL
Dilihat dari letak anatomis tonsil, yang terdapat di rongga mulut, faring dan
nasofaring yang merupakan port deentry dari bakteri dan virus, maka fungsi sebagai
organ lymphoid sekunder tersebut sangatlah bermanfaat karena menjadikannya
kelenjar lymphoid terdekat.Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai
peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring
dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi.
Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan
lokal resisten terhadap organisme patogen.7
Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah
mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa

anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun.
Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil
yang disertai proses involusi. Tonsil memegang peranan baik dalam mekanisme
pertahanan spesifik maupun non-spesifik. Pada mekanispesifik berupa lapisan mukosa
tonsil dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam
pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk
ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit.
Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan
bakteri terhadap fagosit.8
2.5. TONSILITIS
Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiriatas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlachs tonsil).Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan
dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.9

GGambar 8. Tonsilitis Bacterial dan Viral9


2.5.1. Tonsilitis Akut
A. Tonsilitis Viral
Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh viral ataupun bakteri. Gejala tonsilitas
viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri di tenggorok. Penyebab
yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan

penyebab tonsislitis akut supuratif. Bila terjadi infeski virus coxschakie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang
sangat nyeri akan dirasakan oleh pasien.9
Terapi
Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gejala cukup
berat.9
B.

Tonsilitis Bakterial
Radang akut pada tonsil juga dapat disebabkan oleh bakteri, anatara lain kuman

grup A Setretokokus hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus,


Streptokokus viridans dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi
kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.9
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu membentuk alur-alur maka akan terjadi
tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk sebuah
membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.9
Gejala dan tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dnegan suhu tubuh yang tinggi,
rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga. Rasa
nyeri di telinga ini diakibatkan karena nyeri alih (reffered pain) melalui saraf n.
Glossofaringeus. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan.9
Terapi
Antibiotika spectrum luas penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur
yang mengandung disinfektan.9
Komplikasi

10

Komplikasi tonsilitis akut adalah otitis media akut, terutama pada anak anak,
abses peritonsil, abses parafaring, toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut,
miokarditis dan arthritis.9
2.5.2. Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa adalah tonsilitis
difteri, tonsilitis septik, angina plaut vincent, penyakit kelainan darah, proses spesifik
lues dan tuberkulosis, infeksi jamur moniliasis, infeksi virus morbili.9

A.

Tonsilitis Difteri
Tonsilitis difteri disebabkan oleh kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman

yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas begian atas yaitu hidung,
faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi
sakit. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.9
Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan
gejala akibat eksotoksin.9
1.

Gejala umum, hampir sama dengan gejala infeksi lainnya yaitu


kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadilambat serta keluhan nyeri menelan.9

2.

Gejala lokal berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putih


kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane
semu. Membran ini meluas kepalatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea
dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat
erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.9

3.

Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini


menimbulkan

kerusakan

jaringan

tubuh,

yaitu

miokarditis

dan

decompensatio cordis.3

11

Gambar 9.

Tonsilitis

Difteri9
Terapi
Pemberian anti difteri serum (ADS) dapat diberikan segera tanpa menunggu
hasil kultur, dengan dosis 20.000 100.000 unit tergantung umur dan beratnya
penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis
selama 14 hari. Selain itu, diberikan kortikosteroid 1,2 mg/kgBB per hari. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi dan harus istirahat di tempat tidurselama 2
3 minggu.9
B.

Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat

dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi, namun jarang ditemukan di
Indonesia.9
C.

Angina Plaut Vincent


Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higiene mulut, defisiensi vitamin C

serta kuman spirilum dan basil fusi form.9


Gejala dan tanda
Gejala penyakit ini berupa demam sampai 39 0C, nyeri kepala, badan lemah dan
kadang kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi,
gigi dan gusi mudah berdarah. Dari pemeriksaan fisik dapat dilihat mukosa mulut dan
faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring,
gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula
membesar.9
Terapi

12

Terapi penyakit ini adalah dengan memperbaiki hygiene mulut, antibiotic


spektrum luas selama 1 minggu, vitamin B kompleks dan vitamin C.9
2.5.3. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis adalah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang kadang kuman berubah
menjadi kuman golongan Gram negatif.9
Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil. Karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan
diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas
hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
submandibula.9

Manifestasi klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal
dikerongkongan. 9
Pada pemeriksaaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari tonsilitis kronik
yang mungkin tampak, yaitu :

Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan


sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.

Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti


terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang
melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.9
13

Terapi
Terapi local tonsillitis kronis ditujukan kepada hygiene mulut, dengan berkumur
atau obat hisap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronis,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.9
Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa sinusitis kronis, sinusitis atau otitis media secara per kontinuitatum.
Komplikasi yang jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria dan furunkulosis.9
2.6. HIPERTROFI ADENOID

Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada
dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldayer. Secara
fisiologik adenoid ini membesar pada anak usis 3 tahun dan kemudian akan mengecil
dan hilang pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran nafasbagian atas
maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan
koana dan sumbatan tuba Eustachius.9
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi
(a)fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus
faring tinggi yang menyebabkan wajah pasien tampak seperti orang bodoh, (b)
faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi an dreinase sinus paranasal sehingga
menimbulkan sinusitis kronik.9
Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis
media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.9
Akibat hipertofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok,
retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang.9

14

Gambar

10.

Hipertrofi Tonsil9
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan
risnoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada
waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit),
pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan radiologik dengan
membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini lebih sering dilakukan pada anak).9
Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara
kuretase memakai adenotom.9
Indikasi adenoidektomi
1. Sumbatan
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
e. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adeoid face)
2. Infeksi
a. Adnoiditis kronik / berulang
b. Otitis media efusi kronik / berulang
c. Otitis media akut berulang
3. Kecurigaan neoplasma jinak / ganas

15

Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding
posterior faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan
dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul tuli konduktif.9

2.7. ABSES PERITONSIL

Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara lakilaki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan
multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada
orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. 10
Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.10
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang
bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah

Fusobacterium.

Prevotella,

Porphyromonas,

Fusobacterium,

dan

Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan


karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.10
Patologi
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi
peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya. Daerah
superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,

16

sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di
bagian inferior, namun jarang.10
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.10
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.10
Gejala Klinis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan)
yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau
(rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.10
Komplikasi
a.

Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau


piemia.

b.

Penjalaran infeksi dan abses parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.


Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis.

c.

Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus


sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. 10

2. 8. TUMOR TONSIL

Etiologi
Penyebab pasti karsinoma tonsil sampai aat ini belum diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor predisposisi dilaporkan memengaruhi terjadinya tumor ini, antara lain
perokok berat, peminum alcohol, hygiene, mulut yang kurang baik, dan orang ynag
suka mnyusur tembakau.11

17

Menurut National Comprehensive Cancer Network, faktor risiko karsinoma sel


skuamosa

termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru baru ini ada

indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein
Barr ( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human
Papilloma Virus (HPV) telah terbukti sebagai ancaman.12
HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel sel basal epitel dan
dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.
Meskipun lebih dari 100 strain yang telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 paling sering
dikaitkan dengan kanker. Kode genom virus untuk oncoproteins E6 dan E7, yang
telah meningkatkan aktivitas di strain yang bersifat onkogenik. Oncoprotein E6
menyebabkan degradasi tumor suppressor p53. Oncoprotein E7 merupakan tumor
suppressor retinoblastoma ( Rb ). Hilangnya Rb menyebakan akumulasi p16, yang
biasanya akan menghambat perkembangan siklus sel melalui siklin D1 dan CDK4 /
CDK6. Karena akumulasi ini, p16 dapat digunakan sebagai penanda aktivitas HPV.12
Patologi
Karsinoma sel skuamosa tonsil mungkin terbatas pada fosa tonsil, tetapi
perluasan pada ke struktur yang berdekatan sering terjadi. Karsinoma umumnya
menyebar sepanjang sulkus glosotonsilar melibatkan dasar lidah. Selain itu,
penyebaran sering melibatkan palatum mole atau nasofaring. Fosa tonsil dibatasi oleh
otot superior konstriktor yang mungkin berisi penyebaran karsinoma.12
Namun ketika otot konstriktor dilampaui, ini menjadi keuntungan tumor untuk
mengakses ke ruang parafaring. Ini melibatkan otot otot pterigoid atau mandibular.
Penyebaran ke arah superior dari ruang parafaring bisa melibatkan dasar tengkorak
dan penyebaran ke arah inferior bisa melibatkan leher bagian lateral. Akhirnya
keterlibatan yang luas dalam ruang parafaring mungkin melibatkan arteri karotis.12
Metastase ke daerah limfatik sering terjadi. Metastase ke leher sebanyak kurang
lebih 65%. Karsinoma sel skuamosa tonsil juga dapat bermetastase ke kelenjar getah
bening retrofaring. Metastase jauh dari karsinoma sel skuamosa tonsil terjadi sekitar
15 30%. Lokasi yang paling umum adalah paru paru, diikuti oleh hati dan
kemudian tulang.12
Klasifikasi Tumor Tonsil

18

Tumor pada tonsil dapat diklasifikasikan berdasarkan keganasannya, menjadi


tumor tonsil jinak dan tumor tonsil ganas. Adapun yang termasuk tumor jinak tonsil
adalah kista tonsil, papilloma tonsil dan papiloma tonsil.Sedangkan yang termasuk ke
dalam tumor ganas tonsil ialah karsinoma sel skuamosa, limfoma malignum dan
tumor kelenjar liur yang berasal dari kelenjar liur minor di palatum mole, uvula atau
kapsul tonsil. Bentuk karsinoma sel skuamosa merupakan keganasan yang terbanyak
(70%), sedangkan limfoma malignum hanya 25% dan tumor kelenjar liur hanya
5%.11,13

Gambar 11. Klasifikasi Tumor Tonsil11


2.8.1. Tumor Jinak Tonsil
Kista Tonsil
Kista epitel tonsil merupakan jenis yang cukup sering. Permukaannya berkilau,
halus, dan berwarna putih atau kekuningan. Kista ini tidak memberikan gejala apapun,
akan tetapi kista yang lebih besar akan menyebabkan suatu benjolan di tenggorokan
dan mungkin perlu di operasi.13

19

Gambar 12. Kista Tonsil pada dinding faring sisi lateral kanan13
Papiloma Tonsil
Papilloma skuamosa biasanya terlihat menggantung dari pedicle uvula, tonsil
ataupilar. Tampak massa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada bagian
posteriornya.13
Polip Tonsil
Massa tonsil tersebut menunjukkan gambaran polip pada pemeriksaan
histologi.13

2.8.2. Tumor Ganas Tonsil


Karsinoma Sel Squamosa
Etiologi
Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa
termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru baru ini ada indikasi bahwa
etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein Barr ( EBV )
merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus
( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.13
HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel sel basal epitel dan
dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.13
Gambaran histologis
Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk.
Meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini telah juga
terdapat beberapa jenis sel yaitu yaitubasosquamos Nonkeratinizing carcinoma ( sel
transisional atau tipe sinonasal ) dan undifferentiated atau lymphoepithelioma type.13

20

Limfoma Maligna
Limfoma sulit dibedakan dengan undifferentiated karsinoma dan limfoma
marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah
besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar (dalam normal saline, bukan dalam
larutan formaldehida) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah
tonsilektomi lebih baik di periksa jaringannya.Limfoma merupakan jenis yang paling
umum kedua pada keganasan tonsil. Limfoma tonsil biasanya ditandai dengan massa
submukosa dan pembesaran asimetris pada salah satu tonsil. Bila terdapat
limfadenopati , maka pembesaran kelenjar getah bening

diamati pada sisi yang

sama.13
Definisi
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna / ganas yang muncul
dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstra nodal yang ditandai dengan
proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan prasel dan derivatnya).13
Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang
ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma
Hodgkin

dan

non-Hodgkin

pada

kelompok

penderita

AIDS

(Acquired

Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV.13


Klasifikasi
Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari
kelenjar limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan nonHodgkin.13
Gejala Klinis
Gejala klinis tumor ganas tonsil pada stadium permulaan tidaklah jelasdan tidak
khas. Gejala yang sering ditemukan adalah rasa seperti ada benda asing di tenggorok
karena pembesaran kelenjar tonsil yang biasanya unilateral, rasa nyeri di tenggorok
bila tumor sudah menginfiltrasi daerah sekitarnya atau terdapat ulerasi. Jika tumor
sudah stadium lanjut dapat terjadi perdarahan, disfagia, trismus, pembengkakan leher
dan gangguan fungsi bernafas dan menelan.11.12
21

Diagnosis
Diagnosis keganasan tonsil dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, makroskopik dan perabaan, juga pemeriksaan radiologi seperti CT
Scan atau MRI dan biopsy jaringan tumor. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan
pemeriksaan patologi anatomi dari hasil biopsy jaringan tonsil. Biopsi dapat
dilakukan dnegan cara eksisional biopsy.Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
melihat perluasan tumor ganas tonsil tersebut. Pemeriksaan CT Scan lebih baik dalam
hal melihat metastasis ke jaringan tulang dan destruksi tulang juga melihat metastasis
ke kelenjar getahbeningservikal, sedangkan pemeriksaan MRI lebih baik dalam
melihat ada atau tidaknya perluasasn ke jaringan luanak sekitarnya.11
2.8.3. Penentuan stadium
Sub bagian Onkologi THT FKUI RSCM dalam memnentukan stadium dan
pengobatan tumor ganas tonsil merujuk pada guidelines yang dikeluarkan oleh
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2011: 14,15,16

T
Tis
T0
T1
T2
T3
T4a

: menggambarkan keadaan tumor


: karsinoma in situ
: tidak jelas adanya tumor primer
: tumor dengan garis tengah terbesar 2cm atau kurang
: tumor dengan garis tengah terbesar 2-4cm
: tumor dengan garis tengah terbesar lebih dari 4 cm
: tumor telah menginvansi laring, otot lidah, pterigoid medial, palatum
durum atau tulang mandibula

T4b

: tumor telah menginvansi otot pterigoid lateral, tulang pterigoid,


lateral nasofaring, dasar tengkorak atau arteri karotis

Nx
N0
N1
N2a

: metastasis regional tidak dapat ditentukan


: tidak ada metastasis regional
: metastasis regional dengan diameter terbesar kurang dari 3cm
: metastasis single ipsilateral dengan diameter terbesar 3cm tapi kurang

N2b

dari 6cm
:metastasis ipsilateral dengan dimensi terbesar kelenjar getah bening
kurnag dari 6 cm

22

N3

: metastasis kelenjar regional dengan diameter terbesar kelenjar getah


bening lebih dari 6cm

MX
M0

: metastasis jauh tidak dapat ditentukan


: tidak ada metastasis jauh

M1

: ada metastasis jauh

Stadium 0
Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IVa
Stadium IVb
Stadium IVc
Pengobatan

: Tis N0 M0
: T1N0M0
: T2 N0M0
: T3 N0M0
: T4a N0M0; T4a N1 M0; T1-4 N2 M0
: Tab AnyN0M0; AnyT N3M0
: AnyT AnyNM1

Pengobatan tumor ganas tonsil dilakukan berdasarkan protocol NCCN tahun


2006. Terdapat tiga modalitas pengobatan yang dapat dilakukan yaitu operasi,
radioterapi, kemoterapi, dan kombinasi ketiganya.Untuk tumor ganas tonsil stadium III dilakukan operasi dengan eksisi luas melalui transoral atau mandibulatomi dengan
diseksi leher selektif atau radikal unilateral dilanjutkan radioterapi dengan dosis 6-7
gray pasca operasi. Untuk Tumor ganas tonsil dilakukan operasi eksisi luas
dilanjutkan dnegan kemoradiasi. Untuk tumor yang tidak operable atau terdapat
metastasis jauh diberikan kemoterapi paliatif atau perawatan paliatif. Obat kemoterapi
yang dapat diberikan adalah cysplatin dengan 5-florouracil atau obat golongan taxan
atau theramicin.12
2.9. Tonsilektomi

2.9.1.

Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat

perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu
tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini
indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the

23

American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun


1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:17
Indikasi absolut

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat,
gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.

Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

Indikasi relatif
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun diberikan pengobatan
medik yang adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik.
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.

2.9.2.

Kontraindikasi Tonsilektomi
Adapun kontraindikasi dari tonsilektomi adalah sebagai berikut:17
Riwayat penyakit perdarahan
Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
Anemia
Infeksi akut

2.9.3.

Teknik Operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang

masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan


kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan
24

jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif
dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan
baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.17
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :17
1) Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas
tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil
karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2) Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik
kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan
menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3) Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi
berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan.
Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar
pada 0,1 hingga 4 Mhz.
4) Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang.
5) Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6) Teknik Coblation

25

Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk
mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan
energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media
perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar
elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung suatu partikel yang
terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan
memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler
pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu
40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7) Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan

menggunakanmicrodebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi

bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak


ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam
membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8) Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan reses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

2.9.4.

Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal

maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan


komplikasi tindakan bedah dan anestesi. 17
Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa:17

Laringosspasme

Gelisah pasca operasi


26

Mual muntah

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti


jantung

Hipersensitif terhadap obat anestesi.

Komplikasi Bedah

Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien.
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah
yang sama membutuhkan transfusi darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi
kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi17

Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring,
lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.17
BAB III
KESIMPULAN

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Dilihat dari letak anatomis tonsil, yang
terdapat di rongga mulut, faring dan nasofaring yang merupakan port deentry dari

27

bakteri dan virus, maka fungsi sebagai organ lymphoid sekunder tersebut sangatlah
bermanfaat karena menjadikannya kelenjar lymphoid terdekat.
Berbagai keadaan patologis dapat terjadi pada tonsil, seperti peradangan tonsil
baik akut maupun kronis, hipertrofi tonsil, abses peritonsil sampai dengan
terbentuknya tumor yang dapat berupa tumor ganas maupun jinak. Keadaan patologis
tersebut terkadang memberikangejala yang hampir serupa. Namun, dengan
dilakukannya anmanesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dan ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang yang adekuat, maka akan muncullah suatu diagnosis yang
tepat. Diagnosis yang tepat untuk menuju tatalaksana yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Adams GL. Penyakit Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Adams, Boies

2.

Highler. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; p. 327,327-40.
Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan
Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin
Dunia

Kedokteran

No.

155,

2007

87.

Available

at:

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKe
las.pdf/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf.

28

3.

Bukhart. W. Squamous Cell Carcinoma of the Tonsil. Available at:


www.rdhmag.com/articles/prin/volume-29/issue-11/coloums/oral-

4.

exams/squamous-cell-carcinoma-of-the-tonsil.html
Hermani B, Rusmajono. Odinofagia. Sjamsuhidajad R, Kepala dan leher. Dalam
: Buku Ajar Ilmu bedah. 7th ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran ECG. 2012. p.

5.

190-4.
Meyers AD, Viswanatha B. Tonsil and Adenoid Anatomy. 2009. Available at:

6.

www.emedicine.medsscape.com/article/1899367-overview.
Dell'Aringa AR, Juares AJC; de Melo C, Nard JCi, Kobari K, Filho RMP. 2005.
Histological analysis of tonsillectomy Otorrinolaringol. Available at :
http://dx.doi.org/10.1590/S0034-7299200500010000.andadenoidectomy

7.

specimens - January 2001 to May 2003. Rev. Bras.


Rote NS, Huether SE. Inflammation. Huether SE, McCance KL, editors.
Understanding Pathophysiology. 3rd ed. Philadelaphia : Mosby. 2004. p.

8.

154,171-2.
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem : Pertahanan Tuubuh. 6th ed.

9.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 2011. p.396-8.


Soepardi EA, Rusmajono. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Sjamsuhidajad R, Kepala dan leher. Dalam : Buku Ajar Ilmu bedah. 7 th ed.

Jakarta: Penerbit buku kedokteran ECG. 2012. p. 195.


10. Cicameli GR dan Grillone GA. Inferior pole peritonsillar abscess. Otolaryngol
Head Neck Surg. 1998. p. 99-101.
11. Musa Z. Tumor Ganas Tonsil. Sjamsuhidajad R, Kepala dan leher. Dalam :
Buku Ajar Ilmu bedah. 7th ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran ECG. 2012. p.
170-2.
12. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types
in head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic
review. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75.
13. Wilson LM. Respons Tubuh Terhadap Cedera: Peradangan dan Penyembuhan.
Price SA, Wilson LM, editors. Patofisisologi. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006; p. 57.

29

14. Chung TS, Stefani S. Distant metastases of carcinoma of tonsillar region: a


study of 475 patients. J Surg Oncol. 1980;14(1):5-9
15. Loh KS, Brown DH, Baker JT, Gilbert RW, Gullane PJ, Irish JC. A rational
approach to pulmonary screening in newly diagnosed head and neck
cancer. Head Neck. Nov 2005;27(11):990-4.
16. Moore EJ, Henstrom DK, Olsen KD, Kasperbauer JL, McGree ME. Transoral
resection

of

tonsillar

squamous

cell

carcinoma. Laryngoscope.

Mar

2009;119(3):508-15
17. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head
and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher.
Philadelphia. P :1224, 1233-34.

30

Anda mungkin juga menyukai