Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS ( acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh


virus yang disebut HIV (human immunodeficiency virus) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
(atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV. HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat
terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk
kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Virus tersebut menginfeksi sel CD4 T yang
memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain.

Banyak penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan penatalaksanaan yang baku


dan menyeluruh dari pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pemakaian kombinasi
antiretrovirus (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik (IO) dan pencegahan post exposure (PPE)
HIV sampai pemberian imunisasi yang masih dalam penelitian. Kompleksnya masalah
yang dihadapi dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, memerlukan satu tim kerja terdiri dari
berbagai bidang ilmu yang solid dan profesional untuk menurunkan angka insidensi dan
prevalensi HIV/AIDS.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Struktur HIV & Siklus hidupnya

Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp 120 dan gp41
yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retroviris HIV terdiri dari lapisan envelop luar
glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi
protein inti dan penunjang.
RNA directed DNA polymerase ( reverse transcriptase ) adalah polymerase DNA dalam
retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA temple untuk
memproduksi hybrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam tehnik rekombinan DNA
yang perlukan dalam sintesis fisrt strand dna.

Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibody
terhadap HIV-1 . antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor
CD4 pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 ini telah digunakan untuk mencegah
antigen gp120 menginfeksi sel CD4.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut:
jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo ( gagal memberikan
respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B menimbulkan
hipergamaglobulinemia, antibody yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi
tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc
dapat mencegah infeksi ( jarang) atau dapat memperlambat progress. Protein envelop adalah
produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibody yang efektif dan
produktif oleh pejamu.
Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam
genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 ( 120 Kd glikoprotein) yang terutama
mengikat sel CD4 reseptor dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5 ) dari sel manusia. Oleh
karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4. Makrofag dan sel dendritik
juga dapat menginfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membrane virus bersatu dengan membrane
sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma. Disini envelop virus dilepaskan oleh protease virus
dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi
DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat
diaktifkan , sehingga diproduksi RNA dan protein virus . sekarang virus mampu membentuk
struktur inti, bermigrasi ke membrane sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas
berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat

tetap laten dalam sel yang terinfeksi untuk berbulan- bulan atau tahun sehingga tersembunyi dari
system imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.
2.2 Patogenesis
Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada di dalam sel
dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu ( serupa
infeksi mononucleosis) , disertai viremia berat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada
tubuh timbul resppon imun humoral maupun seluler. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3
minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh system imun tubuh.
Proses ini berlangsung berminggu- minggu sampai terjadi keseimbangan antara
pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set
point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi,
perjalanan penyakit menuju acquired immune deficiency syndrome ( sindrom defisiensi imun
yang didapat, AIDS ) akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi ( perubahan antibody dari negative jadi positif ) terjadi 1-3 bulan setelah
infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa
tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 ( jumlah normal 800-1000)
yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan.
CD 4 adalah reseptor pada limfosit T 4 yang menjadi target utama HIV. Mula- mula
penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60 / tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah
menjadi cepat , 50-100 / tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata- rata masa infeksi dari HIV
sampai AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.
Perjalanan penyakit pada HIV
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Transmisi virus
Infeksi HIV primer ( sindrom retroviral akut ) 2-6 minggu
Serokonversi
Infeksi kronik asimptomatik
AIDS ( CD4 <200/mm3 ), infeksi oportunistik
Infeksi HIV lanjut ( CD4<50/mm3)

2.3 Cara Penularan

1. Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada
hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada
risiko hubungan seks biasa dan seks oral.
Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif
maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi
vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan
bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat
kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat
secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan
makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap
penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak
selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi
HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang
yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

2. Kontaminasi patogen melalui darah


Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab
penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru
HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang
terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV
dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi
baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak
mencukupi.
WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan
melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong
negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV
melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara
maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,
menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
3. Penularan masa perinatal

Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan
sebesar 4%.
2.4. Gejala Klinis dan Infeksi Oportunistik
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh
yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi
hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti
sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan
berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Penyakit paru-paru

Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.


Pneumonia pneumocystis (PCP)] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki
kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada
satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran
kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem
syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat
munculnya penyakit ekstrapulmoner.
Penyakit saluran pencernaan

Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari
mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur
(jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat
disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai
penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella,
Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan
virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Penyakit syaraf dan kejiwaan
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada
syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf
yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut
(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami
sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang
terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh
infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia
pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf
yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang
muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka
kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India

hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya
perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan tumor ganas (malignan)

Sarkoma Kaposi
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik;
yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus
papiloma manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi
dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah
putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's
lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL),
dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus EpsteinBarr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini
disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker
usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum
seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada
pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan
AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang
paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang
pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang
positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam
dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita
HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan
mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering
merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang
disebut AIDS.
Stadium klinis HIV menurut WHO :
1. Stadium klinis 1 : asimptomatis, limfadenopati meluas persisten, aktivitas normal
2. Stadium klinis 2 : simptomatis, aktivitas normal

o BB menurun <10% dari BB semula


o Kelainan kulit dan mukosa ringan seperti dermatitis seboroik, Papular
Prurutic Eruption (PPE), infeksi jamur kuku, ulkus oral yang rekuren,
cheilitis angularis
o Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
o ISPA, seperti sinusitis bacterial
3. Stadium klinis 3 : selama 1 bulan terakhir tinggal di tempat tidur <50%
o BB menurun >10% dari BB semula
o Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya > 1 bulan
o Demam tanpa sebab yang jelas > 1 bulan (intermiten atau konstan)
o Kandidiasis oral
o Hairy leukoplakia oral
o TB paru dalam 1 tahun terakhir
o Infeksi bakteri berat (pneumonia)
o Angiomatosis basiler
o Herpes zoster yang berkomplikasi
4. Stadium klinis 4 : berbaring di tempat tidur selama 1 bulan terakhir > 50%
o HIV wasting syndrome (BB turun 10% + diare kronik >1bulan atau
demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
o Pneumonia pneumocystis (PCP)
o Toksoplasmosis pada otak
o Kriptosporidosis, Microsporidiosis dengan diare > 1 bulan
o Kriptokokosis ekstra paru
o Cytomegalovirus (CMV) pada 1 organ selain hati, limpa, kelenjar getah
bening (mis:retinitis)
o Herpes simplex virus (HSV) mukokutaneus >1 bulan
o Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru-paru

o Mikobakteriosis atipik disseminate atau di paru


o Septikemi salmonella non tifoid
o TB ekstra paru
o Limfoma
o Sarkoma Kaposi
o Ensefalopati

HIV

(gangguan

dan/atau

disfungsi

motorik

yang

mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan berlangsung beberapa


minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain.
Langkah-langkah diagnosis :
1. Lakukan anamnesis gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait. Jangan
lupa perubahan kelenjar dan pemeriksaan mulut.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosit total dan antibody HIV.
Bila hasil pemeriksaan antibody positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4,
protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi PMS,
hepatitis, dan pap smear. Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >
500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang
tiap 3-6 bulan, dan bila < 200 diberikan profilaksis pneumonia Pneumocystis carinii. Pemberian
profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan
CD4 (mikroskop fluoresensi) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 = 1/3 X jumlah
limfosit total.
2. 5. Pengobatan
Penemuan obat anti retroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi
dalam perawatan ODHA di Negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan

menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara
dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas hidup ODHA.
Tujuan pengobatan ARV
1.
2.
3.
4.
5.

Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat


Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
Memperbaiki kualitas hidup ODHA
Memulihkan/ memelihara fungsi kekebalan tubuh.
Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus.

Indikasi ART
ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakan secara
laboratorium disertai salah satu kondisi dibawah ini.

Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :


Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4 < 350

Infeksi HIV stadium I atau II dengan jumlah CD4 < 200

Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV ( criteria WHO disebut AIDS klinis), tidak
seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III, bila tersedia sarana pemeriksaan
CD4 akan membantu untuk menentukan saat pemberian terapi yang lebih tepat.
Untuk kondisi stadium III terpilih nilai ambang 350/mm3 karena pada nilai dibawahnya
biasanya kondisi pasien mulai penunjukan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan
sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4 <
200 /mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.

Table 1.Saat memulai terapi pada ODHA dewasa


Bila tersedia pemeriksaan CD4

Stadium IV , tanpa memandang jumlah CD4


Stadium III, dengan jumlah CD4 < 350/ mm3 sebagai petunjuk dalam mengambil

keputusan
Stadium I atau II dengan jumlah CD4 < 200 /mm3

Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4

Stadium IV, tanpa memandang jumlah limfosit total


Stadium III, tanpa memandang jumlah limfosit total
Stadium III, dengan jumlah limfosit total <1200 /mm3

Tabel. Dosis Antiretroviral untuk ODHA dewasa


Abacavir (ABC)

300mg setiap 12 jam


400 mg sekali sehari

Didanosine (ddI)

(250 mg sekali sehari jika < 60)

Lamivudine (3TC)
Stavudine (d4T)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)


150 mg setiap 12 jam atau 300mg sekali sehari
40 mg setiap 12 jam

Zidovudine(ZDV

(30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg)


300 mg setiap 12 jam

atau AZT)
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF)

300 mg sekali sehari (cat: interaksi obat dengan ddI, dosis


ddI perlu dikurangi)

Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV)
600 mg sekali sehari

Nevirapine (NVP)

200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg


setiap 12 jam

Protease inhibitors
Indinavir/ritonavir

800 mg/100 mg setiap 12 jamb,c

(IDV/r)
Lopinavir/ritonavir

400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12

(LPV/r)
jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)
Nelfinavir (NFV)
1250 mg setiap 12 jam
Saquinavir/ritonafir 1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg
(SQV/r)
Ritonavir (RTV,r)e

sekali seharic,d
Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml

Pada pedoman WHO terdahulu ( April 2002) direkomendasikan bahwa rejimen lini
pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease inhibitor.
Renjimen yang mengandung satu protease inhibitor menjadi pilihan kedua karena harganya yang
mahal.
Stavudin seringkali menimbulkan lipoatrofi, dan kelainan metabolisme lain dinegara
maju, termasuk adanya asidosis laktat, terutama bila dikombinasikan dengan Didanosine ( ddl).
Dapat juga mengakibatkan neuropati perifer dan pancreatitis. AZT juga dapat berdampak pada
komplikasi metabolic dengan derajat yang lebih rendah dibanding stavudin. AZT dan d4T
bekerja secara antagonistic, sehingga tidak boleh digunakan secara bersamaan.

Tabel. 3. Renjimen ARV Lini- pertama untuk ODHA dewasa dan factor yang mempengaruhi pemilihannya.
Rejimen ARV

Toksisitas Utama

Perempuan
(usia

subur

atau hamil)

Koinfeksi TB

AZT+3TC+NVP

Intoleransi gastrointestinal dr AZT,

ya

Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa

anemia, netropenia;

rifampisin

Hepatotoksisitas NVP dan ruam

penggunaan

kulit berat

d4T+3TC+NVP

Neuropati

yang

terkait

d4T,

d4T+3TC+EFV

hati-

hati

renjimen

pada
yang

mengandung rifampisin.
Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa

Ya

pancreatitis dan lipoatropi;

rifampisin

Hepatotoksisitas NVP dan ruam

penggunaan renjimen yang berbasis

Intoleransi

b.

hati-

hati

pada

rifampisin.

kulit berat

AZT+3TC+EFP

b.

gastrointestin,al

dari

Tidak

Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan

AZT, anemia, neutropenia;

kepada

Toksisitas pd SSP yg terkait EFV

perempuan

dan potensial teratogenik

dipastikan menggunakan kontrasepsi

Neuropati

yg

terkait

d4T,

Tidak

perempuan
usia

hamil

subur,

atau
kecuali

yang efektif.
Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan

pancreatitis dan lipoatropi;

kepada

perempuan

Toksisitas pd CNS yg terkait EFV

perempuan

dan potensial teratogenik

dipastikan menggunakan kontrasepsi

usia

hamil

subur,

atau
kecuali

yang efektif.

Ada kemungkinan perlu mengganti ART baik oleh karena toksisitas atau kegagalan terapi.
a) Toksisitas
Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efeksamping dari obat,
sehingga terjadi disfungsi dari organ yang cukup berat. Bila toksisitas terkait dengan obat
atau rejimen yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka diganti dengan obat yang tidak
memiliki efek samping yang serupa, misalnya, mengganti AZT dengan d4T ( untuk
anemia).
b) Kegagalan terapi
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan
penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CCD4 atau secara virologist dengan
mengukur viral- load.
Tabel 4. Definisi kegagalan terapi secara klinis dan criteria CD4 pada ODHA Dewasa.

Tanda Klinis
Timbulnya infeksi oportunistik baru

Kriteria CD4
CD4 kembali ke jumlah sebelum terapi

atau keganasan yang memperjelas

atau bahkan dibawahnya tanpa adanya

perjalanan

infeksi

penyakit

yang

penyerta

lain

yang

dapat

memburuk.

menjelaskan terjadinya penurunan CD4

Kambuhnya IO yang pernah diderita

sementara

kambuhnya

Penurunan jumlah CD4 >50 % dari

penyakit- penyakit pada stadium III

jumlah tertinggi yang pernah dicapai

selama terapi tanpa infeksi penyerta lain

Munculnya
termasuk

atau

HIV wasting,

diare

kronik yang tidak jelas penyebabnya,

yang

dapat

menjelaskan

kandidosis kambuh atau menetap)

penurunan CD 4 sementara.

terjadinya

2.6. Pencegahan HIV


Cara Pencegahan :

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan
atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang
tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan
penularan HIV)

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga
keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

Ada tiga cara:

Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)

Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada
pasangannya

Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan


melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur)
harus disterilisasi dengan benar

Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang
lain

BAB III
KESIMPULAN

HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Gejala klinis pada awal infeksi, seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8
atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran
kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek. Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas dua NRTI ditambah
salah satu NNRTI

atau Abacavir atau protease inhibitor.

Meskipun belum mampu

menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi
kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan,
peningkatan kualitas hidup ODHA.

Cara pencegahan penularan hiv yang baik antara lain Abstinensi (atau puasa, tidak
melakukan hubungan seks) , Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan
dan saling setia kepada pasangannya , Untuk yang melakukan hubungan seksual yang
mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2004, Jakarta.

2. Mansjoer, Arif, dkk, Acquired immunodeficiency syndrome dalam Kapita Selekta


Kedokteran, Edisi ketiga, jilid I Media Aesulapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta : 2001, hal : 573 579.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Baratawidjaja, Karnen, Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi IX, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : 2010, hal : 499-512

Anda mungkin juga menyukai