Anda di halaman 1dari 45

WRAP UP PBL

SKENARIO 1 BLOK URIN


BENGKAK SELURUH TUBUH

Disusun oleh:
KELOMPOK A-10
KETUA

: BILGIS BILADI

SEKRETARIS: IGA FALDINI GAZALI


ANGGOTA

(1102013059)
(1102013130)

:ADELIA PUTRI SABRINA

(1102013005)

AGUSWAN PURWENDO

(1102012010)

AHMAD RIZKY

(1102013014)

AMIRTHA MUSTIKASARI (1102013022)


FATHINAH ZUHUDAN

(1102013107)

HARSHA DENANDA PUTRA

(1102013123)

IKE KUMALASARI

(1102013131)

UNIVERSITAS YARSI
Jl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat. DKI Jakarta. Indonesia. 10510.
Telepon: +62 21 4206675.

SKENARIO 1
BENGKAK SELURUH TUBUH
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun, dibawa ibunya ke dokter karena bengkak di
seluruh tubuh. Keluhan juga disertai dengan BAK menjadi jarang dan tampak keruh.
Sebelum sakit, nafsu makan pasien baik. Pasien mengalami radang tenggorokan 2 minggu
yang lalu, sudah berobat ke dokter dan dinyatakan sembuh. Riwayat sakit kuning sebelumnya
di sangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU: komposmentis, tekanan darah 110/70
mmHg, denyut nadi 100x/menit, suhu 37 C, frekuensi napas 24x/menit. Didapatkan bengkak
pada kelopak mata, tungkai dan kemaluan. Pada abdomen didapatkan ascites. Jantung dan
paru dalam batas normal. Pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria dan hematuria.

A. Kata-kata Sulit
1. Pemeriksaan urinalisis
diagnosis

: Tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk tujuan


infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining, dan beberapa

evaluasi
2. Proteinuria
dalam
3. Hematuria

berbagai jenis penyakit ginjal.


: Protein dalam urin karna kerusakan ginjal, konsentrasi protein
urin > 0,3 g/24 jam
: Terdapat sel darah merah pada urin

B. Pertanyaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Apa hubungan bengkak seluruh tubuh dengan keluhan sedikit BAK ?


Apa penyebab timbulnya radang tenggorokan ?
Mengapa bisa terjadi proteinuria & hematuria ?
Mengapa terjadi bengkak pada seluruh keluhan di skenario ?
Apa hubungan radang tenggorokan dengan penyakit ini ?
Bagaimana bisa terjadi asites pada abdomen ?
Apa pemeriksaan untuk penegakan diagnosis ?
Apakah penyakit ini berhubungan dengan umur dan apakah ada faktor resiko lain ?

C. Jawaban
1. Kompensasi tubuh karna intrasel kurang cairan.
2. Karna ada bakteri streptokokus yang menyerang saluran pernafasan dan adanya reaksi
antibodi pada ginjal.
3. Karena kerusakan glomelurus sehingga glomelurus tidak bisa memfiltrasi sel darah
merah dan protein sehingga terdapat di urin.
4. Karna banyak glomelurus yang rusak.
5. Karna reaksi antigen antibodi dari bakteri saluran napas ke ginjal.
6. Karna reaksi antigen antibodi dari bakteri saluran napas ke ginjal.
7. Urinalisis , ASTO
8. Umur , jenis kelamin , imun , genetik.
D. Hipotesa
Infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh streptokokus menyebabkan
terjadinya reaksi antigen-antibodi di ginjal yang menyebabkan kerusakan glomelurus
sehingga filtrasi terganggu dan menyebabkan proteinuria, hematuria, udema anasarka dan
buang air kecil menurun . untuk memastikan diagnosis harus dilakukan pemeriksaan
urinalisis dan ASTO sehingga di dapatkan diagnosis sindrom nefrotik.

E. Sasaran Belajar
LI.1. Memahami dan Mernjelaskan Anatomi Ginjal
1.1 Makroskopis
1.2 Mikroskopis
LI.2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal
LI.3. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Nefrotik
3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Klasifikasi
3.4 Faktor resiko
3.5 Patofisiologi
3.6 Manifestasi Klinik
3.7 Penegakkan Diagnosis & Diagnosis banding
3.8 Tatalaksana
3.9 Komplikasi
3.10 Pencegahan
3.11 Prognosis
LI.4. Memahami dan Menjelaskan Urin dalam Islam

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Ginjal


1.1 Makroskopis
Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang (posterior) abdomen atas. Retroperitonium, diliputi
peritoneum pada permukaan depannya (kurang dari 2/3 bagian). Ginjal terletak didepan dua
costa terakhir (11 dan 12) dan tiga otot-otot besar transversus abdominalis, quadratus
lumborum dan psoas major. Memiliki ukuran numeral yaitu 12 x 6 x 2 cm dengan berat
sekitar 130 gram.

Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini
disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah
tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11
atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kirakira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra
L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah
dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
a. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan
tubulus kontortus distalis.
b. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
c. Columna renalis bertini, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
d. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
e. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau
duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

f. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix
minor.
g. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
h. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara
calix major dan ureter.
j. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Ginjal diliputi oleh suatu capsula cribosa tipis mengkilat yang berikatan dengan jaringan
dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal yang disebut fascia
renalis. Fascia renalis dibagi menjadi dua yaitu lamina anterior dan lamina posterior. Kearah
kiri dan kana bersatu dengan fascia transversa abdominalis membentuk rongga yang diisi
oleh lemak yang disebut corpus adiposum. Ginjal juga memiliki selubung, yang langsung
membungkus ginjal disebut capsula fibrosa, sedangkan yang membungkus lemak-lemak
disebut capsula adipose.
Posisi ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal tidak jatuh karena ada
A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari craniolateral ke caudomedial. Di puncak atas ginjal
terdapat topi yang disebut glandula supra renalis, yang kanan berbentuk pyramid sedangkan
kiri berbentuk bulan sabit.
Sintopi Ginjal
Ren Dextra
Anterior
Flexura coli dextra
Colon ascendens
Duodenum (II)
Hepar (lob. dextra)
Mesocolon transversum

Ren Sinistra
Anterior
Flexura coli sinistra
Colon descendens
Pancreas
Pangkal mesocolon transversum
Lien
Gaster

Posterior
M. psoas dextra
M. quadratus lumborum dextra
M. transversus abdominis dextra
N. subcostalis (VT XII) dextra
N. ileohypogastricus dextra
N. ileoinguinalis (VL I) dextra
Costae XII dextra
Posterior
M. psoas sinistra
M. quadratus lumborum sinistra
M. transversus abdominis sinistra
N. subcostalis (VT XII) sinistra
N. ileohypogastricus sinistra
N. ileoinguinalis (VL I) sinistra
Pertengahan costae XI & XII
sinistra

Vaskularisasi Ginjal
Vaskularisasi ginjal terbagi 2 yaitu :
Medula

Cortex

Aorta abdominalis

A. renalis Dextra & sinistra

A. Segmentalis (A. Lobaris)

A. Interlobaris

A. Arquata

A. Interlobularis

A. afferen

Cortex renalis
ke dalam glomerulus
(capsula bowman)

Filtrasi darah

A. Efferen

V. Interlobularis

V. Arquata

V. Interlobaris

V. V. Segmentalis (V. Lobaris)

V. Renalis Dextra & sinistra

V. Cava Superior

Atrium Dextra

Medulla : Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak
disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut
bercabang menjadi arteri lobaris kemudian arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid
selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang
tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen
pada glomerulus
Cortex : Arteri efferent berhubungan dengan Vena interlobularis bermuara ke vena arcuate
kemudian vena interlobaris lalu vena lobaris dan bermuara ke vena renalis lalu ke vena cava
inferior.
Persarafan Ginjal
Dilakukan oleh plexus symphaticus renalis dan serabut afferent melalui plexus renalis menuju
medulla spinalis N. Thoracalis X,XI,XII.
Pelvis
Berbentuk corong dan keluar dari ginjal melalui hillus renalis dan menerima dari calix major.

Perdarahan : diperdarahi oleh Arteri renalis cabang aorta abdominalis, Arteri Testicularis
cabang aorta abdominalis, Arteri Vesicalis superior cabang dari A. Illiaca interna.
Persarafan : dipersarafi oleh plexus renalis, Nervus Testicularis, Nervus Hypogastricus.

1.2 Mikroskopis
Ginjal
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak dan simpai
jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan medula yang satu sama lain
tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke korteks dan
ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bangunan-bangunan yang terdapat pada korteks
dan medula ginjal adalah :
Korteks ginjal terdiri atas beberapa bangunan yaitu
a. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan berbentuk cangkir)
dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).
b. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan tubulus
kontortus distal.
Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian sistim tubulus yaitu
pars descendens dan descendens ansa Henle, bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius
(duktus koligens) dan duktus papilaris Bellini.

Korpus Malphigi

Korpus Malphigi terdiri atas 2


macam bangunan yaitu kapsul
Bowman dan glomerulus. Kapsul
Bowman sebenarnya merupakan
pelebaran ujung proksimal saluran
keluar ginjal (nefron) yang dibatasi
epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh
jumbai
kapiler
(glomerulus)
sampai
mendapatkan
bentuk
seperti cangkir yang berdinding
ganda. Dinding sebelah luar
disebut lapis parietal (pars parietal)
sedangkan dinding dalam disebut
lapis viseral (pars viseralis) yang
melekat
erat
pada
jumbai
glomerulus . Ruang diantara ke dua
lapisan ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultra
filtrasi akan masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal.
Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar dengan warna yang lebih tua
daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih padat. Glomerulus merupakan gulungan
pembuluh kapiler. Glomerulus ini akan diliputi oleh epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di
sebelah luar terdapat ruang Bowman yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan
meneruskannya ke tubulus kontortus proksimal. Ruang ini dibungkus oleh epitel pars parietal
kapsul Bowman.
Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus kontortus proksimal
yang membentuk kutub tubular, sedangkan pada kutub yang berlawanan bertautan dengan
arteriol yang masuk dan keluar dari glomerulus. Kutub ini disebut kutub vaskular. Arteriol
yang masuk disebut vasa aferen yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi sejumlah
kapiler yang bergelung-gelung membentuk kapiler. Pembuluh kapiler ini diliputi oleh sel-sel
khusus yang disebut sel podosit yang merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit
ini dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi
membentuk arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut vasa eferen, yang
berupa sebuah arteriol.

Apartus Juksta-Glomerular
Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah sifatnya menjadi sel
epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam sitoplasmanya terdapat granula yang
mengandung ensim renin, suatu ensim yang diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Selsel ini dikenal sebagai sel yuksta glomerular. Renin akan mengubah angiotensinogen (suatu
peptida yang dihasilkan oleh hati) menjadi angiotensin I. Selanjutnya angiotensin I ini akan
diubah menjadi angiotensin II oleh ensim angiotensin converting enzyme (ACE) (dihasilkan
oleh paru). Angiotensin II akan mempengaruhi korteks adrenal (kelenjar anak ginjal) untuk
melepaskan hormon aldosteron. Hormon ini akan meningkatkan reabsorpsi natrium dan
klorida termasuk juga air di tubulus ginjal terutama di tubulus kontortus distal dan
mengakibatkan bertambahnya volume plasma. Angiotensin II juga dapat bekerja langsung
pada sel-sel tubulus ginjal untuk meningkatkan reabsopsi natrium, klorida dan air. Di
samping itu angiotensin II juga bersifat vasokonstriktor yaitu menyebabkan kontriksinya
dinding pembuluh darah.
Sel-sel yuksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel makula densa, yang
merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal yang berjalan berhimpitan dengan kutub
vaskular. Pada bagian ini sel dinding tubulus tersusun lebih padat daripada bagian lain. Selsel makula densa ini sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion natrium dalam cairan di
tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah sistemik akan menyebabkan menurunnya
produksi filtrat glomerulus yang berakibat menurunnya konsentrasi ion natrium di dalam
cairan tubulus kontortus distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus
kontortus distal akan merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai osmoreseptor)
untuk memberikan sinyal kepada sel-sel yuksta glomerulus agar mengeluarkan renin. Sel
makula densa dan yuksta glomerular bersama-sama membentuk aparatus yuksta-glomerular.
Di antara aparatus yuksta glomerular dan tempat keluarnya vasa eferen glomerulus terdapat
kelompokan sel kecil-kecil yang terang (Gb-6) disebut sel mesangial ekstraglomerular atau
sel polkisen (bantalan) atau sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih belum jelas, tetapi diduga selsel ini berperan dalam mekanisma umpan balik tubuloglomerular. Perubahan konsentrasi ion
natrium pada makula densa akan memberi sinyal yang secara langsung mengontrol aliran
darah glomerular. Sel-sel mesangial ekstraglomerular di duga berperan dalam penerusan
sinyal di makula densa ke sel-sel yuksta glomerular. Selain itu sel-sel ini menghasilkan
hormon eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan merangsang sintesa sel-sel darah merah
(eritrosit) di sumsum tulang.

Tubulus Ginjal (Nefron)


a. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus
di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid
dengan batas-batas yang sukar dilihat. Inti sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak
berjauhan satu sama lain. Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai paras sikat (brush border). Tubulus ini terletak di korteks
ginjal.

Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi


filtrat glomerulus 80-85 persen dengan cara reabsorpsi via
transport dan pompa natrium. Glukosa, asam amino dan
protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

b. Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal
turun (pars asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan
bagian tebal naik (pars asendens). Segmen tebal turun
mempunyai gambaran mirip dengan tubulus kontortus
proksimal, sedangkan segmen tebal naik mempunyai
gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis
ansa henle mempunyai tampilan mirip pembuluh
kapiler darah, tetapi epitelnya sekalipun hanya terdiri
atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga
sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain itu lumennya
tampak kosong. Ansa henle terletak di medula ginjal.
Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan atau mengencerkan urin.

c. Tubulus kontortus distal


Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid
dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus proksimal. Inti sel
bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna basofil
(kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian
ini terletak di korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.
d. Duktus koligen
Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai gambaran mirip
tubulus kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas,
selnya lebih tinggi dan lebih pucat. Duktus koligen tidak termasuk ke
dalam nefron. Di bagian medula yang lebih ke tengah beberapa
duktus koligen akan bersatu membentuk duktus yang lebih besar
yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut duktus papilaris
(Bellini). Muara ke permukaan papil sangat besar, banyak dan rapat
sehingga papil tampak seperti sebuah tapisan (area kribrosa). Fungsi
duktus koligen adalah menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis
ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH).
Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian korteks yang menjorok
masuk ke dalam medula membentuk kolom mengisi celah di antara piramid ginjal yang
disebut sebagai kolumna renalis Bertini. Sebaliknya ada juga jaringan medula yang
menjorok masuk ke dalam daerah korteks membentuk berkas-berkas yang disebut prosessus
Fereni

Sawar Ginjal
Sawar ginjal adalah bangunan-bangunan yang memisahkan darah
kapiler glomerulus dari filtrat dalam rongga Bowman. Sawar ini terdiri
atas endotel kapiler bertingkap glomerulus, lamina basal dan pedikel
podosit yang dihubungkan dengan membran celah (slit membran). Sel
podosit adalah sel-sel epitel lapisan viseral kapsula Bowman. Sel-sel
ini telah mengalami perubahan sehingga berbentuk bintang. Selain
badan sel sel-sel ini mempunyai beberapa juluran (prosessus) mayor
(primer) yang meluas dari perikarion dengan cara seperti tentakel
seekor gurita. Sebuah prosessus primer mempunyai beberapa prosessus sekunder yang kecil
atau pedikel. Pedikel podosit yang berdekatan saling berselang-seling dalam susunan yang
rumit dengan sistem celah yang disebut celah filtrasi (Slit pores) di antara pedikel. Pedikelpedikel ini berhubungan dengan suatu membran tipis disebut membran celah (Slit membran).
Di bawah membran slit ini terdapat membran basal sel-sel sel endotel kapiler glomerulus.
Guna sawar ginjal ini adalah untuk menyaring molekul-molekul yang boleh melewati lapisan
filtrasi tersebut dan molekul-molekul yang harus dicegah agar tidak keluar dari tubuh.
Molekul-molekul yang dikeluarkan dari tubuh adalah molekul-molekul yang sudah tidak
diperlukan oleh tubuh, sisa-sisa metabolisma atau zat-zat yang toksik bagi tubuh. Molekulmolekul ini selanjutnya akan dibuang dalam bentuk urin (air kemih). Proses filtrasi ini
tergantung kepada tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus.

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal


FUNGSI
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang berperan dalam sistim urinaria. Secara
besar fungsi ginjal sebagai pengatur keseimbangan cairan tubuh. Berikut adalah fungsi
spesifik dari ginjal:
1. Mempertahankan kadar air dalam tubuh.
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi ion diekstrasel (Na, Cl, K. HCO3, dll)
3. Memelihara volum plasma
4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa
5. Melihara osmolaritas

6. Mengekresikan produk sisa metabolism seperti urea dan kreatinin.


7. Mengekskresikan senyawa asing seperti pestisida dan metabolism obat
8. Mensekresikan eritopoetin
9. Mensekresikan renin
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif.
Berdasarkan fungsi-fungsi ini yang sebagian besar mengacu pada keseimbangan
hemostasis cairan tubuh, maka terdapat tiga mekanisme penting didalam ginjal, yaitu filtrasi,
reabsorbsi dan sekresi.
A. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting,
yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume
cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas
cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan
keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan
untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri
dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma.
Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka
panjang.
Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara sbb.:
Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) air. Untuk
mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada
keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh.
Memperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air,
keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan
keluarannya.
Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:
1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).
2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
Jumlah Na+ yang direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan
mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+
dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air
sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.
Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau
hormone atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi oleh sel
atrium jantung jika mengalami distensi akibat peningkatan volume plasma. Penurunan
reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urin sehingga
mengembalikan volume darah kembali normal.
2. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu
larutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah

konsentrasi air dalam larutan tersebut. Air akan berpindah dengan cara osmosis dari area yang
konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi
solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat
menembus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium merupakan solut yang
banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam
menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam cairan intrasel, ion
kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi
yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion
ini bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.
Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui:
a. Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas
yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh
secara keseluruhan di duktus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik
di tubulus proksimal ( 300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat
permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler
peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi
hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif
memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsorbsi garam tanpa
osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi
hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi
bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urin yang dibentuk di duktus
koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada
tidaknya vasopresin/ ADH.
b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang
osmoreseptor di hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron
hypothalamus yang menyintesis vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis
posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen.
Ikatan vasopressin dengan resptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin,
yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukan aquaporin ini
memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urin
yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga
cairan di dalam tubuh tetap dapat dipertahankan.
Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat peningkatan
osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypothalamus
sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali
normal.
B. Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan konsentrasi ion H
bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan darah vena
7,35. Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis.
Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan
kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:

1. pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan
bikarbonat
2. katabolisme zat organic
3. disosiasi asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolism
lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi
melepaskan ion H.
Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:
1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf
pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. mempengaruhi konsentrasi ion K
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti
nilai semula dengan cara:
1. mengaktifkan sistem dapar kimia
2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan
3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
Ada 4 sistem dapar kimia, yaitu:
1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama untuk
perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat.
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.
3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam
karbonat.
4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementera. Jika
dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH
akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespons secara cepat terhadap perubahan kadar ion H
dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernapasan, kemudian
mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal
mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan mensekresikan ion H dan
menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan ammonia
Dalam pembentukan urine, terdapat 3 proses dasar :

Gambar 3 menunjukan gambaran alur jalan aliran yang telah melewati proses filtrasi(warna
biru) dan yang kembali ke aliran darah seluruh tubuh(warna merah)
http://www.hcc.uce.ac.uk/physiology/glomerulus3.jpg
1. Filtrasi Glomerulus
Saat darah melewati glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus
kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Semua konstituen dalam darah kecuali sel

darah dan protein plasma, seperti H2O, nutrien, elektrolit, zat sisa mengalami filtrasi
Setiap hari terbentuk sekitar 180 liter (47,5 galon) sdengan perumpamanaan volume
plasma rata-rata pada orang dewasa sektar 2,75 liter hal ini menunjukkan bahwa protein
plasma mengalami 60 kali filtrasi perharinya.
Apabila semua yang di filtrasi dikeluarkan menjadi urin, volume plasma total akan
habis keluar dalam waktu setengah jam, tetapi hal tersebut tidak terjadi karena tubulustubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat dengan panjangnya, sehingga
dapat terjadi perpindahan bahan antara cairan di dalam tubulus dan darah dari dalam
perifer, darah dan protein tidak termasuk dalam filtrat, karena untuk suatu zat dapat
difiltrasi memerlukan 3 proses :
1 Harus melewati dinding kapiler glomerulus
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memililiki
lubang pori yang besar/fenestra yang, memebuatnya 100 kali lebih permeabek
terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler lain.
2 Membran basal
Terdiri dari glikoprotein (menghambat filtrasi protein kecil, albumin) dan
kolagen (untuk menghasilkan kekuatan). Sebenarnya pori pada membran basal
cukup untuk dilewati protein kecil, albumin, tetapi hal ini ditahan oleh glikoprotein
yang memiliki muatan negatif sehingga menolak albumin dan protein plasma lain,
kurang dari 1% milekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula
bownman. Hal ini menunjukkan pada orang dengan albuminuria, terdapat gangguan
muatan negatif dalam membran glomerulus yang menyebabkan membran lebih
permeabel terhadap albumin walaupun ukuran pori tidak berubah (gambar 4)
3 Celah filtrasi antara tonjolan podosit (gambar 4)
Podosit merupakan sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulur,
memiliki tonjolan dimana antara tonjolan tersebut terdapat celah kecil filtration slit
memebentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke
lumen kapsula bownman
oleh karena itu apabila terdapat darah (hematuria) atau protein plasma (proteinuria)
dalam urin, patut dicurigai adanya kelainan pada ginjal. (Sherwood, 2008).
Selain itu, untuk menginduksi filtrasi glomerulus, diperlukan tekanan. Terdapat 3
tekanan yang berperan dalam filtrasi glomerulus
a. Tekanan darah kapiler glomerulus (rata-rata 55mmHg)
Tekanan ini dipengaruhi oleh kontraksi jantung (energi untuk filtrasi glomerulus) dan
resistensi arteriol aferen dan eferen terhadap aliran darah, hal ini mengakibatkan
terjadi pembendungan tekanan di kapiler glomerulus, dan membantu zat-zat untuk
diflitrasi keluar dari kapiler glomerulus menuju lumen kapsula bownmen
b. Tekanan osmotik koloid plasma (rata-rata 30mmHg)
Tekanan ini untuk melawan filtrasi tujuannya agar tidak merusak pertahanan akibat
tekanan kapiler glomerulus yang cukup besar. Tekanan ini ditimbulkan oleh distribusi
protein plasma yang tidak seimbang antara kedua sisi membran glomerulus. Tekanan
ini bersifat melawan karena H2O yang konsentrasinya lebih besar di kapsula
bownman daripada di kapiler glomerulus oleh karena itu kecenderungan H2O untuk
berpindah ke arah kapiler glomerulus (sifat gradien konsentrasi dari daerah yang
tinggi ke rendah)
c. Tekanan hidrostatik kaplier bownman (rata-rata 15 mmHg)
Tekanan ini mendorong cairan keluar dari kapsula bownman, melawan filtrasi cairan
dari glomerulus ke dalam kapsula bownman

Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa netto dari tekanan filtrasi glomerulus yaitu:
tekanan yang mendorong filtrasi (tekanan darah kapiler glomerulus) tekanan yang melawan
filtrasi (tekanan osmotik koloid plasma + tekanan hidrostatik kapiler bownman) 55 mmHg
(30 mmHg + 15 mmHg) = 10 mmHg (Sherwood, 2008)
2. Reabsorpsi Tubulus
Saat setelah di filtrasi, hasil dari filtrasi mengalir melalui tubulus, zat-zat yang
bermanfaat akan dikembalikan ke plasma kapiler, hal ini disebut reabsorpsi tubulus. Zatzat yang direabsorpsi/ di serap kembali normalnya tidak keluar dari tubuh melalui urin,
tetapi diangkut oleh sistem kapiler peritubulus ke sistem vena kemudian ke jantung untuk
diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difilter setiap hari, sekitar 178,5 direabsorpsi
dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir ke pelvis ginjal untuk dikeluarkan menjadi urin.
Secara umum, semua produksi hasil filtrasi kecuali urea (fenol dan kreatinin) akan di
reabsorpsi. Urea berfungsi sebagai pemekat urin.

Tabel 1 Bahan-bahan yang difiltrasi oleh ginjal


B a h a n
Bahan

A i r
N a t
G l u
u r e
F e n

r i u m
k o s a
a
o l

R
a t a - r a t a
h
a s i l
Rata-rata
hasil
b
a h a n
y a n g
d i
bahan
yang
di
a b s o r p s i
9 rreabsorpsi
9e %
9
1
5
0

9
0
0

,
0
%

5 %
%
%

R
a t a - r a t a
h a s i l
Rata-rata
hasil
fi
l t r a s i y
a n g
filtrasi
yang
d
i e k s r e s i
dieksresi
1 %
0
0
5
1

, 5 %
%
0 %
0 0 %

( Sherwood, 2008)
Berdasarkan tabel di atas, jelas apabila dalam urine bahan-bahan di atas melebihi dari
batas di atas, terjadi kelainan pada ginjal, dan apabila pada urin terdapat bahan-bahan yang
tidak tertera pada di atas misalnya darah (hematuria), terjadi kelainan pula pada ginjal.
Untuk dapat direabsorpsi, suatu bahan harus melewati 5 sawar terpisah (gambar 5)
1 Bahan tersebut harus meninggalkan cairan tubulus dengan melintasi membran luminal
sel tubulus
2 Bahan tersebut harus berjalan melewati sitosol dari sati sisi sel tubulus ke sisi lainnya
3 Bahan tersebut harus menyebrangi membran basolatel sel tubulus untuk masuk ke
cairan interstisium
4 Bahan tersebut haeus berdifusi melintasi caitan interstisium
5 Bahan tersebit harus menembus dinding kapiler untuk masuk ke plasma darah
3. Sekresi Tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen
tubulus, merupakan rute kedua bagi zat dari darah untuk masuk. Rute pertamanya yaitu
melalui filtrasi glomerulus, sekitar 20% dari plasma yang mengalir melalui glomerulus,
disaring ke dalam kapsula bownman, dan sisanya 80% sisanya terus mengalir arteriol eferen
ke dalam kapiler peritubulus
Bahan terpenting yang disekresikan oleh tubulus adalah:
Ion hidrogen
Sekresi H+ ginjal sangatlah penting dalam pengaturan keseimbangan asam basa tubuh,
tingkat sekresi H tergantung pada keasaman carian tubuh
Ion kalium
Zat ini secara aktif direabsorpsi di tubulus proksimal dan secara aktif disekresi di tubulus
distal dan pengumpul. Reabsorpsi kalium di awal bersifat konstan dan tidak diatur

sedangkan sekresi di akhir tubulus bervariasi dan dibawah kontrol. Dalam keadaan
normal, jumlah K+ yang dieksresikan dalam urin adalah 10% - 15% namun hampir
seluruh K+ yang difiltrasi akan direabsorpsi. Ion kalium ini direabsorpsi dalam jumlah
banyak dengan sedikit atau bahkan tidak ada yang disekresi apabila tubuh kekurangan K+
begitupun sebaliknya.
Terdapat 2 hal yang dapat mengubah kecepatan sekresi K+ yaitu:
Hormon aldosteron peningkatan konsentrasi K+ merangsang korteks adrenal
sekresi aldosteron K+ berlebihan itu akan di eksresi. Begitupun sebaliknya
Status asam basa tubuh dalam keadaan normal, ginjal akan mensekresikan K+ tetapi
dalam keadaan status cairan tubuh terlalu asam, tubuh akan mensekresi H + sebagai
kompensasi sehingga menyebabkan sekresi K+ akan berkurang, begitupun sebaliknya
Setelah melalui ketiga proses diatas, selanjutnya merupakan proses eksresi urin sebelum
urin dikeluarkan melalui proses berkemih / mikturisi terlebih dulu urin disimpan sementara
dalam kandung kemih. Kontraksi pada otot polos dalam dinding uretra mendorong urin
bergerak dari ginjal menuju kandung kemih. Dinding kandung kemih berlipat-lipat menjadi
rata ketika kandung kemih terisi untuk meningkatkan kapasitas tampungan kandung kemih,
karena urin secara terus menerus dibentuk oleh ginjal, sehingga urin tidak perlu dikeluarkan
setiap saat.
Otot polos kandung kemih mendapat banyak persarafan parasimpatis yang apabila
dirangsang akan menyebabkan jontraksi kandung kemih. Apabila saluran keluar melalui
uretra terbuka, kontraksi kandung kemih menyebabkan pengosongan urin dari kantung
kemih.
Walaupun demikian, pintu keluar kandung kemih dijaga oleh dua sfingter yang
merupakan suatu cincin otot bila kontraksi akan menutup aliran yang melewati lubang
bersangkutan (karena sfingter ini tidak hanya terdapat di saluran kemih), sfingter uretra
interna terdiri dari otot polos, besifat involunter. Sementara sfingter uretra eksterna dikelilingi
oleh otot rangka, volunter, diperkuat oleh diafragma pelvis (berupa lembaran otot rangka
pembentuk panggul, dan memebantu menunjang organ-organ panggul), dipersarafi oleh
neuron motorik yang secara terus-menerus melepaskan potensial aksi dengan kecepatan
sedang kecuali bila di inhibis, sehingga otot-otot kontraksi untuk mencegah keluarnya urin.
Dalam keadaan normal, sewaktu kandung kemih melemas dan terisi, kedua sfingter
menutup untuk mencegah tampungan urin keluar. Karena otot sfinter uretra eksternum
merupakan otot volunter, jadi bisa kita kendalikan untuk mencegah pengeluaran urinsewaktu
sfingter uretra internum terbuka (Sherwood, 2008)

Kontrol refleks

Kontrol volunter

Kandung kemih terisi

korteks serebrum

Reseptor regang

Saraf parasimpatis

Kandung kemih

neuron motorik
Sfingter uretra
eksterna membuka
saat neuron motorik
inhibisi

kandung kemih kontrasi

sfingter uretra interna


terbuka secara mekanis
sewaktu kandung kemih
kontraksi

sfingter uretra eksterna


tetap tertutup sewaktu
neuron motorik terangsang

skema 1 menunjukan kontrol refleks dan volunter atas berkemih (Sherwood, 2008)

gambar 7 menunjukan komposisi urin


GFR (Glomerular Filtrastion Rate)
GFR (Glomerular Filtration Rate) merupakan tes yang digunakan untuk memeriksa
kondisi dari kerja ginjal. GFR ini dipengaruhi oleh:
- Tekanan filtrasi netto tekanan darah kapiler glomerulus (tekanan osmotik koloid
plasma + tekanan hidrostatik kapsula bownman) = 50 (30 + 15) = 10 mmHg
- Luas permukaan glomerulus
- Dan besarnya permeabel dari membran glomerulus tersebut (tingkat kebocoran)
Tekanan osmotik plasma dan tekanan hidrostatik kapsular bownman bekerja dibawah kontrol.
Tekanan osmotik plasma memiliki efek berlawanan dengan GRF, karena tekanan osmotik
koloid plasma melawan filtrasi.
Konsentrasi protein plasma tekanan koloid plasma

GFR

Kondisi di atas dapat diperlihatkan pada seseorang dengan luka bakar, karena pada
orang dengan luka bakarcairan protein plasma yang berasal dari kulit hilang, keadaan
sebaliknya terjadi pada orang diare maupun dehidrasi, dimana pada saat situasi tersebut
tekanan osmotik koloid plasma meningkat. Tekanan hidrostatik kapiler meningkat pada
keadaan obstruksi saluran kemih misalnya akibat batu ginjal atau hiperplasia prostat.
Sementara pada tekanan kapiler glomerulus dapat dikontrol menyesuaikan GFR untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Jika semua faktor konstan, besar tekanan darah kapiler
glomerulus bergantuk pada aliran darah di setiap glomerulus.
GFR diatur oleh 2 mekanisme:
o Otoregulasi untuk mencegah perubahan spontan GFR
o Kontrol simpatis ekstrinsik pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri
Otoregulasi GFR
Otoregulasi GFR merupakan suatu pengaturan intrinsik dari ginjal sendiri yang
diakibatkan karena perubahan GFR. GFR akan meningkat setara dengan peningkatan tekanan
arteri jika hal yang lain konstan. Penurunan tekanan darah arteri akan disertai penurunan GFR
Dalam batas tertentu, ginjal dapat mempertahankan aliran darah kapiler glomerullus
yang konstan (sehingga tekanan darah kapiler glomerulus kosntan dan GFR stabil). Ginjal
melakukannya dengan mengubah kaliber arteriol aferen, sehingga resisten terhadap aliran
darah dapat disesuaikan.

Jika GFR meningkat akibat penurunan tekanan


arteri, tekanan filtrasi netto dan GFR dapat dikurangi
menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen, begitupun
sebaliknya. Peranan otoregulasi penting karena pergeseran
GFR
dapat
menyebabkan
ketidakseimbangan
cairan,elektrolit, dan zat-zat sisa yang membahayakan
tubuh. Cairan yang difiltrasi sebagian ada yang pasti
dieksresikan, jumlah cairan yang dieksresikan, jumlah
cairan yang dieksresikan dalam urin meningkat apabila
GFR meningkat. Apabila tidak terdapat otoregulasi, GFR
akan meningkat, H2O dan zat-zat terlarut akan terbuang
sia-sia akibat peningkatan tekanan darah pada saat kita
berolahraga.
Jika GFR terlalu rendah, ginjal tidak akan mampu
secara adekuat mengeliminasi zat-zat sisa, kelebihan elektrolit dan bahan lainnya yang
harusnya dieksresikan.
Sherwood, 2008
Pada otoregulasi inipun diatur oleh mekanisme intrarenal :
Mekanisme miogenik
Merupakan mekanisme yang berespon terhadap perubahan tekanan di dalam komponen
vaskuler neuron. Yang berperan adalah otot polos vaskuler arteriol.
Otot polos arteriol berkontriksi arteriol aferen konstriksi aliran darah ke glomerulus
kembali ke tingkat normal. Begitupun sebaliknya,
Mekanisme umpan balik tubulo glomerulus: melibatkan aparatus justaglomerulus

Tekanan arteri meningkat

Tekanan yg mendoroang ke glomerulus


meningkat
Tekanan kapiler gloerulus meningkat

GFR meningkat
meningkat
GFR

laju aliran cairan tubulus meningkat

Sel
densa mengeluarkan
Sel makula
makula densa
mengeluarkan zat
zat
vasoaktif
vasoaktif

Vasokontriksi atreiol
atreiol aferen
Vasokontriksi
aferen

Aliran
darah ke
glomerulus menurun
Aliran darah
ke glomerulus
menurun
T
kapiler glomerulus
Tekanan
ekanan kapiler
glomerulus normal
normal
menurun
GFR ke
ke normal
normal menurun
menurun
GFR

Mekanisme otoregulasi umpan balik tubulo-glomerulus (Sherwood, 2008)


Mekanisme umpan balik tubulo glomerulus dan miogenik bekerja sama unutk
melakukan otoregulasi atas GFR di dalam rentang tekanan arteri yang berkisar anteara 80180 mmHg.
Kontrol Simpatis Ekstrinsik GFR
Kontrol ekstrinsik atas GFR diperantai oleh masukan sistem saraf simpatis ke arteriol
aferen ditujukan untuk mengatur tekanan darah arteri. Sistem parasimpatis tidak
menimbulkan pengaruh apapun pada ginjal(Sherwood, 2008)
Jika volume plasma turun (akibat pendarahan) tekanan darah arteri menurun
terdeteksi oleh baroresptor arkus aorta dan sinus karotikus saraf simpatis meningkatkan
tekanan darah . Respon tersebut diperankan oleh peranan kardiovaskular
Kompensasi dari hal diatas adalah reduksi pengeluaran urin, sehingga banyak cairan yang
tertahan di dalam tubuh, penurunan ini diperantai oleh GFR, jika cairan yang difiltrasi lebih
sedikit, cairan yang untuk eksresi juga sedikit.
Peranan Sistem Renin Angiotensinogen Aldosteron
Di tubulus proksimal dan lengkung henle, persentasereabsorpsi NA+ yang difiltrasi
bersifat konstan, sebesar apapun kadar Na+. Reabsorpsi Na+ di distal tubulus berada di bawah
kontrol hormon.
Apabila terlalu banyak Na+, hanya sedikit dari Na+ yang terkontrol ini direabsorpsi
bahakan Na+ dikeluarkan bersama urin.

Apabila terlalu kekurangan Na+, sebagian besar dari Na+ dikontrol untuk direabsorpsikan
sehingga Na+ yang seharusnya dikeluarkan melalui urin, dapat dihemat ole tubuh.

KARAKTERISTIK URIN
a. Komposisi. Urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut sebagai berikut:
1. Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari katabolisme
asam nukleat, dan kreatinin dari proses penguraian kreatin fosfat dalam jaringan otot.
2. Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
3. Badan keton yang dihasilkan dalam metabolisme lemak adalah konstituen normal
dalam jumlah kecil.
4. Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium, dan
magnesium.
5. Hormon atau metabolit hormon ada secara normal dalam urin.
6. Berbagai jenis toksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secara normal
ditemukan dalam jumlah yang kecil.
7. Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah besar
badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam tubulus dan dikeluarkan),
dan batu ginjal atau kalkuli.
b. Sifat fisik
1. Warna. Urin encer biasanya kuning pucat dan kuning pekat jika kental. Urine segar
biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan.
2. Bau. Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika didiamkan. Bau
ini dapat bervariasi sesuai dengan diet; misalnya, setelah makan asparagus. Pada
diabetes yang tidak terkontrol, aseton menghasilkan bau manis pada urin.
3. Asiditas atau alkalinitas. pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 7,5 dan biasanya sekitar
6,0; tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti makanan yang berprotein tinggi akan
meningkatkan asiditas, sementara diet sayuran akan meningkatkan alkalinitas.
4. Berat jenis urin berkisar antar 1,001 sampai 1,035; bergantung pada konsentrasi urin.

BIOKIMIA GINJAL

Faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan urin,yaitu :


1. Vasopresin (ADH)
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat
mengendalikankeseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh hipotalamus yang
ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan meningkatkan osmolaritas dan
menurunkan cairanekstrasel.
2. Aldosteron
Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di tubulus
ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan konsentrasi
kalium,natrium, dan sistem angiotensin renin.
3. Prostaglandin
Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berfungsi merespons
radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan pergerakan
gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur sirkulasi ginjal
gukokortikoi. Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air yang
menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium.
4. Renin
Selain itu ginjal menghasilkan Renin, yang dihasilkan
jukstaglomerularis pada:
a. Konstriksi arteria renalis (iskhemia ginjal)
b. Terdapat perdarahan (iskhemia ginjal)
c. Uncapsulated ren (ginjal dibungkus dengan karet atau sutra)
d. Innervasi ginjal dihilangkan
e. Transplantasi ginjal (iskhemia ginjal)

oleh

sel-sel

apparatus

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Nefrotik


3.1 Definisi
sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala
klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang
azotemia.
Syndroma nefrotik merupakan keadaan klinik di mana terjadi sindroma nefrotik. Syndroma
nefrotik merupakan keadaan klinik dimana terjadi proteinuria massif ( > 3,5 g/hari,
hipoalbuminemia, udema dan hiperlipidemia, biasanya kadar BUN normal.
3.2 Etiologi
Sindrom nefrotik merupakan diagnosis klinis yang memiliki etiologi primer (dari ginjal)
maupun sekunder (diluar gingal biasanya sistemik). Lebih dari 50% SN dewasa disebabkan
karena penyebab sekunder.
PRIMER
Glomerulosklerosis fokal segmental
Glomerulonephritis membranosa
Glomerulonephritis lesi minimal
Glomerulonephritis membranoploriferatif
Glomerulonephritisproliferative
mesangial

SEKUNDER
Nefropati
diabetic
(diabetes
mellitus),amioloidosis
Lupus
eritromatosius
sistemik,
rheumatoid arthritis
Infeksi (HIV, hepatitis b &c, malaria)
Obat-obatan (obant anti inflamasi non
steroid)
keganasan

3.3 Klasifikasi
Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN adalah:

Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturutturut dalam 1 minggu
Relaps : proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam
1 minggu
Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan
Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau 4 kali dalam periode 1 tahun
Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit, tetapi manifestasi penyakit yang menyerang
glomerular. Banyak terjadi pada anak-anak. Sindroma nefrotik dibagi menjadi sindroma
nefrotik primer dan sekunder.
a. Sindroma nefrotik primer/ idiopatik:
Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Penyebab sindrom ini tetap
belum diketahui oleh sebab itu dikatakan Sindrom Nefropatik Idiopatik (SNI) .
Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat
sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic
Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Sindrom nefrotik
primer/idiopatik terbagi menjadi 5 bentuk:
1) Sindroma nefrotik lesi minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome)
Kondisi ini bertanggung jawab pada 85% kasus sindroma nefrotik pada masa
kanak-kanak. Dicirikan dengan kepekaan terhadap terapi kortikosteroid; tidak
ditemukannya lesi glomerulus yang bermakna pada pemeriksaan mikroskop
cahaya; tidak adanya timbunan globulin imun glomerulus atau komplemen; dan
dengan proteinuria yang sangat selektif.
Etiologi. Tidak diketahui. Pada minoritas kasus ditemukan faktor genetik dan
familial.Dibandingkan dengan populasi umum, antigen HLA B12 lebih sering
ditemukan.
Manifestasi klinis. Sama seperti gejala pada sindroma nefrotik umunya yakni
edem,proteinuria, pasien biasanya tidak tampak sakit berat, seringkali dengan
asites dan efusi pleura. Cairan edema berkumpul pada tempat-tempat dependen;
setelah tidur malam wajah dan kelopak mata atau daerah sakrum dapat mengalami
edema, sementara pada siang hari pembengkakan kaki dan abdomen lebih nyata.
Kehilangan proaktivator C3.
Diagnosis laboratorium. Sama seperti SN. Hematuria ditemukan pada kurang dari
10% kasus dan umumnya mikroskopis dan bersifat sementara. Terlihat adanya
lemak lonjong (oval fat bodies=silinder tubular yang mengandung lemak) dan
silinder hialin dalam sedimen.
2) Sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus
Pada gambaran patolgi kelompok proliferatif mesangium (5%) ditandai dengan
peningkatan difus sel mesangium dan matriks. Dengan imunofluoresensi,frekuensi
endapan mesangium yang mengandung IgM dan depresi C3 dalam serum tidak
berbeda pada lesi minimal.
3) Sindroma nefrotik glomerulosklerosis fokal
Pada biopsi penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian
besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang
lain, terutama glomerulus yang dekat dengan medula (jukstamedulare),
menunjukkan jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobus. Penyakitnya
seringkali progresif, akhirnya melibatkan semua glomerulus dan menyebabkan
gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita
demikian berespons terhadap prednison atau terapi sitotoksik atau keduanya.
4) Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) tipe I dan II
Glomerulonefritis membranoproliferatif adalah penyebab tersering
glomerulonefritis kronis pada anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Patologi dan Patogenesis.

Pada awalnya glomerulonefritis membranoproliferatif dibedakan dari bentuk


glomerulonefritis kronis lainnya dengan ditemukannya hipokomplementemia,
pada beberapa penderita akibat adanya antibodi (disebut faktor nefritis C3) yang
mengaktifkan jalur komplemen alternatif. MPGN tipe I adalah bentuk yang paling
lazim; glomerulus menampakkan pola lobuler yang menonjol, karena adanya
pertambahan yang menyeluruh pada sel dan matriks mesangium. Dinding kapiler
glomerulus tampak menebal, dan pada beberapa daerah berduplikasi atau
membelah karena adanya interposisi sitoplasma dan matriks mesangium di antara
sel endotel dan GBM. Bulan sabit mungkin ada; bila terdeteksi pada sebagian
besar glomerulus, penyakit ini menunjukkan prognosis jelek. Pada MPGN yang
tipe II, perubahan mesangium kurang menonjol daripada tipe I. Dinding kapiler
memperlihatkan penebalan seperti pita tidak teratur, karena padatnya endapan.
Jarang adanya pembelahan membran, tetapi sering adanya bulan sabit.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi ginjal. Indikasi biopsi meliputi
terjadinya sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau hematuria
mikroskopis dan proteinuria menetap.
5) Glomerulopati membranosa
Glomerulopati membranosa adalah penyebab sindrom nefrotik tersering pada
orang dewasa, tetapi jarang pada anak-anak dan jarang menyebabkan hematuria.
Manifestasi klinis. Pada anak, glomerulopati membranosa paling lazim dijumpai
pada umur dekade kedua. Penyakitnya muncul seperti sindrom nefrotik. Namun,
hampir semua penderita menderita hematuria mikroskopis dan kadang-kadang
penderita menderita hematuria makroskopis. Tekanan darah dan kadar C3 normal.
Diagnosis. Diagnosisnya dikonfirmasikan dengan biopsi ginjal. Indikasi umum
untuk biopsi meliputi adanya sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8
tahun atau, atau adanya hematuria atau proteinuria yang tidak terjelaskan.
Glomerulopati membranosa kadang-kadang dapat ditemukan bersama dengan
SLE, kanker, terapi emas atau penisilamin, dan sifilis serta infeksi virus hepatitis
B. Penderita glomerulopati membranosa menambah resiko trombosis vena renalis.

b. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah
a.
b.
c.
d.
e.

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom


Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

3.4 Faktor resiko

Medical conditions that can damage your kidneys. Certain diseases and
conditions increase your risk of developing nephrotic syndrome, such as
diabetes, lupus, amyloidosis, minimal change disease and other kidney diseases.
Certain medications. Examples of medications that can cause nephrotic
syndrome include nonsteroidal anti-inflammatory drugs and drugs used to fight
infections.
Certain infections. Examples of infections that increase the risk of nephrotic
syndrome include HIV, hepatitis B, hepatitis C and malaria.

They are classified as primary (causes that primarily affect the glomerulus of the kidney) and
secondary (known conditions whose affect on the kidney is part of their spectrum of disease.
The primary causes are designated according to their microscopic appearance, for little is
known about their specific origin. The secondary causes are designated by disease name, for
the nephrotic syndrome occurs with the existence of that disease.

The primary diseases include minimal change disease, focal segmental


glomerulosclerosis,
membranous
glomerulopathy,
proliferative
glomerulonephritis and membranoproliferative glomerulonephritis.
The secondary diseases include various infections, drugs/toxins (non-steroidal
anti-inflammatories, gold salts, heroin, heavy metals, bee stings, pollens, tumour
associated antigens), collagen-vascular diseases, diabetes mellitus, amyloidosis,
light chain nephropathy, chronic vesicoureteric reflux, pregnancy, and obesity.

3.5 Patofisiologi
Reaksi antigen antibody menyebabkan permeabilitas membrane basalis glomerulus
meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan
albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran
klinis sindrom nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia dan lipiduria.

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :


1. Proteinuria (albuminuria)
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah
satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai
peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi
proteinuria(albuminuria). Beberapa faktor yang turut menentukan derajat
proteinuria(albuminuria) sangat komplek

Konsentrasi plasma protein

Berat molekul protein

Electrical charge protein

Integritas barier membrane basalis

Electrical charge pada filtrasi barrier

Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus

Degradasi intratubular dan urin

2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan
ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul
69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari
hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan
komposisi protein dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat


hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa factor :
Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy)
Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan
menurun dan mual-mual
Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin
menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh
hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi
keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium
Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif
sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai
akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang
berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi
bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme
sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat
dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretic yang
mengandung antagonis aldosteron.

3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler
glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium
dan air. (lihat skema)
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan
onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan
sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:

Aktivasi system rennin angiotensin aldosterone: menyebabkan


rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan
konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus
ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
menurun.

Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines:


menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat.
Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan
plasma rennin dan angiotensin.

3.6 Manifestasi Klinis

Sembab. Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira
sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya
awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal,
daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka). Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah
pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema).
Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.
Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS
atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat
pada pasien SNKM.
Gangguan gastrointestinal Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan
penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadangkadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab
dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan

terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik
resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Oleh
karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering
terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian infus albumin dan diuretik.
Gangguan psikososial Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada
penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons
emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9 Manifestasi klinik yang paling sering
dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya
dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab
biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah
periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum
dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi
pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih
pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of
Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan
sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
Proteinuria Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien
SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang
lain.
Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <
2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3
bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan
fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom
nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar
albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas
yang normal.
w
3.7 Penegakan Diagnosis & Diagnosis Banding
Penegakan Diagnosis
Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadangkadang ditemukan hipertensi
Pemeriksaan Penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali
ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus
fokal).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah: darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung
jenis, trombosit, hematokrit, LED), kadar albumin dan kolesterol plasma,
kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwarzt, kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus
eritematosus sistemik
4. Pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA
Lab:

Produksi urin berkurang, berat jenis urine meninggi, adanya proteinuria


terutama albumin, diperkirakan sekitar > 50 mg/kg/hari.
Hematuria yg dpt timbul intermiten. Urin mengandung torak hialin, epitel
sel tubulus, torak granuler dan titik-titik lemak.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia.
Kadar globulin normal/ meninggi.
Hiperkolestrolemia & kadar fibrinogen meninggi.
Pada pemeriksaan darah rutin kadang dijumpai anemia normositik
normokromik tetapi jumlah sel darah merah umumnya normal
Kadar protein total menurun dibawah normal (<7 g/dl), terutama albumin
akan menurun < 3 mg/dl. Konsentrasi kolesterol plasma total, LDL dan
VLDL akan meningkat dengan HDL normal.
Konsentrasi ureum & kreatinin plasma biasanya normal tetapi dpt
mengalami sedikit peningkatan krn adanya hipovolemia.
Kadar elektrolit plasma dpt normal meski kadang dijumpai hiponatremia.
Pada 10% kasus terdapat defisiensi factor IX.

Laju endap darah meninggi. Kadar kalsium darah sering rendah pada
keadaan lanjut, g terdapat glukosuria tanpa hiperglikemia

Diagnosis Banding

1. Sindrom Nefrotik Sekunder


SN sekunder adalah SN berhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, atau disebabkan
oleh obat, alergen, maupun toksin. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis
mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura HenochSchonlein, sarkoidosis.Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, leukemia, tumor
gastrointestinal.
2.Sindrom Nefrotik kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan ini
diturunkan melalui gen resesif autosomal. Biasanya anak lahir premature (90%), plasenta
besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Lesi patognomonik adalah dilatasi kistik
pada tubulus proksimal ginjal. Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama
berupa edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria masif dan
hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan congenital pada muka seperti
hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis
jelek dan meninggal Karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk
menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein
cairan amnion yang biasanya meninggi.
3.Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus
(GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomerulus, sebagai
akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi
imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis merupakan
suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami
proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut pasca streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus
grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedangkan tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan
infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis

3.8
Tatalaksana

Pengobatan spesifik
Pengobatan spesifik dari sindrom nefrotik tergantung pada penyebab penyakit itu. Pada minimalperubahan nefropati, glukokortikosteroid, seperti prednison, digunakan. Anak-anak yang kambuh
setelah keberhasilan penggunaan prednison atau yang tidak menanggapi prednison (yaitu, mereka
dengan steroid-tahan penyakit) dapat diobati dengan rituximab, antibodi terhadap sel-B. Rituximab
juga telah digunakan di membranous nephropathy pada orang dewasa.
Dalam beberapa bentuk nefritis lupus, prednison dan siklofosfamid berguna.
Amiloidosis sekunder dengan sindrom nefrotik dapat menanggapi pengobatan anti-inflamasi dari
penyakit primer.
Dalam membranous nephropathy, manajemen hamil tanpa imunosupresi dapat digunakan untuk 6
bulan pertama, pada pasien dengan risiko rendah untuk kemajuan (yaitu, mereka yang memiliki
tingkat kreatinin serum <1,5 mg / dL). Pasien dengan insufisiensi ginjal (kreatinin serum tingkat> 1,5
mg / dL) mempunyai risiko lebih besar untuk pengembangan stadium akhir penyakit ginjal dan harus
menerima terapi imunosupresif.
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi
kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala
menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan
istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :

Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik

RemisiKambuh
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat

Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut.Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali
kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau
dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari
selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan
terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan
pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama
4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
Sindrom nefrotik serangan pertama
Perbaiki keadaan umum penderita :
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan
untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.
Berantas infeksi.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila
ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom
nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila
dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu
14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu
14 hari.

Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
Perbaiki keadaan umum penderita.
Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh 4 kali dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3
dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian
20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian
prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap
pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke
dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse
frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.
Farmakoterapi
Kortikosteroid Kortikosteroid (prednison), cyclophosphamide, dan siklosporin digunakan untuk
menginduksi remisi pada sindrom nefrotik. Diuretik digunakan untuk mengurangi edema.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II reseptor blocker diberikan untuk
mengurangi proteinuria.
Pengobatan harus ditentukan oleh jenis patologi ginjal menyebabkan sindrom nefrotik.
Minimal-perubahan penyakit memiliki respon yang sangat baik terhadap kortikosteroid, sedangkan di
glomerulosklerosis fokal, hanya 20% pasien merespon baik terhadap kortikosteroid. Biopsi ginjal
sangat membantu untuk membedakan minimal-perubahan penyakit dan variannya seperti nefropati
IgM dan nefropati C1q. Percobaan acak Sangat sedikit yang tersedia untuk memandu pengobatan
untuk minimal-perubahan penyakit pada orang dewasa. Prednisone dalam kursus singkat dari durasi
12-20 minggu tetap menjadi andalan pengobatan untuk pasien dengan minimal-perubahan penyakit.
Obat imunosupresif selain steroid biasanya disediakan untuk pasien resisten steroid dengan edema
persisten, atau untuk steroid tergantung pasien dengan steroid yang signifikan terkait efek samping.
Cyclophosphamide Cyclophosphamide dapat bermanfaat bagi pasien yang sering kambuh steroid
sensitif sindrom nefrotik. Komplikasi yang terkait termasuk penekanan sumsum tulang, rambut
rontok, azoospermia, sistitis hemoragik, keganasan, mutasi, dan infertilitas.
Siklosporin Siklosporin diindikasikan bila kambuh terjadi setelah pengobatan siklofosfamid.
Siklosporin mungkin lebih baik dalam laki-laki pubertas yang berisiko terkena siklofosfamid akibat
azoospermia. Siklosporin adalah terapi perawatan yang sangat efektif untuk pasien dengan steroidsensitif sindrom nefrotik yang mampu menghentikan steroid atau mengambil dosis yang lebih rendah,
namun, beberapa bukti menunjukkan bahwa meskipun remisi dipertahankan selama siklosporin
diberikan, kambuh sering terjadi ketika pengobatan dihentikan .
Siklosporin dapat nefrotoksik dan dapat menyebabkan hirsutisme, hipertensi, dan hipertrofi gingiva.
Untuk glomerulosklerosis fokal, predisone, siklosporin, dan siklofosfamid semuanya telah digunakan
dalam pengobatan. Kortikosteroid harus menjadi agen lini pertama, dengan siklofosfamid atau
siklosporin sebagai cadangan untuk steroid resisten kasus. Mofetil dan rituximab juga telah
digunakan dalam mengobati glomerulosklerosis fokal. Namun, data tentang penggunaan 2 agen yang
terakhir tidak meyakinkan.
Untuk nefropati membranosa idiopatik, prednison bersama dengan klorambusil atau siklofosfamid

tetap penting untuk pengobatan. Obat lain yang telah digunakan untuk pengobatan adalah siklosporin,
kortikotropin sintetis, dan rituximab.
Rituximab Rituximab telah efektif pada beberapa kasus sindrom nefrotik yang kambuh setelah
pengobatan prednison atau dalam kasus yang resisten terhadap pengobatan prednison. Obat ini adalah
antibodi murine atau melawan antigen CD20 sel B. Ini mungkin diberikannya manfaatnya oleh
produksi antibodi menekan. Efek negatifnya menyebabkan imunosupresi tidak dapat diabaikan.
Intervensi Diet
Tujuan diet pada penderita sindrom Nefrotik adalah untuk mengganti kehilangan protein terutama
albumin atau mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan tubuh
Selain itu juga bertujuan memonitor hiperkolesterolimia dan penumpukan trigliserida serta
mengontrol hipertensi dan engatasi anoreksia
Diet pada pasien dengan sindrom nefrotik harus menyediakan energi yang cukup (kalori) dan asupan
protein yang cukup (1-2 g / kg / hari).
Tambahan protein diet adalah tidak ada nilai terbukti. Diet tanpa garam ditambahkan akan membantu
untuk membatasi kelebihan cairan.
Pengelolaan hiperlipidemia bisa penting beberapa jika negara nefrotik terjadi berkepanjangan.
Restriksi cairan per se tidak diperlukan.
Ada pembatasan aktivitas tidak untuk pasien dengan sindrom nefrotik. Kegiatan yang sedang
berlangsung, daripada bedrest, akan mengurangi risiko pembekuan darah.
Syarat Diet
Energi cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif, yaitu 35 kkal/kg BBI/hari
Protein sedang, yaitu 1,0 g/kg BBA, atau 0,8 g/kg BBA ditambah dengan jumlah protein yang
dikeluarkan melalui urine. Utamakan penggunaan protein yang bernilai biologi tinggi
Lemak sedang, yaitu 15 29 % dari kebutuhan energy total. Perbandingan lemak jenuh, lemak jenuh
tunggal dan lemak jenuh ganda adalah : 1: 1:1.
Karbohidrat sebagai sisa kebutuhan energy. Utamakan penggunaan karbohidrat kompleks
Natrium dibatasi, yaitu 1- 4 g sehari, tergantung berat ringannya edema.
Kolesterol dibatasi < 300mg, begitu pula gula murni, bila ada peningkatan trigliserida darah.
Cairan disesuaikan dengan banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui urine ditambah 500 ml
pengganti cairan yang dikeluarkan melalui kulit dan pernafasan.
Jenis dan Indikasi Pemberian;
Karena gejala penyakit bersifat sangat individual, diet disusun secara individual, dengan menyatakan
banyak protein dan natrium yang dibutuhkan didalam diet. Misalnya: Diet Sindroma Nefrotik, Energi:
1750 kkal, Protein: 50 g, Na: 2 g.
Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan atau
imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi
spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau
menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit.
Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon
terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan
inisial dan pengobatan relaps.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa
adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 8minggu diikuti 1 mg/kg berat
badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan

remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan
setelah kortikosteroid dihentikan.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan
resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3
g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika
proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar
dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.5
Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN non-relaps
(30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps setelah mengalami
episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami relaps
kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam periode 12 bulan setelah
pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali
dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom
nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam waktu 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid jangka panjang,
yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating dengan
dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,10,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6
bulan, kemudian dicoba untuk dihentikan.
Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid yaitu:Siklofosfamid, Klorambusil,
Siklosporin A, Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya
digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.
Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan glomerular serta
proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat
sampai berat.Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang
baik.
Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang disertai dengan
diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk gejala tersebut.Pada
edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per
hari.Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu
lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari.Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat
diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.Pemberian infus albumin diikuti dengan
pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena.Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin
pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload).Penderita yang
mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.
Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori yang adekuat.
Kebutuhan protein anak ialah 1,5 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang
seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 2,25 g/kg per hari. Maksimum 30%
kalori berasal dari lemak.Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan
maltodekstrin.Restriksi garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada SN

dengan edema yang nyata.


Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis.Hal ini
disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, dan
kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya
infeksi.Pemeriksaan fisis untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya
disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh kuman Gram
negatif.Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus
pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin
generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN
dengan edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa penisilin oral 125 mg
atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.
Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek
samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim angiotensin
konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers.
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol,
terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia
ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat
dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan
pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg
berat badan.
Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas. Selain
disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga
oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya
tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau
kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli
dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan
bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg
tiap 4 jam secara intravena.
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak.
Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu
meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat
proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma
sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di
samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat
sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan
kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid
seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih
diperdebatkan.

3.9 Komplikasi
a.
Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada sindrom nefrotik akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negative.
Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru
tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10 20% dari massa tubuh tidak
jarang dijumpai pada sindrom nefrotik.
b. Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai sindrom nefrotik. Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL. Tingginya kadar LDL pada sindrom
nefrotik disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis
lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.
c.
Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada sindrom nefrotik akibat peningkatan koagulasi
intravaskular. Mekanisme hiperkoagulasi pada sindrom nefrotik cukup komplek meliputi peningkatan
fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi
disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
d. Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolism kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin
D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar
plasma.
e.
Infeksi
Infeksi pada sindrom nefrotik terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien sindrom
nefrotik oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah
banyaknya yang terbuang melalui urin.
f.
Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien sindrom nefrotik mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis
tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya
edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif
dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
(Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 2006; 548)
3.10 Pencegahan

Changes to your diet may help you cope with nephrotic syndrome. Your doctor may refer you to a
dietitian to discuss how what you eat can help you cope with the complications of nephrotic
syndrome. A dietitian may recommend that you:
Choose lean sources of protein
Reduce the amount of fat and cholesterol in your diet to help control your blood cholesterol levels
Eat a low-salt diet to help control the swelling (edema) you experience
3.11 Prognosis

Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan jenis kerusakan ginjal yang
bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada biopsi.
Gejalanya akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya
infeksi atau kanker) atau obat-obatan.
Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid.
Anak-anak yang lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun, beberapa
diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal.
Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis yang ringan;
90% penderita anak-anak dan dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan.
Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat kambuhan. Tetapi setelah
1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.

LI.4. Memahami dan Menjelaskan urin dalam Islam


Najis
(Najasah) menurut bahasa artinya adalah kotoran. Dan menurut Syara' artinya adalah sesuatu yang
bisa mempengaruhi Sahnya Sholat. Seperti air kencing dan najis-najis lain sebagainya.
Najis itu dapat dibagi menjadi Tiga Bagian :
1. Najis Mughollazoh. ( )
Yaitu Najis yang berat. Yakni Najis yang timbul dari Najis Anjing dan Babi.
2. Najis Mukhofafah
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing Anak Laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan
belum makan apa-apa, selain air Susu Ibunya.
Cara membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena Najis
tersebut sampai bersih betul. Kita perhatikan Hadits dibawah ini :
"Barangsiapa yang terkena Air kencing Anak Wanita, harus dicuci. Dan jika terkena Air kencing
Anak Laki-laki. Cukuplah dengan memercikkan Air pada nya". (H.R. Abu Daud dan An-Nasa'iy)
Tapi tidak untuk kencing anak perempuan, karena status kenajisannya sama dengan Najis
Mutawassithah ( )
3. Najis Mutawassithah ( )
Ialah Najis yang sedang, yaitu kotoran Manusia atau Hewan, seperti Air kencing, Nanah, Darah,

Bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan sebagainya (selain dari bangkai Ikan, Belalang,
dan Mayat Manusia). Dan selain dari Najis yang lain selain yang tersebut dalam Najis ringan dan
berat.
Hadist yang menerangkan tentang najisnya air kencing dan cara mensucikananya:
Dari Anas bin Malik radiyallahu anhu-, dia berkata, Pernah datang seorang arab Badui, lalu dia
kencing di pojok masjid, kemudian orang-orang menghardiknya, dan Rasulullah menahan hardikan
mereka. Ketika dia telah menyelesaikan kencingnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam- pun
memerintahkan (untuk mengambil) seember air, lalu beliau siramkan ke tempat itu (Muttafaqun
Alaihi)

DAFTAR PUSTAKA

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 2006; 548


Gupte,Satish, 1990. Mikrobiologi Dasar. Terjemahan E.Suryawidjaja : The Short
Textbook of Medical Microbiology.Bina rupa Aksara. Jakrata
Mekanisme otoregulasi umpan balik tubulo-glomerulus (Sherwood, 2008)
http://www.hcc.uce.ac.uk/physiology/glomerulus3.jpg
http://www.alsofwah.or.id/cetakmujizat.php?id=287);http://eprints.walisongo.ac.id/1672/,
http://eprints.walisongo.ac.id/1672/2/093711028_Bab1.pdf,

Anda mungkin juga menyukai