Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.1
Batu empedu di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran
pencernaan. Namun penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari penderitanya
karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-pasien yang
memiliki batu empedu jarang mengalami komplikasi. Walaupun demikian, bila batu
empedu telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk
mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.1
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu
tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi
batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.1
Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran
empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu.1
Perjalanan batu empedu belum sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi
akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimptomatik.1
Referat ini dibuat untuk memberikan pengetahuan mengenai definisi, etiologi,
menifestasi klinis, patofisiologi dan penatalaksanaan dari batu saluran empedu
sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan baik serta menatalaksana penyakit batu
saluran empedu dengan tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Batu empedu (gallstones atau biliary calculus) merupakan gabungan dari
beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan
dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.2
2.2. Anatomi
Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh
bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana tonjolan
tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari divertikulum akan
menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus, ductus biliaris communis
(ductus choledochus) dan bagian cranialnya menjadi hati dan ductus hepaticus
biliaris.3
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung empedu
mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol seperti
kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.

Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2
cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.4
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale
dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal papila Vateri.
Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang
disebut kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah
belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum
descendens. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan bergabung dengan
ductus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga
keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung
dulu. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri. Ujung
distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam
duodenum.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan.
V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang
sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici
coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.3

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)


2.3. Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Diluar
waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di
sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. 4 Kandung empedu mensekresi
glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa,
sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium,
sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan empedu
diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu,
dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan
disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu akan
berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum.2,5
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,


karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
4

yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk


buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh selsel hati.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)

cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.5
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus
coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
kental ke dalam duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting
untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi
lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
a. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
b. Neurogen :

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi


cairan

lambung

atau

dengan

refleks

intestino-intestinal

akan

menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.

Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum


dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal


memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
Komposisi cairan empedu:
Komponen
Air
Garam Empedu
Bilirubin
Kolesterol
Asam Lemak
Lecithin
Elektrolit

Dari Hati
97,5 gm %
1,1
gm %
0,04 gm %
0,1
gm %
0,12 gm %
0,04 gm %
-

Dari Kandung Empedu


95
gm %
6
gm %
0,3
gm %
0,3 0,9
gm %
0,3 1,2
gm %
0,3
gm %
-

1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
a.

Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat


dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

b.

Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin


yang larut dalam lemak

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam
empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
6

sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada
daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu.4
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang
segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh
albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh
glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada
malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.4
2.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh
dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya
berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan

pil

kontrasepsi

dan

terapi

hormon

(esterogen)

dapat

meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas


pengosongan kandung empedu.
7

2. Usia.
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga.
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama.
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.6

2.5.
Etiologi
2.5.1 Batu Kolestrol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa,
penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya : Obesitas,
kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia sangat
berhungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan faktor risiko major
dari terjadinya batu kolestrol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang berulang.
Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan motilitas kandung empedu,
sehingga terjadi retensi dan meningkatnya kosentrasi empedu pada kandung empedu.
Penyebab lain statisnya kandung empedu, pemberian nutrisi secara parenteral,
penurunan berat badan yang cepat (diet, gastric bypass surgery).2,3
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol. Clofibrate atau
golongan fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via sekresi empedu. Analog
somatostatin menurunkan proses pengosongan pada kandung empedu.4

2.5.2 Batu Pigmen


Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit
hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary
spherocytosis, dan beta-thalasemia.6
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan splenomegali,
sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari penderita sirosis
memiliki batu pigmen.4
2.6.

Patofisiologi batu empedu


1. Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya

kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
9

kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan


berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.7
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang
tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle
yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi
lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol
terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 :
30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa
mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
-

Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan


lecithin jauh lebih banyak.

Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi


supersaturasi.

Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)

Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.

Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).

Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar


chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
10

batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain


menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas
pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang
menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk
bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung
empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan
dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal
kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada
pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena
pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang
berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar
dipompa keluar.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.
Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras
dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil
kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu
11

empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.2. bilirubin pigemen
kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel
liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang
larut air dann stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkkonjugasi
yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen
abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan
predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin
tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara
Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi
bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis
sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang
dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong
pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.2
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan
infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi
unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh
bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa
55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris

12

lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu


adalah dari cacing tambang.
3. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar
metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.7,8
2.6

Diagnosis
Choledocholithiasis yang tanpa kelainan atau sebagai batu tersembunyi (silent

stone) tidak memberikan gejala sama sekali. Bila menimbulkan tanda sumbatan baru
memberikan gejala ikterus cholestatic. Pada umumnya ikterusnya ringan, dan sifatnya
sementara,

karena

yang

sering

menimbulkan

sumbatan

sebagian,

jarang

menimbulkansumbatan total.2,8
Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier (cholecystitis
akut sering disertai sumbatan batu dalam duktus sistikus), suatu nyeri yang sangat
spesifik. Sekitar penderita mengeluh nyeri yang letaknya di perut kanan atas
berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Lokasi nyeri bisa juga di kiri
dan prekordial. Pada saat serangan timbul kolik empedu yang intermiten, sehingga
membuat gelisah penderita. Kadang-kadang sifat nyeri tersebut menetap yang
menjalar ke punggung dan di daerah scapula kanan, sering disertai muntah. Pada
palpasi

teraba

nyeri

tekan

di

epigastrium

dan

perut

kanan

atas. 2,8

Penderita dapat berkeringat banyak atau berjalan mondar-mandir atau


berguling ke kanan dan ke kiri di atas tempat tidur. Pasien sering memiliki riwayat
dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati, atau flatulen yang berlangsung lama.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
2.7.1. Pemeriksaan laboratorium

13

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan


kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat Oksalat Transaminase )
dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat Piruvat Transaminase )
merupakan enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit.
Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu.
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat
tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus
meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan
alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan
dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K
tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.7,8
2.7.2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
14

lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatica.
b. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa.4
c. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.4
d. Kolangiografi transhepatik perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas
kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki
oleh jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis
merupakan kontraindikasi.4
e. Kolangiopankreatografi

endoskopi

retrograde

(ERCP

Endoscopic

retrograde kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula
Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat
diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang
15

berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang
menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal
dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan
komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau
mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP
semakin menarik karena adanya potensi yang 'baik untuk mengobati penyebab
penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus
yang tertinggal).8
f. CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik
dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila hasil ultrasound masih
meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan.8
2.8

Penatalaksanaan

2.8.1. Konservatif

Lisis batu dengan obat-obatan


Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan

mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan
timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya
ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat
untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12
bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran
batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.

Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut

kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi.

Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy = ESWL)


16

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun


yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang
benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.

2.8.2. Penanganan operatif

Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu

simtomatik.Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris


rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas
pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian
secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 %
sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.

Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan

lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
biaya yang lebih murah.Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.Komplikasi yang
terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma
duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya
berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan
lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari,
cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga.
2.9

Komplikasi
17

Jika batu empedu tidak di keluarkan dan menghambat duktus choledochus,


komplikasi yang akan terjadi adalah

2.10

Kolangitis, dan kadang disertai sepsis


Pankreatitis
Bile duct injury dan sirosis
Liver dysfunction/failure
Fistula billiary enteric

Prognosis
Prognosis choledocholithiasis tergantung pada gejala klinis dan berat

komplikasinya.Choledocholithiasis dengan endoskopik atau pembedahan, maka


prognosisnya baik. Tanpa pengobatan 55% pasien mengalami komplikasi.

18

BAB III
KESIMPULAN
Batu empedu dapat ditemukan di dalam kandung empedu itu sendiri, atau
dapat juga ditemukan di saluran-saluran empedu, seperti duktus sistikus atau duktus
koledokus. Sekitar 80% pasien dengan batu empedu, biasanya asimtomatis.
Sedangkan pada yang simtomatik, keluhan utamanya biasa berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau prekordium, dan kolik bilier.Penyebab dari batu
empedu ini belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan ada 3 faktor predisposisi
terpenting, yaitu: Gangguan metabolisme yang menyebabkan perubahan komposisi
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Adanya faktor resiko
terbentuknya batu empedu dikenal dengan 4F yaitu fatty, fourty, fertile dan female.
Ada banyak cara untuk mendeteksi batu empedu, tetapi yang paling akurat
dan sering digunakan adalah ultrasonografi. Tindakan operatif atau kolesistektomi
merupakan terapi pilihan pada pasien dengan batu empedu.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu. In: Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000: 479-81.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwarts Principles of Surgery 8th edition.
2007. US : McGraw-Hill Companies.
3. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
4.

edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.


Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.

5.

com/article/175667-overview.
Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of

6.

Pathophysiology. New York : Thieme,p:164-7.


Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi

7.

1. 1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.


Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th

8.

edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.


Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :

9.

Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.


Welsby PD, Qlintang S. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC,

2009.h.92-102.
10. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P:
586-588.
11. D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process
Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.
12. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa Adji Dharma, Edisi II.P: 329-330.

20

Anda mungkin juga menyukai