Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

AKNE, ERUPSI AKNEIFORMIS, DAN


ROSASEA

DISUSUN OLEH :

Hadiyana Arief Hafiz


110.2009.125
Pembimbing :
Dr. Yenni, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN


RSUD ARJAWINANGUN

AKNE
Pengertian
Akne adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya
komedo,papul.pustul serta nodus pada tempat predileksinya.
Klasifikasi
Plewig dan kligman mengklasifikasikan akne sebagai berikut :
a. Akne vulgaris dan varietasnya :
- Akne tropikalis
- Akne fulminan
- Pioderma fasialis
- Akne mekanika
b. Akne venenata akibat kontaktan eksternal dan varietasnya :
- Akne kosmetika
- Pomade akne
- Akne klor
- Akne akibat kerja
- Akne deterjen
c. Akne komedonal akibat agen fisik dan varietasnya :
- Solar comedones
- Akne radiasi ( sinar x ,kobal )

Gambar.1 Akne vulgaris ( terjadi perubahan jumlah dan konsistensi lemak kelenjar akibat
pengaruh berbagai factor penyebab ).

Gambar 2. Akne venenata ( terjadi sumbatan karena massa eksternal ).

Gambar 3. Akne fisis ( saluran keluar menyempit akibat radiasi sinar UV, matahari atau sinar
radioaktif ).

AKNE VULGARIS

Definisi
Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai
dengan adanya komedo, papul, pustul, dan kista. Predileksi akne vulgaris pada daerahdaerah wajah, bahu bagian atas, dada, dan punggung.
Epidemiologi
Akne vulgaris pertama kali dipublikasikan pada tahun 1931 oleh Bloch. Pada
saat itu dinyatakan bahwa insiden terjadinya akne vulgaris lebih banyak pada anak
perempuan dibanding anak laki-laki dengan usia sekitar 13% pada anak usia 6 tahun
dan 32% pada anak usia 7 tahun. Sejak saat itu tidak ada evolusi yang signifikan
mengenai usia timbulnya jerawat. Menurut studi yang berbeda dari literatur berbagai
negara, usia awal rata-rata 11 tahun pada anak perempuan dan 12 tahun pada anak lakilaki.
Akne pada pada dasarnya merupakan penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi
pada remaja dengan beberapa derajat akne. Hal tersebut terjadi dengan frekuensi yang
lebih besar pada usia antara 15-18 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya,
involusi penyakit terjadi sebelum usia 25 tahun. Bagaimanpun, terdapat variabilitas
yang besar pada usia saat onset dan resolusi 12% perempuan dan 3% laki-laki akan
berlanjut secara klinis sampai usia 44 tahun. Sebagian kecil akan menjadi papul dan
nodul inflamasi sampai usia dewasa akhir.
Akne vulgaris derajat ringan biasanya terjadi pada bayi yang terjadi oleh karena
stimulasi folikular oleh kelenjar androgen adrenal yang berlanjut pada periode neonatal.
Akne juga biasanya bermanifestasi awal pada pubertas, dengan komedo sebagai lesi
predominan pada pasien yang sangat muda. Jumlah kasus terbanyak terjadi pada
periode pertengahan sampai akhir remaja, setelah itu insidennya akan menurun. Namun
pada wanita dapat terus berlanjut sampai lebih dari dekade ketiga.
Etiologi dan pathogenesis
Akne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum
diketahui secara jelas, namun terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan, antara
lain : genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan,
keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis, musim, infeksi bakteri
(Propionibacterium aknes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya.
Etiologi yang pasti belum diketahui, namun beberapa factor yang berkaitan dengan
pathogenesis acne adalah :
1. Perubahan pola keratinisasi dalam folikel. Keratinisasi dalam folikel yang biasanya
berlangsung longgar berubah menjadi padat sehingga sukar lepas dari saluran folikel
tersebut.
2. Produksi sebum yang meningkat yang menyebabkan peningkatan unsure komedogenik
dan inflamatogenik penyebab acne.

3. Terbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya proses inflamasi folikel
dalam sebum dan kekentalan sebum yang penting pada pathogenesis penyakit
4. Peningkatan jumlah flora folikel ( Propionibacterium Acnes,Pytirosporum ovale, dan
staphylococcus epidermidis) yang berperan dalam proses kemotaktik inflamasi
5. Terjadinya respon hospes berupa pembentukan circulating antibodies yang
memperberat acne
6. Peningkatan kadar hormone androgen,anabolic, kortikosteroid, gonadotropin serta
ACTH yang mungkin menjadi factor penting pada kegiatan kelenjar sebasea. Hormon
Androgen menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea pada wajah,leher,dan
tubuh. Kelenjar sebasea berfungsi melembabkan folikel rambut dan kulit,tetapi pada
orang-orang yang memiliki acne,kelenjar ini terlalu hiper responsive terhadap hormone
androgen dibandingkan orang yang normal.
7. Terjadinya stres psikik yang dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea, baik secara
langsung maupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis.
8. Faktor lain : usia,ras,family,makanan, cuaca/musim yang secara tidak langsung dapat
memacu peningkatan proses pathogenesis tersebut.
9. Terjadinya proses inflamasi . Proses inflamasi yang dipicu oleh P. acnes disebabkan
beberapa mekanisme. P. acnes memproduksi enzim lipase yang menghidrolisis
trigliserid pada sebum untuk memproduksi asam lemak bebas yang bersifat iritatif dan
komedogenik. P.acnes juga mengeluarkan factor kemotaktik (IL-1, IL-8, TNF-) yang
memicu leukosit. Adanya leukosit ini mengakibatkan dilepaskannya enzim hidrolitik
yang berperan dalam rupturnya dinding folikel, sehingga mengakibatkan inflamasi
pada jaringan sekitarnya.
Gejala klinis
Akne vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik dari folikel pilosebacea
yang memiliki karakteristik komedo, papul, pustul, dan nodul. Komedo merupakan lesi
primer dari akne. Hal tersebut dapat dilihat sebagai papul yang datar atau sedikit
meninggi dengan pembukaan sentral yang melebar berisi keratin hitam ( komedo
terbuka ). Komedo tertutup biasanya berupa papul kekuningan berukuran 1 mm yang
membutuhkan peregangan pada kulit untuk dapat terlihat. Makrokomedo, yang jarang
terjadi, dapat mencapai ukuran 3-4 mm. Papul dan pustul biasanya berukuran 1-5 mm
dan disebabkan oleh inflamasi, oleh sebab itu pasti terdapat eritema dan edema. Bentuk
tersebut dapat membesar dan membentuk nodul dan bergabung membentuk plak yang
terindurasi mengandung traktus sinus dan cairan apakan itu serosaginosa atau pus
kekuningan.
Pasien secara umum akan memiliki lesi yang bervariasi. Pada pasien dengan
kulit yang lebih terang, lesi biasanya pecah dengan makula kemerahan sampai
keunguan yang memiliki umur yang lebih pendek. Pada pasien dengan warna kulit yang
lebih gelap, makula hiperpigmentasi akan terlihat dan bertahan sampai beberapa bulan.
Skar dari akne memiliki penampakan yang heterogen. Morofologi yang dibentuk
termasuk skar yang dalam, narrow ice-pick yang terlihat kebanyakan pada dahi dan
pipi, lesi canyon-type atrophic pada wajah, skar papular putih kekuningan pada badan

dan dagu, skar tipe anetoderma pada badan, serta skar hipertrofik dan keloidal yang
meninggi pada badan dan leher.
Predileksi akne umunya pada wajah, leher, badan bagian atas, dan lengan atas.
Pada wajah hal tersebut paling sering terjadi pada pipi, dan sebagian kecil pada hidung,
dahi, dan dagu. Telinga dapat terlibat, dengan komedo yang besar pada concha, kista
pada lobus, dan kadang-kadang komedo dan kista pre dan retro-aurikuler. Pada leher
khususnya pada daerah nuchae, lesi kistik yang besar dapat mendominasi.
Akne umumnya muncul pada saat pubertas dan seringkali merupakan tanda
awal dari produksi hormon seks yang meningkat. Ketika akne muncul pada usia 8-12
tahun, yang tampak biasanya berupak komedo yang utamanya muncul pada dahi dan
pipi. Hal tersebut dapat tetap menjadi ringan dalam ekspresinya dengan papul inflamasi
yang kadang-kadang terjadi. Bagaiman pun, sebagaimana kadar hormon meningkat
pada usia-usia pertengahan remaja, pustul dan nodul inflamasi yang lebih berat dapat
terjadi yang dapat menyebar pada tempat lainnya. Laki-laki muda cenderung memiliki
kompleks yang lebih berminyak dan penyebaran penyakit yang lebih berat dibanding
perempuan usia muda. Perempuan dapat mengalami perjalanan penyakit yang berat dari
lesi papulopustular seminggu sebelum mensturasi. Akne juga dapat muncul pada
perempuan usia 20-35 tahun yang belum mendapatkan akne pada saat remaja. Akne ini
kebanyakan bermanifestasi sebagai papul, pustul, dan nodul dalam persisten yang nyeri
pada daerah dagu dan leher bagian atas.
Klasifikasi
Tidak terdapat sistem grading yang seragam dan terstandarisasi untuk beratnya
akne yang diderita. Akne pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan tipe
(komedoal/papular,pustular/noduokisitk)
dan/
atau
beratnya
penyakit
(ringan/sedang/sedang-berat/ berat). Lesi kulit dapat digambarkan sebagai inflamasi dan
non-inflamasi.
1. Klasifikasi sederhana
Akne ringan ( Mild akne ) : Komedo merupakan lesi utama. Papul dan pusutl
mungkin ada tetapi memiliki ukuran yang kecil serta jumlah yang sedikit ( umumnya
< 10 ).
Akne sedang (Moderate akne ): Jumlah papul dan pustul yang cukup banyak
(10-40). Jumlah komedo yang cukup banyak (10-40) juga ada. Kadang-kadang
disertai penyakit yang ringan pada badan.
Akne sedang berat (Moderately severe akne ): Jumlah papul dan pustul yang
sangat banyak ( 40-100), biasanya dengan banyak komedo (40-100) dan kadangkadang terdapat lesi nodular dalam yang besar dan terinflamasi ( mencapai 5 ).
Area yang luas biasanya melibatkan wajah, dada, dan punggung.
Akne sangat berat (Very severe akne ) : Akne nodulokistik dan akne
konglobata dengan lesi yang parah; banyak lesi nodular/pustular yan besar dan nyeri
bersama dengan banyak komdeon, papul, pustul, dan komedo yang lebih kecil.
2. FDA global grade
Grade 0 : Kulit yang bersih tanpa lesi inflamasi atau non-inflamasi

Grade 1 : Hampir bersih dengan lesi inflamasi atau non-inflamasi


Grade 2 : Ringan, grade 1 ditambah dengan beberapa lesi non-inflamasi dengan
sangat sedikit lesi inflamasi yang ada ( papul/pustul, tidak ada lesi nodular )
Grade 3 :Sedang, grade 2 ditambah dengan banyak lesi non-inflamasi dan mungkin
terdapat beberapa lesi inflamasi, tetapi tidak lebih dari satu lesi nodular
Grade 4 : Berat, grade 3 ditambah dengan banyak lesi non-inflamasi dan inflamasi,
dengan sedikit lesi nodular.

Akne vulgaris grade 1

Akne vulgaris grade 2

Akne vulgaris grade 3

Akne konglobata

Diagnosis
Diagnosis akne vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis, dan tes laboratorium.
Berdasarkan anamnesis, akne vulgaris biasanya terjadi pada saat pubertas, tetapi
gejala klinis yang muncul sangatlah bervariasi. Perempuan mungkin memperhatikan
bentuk yang berfluktuasi berdasarkan siklus mensturasinya. Akne fulminan merupakan

subtipe akne yang jarang dan terjadi pada berbagai manifestasi sistemik, termasuk
demam, arthralgia, myalgia, hepatosplenomegaly, dan lesi tulang osteolitik.
Pada pemeriksaan fisis akne non-inflamasi tampak sebagai komedo terbuka dan
tertutup. Lesi inflamasi dimulai dengan adanya mikrokomedo tetapi dapat berkembang
menjadi papul, pustul, nodul, atau kista. Kedua tipe lesi ditemukan pada area dengan
glandula sebacea yang banyak.
Tes fungsi endokrin rutin tidak diindikasikan pada sebagian besar pasien dengan
akne. Pada pasien dengan akne dan terdapat bukti hiperandrogenisme, evaluasi
hormonal untuk testeteron bebas, dehidroepiandrostenedion sulfat (DHEA-S),
lutenizing hormone (LH), FSH dapat dilakukan. Tes mikrobiologi rutin tidak perlu pada
evaluasi dan dan penanganan pasien dengan akne. Jika lesi terpusat pada peri oral dan
area nasal dan tidak responsif terhadap penanganan akne konvensional, tes kultur dan
sensitivitas bakteri untuk mengevaluasi follikulitis gram-negatif dapat dilakukan.
Diagnosis banding
Meskipun terdapat satu jenis lesi yang dominan, akne vulgaris didiagnosis
dengan adanya beberapa variasi dari lesi akne (komedo, pustul, papul, dan nodul) yang
erdapat pada wajah, punggung, dan dada. Diagnosis banding akne vulgaris antara lain
erupsi akneiformis, rosasea.
1. Erupsi akneiformis
Erupsi akneiformis merupakan akne yang disebabkan oleh induksi obat,
seperti kortikosteroid, Isoniazid, barbiturat, bromida, iodida, difenilhidantoin, dan
ACTH. Klinis erupsi berupa papul di berbagai tempat tanpa komedo, timbul
mendadak tanpa disertai demam.
2. Rosasea
Rosasea adalah penyakit kronik yang etiologinya belum diketahui secara pasti,
dengan karakteristik adanya eritema pada sentral wajah dan leher. Penyakit ini
terdiri atas dua komponen klinik, yakni perubahan vaskuler yang terdiri atas
eritema intermiten dan persisten serta erupsi akneiform yang terdiri atas papul,
pustul, kista, dan hiperplasia sebasea. Pada rosasea tidak terdapat hubungan antara
eksresi sebum dengan beratnya gejala rosasea.
3. Dermatitis perioral
Terjadi terutama pada wanita dengan gejala klinis polimorfi eritema, papul,
pustule, disekitar mulut yang terasa gatal.
4. Akne venenata dan akne akibat rangsang fisis
Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bias berupa komedio atau papul,
dengan tempat predileksi ditempat kontak kimia atau rangsang fisis lainnya.

Penatalaksanaan

Terapi akne vulgaris terdiri atas terapi sistemik, topikal, fisik, operasi dan diet.
1. Terapi Sistemik
a. Antibiotik oral
Antibiotik oral diindikasikan untuk pasien dengan akne yang masih
meradang. Antibiotik yang diberikan adalah Tetrasiklin (tetrasiklin,
doksisiklin,minosiklin) eritromisin, kotrimoksasole, dan klindamisin. Antibiotik
ini mengurangi peradangan akne dengan menghambat pertumbuhan dari
P.Aknes.
Tetrasiklin generasi pertama (tetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin
klorida) merupakan obat yang sering digunakan unutk akne.Obat ini digunakan
sebagai terapi lini pertama karena manfaat dan harganya yang murah, walaupun
angka kejadian resistensinya cukup tinggi. Dalam 6 minggu pengobatan
menurunkan reaksi peradangan 50% dan biasa diberikan dalam dosis 1
gram/hari (500mg diberikan dalam 2 kali), setelah beberapa bulan dapat
diturunkan 500 mg/hari. Karena absorbsinya dihambat oleh makanan, maka
obat ini diberika 1 jam sebelum makan dengan air untuk absorbs yang optimal.
Alternatif lain, tetrasiklin generasi kedua (doksisiklin) diberikan 100mg200mg/ hari dan 50 mg/hari sebagai maintainance dose, (minosiklin) biasanya
diberikan 100mg/hari. Golongan obat ini lebih mahal akan tetapi larut lemak
dan diabsorbsi lebih baik di saluran pencernaan.
Eritromisin 1g/hari dapat diberikan sebagai regimen alternative. Obat ini
sama efektifnya dengan tetrasiklin, tapi menimbulkan resistensi yang tinggi
terhadap P.aknes dan sering dikaitkan dengan kegagalan terapi.
Klindamisin merupakan jenis obat yang sangat efektif, akan tetapi tidak
baik digunakan untuk jangka panjang karena dapat menimbulkan
perimembranous colitis. Kotrimoksasole (sulfometoksasol/trimetoprim,
160/800mg, dua kali sehari) direkomendasikan untuk pasien dengan inadequate
respon dengan antibiotik yang lain dan untuk pasien dengan gram negative
folikulitis.
b. Isotretionoin oral
Isotretinoin oral merupakan obat sebosupressive paling efektif dan
diberikan untuk akne yang berat. Seperti retinoid lainnya, isotretinoin
mengurangi komedogenesis, mengecilkan ukuran glandula sabaseus hingga
90% dengan menurunkan proliferasi dari basal sebocyte, menekan produksi
sebum invivo dan menghambat diferensiasi termina sebocyte. Walaupun tidak
berefek langsung terhadap P.aknes, ini menghambat efek dari produksi sebum
dan menurunkan jumlah P.Aknes yang mengakibatkan inflamasi.
Masih terjadi perdebatan untuk dosis pemeberian (1gram/kgBB/hari atau
50mg/kgBB/hari), walaupun hasil yang ditunjukkan kedua dosis untuk
pengobatan jangka panjang adalah sama, tapi angka kejadian kambuh dan

memerlukan pengobatan ulang sering didapatkan pada dosis rendah yang


diberikan untuk akn yang berat.
Terapi awal yang diberikan 1gram/kgBB/hari untuk 3 bulan pertama,
dan diturunkan 0.5mg/kgBB/hari, jika memungkinkan dapat diberikan 0.2 untuk
3-9 bulan tambahan untuk mngoptimalkan hasil terapi.
Hasil terapi dari isotretinoin menunjukkan perbaikan yang lebih cepat
untuk lesi inflamasi dibandingkan dnegan komedo.Pustule menghilang lebih
cepat daripada papul atau nodul, dan lesi yang berlokasi di wajah, lengan atas,
dan kaki daripada di punggung dan badan.
c. Hormonal

2.

Terapi hormonal diindikasikan pada wanita yang tidak mempunyai


respon terhadap terapi konvensional. Mekanisme kerja obat-obat hormonal ini
secara sistemik mengurangi kadar testosteron dan dehidroepiandrosterone, yang
pada akhirnya dapat mengurangi produksi sebum dan mengurangi terbentuknya
komedo. Ada tiga jenis terapi hormonal yang tersedia, yaitu: estrogen dengan
prednisolon, estrogen dengan cyproterone acetate(Diane, Dianette) dan
spironolakton. Terapi hormonal harus diberikan selama 6-12 bulan dan penderita
harus melanjutkan terapi topikal. Seperti halnya antibiotik, tingkat respon obatobat hormonal juga lambat, dalam bulan pertama terapi tidak didapatkan
perubahan dan perubahan kadang-kadang baru dapat terlihat pada bulan ke
enam pemakaian. Terapi setelah itu akan terlihat perubahan yang nyata.
Perubahan yang dihasilkan pada penggunaan diane hampir mirip dengan
tetrasiklin 1 g/hari. Diane merupakan kombinasi antara 50 g ethinylestradiol
dan 2 mg cyproterone acetate. Pada wanita usia tua (> 30 tahun) dengan
kontraindikasi relatif terhadap pil kontrasepsi yang mengandung estrogen, salah
satu terapi pilihan adalah dengan penggunaan spironolakton. Dosis efektif yang
diberikan antara 100-200 mg.
Anti androgen hormone dapat diberikan pada pasien perempuan dengan
target pilosabaseus unit dan menghambat produksi serum 12.5-65%. Jika
keputusan untuk hormonal terapi telah dibuat, ada berbagi macam pilihan
disekitar androgen reseptor blocker dan inhibitors of androgen synthesis pada
ovarium dan glandula adrenal.
Topikal
Penggunaan obat-obatan sebagai terapi topikal merupakan satu cara yang
banyak dipilih dalam mengatasi penyakit akne vulgaris. Tujuan diberikan terapi ini
adalah untuk mengurangi jumlah akne yang telah ada, mencegah terbentuknya spot
yang baru dan mencegah terbentuknya scar (bekas jerawat). Terapi topikal diberikan
untuk beberapa bulan atau tahun, tergantung dari tingkat keparahan akne. Obatobatan topikal tidak hanya dioleskan pada daerah yang terkena jerawat, tetapi juga
pada daerah disekitarnya.
Ada berbagai macam obat-obatan yang dipakai secara topikal, yaitu:
a. Retinoid topical.

Mekanisme kerja dari retinoid topical:


- Mengeluarkan komedo yang telah matur.
-

Menghambat pembentukan dan jumlah dari mikrokomedo.

Menghambat reaksi inflamasi.

Menekan perkembangan
maintenance terapi.

mikrokomedo

baru

yang

penting

untuk

b. Tretinoin
Tretinoin merupakan retinoid pertama yang diperkenalkan oleh Stuttgen
dan Beer.Mengurangi komedo secara signifikan dan juga lesi peradangan
akne.Hal ini ditunjukkan pada percobaan untuk 12 minggu menurunkan 32-81%
untuk non-inflamnatory lesi dan 17-71% untuk inflammatory lesi. Tretinoin
tersedian dalam galanic formulation: cream 0.025%, 0.1%, gel 0.01%, 0.025%)
dan dalam solution (0.05%).
Formula topical gel ini mengandung
polyoprepolymer-2, tretinoin prenetration.
c. Isotretinoin
Isotretinoin tersedia dalam sediaan gel, mempunyai efikasi yang sama
dengan tretinoin, mereduksi komedo antara 48-78% dan inflammatory lesi antar
24 dan 55% setelah 12 minggu pengobatan.
d. Adapalene
Adapalene adalah generasi ketiga dari retinoid tersedia dalam gel, cream,
atau solution dalam konsentrasi 0.1%.dalam survey yang melibatkan 1000
pasienditunjukkan bahwa adapalen 0.1% gel mempunya efikasi yang sama
dengan tretinoin 0.025%.
e. Tazarotene
Disamping untuk psoriasis, tazarotene juga digunakan sebagai terapi
untuk akne, di US 0.5 dan 0.1% gel atau cream.
f. Antibiotik Topikal
Keguanaan paling penting dan mendasar dari antibiotik topical adalah
rendah iritasi, tapi kerugiannya adalah menambah obat-obat yang resisten
terhadap P.aknes dan S. Aureus.Untuk mengatasi masalah ini, klindamisin dan
eritromisin ditingkatkan konsentrasinya dari 1 menjadi 4% dan formulasi baru
dengan zinc atau kombinasi produk denganBPOs atau retinoid. 2,5,13
Antibiotika topikal banyak digunakan sebagai terapi akne. Mekanisme
kerja antibiotik topikal yang utama adalah sebagai antimikroba. Hal ini telah
terbukti pada efek klindamisin 1% dalam mengurangi jumlah P.aknes baik
dipermukaan atau dalam saluran kelenjar sebasea.Lebih efektif diberikan pada
pustul dan lesi papulopustular yang kecil. Eritromisin 3% dengan kombinasi
benzoil peroksida 5% tersedia dalam bentuk gel. Thomas dkk melakukan

penelitian dengan membandingkan eritromisin 1,5% dengan klindamisin 1%


mendapatkan hasil yang sama-sama efektif, duapertiga pasien mendapatkan
respon yang sangat baik dalam waktu 12 minggu, tetapi penggunaan eritromisin
secara tunggal tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan resistensi.
Penggunaan eritromisin kombinasi dengan benzoil peroksida lebih
direkomendasikan.
Keefektifan antibiotik topikal pada akne terbatas karena mekanisme
kerja dalam mengeliminasi bakteri membutuhkan jangka waktu yang panjang.
Bakteri dapat timbul di mana-mana dan tidak secara langsung menyebabkan
akne. Pada keadaan di mana kelenjar sebasea memproduksi sebum berlebihan,
pori-pori kulit juga akan lebih mudah terbuka sehingga banyak bakteri yang
akan masuk dan berkembang. Adanya sel kulit mati juga bisa memperburuk
keadaan. Bila kelenjar sebasea tidak memproduksi sebum berlebihan, maka
bakteri tidak mudah masuk ke dalam kulit. Dengan kata lain, jumlah produksi
sebum menjadi masalah utama dalam akne. Antibiotik topikal kerjanya terbatas,
karena tidak mengatasi masalah dalam jumlah produksi sebum.
g. Asam Salisilat
Asam salisilat efek utamanya adalah keratolitik, meningkatkan
konsentrasi dari substansi lain, selain itu juga mempunyai efek bakteriostatik
dan bakteriosidal.
h. Anti-androgen
Sejak diketahui bahwa akne merupakan salah satu penyakit yang
berhubungan dengan aktivitas hormon androgen, beberapa dermatologis dan
industri farmakologi mengembangkan anti androgen topikal sebagai salah satu
terapi akne yang tidak mempunyai efek sistemik. Studi yang dikembangkan
adalah tentang penggunaan topikal dari 17-propylmesterolone, akan tetapi
preparat ini belum tersedia secara komersial.
3. Terapi Fisik
Selain terapi topikal dan terapi oral, terdapat beberapa terapi tambahan dengan
menggunakan alat ataupun agen fisik, diantaranya adalah:
a. Ekstraksi komedo
Pengangkatan komedo dengan menekan daerah sekitar lesi dengan
menggunakan alat ekstraktor dapat berguna dalam mengatasi akne. Secara teori,
pengangkatan closed comedos dapat mencegah pembentukan lesi inflamasi.
Dibutuhkan keterampilan dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik.
b. Kortikosteroid Intralesi
Akne cysts dapat diterapi dengan triamsinolon intralesi atau krioterapi.
Nodul-nodul yang mengalami inflamasi menunjukkan perubahan yang baik
Dalam kurun waktu 48 jam setelah disuntikkan dengan steroid. Dosis yang biasa
digunakan adalah 2,5 mg/ml triamsinolon asetonid dan menggunakan syringe

1ml. Jumlah total obat yang diinjeksikan pada lesi berkisar antara 0,025 sampai
0,1 ml dan penyuntikan harus ditengah lesi. Penyuntikan yang terlalu dalam
atau terlalu superfisial akan menyebabkan atrofi.
Injeksi glukokortikoid dapat menurunkan secara drastic ukuran dari lesi
nodular.Injeksi 0.05-0.25 ml perlesi dari triamcinolone acetat dengan suspense
(2.5-10mg/ml) direkomendasikan sebagai anti inflamasi. Terapi jenis ini sangat
bermanfaat dibandingkan terapi lain untuk akne tipe nodular. Akan tetapi harus
diulang dalam 2-3 minggu.Manfaat utamanya adalah menghilangkan lesi
nodular tanpa insisi sehingga mengurangi pembentukan scar.
c. Liquid Nitrogen
Cara lain untuk terapi akne cysts adalah dengan mengaplikasikan nitrogen
cair selama 20 detik, aplikasi kedua diberikan 2 menit berikutnya. Terapi ini
bekerja dengan mendinginkan dinding fibrotik dari akne cysts sehingga akan
terjadi kerusakan pada dinding tersebut.
d. Radiasi Ultraviolet
Radiasi UV mempunyai efek untuk menghambat inflamasi dengan
menghambat aksi dari sitokin. Radiasi UVA dn UVB sebaiknya diberikan secara
bersama-sama untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapai. Fototerapi dapat
diberikan dua kali seminggu.Radiasi ultraviolet alami (UVR) yang didapat dari
paparan matahari, 60% dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada akne,
tetapi sekarang terapi ini tidak dianjurkan lagi.
4. Diet
Beberapa artikel menyarankan pengaturan diet untuk penderita akne
vulgaris. Implikasi dari penelitian tentang diet coklat, susu, dan makanan berlemak
dan hubungannya dengan akne masih diteliti. Hingga saat ini belum ada evidence
base yang mendukung bahwa eliminasi makanan akan berdampak pada akne, akan
tetapi beberapa pasien akan mengalami kemunculan akne setelah mengkonsumsi
makanan tersebut.
5. Bedah kulit
Tindakan bedah kulit kadang kadang diperlukan untuk memperbaikin
jaringan parut akibat akne vulgaris meradang yang berat yang sering menimbulkan
jaringan parut, baik yang hipertrofik maupun hipotrofik. Jenis bedah yang dipilih
disesuaikan dengan macam dan kondisi jaringan parut yang terjadi. Tindakan
dilakukan setelah akne vulgarisnya sembuh.
1. Bedah scalpel dilakukan dengan meratakan sisi jaringan parut yang menonjol
atau melakukan eksisi elips pada jaringan parut yang hipotrofi yang dalam.
2.
Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah
pengeluaran sebum atau pada nodulo kistik untuk drainase cairan isi yang dapat
mempercepat penyembuhan.
3. Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan jaringan
parut yang berbenjol.

4. Bedah beku dengan bubur CO2 beku atau N2 cair untuk mempercepat
penyembuhan radang,
5. Dermabrasi untuk meratakan jaringan parut hipo dan hipertrofi pasca akne yang
luas.
Prognosis
Onset dari akne vulgaris sangat bervariasi, dimulai dari 6 hingga 8 tahun dan
kemudian tidak timbul lagi hingga umur 20 atau lebih.Kejadian akne ini biasanya diikuti oleh
remisi yang terjadi secara spontan. Walaupun rata-rata pasien akan mengalami penyembuhan
pada usia awal 20an tapi ada juga yang masih menderita akne hingga decade ketiga sampai
decade keempat.
Akne pada wanita biasanya berfluktuasi berkaitan dengan siklus haid dan biasanya
bermunculan sesaat sebelum menstruasi.Kemunculan akne ini tidak seharusnya berhubungan
dengan perubahan aktivitas glandula sabaseus, dimana tidak terjadi peningkatan produksi
sebum pada fase luteal dalam siklus menstruasi.
Pada umumnya prognosis dari akne ini cukup menyenangkan, pengobatan sebaiknya
dimulai pada awal onset munculnya akne dan cukup agresif untuk menghindari sekuele yang
bersifat permanen.
Pada kebanyakan kasus, akne biasanya sembuh secara spontan ketika melewati usia
remaja dan memasuki usia 20an. Alasan untuk hal ini masih belum diketahui secara jelas,
tidak ada penurunan secara bersama-sama pada produksi sebm ataupun perubahan komposisi
lemak.

Erupsi akneiformis
Definisi
Erupsi akneiformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne berupa rekasi peradangan
folikular dengan manifestasi klinik papulapustular, komedo, kista atau nodul yang
menyerupai akne vulgaris.
Etiologi
Erupsi akneiformis bisa timbul disebabkan oleh :
Reaksi daripada obat-obatan penyebab paling terbanyak (contohnya kortikosteroid,
ACTH, INH, yodida dan bromide, Phenobarbital, vitamin B2,B6 dan B12, definil
hidantoin, trimetadion,tetrasiklin, lithium, pil kontrasepsi, kina, rifampisin.
Infeksi
Ketidakseimbangan hormonal atau metabolit
Kelainan genetic
Patogenesis
----Mekanisme patogenesis terjadinya erupsi akneiformis belum diketahui secara pasti. John
Hunter dkk menyatakan bahwa erupsi akneiformis terjadi melalui mekanisme non imunologis
yang dapat disebabkan karena dosis yang berlebihan,akumulasi obat atau karena efek
farmakologi yang tidak diinginkan. Andrew J.M dalam bahasannya tentang Cutaneous Drug
Eruption menyatakan bahwa mekanisme non imunologis merupakan suatu reaksi pseudoallergic yang menyerupai reaksi alergi, tetapi tidak bersifat antibody-dependent. Ada satu
atau lebih mekanisme yang terlibat dalam reaksi tersebut, yaitu: pelepasan mediator sel mast
dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung
pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Selain itu adanya efek sekunder yang
merupakan bagian dari efek farmakologis obat, juga dapat menimbulkan manifestasi di
jaringan kulit.

----Wasitaatmadja dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin mengatakan bahwa erupsi
akneformis adalah reaksi kulit yang berupa peradangan folikular akibat adanya iritasi epitel
duktus pilosebasea yang terjadi karena ekskresi substansi penyebab (obat) pada kelenjar kulit.

Diagnosis
Anamnesis
Ditanyakan :
Adanya riwayat obat/jamu/herbal yang sedang dikomsumsikan pasien

Pemeriksaan dermatologi
Tampak kombinasi distribusi yang khas : tampak papul dan pustule monomorfik atau
oligomorfik

Diagnosis banding
1. Akne venenata
Erupsi setempat pada lokasi kontak dengan zat kimia yang digunakan terjadinya
subkronis umumnya monomorf berpa komedo dan papul tidak gatal
2. Akne vulgaris
Umumnya terjadi pada remaja, berlangsung kronis. Tempat predileksi di tempat
sobore, polimorf, terdiri atas komedo, papul, pustule, nodus dan kista serta jaringan
parut hipotrofi dan hipertrofi. Umumnya tidak gatal.
3. Dermatitis akibat obat
Erupsi polimorf akut setelah mendapat obat sistemik disertai rasa gatal
4. Folikulitis
Pioderma pada folikel rambut setempat, berupa pustula folikular terasa agak nyeri dan
dapat disertai gejala infeksi kokus, dapat disertai demam dan malaise.
Gejala klinis

Berbeda dengan akne,


Erupsi akneiformis timbul secara akut atau subakut
Tempat terjadinya tidak di tempat predileksi akne sahaja namun di seluruh tubuh yang
mempunyai folikel pilosebasea.
Manifestasi klinis tampak papul dan pustule monomorfik atau oligomorfik pada
mulanya tanpa komedo.
Komedo dapat terjadi sekunder kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu
Dapat disertai deman atau malaise.
Umumnya tidak disertai gatal.

Tatalaksana
Non medika mentosa
Hentikan penggunaan faktor penyebab (stop mengkomsumsi obat/jamu/herba)
Medika mentosa
Pengobatan topikal
Pengobatan topical dengan obat yang bersifat iritan misalnya sulfur, resorsinol
atau asam vitamin A mempercepat menghilangkan erupsi kulit.
Retinoid
Menghambat pembentukan komedo dan bersifat anti inflamasi.
Tersedia dalam bentuk gel atau krim
Pemberian asam salisilat.
Sebagai agen komedolitik. Menghambat pembentukan komedo yang
dihasilkan dari sel-sel minyak dan kulit yang terjebak dalam pori-pori.
Ia dapat menganggu asam arakidonat dari proses inflamasi. Oleh itu
akan menyebabkan pengurangan inflamasi pada lesi jerawat.
Pemberian benzoic acid
Merupakan satu agen pengoksidasi yang juga memiliki sifat antibakteri
dan komedolitik.

Pengobatan sistemik
Boleh diberikan :
Antibiotik sistemik

Tetrasiklin ( 250 mg- 1.0 gram/hari )

Eritromisn ( 4x 250 mg/hari )

Doksisiklin (50 mg/hari )

Trimetoprim ( 3x 100 mg.hari )


Retinoid oral
Indikasi pada lesi yang bandel khususnya yang nodulucystic.
Pengobatan berdasarkan berat badan biasanya dosis awalnya 0,5 mg/kg
meningkat menjadi 1mg/kg dibagi dalam dosis selama 15-20 minggu

Prognosis

Erupsi akneiformis merupakan penyakit yang dapat sembuh apabila penyebab induksi
obat bisa dihentikan. Apabila hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan kerana vital maka
pengobatan topikal maupun sistemik akan memberikan hasil yang cukup baik.

ROSASEA

Definisi
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit,
berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan
dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian
hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya eritema yang
berkepanjangan dan telangiektasis disertai dengan papul atau pustul. Selain itu, pada
periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya
dalam beberapa menit (flushing).
Epidemiologi
Rosasea lebih sering terjadi pada bangsa kulit putih (ras kaukasoid). Walaupun
demikian, tidak menutup kemungkinan orang Afrika dan orang Asia juga dapat
menderita rosasea. Pada bangsa kulit putih ditemukan penderita rosasea sekitar 10%
dari jumlah total bangsa kulit putih.
Puncak insiden dan beratnya penyakit terjadi pada dekade ketiga dan keempat,
pada usia 30-50 tahun, dengan insiden puncak antara 40-50 tahun. Walaupun demikian,
anak-anak, remaja, dewasa muda dan usia lanjut dapat menderita rosasea.
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki. Tapi rinofima, salah satu jenis rosasea, lebih sering
menyerang laki-laki dibanding perempuan.
Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat bervariasi dan
secara umum data ini masih kurang dan lemah, tetapi dapat disimpulkan bahwa insiden
dan mungkin deteksi rosasea tertinggi pada individu dengan kulit tipe I dan II, diikuti
ras Asia dan insiden terendah pada populasi berkulit hitam. Insidensi penyakit ini juga
sering didapatkan pada penduduk di Celtic (fototipe kulit I dan II) dan Mediterania
Selatan. Frekuensi yang rendah atau jarang terdapat pada orang yang berwarna kulit
gelap (fototipe kulit V dan VI, warna kulit coklat dan hitam).

Etiologi
Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis mengenai
faktor penyebab, yaitu :
1. Makanan dan minuman
Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab rosasea.
Bahkan konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit kelenjar empedu telah
pula dianggap sebagai faktor penyebabnya.
2. Psikis/emosional
Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden terjadinya
rosasea. Namun diduga ini terjadi akibat stres yang berlebihan sehingga
mengganggu fungsi kerja hormon yang nantinya memicu reaksi inflamasi.
3. Obat-obatan
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada saat kulit
kemerahan menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat, baik sebagai
penyebab maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea.
4. Infeksi
Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada etiologi rosasea. Walaupun
demikian, keterlibatan Demodex folliculorum ini masih perlu dibuktikan.
5. Musim/iklim
Peran musim panas atau musim dingin termasuk di dalamnya peran sinar
ultraviolet yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit sebagai
penyebab eritema persisten masih diselidiki.
6. Imunologi
Di lapisan dermoepidermal penderita rosasea ditemukan adanya deposit
imunoglobulin oleh beberapa peneliti sedangkan di kolagen papiler ditemukan
antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada dugaan faktor
imunologi pada rosasea.
7. Lainnya
Defisiensi vitamin dan hormonal diduga sebagai penyebab penyakit ini.
Klasifikasi
National Rosacea Expert (NRS) Commitee, pada tahun 2002 menetapkan subtipe
rosasea dan menggolongkannya ke dalam subtipe eritematotelangiektasis,
papulopustular, phymatous dan okular.
1. Tipe Eritematotelangiektasis (Erythematotelangiectatic type)
Rasa perih pada bagian sentral wajah, sering disertai dengan rasa panas dan
terbakar yang merupakan tanda utama rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR).
Warna kemerahan biasanya tersebar di kulit sekitar mata. Pasien-pasien dengan
rosasea tipe ini memiliki kulit bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar
sebasea. Area yang eritem pada wajah terlihat kasar dengan batas seperti suatu
proses yang kronik, seperti dermatitis ringan. Faktor pencetus yang paling sering
menyebabkan rasa panas/terbakar ini termasuk stres emosional, minuman panas,
alkohol, makanan berbumbu pedas, latihan, cuaca dingin atau panas. Pasien
mengeluh rasa panas dan terbakar bertambah ketika menggunakan obat-obat
topikal.
Gambar 1. Erythematotelangiectatic type

2. Tipe papulopustular (Papulopustular rosacea)


Rosasea papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea. Kebanyakan
penderita adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan papul dan pustul pada
bagian sentral wajah (central portion). Telangiektasis yang terjadi agak sulit
dibedakan dengan eritema.

Gambar 2. Papulopustular rosacea

3. Rosasea phymatous (phymatous rosacea)


Rosasea tipe ini merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit dan permukaan
nodul yang iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau kedua telinga, dan atau
kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe rinofima (suatu perubahan pada
hidung) secara histologis yaitu tipe glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea)
dan merupakan tipe yang lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan
konektif), tipe fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh
darah), dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis)

Gambar 3. Phymatous rosacea dan inflamasi

4. Rosasea okular (Ocular rosacea)


Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada kelopak
mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva interpalpebra dan telangiektasis
konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh mata terasa perih atau terbakar, kering, dan
iritasi dengan sensasi benda asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir
mirip dengan rosasea phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda.
Oleh karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala okular
dan dilakukan pemeriksaan fisis untuk menentukan tipe rosasea.
Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium
sebagai berikut :
1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis
2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil
3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal, papul,
pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral wajah.
Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe eritematotelangiektasis,
stadium II dengan tipe papulopustular, dan stadium III analog dengan tipe
phymatous.
Progresi dari satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi. Rosasea
dapat dimulai dengan stadium II atau III dan stadium-stadium itu dapat terjadi
bersamaan.

Gambar 4. Ocular Rosacea

Patogenesis
Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas hubungannya
dengan hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah superfisial wajah. Diduga terjadi atrofi pars papilare dermis yang
menyebabkan visualisasi kapiler kulit menjadi lebih jelas.
Pasien rosasea memberikan riwayat wajah yang mudah memerah dan
mengeluhkan warna kulit yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan obatobatan yang menginduksi vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan perkembangan
rosasea. Pasien dengan rosasea memiliki kulit yang mudah teriritasi. Sebagai contoh,
pasien sering mengeluh mengalami rasa perih dan terbakar jika menggunakan kosmetik
dan obat-obatan topikal. Vasodilatasi pasien rosasea lebih besar dan persisten
dibandingkan yang terlihat pada orang normal. Stimulasi suhu adalah penyebab dari
food-induced flushing pada kebanyakan pasien, misalnya suhu kopi dan teh yang panas
dapat menyebabkan wajah kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara umum dianggap
sebagai penyakit neurokutaneus, penting diketahui bahwa flushing atau wajah
kemerahan dimediasi oleh suatu fungsi neural dan dengan demikian rosasea pun
memiliki dasar neurologi.
Didapatkan adanya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan sistem imun,
sama seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan cukup efektif sebagai
terapi rosasea. Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel radang seperti neutrofil dan
mediator inflamasi lainnya merupakan faktor utama patofisiologi terjadinya rosasea.
Ketidak stabilan pembuluh darah (vascular instability/vascular lability) terjadi
karena faktor hormon, stres emosional, makanan, paparan sinar matahari, pelepasan
substansi vasoaktif dan infestasi Demodex folliculorum. Hal ini mengakibatkan terjadi
pelepasan mediator inflamasi, di antaranya yaitu sitokin yang akan menginduksi
terjadinya proses inflamasi.
Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh pelepasan
substansi vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal ini belum dapat
ditetapkan sebagai dasar patofisiologi dan kedua mekanisme ini pun dapat berperan
penting. Mediator inflamasi yang dimaksud termasuk serotonin, bradikinin,
prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan gastrin. Kadar substansi P dalam darah
meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak selalu terjadi. Peptida opiod dikemukakan
sebagai mediator dari flushing pada rosasea berdasarkan aksi supresi dari antagonis
opiod, nalokson. Sering pula dianggap bahwa rosasea berhubungan dengan gejalagejala pada gastrointestinal, walaupun hanya sedikit bukti nyata yang mendukung
pendapat ini.
Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang meradang
pada hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan suatu tungau yang
hidup dalam lumen folikel glandula sebasea pada kepala yang diduga sebagai penyebab

rosasea pada usia pertengahan. Spesies Demodex (tungau yang secara normal hidup
pada folikel rambut manusia) mungkin berperan dalam patogenesis rosasea. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa Demodex folliculorum menyukai daerah kulit yang
merupakan predileksi rosasea seperti hidung dan pipi. Demodex folliculorum ini terlihat
lebih banyak pada pasien rosasea papulopustular dibandingkan dengan individu
normal. Selain itu, folikel yang didiami oleh tungau ini dapat memberikan respon
inflamasi lokal.
Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon imun sel Thelper yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada pasien rosasea. Walaupun
demikian, penelitian lain menunjukkan pula hal yang sebaliknya. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa Demodex folliculorum tidak menyebabkan respon inflamasi pada
rosasea. Oleh sebab itu, diperlukan lebih banyak penelitian dan studi untuk menentukan
apakah Demodex folliculorum bersifat patogen.
Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging akibat paparan
sinar matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea karena terjadi aktivasi sistem
imun yang dapat mengakibatkan inflamasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
paparan sinar matahari juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan vaskular yang
akhirnya menginduksi pelepasan mediator-mediator inflamasi. Degradasi aktinik pada
vaskular dan kolagen perivaskular serta jaringan elastis secara langsung menurunkan
integritas mekanik pembuluh darah dan meningkatkan hiperesponsif pembuluh darah
kecil di wajah.
Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan dengan
timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks ekstraselular
dilepaskan oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan diaktivasi oleh makrofag.(8)
Proses inflamasi selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan
telangiektasis. Enzim-enzim degradasi, termasuk protease seperti elastase yang
dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan merusak jaringan ikat yang mengelilingi
pembuluh darah.
Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik. Ketika
volume eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik, cairan ekstraseluler
terakumulasi pada kulit bagian superfisial. Hal ini mengakibatkan terjadinya edema
pada kulit dan peradangan, dimana seringkali didahului dengan hipertrofi jaringan ikat.
Neutrofil ini melepaskan protein yang mendegradasi protein matriks, menyebabkan
fibroplasias, suatu proses awal terjadinya rinofima.

Diagnosis
A. Manifestasi Klinik

Rosasea terbatas pada wajah dan kulit kepala serta bermanifestasi dalam 4
fase yaitu fase pra rosasea, fase vaskular, fase inflamasi dan fase lanjut.
Pada fase pra rosasea, pasien mengeluhkan kulit yang kemerah-merahan,
disertai dengan rasa perih yang tidak nyaman. Pencetus yang umumnya dilaporkan
untuk kelainan ini di antaranya adalah paparan sinar matahari, stres emosional,
cuaca panas atau dingin, alkohol, makanan berbumbu pedas, latihan berat, angin,
kosmetik, dan air mandi yang panas atau air minum yang panas. Gejala-gejala ini
menetap sepanjang fase lain penyakit ini.
Pada fase vaskular, pasien mengalami eritema pada wajah dan edema dengan
telangiektasis multipel, kemungkinan sebagai akibat dari instabilitas vasomotor
yang persisten atau menetap. Pada fase inflamasi, sering diikuti dengan
perkembangan papul dan pustul yang steril.
Beberapa pasien berkembang ke tahap lanjut rosasea, ditandai dengan
hiperplasia jaringan kasar pada pipi dan hidung (rinofima) yang disebabkan oleh
inflamasi jaringan, deposit kolagen dan hiperplasia glandula sebasea. Rosasea
okular bermanifestasi sebagai kombinasi dari blefarokonjungtivitis, iritis, skleritis,
dan keratitis, menimbulkan rasa gatal, sensasi benda asing, eritema, dan edema
pada mata.
Secara umum, terdapat riwayat wajah kemerahan dan rasa perih/terbakar
dengan peningkatan temperatur kulit sebagai respon dari stimulus panas pada
mulut (saat meminum air panas), makanan pedas, dan alkohol. Paparan sinar
matahari (rosasea sering dihubungkan dengan solar elastosis) dan udara panas
(misalnya pada koki yang selalu berdekatan dengan kompor yang panas) dapat
mengakibatkan terjadi eksaserbasi. Akne dapat didahului dengan rosasea selama
bertahun-tahun, meskipun demikian, rosasea mungkin dan biasanya timbul tanpa
didahului riwayat akne atau seboroik.
Lesi pada kulit meliputi
1. Lesi awal pada kulit
Warna kemerahan yang terasa panas (red face), papul yang kecil dan
papulopustul (2-3 mm), pustul sering kecil dan berada pada apeks papul. Tidak
terdapat komedo.
2. Lesi Lanjut
Wajah berwarna merah dan papul yang merah kehitaman dan terdapat nodul.
Lesi tersebar dan memiliki ciri-ciri tersendiri. Telangiektasis ditandai adanya
hiperplasia kelenjar sebasea dan limfadema pada rosasea yang kronik
menyebabkan ketidakteraturan bentuk hidung, dahi, kelopak mata, telinga dan
dagu. Karakteristik distribusi rosasea adalah lesi yang lokasinya simetris pada
wajah. Jarang pada leher, dada (area berbentuk V), punggung, dan kulit kepala.
3. Lesi yang khas, meliputi rinofima (pembesaran hidung), metofima
(pembesaran pada dahi), blefarofima (pembengkakan kelopak mata), otofima
(pembengkakan daun telinga yang mirip seperti bunga kol), dan gnatofima
(pembengkakan dagu) karena hiperplasia dari glandula sebasea dan terjadi
fibrosis. Pada palpasi, lesi khas tersebut terasa lembut dan kenyal seperti karet.
Keterlibatan mata pada rosasea berakibat blefaritis kronik, konjungtivitis, dan
episkleritis. Keratitis rosasea, sekalipun jarang, dapat timbul.

Gambar 5. Rosasea stadium III dengan rinofima

Histopatologi
Perubahan histologi tergantung stadium dari proses yang terjadi. Biasanya
terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas, ditandai dengan
adanya edema, kerusakan serabut otot dan sering terjadi elastosis yang berat. Fase
inflamasi ditandai adanya sel limfosit, histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan
benda asing tipe giant cell. Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada
folikel rambut daerah yang mengalami gangguan.
Tidak ada gambaran histologis yang spesifik untuk rosasea, tetapi kombinasi
dari beberapa tanda-tanda klinik dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Gambaran histopatologis yang paling sering ditemukan pada rosasea adalah
infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam jumlah besar yang letaknya agak
berjauhan satu dengan yang lain di sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis,
edema, elastosis, dan terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.

Gambar 6. Gambaran histopatologi dari rosasea

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada tes diagnostik yang spesifik sebab diagnosis utamanya didasarkan
atas gambaran klinik saja. Kultur bakteri dapat dilakukan jika dicurigai terdapat
infeksi Staphylococcus aureus dan secara khusus infestasi Demodex folliculorum.

Diagnosis banding
Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea yaitu
papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.
1. Papul atau pustul pada wajah
a. Akne vulgaris
Dapat terjadi pada umur remaja, kulit seboroik, terdapat komedo, papul,
pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung
bagian atas. Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat
komedo, ditemukan dilatasi vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan
umumnya terbatas pada 2/3 wajah.
b. Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan dagu,
polimorfi tanpa telangiektasis dan keluhan gatal.
Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat
telangiektasis dan flushing.

Gambar 8. Dermatitis perioral

2. Flushing atau eritema pada wajah


a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi
yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama

berminyak dan agak gatal dengan tempat predileksi retroaurikular, alis mata,
dan sulkus nasolabialis.

Gambar 9. Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritema dan skuama kekuningan pada
dahi , pipi, sulkus nasolabialis dan dagu

b. Lupus Eritematosus Sistemik


Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat
eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupukupu.

Gambar 10. SLE nampak gambaran eritema pada kedua pipi yang memberi gambaran mirip
kupu-kupu

c. Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang
menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai oleh adanya
edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah, leher, dan bagian atas
tubuh.

Gambar 11. Dermatomiositis. Terdapat eritema dan edema pada wajah, terutama pada daerah
sekitar mata

Penatalaksanaan
Topikal
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari bahan
bahan yang dapat mengiritasi seperti sabun, alkohol, larutan obat, dan yang dapat
merusak kulit. Hanya sabun tertentu yang dapat digunakan. Melindungi diri dari sinar
matahari sangat penting dilakukan yaitu dengan faktor pelindung 15 atau yang lebih
tinggi selalu di rekomendasikan seperti spektrum UVA dan UVB.
Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. Tetracycline, Eritromycin
dan Klindamycin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan. Metronidazole adalah
derivate synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazole
0,75% gel tropikal atau krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68% 91%. Bentuk
gel adalah yang paling efektif untuk papul dan pustul rosasea.
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya adalah
sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin imidazole
sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang sensitif. Adapalene Neftoic acid
derivate terbaru dengan poten retinoid acid reseptor agonis dan anti inflamasi.
Adapalene terbukti aman sebagai penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang
teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat pada papul dan pustul tapi kurang signifikan
pada eritem dan telangiektasis.
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang
mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal kortikosteroid
bisa digunakan kecuali untuk rosasea fulminant.
Sistemik
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin biasanya
efektif tetapi tetracyclin yang paling efektif. Tetracyclin-HCL, oxytetracyclin,
doxyciclin dan minocycline biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari
rosasea dan mengurangi eritem. Dapat dimulai dengan dosis 1 1,5 g tetracyclin-HCL
dan oxytetracyclin per hari, serta 50 g minocycline dan doxyciclyn diberikan dua kali
sehari. Tetracyclin oral efektif pada roasea oftalmica.

Isotretionin juga efektif meskipun mempunyai resiko yang lebih daripada


tetracyclin. Obat ini bisa digunakan untuk rosasea yang resisten terutama yang tidak
berespon terhadap antibiotik, seperti rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram
negatif, rosasea conglobate, rosasea fulminant. Dosisnya 0,5 1 mg/kg/hari. Efek
samping pada mata yang paling sering terjadi.
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant contohnya
prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.
Prognosis
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut.
Namun ada pula yang remisi secara spontan.

The

n
e
w
e
n
g
la
n
dj
o
u
r
n
al
of

m
e
di

DAFTAR PUSTAKA

Juanda A, Dermatosis eritroskuamosa. Dalam Juanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu


penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketiga. Cetakan ketiga. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 2000

Wolff K, Johnson RA. Rosacea. Disorders of Sebaceous and Apocrine Glands. In:
Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2009


Jones JB. Rosacea. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing and
Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C, editors. Rooks Text

Book of Dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell Publishing Company; 2004.


Diamantis S, Waldorf HA. Rosacea : Clinical Presentation and Pathophysiology. J
Drugs Dermatol. 2006.

Webster, Guy. Overview of the Patogenesis of Acne. In: Webster GF, Rawlings AV, eds.
Acne and its Therapy. London:Informa Healthcare;2007.

James WD, Berger TG, Elston DM. Acne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds.
Andrews disease of the skin Clinical Dermatology 10th ed. Canada : El Sevier; 2000.

Anda mungkin juga menyukai