Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN
Pada banyak individu proses fisiologis tertentu menurun bersamaan dengan penuan
(misalnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi, imunitas seluler). Meningkat dengan
bertambahnya usia perbedaan yang jelas tentang bagaimana proses penyakit
bermanisfestasi pada usia lanjut usia, di bandingkan dengan pasien muda, juga sangat
penting. Sementara itu, gejala yang timbul pada lanjut usia, yang menyatakan bahwa
pasien sakit, ,umgkin meyesatkan dalam dalam hal sifat dan lokasi proses penyakit
primer. Pada pasien lanjut usia kita juga harus mempertimbangkan faktor lain seperti
dehidrasi akibat berbagai etiologi, infeksi, gangguan jantung yang menghasilkan gagal
jantung tersembunyi, dan sebagainya.
Dengan meelihat kasus yang di berikan kelompok kami mendaptkan pasien
seorang laki-laki berumur 77 th mengeluhan saat berjalan pandangan berputar putar,
mual, lutut sakit bila berjalan dan bila bangun dari duduknya berbunyi kretek, saat
berbicara sering cadel, sering lupa, dan punya riwayat kencing manis sejak 2 th lalu.
Pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan lab:

Keadaan umum: baik

GDS 275 mg/dl

Kesadaran : Compos mentis : TD GD puasa 80-105mg/dl


110/65
NADI ; 72X/menit
Jantung : murmur (-)
Pulmo : ronkhi (-)
Hepar dan lien tidak teraba
Kulit ; berkerut turgor kurang
Extremita superior : tremor pada kedua
tangan
Dengan data diatas kelompok kami mendiagnosis bahwa pasien tersebut mengalami
vertigo, osteoartitis, Parkinson,dementia, DM tipe II terkendali, dan hiperfusi ortosstatik.
Maka di makalah ini saya akan membahas tentang keenam penyakit diatas.

BAB II
OESTEOARTITIS
2.1 PENDAHULUAN
Oesteoartritis (OA) merupakan penyakit generatif yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA,
prevelansi OA lutut radiologis di indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria
dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh saat melakukan aktivitas atau jika
ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat di
rasakan terus-menerus sehingga sangat menganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi
yang cukup tinggi dan sifatnya kronik progresif,OA mempunyai dampak sosio-ekonomik
yang besar, baik di negar maju maupun di negara berkembang.
Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalya dengan pengendalian faktorfaktor resiko,latihan, intervensi fisioterapi, dan teraoi farmakologis, pada OA fase lanjut
sering diperlukan pembedahan. Untuk membantu mengurrangi keluhan nyeri OA,
biasanya digunakan analgetik atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS). 1
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis difokuskan mengenai:

Profile pasien (umur, pekerjaan)

Faktor resiko

Faktor yang memperberat dan meringankan

Onset dan durasinya (akut atau kronik)

Ada tidaknya inflamasi sendi

Lokasi/ distribusi sendi yang terkena

Riwayat trauma

Riwayat penyakit keluarga

Perjalanan keluhan nyeri sendi apakah bersifat akut atau kronik

Karakteristik nyeri apakah termasuk nyeri ringan, sedang atau berat

2.3 PEMERIKSAAN
2.3.1 Pemeriksaan Fisik
Hambatan Gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini (secara
radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi
hanya

bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris

(seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).
Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik OA lutut. Pada awalnya hanya berupa
perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
memeriksa. Dengan bertambahnya beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar samapi
jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi
pada saat sendi digerakan atau secara pasif di manipulasi.
Pembengkakan Sendi Yang Sering Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak
banyak (lebih dari 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yamg dapat
mengubah permukaan sendi.
Tanda-Tanda Peradangan
Tanda-tanda peradangan pada sendi(nyeri tekan, ganguan gerak, rasa hangat yang merata
dan warna kemerahan) mungkin di jumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya
tanda-tanda ini tak meninjol dan timbul belakangan,seringkali dijumpai di lutut,
pergelangan kaki, dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.
Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi Yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,perubahan permukaan
sendi,berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan
sendi.
Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hamper selalu berhubungan dngan nyeri karena menjadi tumpuan berat
badan. Terutama di jumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan

stenosis spinal. Pada senid-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan,
osteoarthtitis juga menimbulkan gannguan fungsi.2
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Radiografis
Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah cukup
memberikan gambaran diagnostik yang lebih cangih
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :

Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menggung beban)

Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral

Kista tulang

Oseofut pada pinggir sendi

Perubahan struktur anatomi sendi


Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, sevcara radiografi OA dapat
digradasi menjadi ringan samapai berat. Harus diingat bahwa pada awal
penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.

2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium


Hsil pemeriksaan pada OA biasanya ak banyak berguna. Darah tepi (emoglobin,laju
endap darah, leokosit) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus
dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan immunologi (ANA, rematoid dan
komplemen) juga normal. Pada OA yang disetai peradangan, mungkin didapatkan
penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang peningkatan ringan sel
peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.
2.4GEJALA KLINIS
Nyeri sendi merupakan gejala utama, terutama sendi-sendi penyangga tubuh. Nyeri
brsifat khas yaitu meningkat bila untuk aktifitas. Penyebab nyeri pada osteoarthritis bukas
disebabkan oleh menipisnya rawan sendi tetapi karena spasme otot periartikuler,
mikrofraktur subkondral,iritasi ujung saraf pada sinovitis.
4

Selain nyeri keluhan lain yaitu kaku sendi yang biasanya tidak lebih dari jam,
biasanya kaku sendi terjadi setelah istirahat lama pada gerakan sendi sering terdengar
bunyi cracking. Pada pemeriksaan fisik dapat di jumpai nyeri tekan dan gerak pada
sendi yang terserang, pada fase lanjut didapatkan keterbatasan gerak dan pada perabaan
didapatkan krepitus pada saat sedi di gerakan. Pada palpasi didapatkan sendi yang
membesar disertai kelemahan otot partikuler. Pada lutut dapat di jumpai genu varus atau
valgus.
2.5 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis osteoarthtitis lutut
1. berdasarkan anamnesis dan pemeriksan fisik: nyeri lutu dan 3 dari berikut ini

umur > 50 tahun

kaku sendi < 30 menit

krepitus pada gerakan aktif

pembesaran sendi

nyeri tulang

tidak hangat pada perabaan

2. berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan radiologi: nyeri lutu dan 1


diantara berikut ini

umur 50 tahun

kaku sendi < 130 menit

krepitus pada gerakan aktif dan osteofit

3.

berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan labortorium


nyeri lutut dan 5 diantara berikut ini:

umur >50tahun

kaku sendi < 30 menit

krepitus pada gerakan aktif

pembesaran sendi

nyeri tulang

tidak hangat pada perabaan

led < 40 mm/jam

rheumatoid faktor < 1:40

analisis cairan sendi menunjukan OA3

2.6 EPIDEMIOLOGI/FAKTOR RESIKO


OA adalah penyakit sendi yang paling sring ditemukan pada manusia. OA lutut
merupakan penyebab utama hendaya (disability) kronik di negara-negara berkembang.
Dibawah usia 55 tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan perempuan sama pada
orang yang berusia lebih tua, OA panggul lebih sering pada laki-laki, sedangkan OA
sendi antarflang dan pangkal jempol sering terjadi pada perempuan. Terdapat perbedaan
prevalens OA dan pola kertelibatan sendi. OA sendi antarflang, dan terutama, OA
panggul lebih jarang padaa orang berkulit hitam afrika selatan dari pada kulit putih pada
populasi yang sama. Tidak di ketahui apakah karena keturunan genetik atau karena gaya
hidup dan perkejaan.
Faktor tertinggi OA adalah usia. Peningkatan prigresif prevalensi OA dijumpai
seiring dengan peningkatan usia. Pada survai radiografik terdapat perempuan berusia
kurang dari 45 tahun hanya 2% menderita OA namun antara, usia 45 dan 65 tahun
angkanya 68 %. Pada laki-laki, angkanya serupa tapi sedikit lebih rendah pada kelompok
usia tua. Trauma besar dan pengunaan sendi berulang merupakan risiko untuk OA.
Kerusakan tulang rawan atau sendi dapat terjadi pada saat cedera atau saat sesudahnya,
bahkan tulang rawan yang normal akan mengalami degenerasi bila sedikit tidak stabil.
Pola keterlibatan sendi dipengaruhi oleh beban yang berkaitan dengan perkejaan
(vokasioanal) atau avokasioanl sebelumnya. Sementara keterkaitan antara kegemukan
dan OA lutut telah lama diketahui, hubungan kausal antara keduanya hanya baru-baru ini
di buktikan. Untuk orang yang memiliki masa tubuh berada di quintile teritmggi pada
pemeriksaan dasar, risiko relatif mengalami OA lutut dalam 36 tahun mendatang adalah
1,5 untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan. Untuk OA lutu yang parah, resiko relatif
menibgkat menjadi 1,9 untuk laki-laki dan 3,2 umtuk perempuan, yamg mengisyaratkan
bahwa kegemukan berperan besar dalam etiologi kasus OA lutut yang parah. Sementara
nyeri sendi merupakan utama yang menyebabkan pasien OA mencari pengobatan,
6

hubungan antara keparahan patologik OA dan gejala tidak erat. Faktor resiko untuk nyeri
dan kecacatan pada pasien belom diketahui. Untuk tingkat keparahan patologi yang sama,
gejala lebih besar kemungkinannya timbul pada perempuan dari pada laki-laki, pada
mereka yang mendapat santunan daripada yang bekerja.4
2.7 ETIOLOGI
a) Usia lebih dari 40 tahun
b) Jenis kelamin : kemungkinan wanita terkena lebih besar dari pada pria
c) Suku bangsa
d) Genetik
e) Kegemukan dan penyakit metabolik
f) Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga
g) Kelainan pertumbuhan
h) Kepadatan tulang
2.8 PATOGENESIS
Patogenensis pada saat ini masih menjadi perdebatan,dahulunya osteoarthtitis dianggap
suatu proses degeneratif murni. Pada kenyataannnya proses osteoarthitits didapatkan
peran sitokin inflamasi dalam patogenesisnya.
OA merupakan penyakit gangguan homeostatis metabolisme rawan sendi dengan
kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya diperkirakan multifaktoral anatara
lain karena faktor umur stres mekanis dan khemis, pengunaan sendi yang
berlebihan,defek anatomik, obesitas, genetik humoral dan faktor kebudayaan.
Mikrofaktor pada permukaan rawan sendi maka akan diikuti dengan menurunya sintesis
glikosaminaglikan serta poliferasi kondrosit. Selain berpoliferasi kondrosit merespon
suatu trauma rawan sendi dengan memproduksi sitokin antara lain interleukin
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder.
OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan local pada sendi.
OA sekunder adalah OA yang di dasari oleh adanya kelainan edokrin, inflamasi,

metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu
lama. OA primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder.
2.9 KOMPLIKASI
Pada umumnya pasien datang dengan keluhan yang brlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan
Nyeri Sendi
Keluahan ini merupakan keluhan utama yang membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan
tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih di bandingkan dengan
gerakan yang lain.
Hambatan Gerakan Sendi
Gannguan ini niasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan
bertambahnya rasa nyeri.

Kaku Pagi
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti
duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama tau bahkan setelah bangun tidur
Krepitasi
Rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
Pembesaran Sendi (Deformitas)
Pasien mungkin menunjukan bahwa salah satu sendinya secara pelan-pelan membesar.
Perubahan Gaya Berjalan
Geajala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA
pergelangan kaki,tumit, lutut tau panggul berkembang menjadi pincang. Gannguan
berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk
kemandirian pasien OA yang umumnya tua.
2.10 PENATALAKSAAN OSTEOARTHTITIS

Prinsip penatalaksaan mengontrol nyeri secara kontinu,mempertahankan fungsi sendi


serta memperbaiki kualitas hidup penderita
Langkah 1 : nonfarmakologi
a. penyuluhan penderita
b. bantuan tenaga sosial profesioanl
c. latihan aerobik
d. menurunkan berat badan
e. terapi kerja, proteksi sendi, mengubah pola kebiasaan, pemakaian sepatu yang
nyaman.
f. Diet yang bergizi
Langkah 2 :
Pengunaan analgesik sederhana acetaminofen, dosis acetaminofen tidak boleh lebih
dari 4g/hari atau ibuprofen dosis rendah, ibu profen 3 x 400 mg, pemakaian topikal.

Langkah 3:
Bila nyeri tidak terkontrol dengan analgesik sederhana maka digunakan NSAID, hati-hati
pada umur >65, pemakaian steroid, riwayat ulkus peptikum atau pendarahan lambung.
Pada penderita dengan resiko maka dianjurkan memberikan misoprosrol, famotidine atau
Omeperazol. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, hipertensi pemakaian ACE
inhibitor sebaiknya memakai golongan COX-2 spesifik inhibitor, bila ada kontra-indikasi
pemakaian NSAID ATAU COX-2 maka dianjurkan pemakaian analgesik golongan opiat
dosis 200-300 mg.
Langkah 4 :
Khususnya Pada OA lutut bila ada efusi sendi maka dilakukan aspirasi dan injeksi steroid
intraartikuler (triamcinolon exacetonine 40 mg).
Langkah 5 :

Bila nyeri tidak terkontrol dengan obat sistemik maka dapat diberikan analgesik topikal
misalnya metilsalisilat atau capsaicin.
Langkah 6 :
Injeksi intraartikuer steroid atau hyaluronan (khusus pada OA lutut)4
Nama generik
Ibuprofen

Nama dagang
Anafen,bufect

Dosis harian
5-40mg/kg

catatan
Aman untuk anak >6th

Ketoprofen

Profenid,kaltrofen

150-300mg

Dosis pd gang,hati,ginjal,lansia

Naproksen

Naxen,synflex

1000-2000mg

Dosis pd gang,hati,ginjal,lansia

Diklofonak

Voltaren,altranac

100-200mg

Etodolak

Lodine

600-1200mg

Indometasin

Dialon

75-200mg

Piroksikam

Rexil,feldene

20mg

Meloksikam

Atrilox,loxinic

7.5-15mg

Nabumeton

Goflex

1000-1500mg

Celecoxib

Celebrex

200-800mg

etoricoxib

arcoxia

60-120mg

Dapat enz.tranaminase hati


Digunakan untik terapi PDA
Dosis pd gang hati dan lansia
Lansia: max 1000mg
Kl pada alergi sulfonamid

2.12 PROGNOSIS
Kita harus memutuskan apakah pengobatan osteoarthritis saja akan memperbaiki fungsi
sendi yang sakit ataukah pengobatan tentang masalah yang lainnya juga diperlukan.
Disamping itu keberadaan penyakit lain (misalnya penyakit renal,ulkus peptikum dan
hipertensi ) dapat membuat pengobatan osteoartritis menjadi lebih berbahaya dan sulit
dilaksanakan.
Pasien harus diberatahu dahulu mengenai sifat penyakitnya dan apa yang bisa
diharapkan secara realistik dari pengobatan yang akan didapatkannya.harapan yang tidak
realistik dapat menimbulkan frustasi dan depresi disamping kesalahpahaman antara
pasien dan dokter.
Prognosis osteiartritis kurang baik dalam jangka waktu satu sampai dua tahun

10

BAB III
VERTIGO

3.1 Pendahuluan
Dizziness merupakan gangguan yang seringkali membingungkan para ahlu dalam
penanganannya secara tuntas, meskipun gangguan ini banyak dialami terutama pada usia
lanjut, dan tidak mematikan. Hal ini berkaitan dengan akibat yang timbul yaitu fall yang
dapat terjadi luka, patah tulang, atau takut untuk beraktivitas. Banyak pasien dengan
dizziness kronis terutama lanjut usia tingkat rujukan untuk konsultasi ke spesialis masih
rendah, sehingga terapi yang tepat terlambat diberikan.
3.2 Pembahasan
Dizziness adalah sensasi, kepala terasa ringan, seperti akan pingsan, berputar, perasaan
mabuk, dan bisa juga tidak mengarah, seperti gangguan mental, pandangan kabur, pusing,
atau perasaan perih.
Dizziness merupakan keluhan yang sering dijumpai pada lanjut usia,
prevalensinya berkisar 30% pada individu yang berusia >65 tahun. Sebanyak 2%
konsultasi di pelayanan primer menyangkut dizziness, dan dizziness merupakan
penyebab utama nomor 14 penderita datang berobat ke spesialis dalam. Prevalensi
sedikit, dari 1622 (>60 tahun) di masyarakat didapat Dizziness 29,3% dan dalam 1 tahun
prevalensinya 18,2%. Dizziness dikaitkan dengan perasaan kesehatan yang buruk tetapi
tidak dikaitkan dengan risiko kematian, bahayanya besar, ada hubungan dengan
kesehatan menurun.
3.3 Etiologi dan Akibat

11

Penyakit yang mengancam jiwa pada dizziness umumnya jarang. Tetapi dizziness
berkaitan dengan banyak hendaya fungsional yang serius, seperti peningkatan risiko
untuk roboh, ketakutan akan roboh, ansietas atau depresi, dan hilangnya kemandirian
pada lansia.
Penyebab Dizziness Jonsson & Lipsitz (1994) secara ringkas dibagi 2, (1)
berkaitan dengan usia dan (2) berkaitan dengan gangguan pada saraf, sistemik, psikiatrik
dan gabungan dari hal tersebut. Sedangkan Kroenke dkk. (2000); Adelman (2001);
Wasilah Rochmah & Probosuseono (2006) lebih rinci sesudah menganalisis, sebagai
penyebab dizziness adalah :
a. vestibuolpati perifer (antara lain Benign Positional vertigo = BPV=VPB,Labirintis,
Penyakit Meniere,dll) sebesar 38-44%.
b. vestibulopati sentral. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang
makin sering siring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang
mengeluhkan dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang baru terjadi disertai
dengan simptom lain harus dipikirkan kemungkinan gangguan sistem saraf pusat yang
serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan sistem saraf pusat biasanya diperlukan
sebesar 10-11%
Untuk menegakkan diagnose dizziness, ada beberapa algoritma tetapi secara ringkas
umumnya berdasar orientasi penyakit, yaitu klinisi berusaha untuk mengeksklusi
penyebab yang fatal, dan mungkin juga berusaha mencari penyebab yang spesifik lalu
memberikan terapi yang sesuai.
Dizziness pada lanjut usia termasuk sindrom geriatric karena menggambarkan disfungsi
pada satu atau lebih system tubuh, dan mempunyai berbagai macam factor risiko
predisposisi yang beragam, antara lain : ansietas, depresi, menggunakan lima atau lebih
macam obat, gangguan keseimbangan, infark miokard terdahulu, hipotensi postural.
3.4 Macam (SUBTIPE) Dizziness
Drachman dan Hart membagi dizziness menjadi empat tipe, yaitu :
-

Vertigo
Presinkop
Disekuilibrium
12

Kepala yang terasa ringan tapi samar-samar diluar vertigo, sinkop, atau
disekuilibrium.

Vertigo
Vertigo merupakan suatu sensasi berputar, pasien merasa bahwa dia ataupun
lingkungannya berputar. Seringkali vertigo terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan
ketika berat umumnya dibarengi mual, muntah, dan jalan yang terhuyung-huyung.
Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer
sebanyak 54 %.
Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal positional
vertigo(BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah
obat-obatan

(alcohol,

barbiturate,

kokain,

aminoglikosida,
diuretic,

antikejang,

nitrogliserin,

kuinin,

antidepresan,
salisilat,

antihipertensi,

sedatif),

penyakit

serebrovaskular, migrain, labirinitis akut, multiple sklerosis, dan neoplasma intracranial.


Penyebab vertigo bisa perifer atau sentral. Diagnosis banding dari vertigo adalah
vestibular perifer (berasal dari system saraf perifer), vestibular sentral(berasal dari system
saraf sentral), dan kondisi lain.
Penyebab Vertigo Perifer
A. Benign paroxysmal positional vertigo(BPPV)
Benign paroxysmal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia.
BPPV merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala
mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat tidur.
BPPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan dari debris
menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan symptom pada pasien. BPPV kadang
kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis
BPPV dapat ditegakkan melalui tes Dix-Hallpike (kadang disebut juga dengan tes Barany
atau Nylen-Barany).
Terapi dari BPPV saat ini adalah maneuver Epley ataupun senam vertigo, yang
bertujuan untuk merelokasi debris yang melayang bebas di kanal semisirkuler posterior
13

kedalam vestibula dari vestibular laburun agar tidak vertigo lagi saat menggerakkn
kepala, atau untuk desensitisasi.
B. Labirintitis
Labirintitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibular perifer, kelainan ini
sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari atau
beberapa minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf
vestibular.
C. Penyakit Meniere
Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada
lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang.
Pada akhirnya tercapai suatu fase kronik burned out yang ditandai oleh hilangnya
pendengaran makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang.
Penyebab Vertigo Sentral
Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang
dari 10 persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin
sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan
dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang awalnya baru terjadi disertai dengan
symptom lain (sakit kepala, gangguan visus, atau symptom neurologis) harus dipikirkan
kemungkinan gangguan system saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk
pencitraan system saraf pusat biasanya diperlukan.
Riwayat Penyakit
Yang perlu diperhatikan pada riwayat penyakit adalah :
(1) Awitan, dan perjalanan dari symptom.
(2) Simptom dari dizziness dijelaskan oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan
menurut perkataan pasien sendiri penting, karena penelitian yang dilakukan oleh Kwong
dan Pimlott menunjukkan diagnosis umumnya dapat ditegakkan bila pasien menjelaskan
dizzinessnya berdasarkan perkataanya sendiri.
(3) Subtipe dari dizziness
(4) Terapi/ obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien.

14

3.5 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan awal mencakup pemeriksaan ortostatik, kardiovaskular,neurootologik, tajam
penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah tandem pemijatan
sinus karotis, maneuver Hallpike, status kognitif, symptom depresi, dan ansietas.
Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia,
kelainan katup jantung, dan bruit karotis.
Pemeriksaan neurotologik mencakup pemeriksaan telinga termasuk saraf cranial,
evaluasi telinga luar, dan tengah, dan tes fistula. Tes fistula dilakukan dengan
memberikan tekanan ke telinga dan dievaluasi terjadinya vertigo dan nistagmus. Hasil
positif menunjukkan adanya fistula dari labirin bisa karena kolesteatoma, atau infeksi.
Tes Romberg dan tes langkah tandem ditujukan untuk mengevaluasi komponen
vestibular, propioceptive, dan serebelar.
Pemijatan sinus karotis dilakukan dibawah pengawasan yang ketat, diperlukan
monitoring elektrokardiograf (EKG). Kontra indikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat
carotid bruit, mendapat digoksin, riwayat stroke, atau terdapat tanda stenosis aorta.\
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan penunjang
lain juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan tersebut harus
berdasarkan pendekatan sistematis. Audiogram lengkap harus dilakukan pada paisen
dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat kelainan pada pemeriksaan
neurootologik. Elektro- nistamografi (ENG) adalah pemeriksaan yang dapat membantu
membedakan disfungsi vestibular sentral atau perifer. ENG dilakukan pada pasien dengan
keluhan vertigo atau terdapat temuan dalam pemeriksaan neurootologik seperti
nistagmus.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan
pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses.

15

Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai
terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan
pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses.
CT dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau
lesi pada telinga tengah.
Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cervical dizziness.
Pemeriksaan ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan 24
jam Holter monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop.
Cara terbaik untuk mengevaluasi dizziness pada lanjut usia yang melibatkan
kelompok dizziness dan control. Hasil pemeriksaan darah, EKG, ENG, dan MRI tidak
dapat membedakan antara kelompok dizziness dan control. Yang membedakan antara
kedua kelompok adalah posturografi (suatu teknik yang dapat mendeteksi goyangan saat
berdiri), dan assessment klinis. Assessment klinis meliputi pemeriksaan fisik, provokasi
dizziness (seperti hiperventilasi, memutar kepala, tes Romberg, dan perubahan postural),
dan assessment psikologis. Penelitian lain juga menunjukkan Pemeriksaan MRI rutin
tidak dapat membedakan antara kelompok dizziness dengan control.
3.7 Penatalaksan
Pengobatan yang paripurna dizziness tergantung penyakit dan atau penyakit yang
mendasarinya, sebaiknya secara multi disiplin dan inter disiplin. Langkah penghentian
obat atau penetusnya, aan dan atau segera merujuk lebih lanjut ke ahli yang lain yang
kompeten dibidangnya. Pengobatan simptomatik dapat menggunakan sedative (efek
sementara). Setiap pemberian medikasi pada usia lanjut harus dipertimbangkan untung
ruginya ( memperhatikan efek samping, misalnya falls, bingung).
Apabila sebabnya vertigo perifer (BPPV) dapat diberikan desensitasi dengan
latihan gerakan khusus yang disebut senam vertigo.

16

BAB IV
DIABETES MELITUS

Diabetes Mellitus Tipe II tidak tergantung insulin/Non-Insulin


Dependant Diabetes Mellitus (NIDDM).
4.1 ANAMNESIS
Dari kasus hasil anamnesis mendapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat
kencing manis diketahui sejak 2 tahun yang lalu.
4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG
I.
II.
III.

Glukosa darah sewaktu


Kadar glukosa darah puasa
Tes toleransi glukosa

Cek
GDS

Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

17

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah


mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

4.3 WORKING DIAGNOSIS


Diabetes Mellitus tipe 2 terkendali.
4.4 EPIDEMIOLOGI
Diabetes mellitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari
90%). Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada decade ke 7 kekerapan
diabetes mencapau 3 sampai 4 kali lebuh tinggi daripada rata-rata orang dewasa. Pada
keadaan dengan kadar glukosa tidak terlalu tinggi atau belum ada komplikasi, biasanya
pasien tidak berobat ke rumah sakit atau ke dokter. Ada juga yang didiagnosis sebagai
diabetes tetapi karena kekurangan biasanya pasien tidak berobat lagi. Hal ini
menyebabkan jumlah pasien diabetes yang tidak terdiagnosis lebih banyak daripada yang
terdiagnosis.
Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat dengan
disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup, berkurangnya
kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang disebabkan oleh karena
gaya hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak dan pola makan tidak sehat.
4.5 ETIOLOGI
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi
terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas
glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas
fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan,
disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih
dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat

18

dikatakan sebagai diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan
insulin terutama pada post reseptor.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia:
1. Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi insulin.
2. Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot dan
perubahan vaskuler.
3. Obesitas, banyak makan.
4. Aktivitas fisik yang kurang
5. Penggunaan obat yang bermacam-macam.
6. Keturunan
7. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress
4.6 GEJALA DAN TANDA KLINIS
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM
umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat
komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat
perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi
dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering
muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada
tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar
sembuh dengan pengobatanlazim., gejala-gejala akibat DM pada lansua yang sering
ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati

19

9. Neuropati perifer
10.Neuropati viseral
11.Amiotropi
12.Ulkus Neurotropik
13.Penyakit ginjal
14.Penyakit pembuluh darah perifer
15.Penyakit koroner
16.Penyakit pembuluh darah otak
17.Hipertensi
4.7 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan
seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses
menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh,
menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal
khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif.
Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh karena itu
munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena aged related insulin resistance
atau aged related insulin sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.3
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik,
lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses
menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor
ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka
timbulnya DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik
sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan sasaran.1
Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:1,2

Penurunan aktifitas fisik

Peningkatan lemak

Efek penuaan pada kerja insulin

Obat-obatan
20

Genetik

Penyakit lain yang ada

Efek penuaan pada sel

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin gangguan toleransi


glukosa dan diabetes melitus tipe 2. Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada
lanjut usia meliputi
perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa
yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebihtampak pada respon
pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan
metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin.
Pada lanjut usia sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2
jam setelah pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl)
yang disebutIsolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) 1

21

4.8 PENATALAKSANAAN
Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:
1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
5. Membuat berat badan menjadi ideal
6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi

22

Langkah II:
Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik, psikologis,
fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan
oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dan terpadu.
Langkah III:
Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target yang ingin
dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini sangat sulit pada
lansia karena terdapat berbagai macam kendala seperti:

Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua

Adanya penyakit komorbid

Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik

Penurunan fungsi kognitif penderita meningkatnya resiko hipoglikemi

Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain dengan
obat-obat antihiperglikemik

Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa obat atau sering disebut
sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:

1. Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai penyakit
komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi normal biasanya
60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak. Disamping itu juga
diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi. Untuk

23

hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian makanan pada
lansia dengan diabetes:
Akses terhadap makanan:
Disabilitas fungsional
o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan makanan

Sumber daya keuangan yang terbatas


o Asupan makanan:

Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun

Gigi yang buruk dan atau xerostomia

Kebiasaan makan yang sudah berakar


Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional
2. Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh
berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa
dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi olahraga
adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula darah, mencegah
terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau
terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat antihiperglikemik.
3. Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,
mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi efek

24

samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam memilih obat
mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur
hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan
klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih
adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione, karena
obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan berat badan,
tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione
tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan
insulin karena dapat menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin
secretagoue (repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat
badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM
tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut
berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit komorbid
yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang lama
(pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik
(ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan
hamil.
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan
langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi, evaluasi dan
rehabilitasi pada penderita. Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan
komplikasi yang akan terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen
antara dokter, penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan,
bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan
mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita dan
sekaligus menerapi komorbid yang ada.
Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk: evaluasi
status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial serta hasrat/

25

kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikanhal-hal tersebut
biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita diabetes untuk terus
berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap penderita,
tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan penyakit
komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan secepatnya tidak
perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan keadaan penderita saat
itu.
4.9 PENCEGAHAN

Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit DM dengan


mengetahui faktor yang berpengaruh terjadinya diabetes mellitus antara lain ;
a) Keturunan
b) Kegiatan jasmani yang kurang
c) Kegemukan/distribusi lemak
d) Nutrisi berlebih
e) Faktor lain, obat-obat dann hormone.

Pencegahan sekunder : mencegah agar walaupun sudah timbul penyakit, namun


penyulitnya tidak terjadi

Pencegahan tersier :usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut
walaupun sudah terjadi penyulit.

Usaha pencegahan mencakup :


Pendekatan pada penduduk, berusaha mengubah dan memperbaiki gaya hidup
agar menguntungkan terhadap tidak timbulnya diabetes mellitus atau penyulitnya.
(primer dan sekunder)
Pendekatan perorangan pada mereka yang beresiko tinggi untuk mengidap
penyakit diabetes mellitus dan pada pasien /penyandang diabetes mellitus (primer,
sekunder dan tersier).5
4.10 KOMPLIKASI

26

Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara lain


penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non ketotk) dan
kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan penyakit
kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari diabetesnya (nephropati,
retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang mungkin terjadi pada penderita non
diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih berat pada penderita diabetes.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Makroangiopati (aterosklerosis), mikroangiopati, dan neuropati.
2. Koma hiperosmolaritas dimana glukosa darah didapatkan sangat tinggi (>600 mg/dL)
3. Hipernatremia, osmolaritas tinggi (>350 m Osm/L)
4.11 PROGNOSIS
Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10 tahun,
oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda untuk
menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita lebih
pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi akut, yang
mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia. Pada pasien ini, dari anamnesis yang
mengarah ke gejala kencing manis hanya didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil
banyak).
Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala
diabetes melitus, hanya didapatkan tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas
(ronkhi basah halus) dan adanya infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).

BAB V
DIMENSIA
5.1 PENDAHULUAN

27

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh
penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia
merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Pasien dengan
demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti
berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang
terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara
bermakna.
Demensia menyerang daya ingat seseorang yang umumnya progresif dan ireversibel.
Biasanya ini sering terjadi pada orang yang berusia > 65 tahun. Di Indonesia sering
menganggap bahwa demensia ini merupakan gejala yang normal pada setiap orang tua.
Namun kenyataannya, suatu persepsi yang mengatakan bahwa setiap orang tua
mengalami gangguan atau penurunan daya ingat adalah suatu proses yang normal saja
adalah salah. Anggapan ini harus dihilangkan dari pandangan masyarakat kita yang salah.
Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama
makin parah. Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil; tetapi
penderita demensia bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.
5.2 Faktor resiko yang sering menyebabkan lanjut usia terkena demensia adalah :

usia,

riwayat keluarga,

jenis kelamin perempuan.

Demensia tidak selalu menyerang orang tua. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara
mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida)
menyebabkan hancurnya sel-sel otak.
5.3 Anamnesis

28

Karena pasien demensia kehilangan daya ingat, daya pikir, rasionalitas, kepandaian
bergaul dan apa yang disebut sebagai reaksi emosi normal,maka anamnesis dilakukan
kepada pemberi informasi (keluarga atau kerabat terdekat). Anamnesis terdiri dari :
-

menanyakan identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi
informasi (misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.

menanyakan keluhan utama: pernyataan tentang permasalahan yang sedang


dihadapinya. Contoh : sering lupa dan mudah tersinggung

Riwayat penyakit sekarang (RPS): pastikan gejala dimensia dengan menjelaskan


dimensia berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, lokasi anatomi dan
penyebarannya, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa
yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan,
intermitten.

Riwayat keluarga dan psykososial yang berkaitan dengan keluhan utama atau
masalah kesehatan lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): pengobatan yang dijalani sekarang, termasuk


OTC, vitamin dan obat herbal.

Menanyakan tentang pemeliharaan kesehatan pasien atau faktor pemicu dan


keluhan penyerta.

5.4 Pemeriksaan
- Pemeriksaan fisis dan neurologis
Pemeriksaaan fisis dan neurologis pada pasien demensia dilakukan untuk mencari
keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan
gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan
sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,
hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya
timbul pada FTD, DLB atau dementia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi
vitamin B12, intoksikasi logam berat dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejalagejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan

29

peglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering
disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut, defisit sensorik seperti ini sering
terjadi.
- Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik
Pemeriksaan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the
mini mental status examination (MMSE) yang dapat pula digunakan untuk memantau
perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat diekrjakan,
berupa 30 point test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori
kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata.
Sebagai contoh pasien dengan demensia vaskuler sering menunjukan campuran defisit
eksekutif frontal dan visuospasial.
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan
dampak kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian,
berpakaian, dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan
membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga.
- Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada
semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat.
Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit dan VDRL
direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu
dipertimbangkan adalah piungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di
urin/ darah, dan Apolipoprotein E.
Selain itu pemeriksaan penunjang lain yang dianjurkan adalah CT/MRI kepala.
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer/sekunder, lokasi area infark,
hematoma subdural dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan normal atau
penyakit white matter yang luas. Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan
demensia vaskuler. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan hipofungsi atau
hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer, namun masih dalam
penelitian.

30

5.5 Diagnosis
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang sesuai
dengan Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSM-IV).
Adapun kriterianya adalah :
- munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut :
a. gangguan memori
b. satu atau lebih gangguan kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia, dan
gangguan fungsi eksekutif.
- defisit kognitif yang terdapat pada kriteria diatas menyebabkan gangguan bermakna
pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.
5.6 Epidemiologi
Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia.
Setelah usia 65 tahun, prevalansi dimensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan
usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih adalah
5,6 %. Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit
Alzheimer sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab
tersering demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy
body, demensia fronto temporal (FTD) dan demensia pada penyakit Parkinson.
Proporsi perempuan yang mengalami Alzheimer lebih tinggi dibandingkan lakilaki. Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena
perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga
disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit Alzheimer. Faktor-faktor
risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan Alzheimer adalah
hipertensi, atau diabetes melitus.
Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama
mempunyai resiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer walaupun sebagian
besrar pasien tidak mempunyai riwaya keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E

31

bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculny alel ini merupakan faktor utama
yang mempermudh seseorang menderita Alzheimer.
5.7 Etiologi/penyebab
Yang paling sering menyebabkan demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyebab
penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik, karena
penyakit ini tampaknya ditemukan dalam beberapa keluarga dan disebabkan atau
dipengaruhi oleh beberapa kelainan gen tertentu.
Pada penyakit Alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi
kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di
dalam otak.Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut
saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia
sosok Lewy sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam
perubahan mikroskopik yang terjadi di dalam otak.
Penyebab ke-2 tersering dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut. Stroke
tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang
timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan
otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut
infark.Demensia yang berasal dari beberapa stroke kecil disebut demensia multi-infark.
Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang
keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. Demensia juga bisa terjadi
setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.
Penyebab lain dari demensia adalah:
- Penyakit Pick
- Penyakit Parkinson
- AIDS
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob

32

Hidrosefalus bertekanan normal terjadi jika cairan yang secara normal mengelilingi otak
dan melindunginya dari cedera, gagal diserap sebagaimana mestinya. Hidrosefalus ini
menyebabkan demensia yang tidak biasa, dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya
fungsi mental tetapi juga terjadi inkontinensia air kemih dan kelainan berjalan.
Orang yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju) seringkali mengalami
demensia pugilistika (ensefalopati traumatik progresif kronik); beberapa diantaranya juga
menderita hidrosefalus.
Usia lanjut yang menderita depresi juga mengalami pseudodemensia. Mereka jarang
makan dan tidur serta sering mengeluh tentang ingatannya yang berkurang; sedangkan
pada demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan mereka.
5.8 Gejala
Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga
keadaan ini pada mulanya tidak disadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan
untuk mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali orang, tempat dan benda.
Penderita memiliki kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan
dalam pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian angka).
Sering terjadi perubahan kepribadian. Demensia karena penyakit Alzheimer biasanya
dimulai secara samar. Gejala awal biasanya adalah lupa akan peristiwa yang baru saja
terjadi; tetapi bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi
atau perubahan kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara;
penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang
tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Ketidakmampuan
mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkan kesulitan dalam mengemudikan kendaraan.
Pada akhirnya penderita tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya.

33

Demensia karena stroke kecil memiliki perjalanan penyakit dengan pola seperti menuruni
tangga. Gejalanya memburuk secara tiba-tiba, kemudian agak membaik dan selanjutnya
akan memburuk kembali ketika stroke yang berikutnya terjadi. Mengendalikan tekanan
darah tinggi dan kencing manis kadang dapat mencegah stroke berikutnya dan kadang
terjadi penyembuhan ringan.
Beberapa penderita bisa menyembunyikan kekurangan mereka dengan baik. Mereka
menghindari aktivitas yang rumit (misalnya membaca atau bekerja). Penderita yang tidak
berhasil merubah hidupnya bisa mengalami frustasi karena ketidakmampuannya
melakukan tugas sehari-hari. Penderita lupa untuk melakukan tugasnya yang penting atau
salah dalam melakukan tugasnya.

BAB VI
PARKINSON
6.1 Pendahuluan
Penyakit Parkinson dimulai secara samar-samar dan berkembang secara perlahan.
Pada banyak penderita, pada mulanya Parkinson muncul sebagai tremor (gemetar) tangan
ketika sedang beristirahat, tremor akan berkurang jika tangan digerakkan secara sengaja
dan menghilang selama tidur. Stres emosional atau kelelahan bisa memperberat tremor.
34

Pada awalnya tremor terjadi pada satu tangan, akhirnya akan mengenai tangan lainnya,
lengan dan tungkai. Tremor juga akan mengenai rahang, lidah, kening dan kelopak mata.
Pada sepertiga penderita, tremor bukan merupakan gejala awal; pada penderita lainnya
tremor semakin berkurang sejalan dengan berkembangnya penyakit dan sisanya tidak
pernah mengalami tremor.
Penderita mengalami kesulitan dalam memulai suatu pergerakan dan terjadi kekakuan
otot. Jika lengan bawah ditekuk ke belakang atau diluruskan oleh orang lain, maka
gerakannya terasa kaku. Kekakuan dan imobilitas bisa menyebabkan sakit otot dan
kelelahan. Kekakuan dan kesulitan dalam memulai suatu pergerakan bisa menyebabkan
berbagai kesulitan. Otot-otot kecil di tangan seringkali mengalami gangguan, sehingga
pekerjaan sehari -hari (misalnya mengancingkan baju dan mengikat tali sepatu) semakin
sulit dilakukan.
Penderita mengalami kesulitan dalam melangkah dan seringkali berjalan tertatih-tatih
dimana lengannya tidak berayun sesuai dengan langkahnya. Jika penderita sudah mulai
berjalan, mereka mengalami kesulitan untuk berhenti atau berbalik. Langkahnya
bertambah cepat sehingga mendorong mereka untuk berlari kecil supaya tidak terjatuh.
Sikap tubuhnya menjadi bungkuk dan sulit mempertahankan keseimbangan sehingga
cenderung jatuh ke depan atau ke belakang.
Wajah penderita menjadi kurang ekspresif karena otot-otot wajah untuk membentuk
ekspresi tidak bergerak. Kadang berkurangnya ekspresi wajah ini disalah artikan sebagai
depresi, walaupun memang banyak penderita Parkinson yang akhirnya mengalami
depresi. Pandangan tampak kosong dengan mulut terbuka dan matanya jarang mengedip.
Penderita seringkali ileran atau tersedak karena kekakuan pada otot wajah dan
tenggorokan menyebabkan kesulitan menelan. Penderita berbicara sangat pelan dan tanpa
aksen

(monoton)

dan

menjadi

gagap

karena

mengalami

kesulitan

dalam

mengartikulasikan fikirannya. Sebagian besar penderita memiliki intelektual yang


normal, tetapi ada juga yang menjadi pikun.

35

6.2 Patofisiologi Penyakot Parkinson


Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penuruna
kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta ( SNc )
sebesar 40 50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik ( Lewy bodies )
dengan penyebab multifactor.
Substansia nigra ( sering disebut sebagai Black substance ), adalah suatu regio
kecil di otak( brain stem 0 yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini
menjadi pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel selnya yang
menghasilkan neurotransmitter disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh
pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat.
Dopamine diperlukan untuk komun ikasi elektrokimia antara sel sel neuron di otak
terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan reflex postural, serta kelancaran
komunikasi ( bicara ). Pada PP sel sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga
produksi dopamine menurun ], akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat
menurun dan menghasilkan kelambanan gerak ( bradikinesia ), kelambanan bicara dan
berfikir( bradifrenia ), tremor, dan kekakuan ( rigiditas ).
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc
adalah Stress Oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal,
seperti dopamine quinon yang dapat beraksi dengan alfa sinuklein ( disebut protofibrils ).
Formasi ini menumpuk, tidak dapat di degradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway,
sehingga menyebabkan kematian sel sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu
dipertimbangkan antara lain :
-

Efek lain dari stress oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan

nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.


Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosine
trifosfat( ATP) dan akumulasi electron electron yang memperburuk stress

oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.


Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang
memicu apoptosis sel sel SNc.

6.3 Penatalaksanaan Penyakit Parkinson

36

Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP


dibedakan menjadi 3 hal yaitu :
-

Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit


Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit
Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
neuron yang masih ada.

Pilihan terapi PP dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut :


- Menigkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan :
+ meningkatkan konsentrasi dopamine pada sinap (levodopa ),
+ memberikan agonis dopamine
+ meningkatkan pelepasan dopamine
+ menghambat degradasi dopamine
- Manipulasi neurotrasmiter non dopaminergik dengan obat obat antikolinergik
-

dan obat obat lain yang dapat memodulasi sistem non dopaminergik
Memberikan obat obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP

dengan mencegah kematian sel sel neuron.


Terapi pembedahan: ablasi, stimulasi otak dalam, brain grafting ( bertujuan untuk
memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang

mendasari).
Terapi pencegahan/preventif : menghilangkan faktor resiko atau penyebab PP
Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang

penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat,


perbaikan dengan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5 0,8 gram/Kg BB
per hari, terapi fisik dengan latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat
berjalan.
Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses
degradasi dopamin ( DA ) di otak. Dopamine memiliki 2 reseptor yaitu D1 yang bersifat
eksitatorik dan reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. Dalam keadaan normal setelah DA
dilepaskan dari ujung saraf nigrostriatrum akan merangsang D1 dan D2. Keberadaan DA
bila tidak diperlukan lagi akan dikonversi sebagai :
- 3-0-methyldopa oleh enzim cathecol -0- methyltransferase (COMT ).
- 3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine oxidase ( MAO ).
6.3.1 Terapi Medikamentosa
Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu :
- Obat yang Mengganti Dopamin ( Levodopa, Carbidopa )

37

+ Obat ini merupakan obat utama, hamper selalu digunakan untuk terapi PP. Di
dalam badan levodopa akan diubah sebagai dopamine. Obat ini sangat efektif
untuk menghilangkan gejala karena langsung mengganti DA yang produksinya
sangat menurun akibat degenerasi SNc. Efek samping obat ini antara lain: mual,
dizziness, muntah, hipotensi postural, dan konstipasi. Obat ini juga mempunyai
efek samping jangka lama yaitu munculnya diskinesia ( gerakan involunter yang
tidak dikehendaki seperti korea, mioklonus, distonia, akatisia). Ada
kecenderungan obat ini memerlukan peningkatan dosis bila dipakai sendirian.
Pada pemakaian obat ini dikenal juga fenomena on-off atau disebut fenomena
-

wearing off. Oleh sebab itu pemakaian obat ini harus dipantau dengan baik.
Agonis Dopamin ( bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirol )
+ merupakan obat yang mempunyai efek serupa dopamine pada reseptor D1
maupun D2. Di dalam badan tidak akan mengalami konversi, sehingga dapat
digunakan sebagai obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai
kombinasi utama dengan levodopa- carbidopa agar dapat menurunkan dosis
levodopa, sehingga dapat menghindari terjadinya diskinesia atau mengurangi
fenomena on-off. Efek samping obat ini ialah : halusinasi, psikosis,
eritromelalgia, edema kaki, mual,dan muntah. Sayangnya obat ini tidak dapat

menghambat progresivitas PP.


Antikolinergik ( Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden )
+ obat ini menghambat aksi neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat
ini membantu mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin,
sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Efek samping obat ini antara lain mulut
kering, dan mata kabur. Sebaiknya obat ini tidak diberikan pada penderita PP
yang di atas 70 tahun; karena dapat menyebabkan penurunan daya ingat dan

retensio urin pada laki laki.


Penghambat Monoamin Oxidase/MAO ( selegiline )
+ Peranan obat ini untuk mencegah degradasi dopamine menjadi 3-4
dihydroxyphenilacetic di otak. Karena MAO dihambat maka umur dopamine
menjadi lebih panjang. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan
levodopa carbidopa. Selain itu obat ini bias berfungsi sebagai antidepresi
ringan( merupakan obat pilihan dengan gejala depresi menonjol ). Efek samping
obat ini berupa penurunan tekanan darah dan aritmia.

38

Amantadin
+ Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja dibagian lain otak. Obat
ini dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui ternyata dapat
menghilangkan gejala PP yaitu menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan
fatique pada awal PP dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik ( fenomena
on/off ) dan diskinesia pada penderita PP lanjut. Dapat dipakai sendirian, atau
sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamine. Efek samping obat

yang paling menonjol mengakibatkan mengantuk.


Penghambat catechol 0-methyl Transferase/ COMT( Tolcapone,Entacapone)
+ Ini merupakan obat yang masih relative baru, berfungsi menghambat degradasi
dopamine oleh enzim COMT dan memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai
dipakai sebagai kombinasi levodopa saat effektivitas levodopa menurun.
Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini dapat memperbaiki fenomena
on/off, memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari hari ( AKS ). Efek
samping obat berupa gangguan terhadap fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes
fungsi hati secara serial pada penggunanya. Obat ini juga menyebabkan
perubahan warna urin menjadi warna oranye.
Selain obat utama tersebut diatas sering juga diberikan obat obat
neuroprotektif seperti antioksidan dan juga obat obat yang memperbaiki
metabolism otak. Obat lain yang sering digunakan juga adalah obat anti depresi
dan anti ansietas ( berdasarkan indikasi yang tepat)

6.3.2 Terapi Pembedahan


Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terapi
medikamentosa seperti diatas, tetapi ada juga yang tidak bias dikendalikan oleh obat,
terutama efek fluktuasi motorik ( fenomena on/off ). Pada saat on penderita dapat
bergerak dengan mudah, terdapat perbaikan pada gejala tremor dan kekakuannya. Pada
saat off penderita akan sangat sulit bergerak, tremor dan kekakuan tubuhnya meningkat.
Periode off ada kalanya muncul sejak awal pemberian levodopa dan tak dapat diatasi
dengan meningkatkan dosis, kejadian ini disebut wearing off dan diskinesia yang terjadi
pada penderita PP kadang tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa dan
memerlukan terapi pembedahan.

39

Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu :
- Terapi ablasi di lesi otak. Termasuk dalam kategori ini adalah thalamotomy dan
pallidotomy. Pada prosedur ini dokter bedah melakukan penghancuran di pusat
lesi di otak dengan menggunakan kauterisasi. Tidak ada instrument apapun yang
dipasang di otak setelah penghancuran tersebut. Efek operasi ini bersifat
permanen seumur hidup, dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi di kedua
tempat tersebut. Pembedahan thalamic saat ini secara umum diterima untuk terapi
definitive penderita tremor esensial, dan tidak lagi diterima sebagai terapi pada
-

PP.
Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation/ DBS). Pada operasi ini
dokter bedah menempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di
otakyang dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang dibawah kulit dada
seperti alat pacu jantung. Pada prosedur ini tidak ada penghancuran lesi di otak,
jadi relatif aman. Prosedur ini termasuk baru jadi belum ada data tentang efek

samping.
Transplantasi otak (brain grafting ). Prosedur ini menggunakan graft sel otak
janin atau autologus adrenal. Tehnik operasi ini sering terbentur pada bermacam
hambatan seperti ketiadaan donor, kesulitas prosedur baik teknis, maupun
perijinan. Namun hasil hasil penelitian terhadap penderita yang telah menjalani
prosedur ini memberikan harapan baik bagi penyembuhan PP.

6.3.3 Terapi Rehabilitasi


Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan
kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari hari ( AKS ). Latihan
yang diperlukan bagi penderita PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi.
Latihan fisioterapi meliputi : latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi
trunkus, latihan frenkle untuk berjalan dengan menapakan kaki pada tanda tanda di
lantai, latihan isometric untuk latihan kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar
memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi.
Latihan okupasi yang memerlukan kajian AKS pasien, pengkajian lingkungan
tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam
strategi, antara lain :

40

Strategi kognitif, untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas dan


tidak cepat, mampu menggunakan tanda tanda verbal maupun visual dan hanya

melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.


Strategi gerak, seperti bila akan berbelok saat berjalan gunakan tikungan yang
agak lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dari

lantai.
Strategi keseimbangan, melakukan AKS dengan duduk atau berdiri dengan
kedua kaki terbuka lebar dan dengan berpegangan pada dinding. Hindari eskalator
atau pintu berputar. Saat berjalan ditempat ramai atau lantai tidak rata harus
konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar.
Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status

mental pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi
kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.
6.4 Pencegahan Penyakit Parkinson
- hindari pestisida
- hindari polusi
- menghindari penyalahgunaan obat( mis tetrahydro piridin, terkandung dalam narkoba )
- menjaga kesehatan jasmani mis. Berolahraga
6.5 Komplikasi Penyakit Parkinson
- Gangguan keseimbangan pasien
- Dementia
6.6 PROGNOSIS
PD tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan sendirinya, tapi berkembang
dengan waktu. Harapan hidup rata-rata pasien PD pada umumnya lebih rendah daripada
orang yang tidak memiliki penyakit. Pada tahap akhir penyakit, PD dapat menyebabkan
komplikasi seperti tersedak, pneumonia, dan jatuh yang dapat menyebabkan kematian.
Perkembangan gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Pada beberapa
orang, namun, penyakit berlangsung lebih cepat. Tidak ada cara untuk memprediksi apa
saja penyakit akan mengambil untuk seorang individu. Dengan perawatan yang tepat,
kebanyakan orang dengan PD dapat hidup produktif selama bertahun-tahun setelah
diagnosis. Ada beberapa indikasi bahwa penyakit Parkinson memperoleh resistensi
terhadap terapi obat oleh berkembang menjadi gangguan Parkinson-plus, biasanya Lewy
41

Body Dementia, meskipun transisi ke Progresif supranuclear Palsy atau Multiple System
Atrophy tidak diketahui.
Dalam setidaknya beberapa penelitian, telah diamati bahwa mortalitas meningkat secara
signifikan, dan umur panjang mengalami penurunan antara pasien rumah jompo
dibandingkan dengan pasien tinggal masyarakat.
Salah satu sistem yang biasa digunakan untuk menggambarkan bagaimana gejala
kemajuan PD disebut Hoehn dan skala Yahr. Lain skala umum digunakan adalah Unified
Parkinson's Disease Rating Scale (UPDRS). Ini skala yang jauh lebih rumit memiliki
beberapa peringkat yang mengukur fungsi motorik, dan juga fungsi mental, perilaku,
suasana hati, dan aktivitas hidup sehari-hari. Baik Hoehn dan skala Yahr dan UPDRS
digunakan untuk mengukur bagaimana individu adalah faring dan berapa banyak
perawatan membantu mereka. Perlu dicatat bahwa tidak skala khusus untuk penyakit
Parkinson, bahwa pasien dengan penyakit lain skor bisa di kisaran Parkinson.

42

BAB VII
HIPOPERFUSI ORTOSTATIK
7.1 Pendahuluan
Acute renal failure (ARF) merupakan suatu syndrome klinik yang ditandai dengan
adanya gangguan fungsi ginjal secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa
hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (ureum-kreatinin) dan nonnitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya
gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan
metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta
dampak terhadap berbagai organ tubuh lainnya.
Mortalitas penderita ARF masih cukup tinggi, 40 50 % pada ARF oliguri dan 15 20 %
pada ARF non-oliguri. Sampai saat ini pengobatan ARF terbatas pada tindakan-tindakan
suportif dan usaha-usaha preventif serta dialisis bila ada indikasi.
Insiden ARF di populasi umum kurang dari 1 %, 5 7 % pada penderita yang dirawat di
rumah sakit dan 20 25 % dari penderita di ruang perawatan intensif.
Secara garis besar, ARF dibagi atas ARF pre-renal yang diakibatkan oleh hipoperfusi
ginjal, ARF renal (intrinsik) yang terjadi sebagai akibat dari gangguan pada struktur dari
nefron (glomeruli, tubuli, pembuluh darah, dan interstitium), serta ARF post-renal yang
terjadi sebagai akibat dari obstruksi saluran kemih, baik obstruksi intra-renal maupun
ekstra-renal, mulai dari pelvis renalis hinARF uretra.
7.2 Klasifikasi
Untuk tujuan diagnosis dan penanganan, ARF dibagi dalam 3 kategori :14
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi renal tanpa melibatkan integritas
parenkim ginjal (ARF pre-renal, azotemia pre-renal)

43

2. Penyakit yang secara langsung mempengaruhi parenkim ginjal (ARF renal,


azotemia renal)
3. Penyakit yang berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius (ARF post-renal,
azotemia)
Secara laboratorik diagnosis ARF dapat ditegakkan apabila terjadi peningkatan secara
mendadak kreatinin serum 0,5 mg% pada penderita dengan kadar kreatinin awal <2,5>
20 % bila kreatinin awal > 2,5 mg%. The Acute Dialysis Quality Initiative group
membuat RIFLE system yang mengklasifikasikan ARF kedalam tiga kategori menurut
beratnya (Risk, Injury dan Failure) serta dua kategori akibat klinik (Loss dan End-stage
renal disease).14
Tabel : 1. Klasifikasi ARF menurut The Acute Dialysis Quality Initiative group1

Risk
Injury
Failure

Kriteria Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)


Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali
<>
Peningkatan serum kreatinin 2 kali
<>
Peningkatan serum kreatinin 3 kali atau<>

Loss

kreatinin 355 mol/l


Gagal ginjal akut persisten; kerusakan total

ESRD

fungsi ginjal selama lebih dari 4 minggu


Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan

Kriteria jumlah urine

Berdasarkan derajat beratnya penyakit yang timbul, ARF diklasifikasikan menjadi3 :


1. ARF simpel / tanpa komplikasi (uncomplicated ARF)
Tidak dijumpai adanya penyakit penyerta dan juga tidak terdapat komplikasi.
2. ARF berat (complicated ARF)
Umumnya dirawat di unit perawatan intensif karena mengalami penyulit seperti
sepsis, perdarahan, penurunan kesadaran, dan gagal nafas. Angka kematian sangat
tinggi, mencapai 50 80 %.

44

7.3 Patogenesis
ARF Pre-Renal
Istilah pre-renal ditandai dengan tidak adekuatnya perfusi ginjal yang disebabkan oleh
penurunan volume intravaskular atau karena sirkulasi arteri yang tidak efektif. Penyebab
paling sering dari gagal ginjal bentuk ini adalah dehidrasi karena kehilangan cairan pada
ginjal ataupun di luar ginjal seperti karena diare, muntah, penggunaan diuretik, dll.
Penyebab yang jarang seperti syok septik, penggunaan obat anti hipertensi yang
berlebihan, yang menyebabkan pengurangan relatif atau absolut volume cairan
intravaskular. Gagal jantung dengan penurunan cardiac output juga dapat mengurangi
efektifitas aliran darah ginjal.18
Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akut juga dapat dijumpai pada pasien
dengan sirrosis (sindrom hepatorenal) atau pasien yang menggunakan Cyclosporine,
Tacrolimus, NSAID, atau ACE (Angiotensin Converting Enzime) Inhibitor. Kondisi ini
mengubah fungsi hemodinamik ginjal secara signifikan, hal ini diperantarai oleh
prostaglandin dan renin-angiotensin seperti penurunan tekanan kapiler glomerulus secara
tiba-tiba.18
Pada ARF pre-renal aliran darah ginjal walaupun berkurang masih dapat memberikan
oksigen dan substrat metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila hipoperfusi
ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan terjadinya iskemia sel-sel tubulus
yang berlanjut menjadi Nekrosis Tubular Akut (NTA). ARF pre-renal merupakan
kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron.19

ARF Renal
ARF renal merupakan 50 % dari keseluruhan ARF. Bilamana hipoperfusi ginjal
berlangsung lama dan bertambah berat sehingga terjadi kematian sel, maka akan terjadi

45

NTA. Selain oleh karena hipoperfusi ginjal (50 % dari kasus NTA), NTA juga disebabkan
oleh paparan bahan/obat yang nefrotoksik (35 % dari kasus NTA). Penyebab lain ARF
renal adalah penyakit glomerulus primer dan penyakit tubulointerstisial. Walaupun istilah
ARF dan NTA tidak identik, namun demikian penggunaan kedua istilah ini sering
dianARFp sebagai keadaan yang sama.14
Banyak penyebab ARF renal yang disebabkan langsung atau dieksaserbasi oleh
berkurangnya aliran darah ginjal ke seluruh bagian atau sebagian ginjal. Penyebab
kerusakan iskemik ini disebabkan keadaan pre-renal yang tidak teratasi. ARF iskemik
dibedakan dari ARF pre-renal pada hipoperfusi yang menginduksi lesi iskemik pada selsel parenkim ginjal, khususnya epitel tubulus, dan pemulihan memakan waktu 1-2
minggu setelah normalisasi perfusi ginjal sebagai syarat perbaikan dan regenerasi sel-sel
ginjal. Dalam bentuk paling ekstrem, iskemik mengarah pada nekrosis kortex ginjal
bilateral dan gagal ginjal irreversibel. ARF iskemik paling sering terjadi pada pasien
dalam masa pembedahan kardiovaskular atau mengalami trauma yang berat, perdarahan,
sepsis dan atau pengurangan volume darah. ARF iskemik bisa merupakan bentuk penyulit
yang ringan dari hipovolemia yang nyata atau pengurangan efektifitas volume darah
arteri apabila hal itu terjadi akibat adanya sesuatu yang lain (seperti nefrotoxin atau
sepsis).14,15
Istilah nekrosis tubular akut sebetulnya tidak begitu tepat oleh karena ada beberapa hal
yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan NTA tidak dibiopsi, dan diagnosis
ditegakkan atas dasar gejala dan perjalanan klinis saja. Pada pemeriksaan mikroskopik
pasien yang dibiopsi dengan klinis NTA ini amat jarang dijumpai gambaran nekrosis
tubulus yang jelas. Walaupun biopsi ginjal dilakukan pada saat yang relatif terlambat,
tetapi adanya defisit fungsional tetap tak dapat dijelaskan oleh nekrosis yang ekstensif.
Pada NTA ini ternyata didapatkan kontribusi perubahan sel yang subletal seperti
kehilangan membran plasma, polaritas membran dan terlepasnya sel dari membran
basalis sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fungsional. Terbatasnya kerusakan
pada tubulus dan adanya kemampuan regenerasi sel tubulus yang cepat menyebabkan
kelainan ini reversibel. Oleh karena itu untuk keadaan ini cukup banyak istilah yang

46

berusaha lebih tepat menjelaskan sindrom ini, antara lain hemodynamically mediated
acute renal failure.18
ARF Post-Renal 15
Obstruksi traktus urinarius dapat terjadi kurang dari 5 % dari kasus ARF. Karena satu
ginjal punya kapasitas pembersihan yang efektif untuk mengekskresikan sisa
metabolisme nitrogen setiap hari, ARF dari akibat obstruksi dapat terjadi karena obstruksi
pada aliran urine diantara meatus urethra eksterna dan meatus urethra interna, obstruksi
ureter bilateral atau obstruksi ureter unilateral pada pasien dengan fungsi ginjal atau
insufisiensi ginjal kronik. Obstruksi leher kandung kemih merupakan penyebab paling
sering ARF post-renal dan biasanya karena penyakit prostat (hipertrofi, hiperflasi dan
infeksi), neurogenik bladder, atau therapy dengan obat anti kolinergik. Penyebab yang
jarang dari obstruksi akut traktus urinarius antara lain bekuan darah, kalkulus, dan
uretritis dengan spasme.
Penyebab obstruksi bilateral adalah :
1. Pengaruh neoplasma peritoneal atau retroperitoneal, dengan massa atau nodus.
2. Fibrosis retroperitoneal
3. Penyakit kalkulus
4. Post operasi atau trauma
Pada pasien yang hanya mempunyai satu ginjal, batu ureter dapat menyebabkan obstruksi
total traktus urinarius dan ARF.
7.4 DIAGNOSIS
Karena ARF mempunyai diagnosa banding yang banyak, didapatkan riwayat yang terarah
dari patofisiologi ARF :
ARF Pre-Renal :

47

Pasien sering kali memperlihatkan gejala-gejala yang berhubungan dengan


hipovolemia, termasuk haus, penurunan jumlah urine, pusing-pusing, hipotensi
ortostatik.

Adanya riwayat kehilangan cairan yang masif karena perdarahan, kehilangan


cairan melalui gastrointestinal, keringat ataupun ginjal.

Pada pasien gagal jantung tahap lanjut dengan penurunan perfusi ginjal,
kemungkinan datang dengan orthopnue dan paroxysmal nocturnal dyspnue.

Hilangnya cairan yang tidak terasa pada pasien-pasien dengan gangguan


kesadaran dapat menyebabkan hipovolemia yang berat.

ARF Renal

Pasien dapat dibedakan berdasarkan penyebab ARF, dari glomerulus atau tubulus.

Penyakit pada glomerulus : perdarahan pada sindrom nefritik, edema, dan


hipertensi.

Penyakit pada tubulus : harus dapat dipikirkan kemungkinan timbulnya NTA pada
pasien setelah periode hipotensi sekunder karena henti jantung, perdarahan,
sepsis, over dosis obat, atau pembedahan.

Dapat diperhitungkan pula dugaan adanya paparan dari nefrotoxin dan juga dari
pemeriksaan radiologis (seperti paparan zat kontras).

Dugaan adanya pigmen yang diinduksi oleh ARF pada pasien-pasien dengan
rhabdomyolisis atau hemolisis

ARF Post-Renal

ARF post-renal biasanya tejadi pada laki-laki usia lanjut dengan obstruksi prostat
dan adanya gejala-gejala berupa urgensi, frekuensi, dan hesitansi. Pasien dapat
asimptomatis karena kronisitas gejala yang mereka alami.

Riwayat operasi gynecologi atau keganasan sering dapat membantu dalam


menentukan tingkat obstruksi.

Bila terdapat nyeri pinARFng dan hematuria maka harus dipikirkan adanya
pengapuran ginjal sebagai sumber obstruksi urine.

48

Kemungkinan adanya obstruksi tubular oleh karena kristal dari obat-obatan pada
pasien yang menggunakan asiklovir, metotrexat, triamteren, indinavir, atau
sulfonamid.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bermanfaat dalam mengumpulkan bukti-bukti tentang penyebab ARF.
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik pasien ARF
diantaranya :
Kulit :

Pemeriksaan kulit untuk petechiae, purpura dan ekimosis dapat menARFmbarkan


suatu inflamasi dan penyebab vaskular ARF.

Penyakit

infeksi,

trombotik

trombositopenia,

disseminated

intravascular

coagulation (DIC), dan fenomena emboli dapat menARFmbarkan adanya


perubahan kulit yang khas.
Mata :

Adanya uveitis mengindikasikan nefritis interstisial dan nekrosis vaskulitis.

Ocular palsy mengindikasikan adanya keracunan etilen glikol atau nekrosis


vaskuler.

Adanya hipertensi berat, penyakit atheroemboli, dan endokarditis dapat diketahui


setelah pemeriksaan mata dengan seksama.

Sistem Kardiovaskular :

Pemeriksaan fisik harus mencakup denyut nadi dan tekanan darah baik posisi
terlentang maupun berdiri; denyut vena jugularis; pemeriksaan jantung, paru, dan
turgor kulit; dan penafsiran terhadap adanya edema perifer.

Pencatatan yang akurat setiap hari akan intake cairan dan output urine, dan berat
badan pasien adalah penting.

Pemeriksaan tekanan darah bermanfaat untuk kepentingan diagnostik.


49

Hipovolemia dapat mengindikasikan adanya hipotensi tetapi hipotensi tidak


mengindikasikan adanya hipovolemia.

Congestive Heart Failure (CHF) yang berat dapat menyebabkan hipotensi. Pada
pasien CHF dengan tekanan darah yang rendah, pengisian volume dan efektifitas
perfusi ginjal rendah.

Hipertensi berat dengan gagal ginjal merupakan dugaan adanya penyakit


renovaskuler, glomerulonefritis, vaskulitis atau penyakit atheroemboli.

Abdomen :

Pemeriksaan fisik abdomen dapat bermanfaat dalam mendeteksi adanya obstruksi


pada leher buli-buli sebagai penyebab gagal ginjal, mungkin suatu kanker atau
pembesaran prostat.

Pemeriksaan laboratorium
Analysis Urin14,15
Pemeriksaan urin atau urinalisis dalam hal ini merupakan pemeriksaan yang penting,
akan tetapi harus dinilai sebagai satu kesatuan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Berat jenis (BJ) urin yang tinggi lebih dari 1,020 menunjukkan pre-renal, glomerulo
nefritis (GN) akut awal, sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi
ginjal. Berat jenis isosmal (1,010) terdapat pada NTA, post-renal dan penyakit interstisial
(tubulointerstisial). Pada keadaan ini BJ urin dapat meningkat kalau dalam urin terdapat
banyak protein, glucose, manitol, atau kontras radiologik. Adanya glucose pada urin (tes
reduksi +) tanpa peningkatan gula darah menunjukkan kerusakan tubulus proksimal.
Protein dalam urin biasanya amat meningkat pada penyakit glomerular, sedangkan pada
penyakit lain sampai + 1 saja. Pada hipertensi maligna dan gagal jantung kongestif pada
awalnya didapatkan protein yang banyak dalam urin. Perlu diingat pula bahwa pada
pemeriksaan dengan tes celup (dipstick) protein mieloma tidak terdeteksi.

50

Adanya sedimen eritrosit menunjukkan glomerulonefritis, atau vaskulitis pada


glomerulus. Pada kelainan interstisial atau NTA dapat diketemukan silinder eritrosit.
Apabila dengan tes celup terdapat darah, akan tetapi sel darah merah tidak ada atau
sedikit perlu difikirkan hemoglobinuria atau mioglobulinemia. Gambaran yang khas pada
NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder yang besar (coarse granular
broad casts). Silinder leukosit menunjukkan adanya infeksi, inflamasi pada interstisial.
Apabila ditemukan eosinofil dalam urin maka dapat menunjukkan adanya nefritis
interstisial alergi.
Adanya kristal urat pada ARF menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering
didapat pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukemia, limfoma. Kristal oksalat
terlihat pada ARF akibat etilen glikol yang umumnya diakibatkan percobaan bunuh diri.
Tabel 2. Diagnosa Urin yang menunjukkan perbedaan antara Pre-renal dan Renal
Indeks Diagnosis

Hal-hal yang sering ditemukan pada


ARF

Fraksi ekskresi Natrium (%)

Prarenal
<>

Renal
>1

<>
> 40
>8

> 20
<>
<>

> 1,020
> 500
> 20
<>

~ 1,010
~ 300
<>
>1

Hyalin

Muddy

UNa PCr 100


PNa UCr
Kadar Natrium Urin (mmol/L)
Kreatinin Urin : Kreatinin Plasma
Ureum Nitrogen Urin : Ureum Nitrogen Plasma
Berat Jenis Urin
Osmolaritas Urin (mosmol/kg H2O)
Plasma BUN : Kreatinin
Indeks Gagal Ginjal
UNa
UCr / PCr
Sedimen Urin
Darah 7
51

Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin Serum


Meski peningkatan kadar BUN dan kreatinin adalah tanda gagal ginjal,
kecepatan peningkatan BUN dan kreatinin juga sangat penting.
Hasil pemeriksaan BUN menunjukkan peningkatan yang tidak proporsional
dari kreatinin yang mengarah pada dugaan ARF iskemik. Umumnya serum
kreatinin meningkat 12 mg/dL, namun laju peningkatan yang > 5 mg/dL
juga bisa ditemukan pada pasien dengan rhabdomyolisis karena otot
merupakan sumber kreatinin yang utama yang menjadi prekursor
kreatinin.
Rasio perbandingan BUN dengan kreatinin juga merupakan hasil yang
sangat penting karena ratio bisa > 20 : 1 pada kondisi dimana peningkatan
reabsorbsi urea terjadi. Pada kondisi seperti perdarahan gastrointestinal
bagian atas dan pada beberapa kasus uropati obstruktif, hasilnya mungkin
menunjukkan peningkatan rasio yang lebih jauh. Kondisi lainnya yang
menyebabkan peningkatan rasio BUN dan kreatinin > 20 : 1 adalah
peningkatan

intake

protein

enteral

atau

parenteral,

penggunaan

kortikosteroid, dan keadaan hiperkatabolisme.

Hitung Darah Lengkap dan Apusan Darah Tepi


Pemeriksaan ini dapat bermanfaat,dan hasil apusan darah tepi dapat
menunjukkan skistosit pada kondisi seperti sindrom uremik hemolitik atau
trombotik trombositopenic purpura.
Temuan yang menunjukkan formasi rouleaux mengarah pada Multipel
Mieloma, dan pemeriksaan selanjutnya sebaiknya diarahkan pada serum
protein elektroforesis dan urin.

52

Keberadaan skistosit myoglobin, atau hemoglobin, meningkatkan kadar


asam urat serum, dan temuan lain yang berhubungan mungkin dapat
membantu lebih jauh untuk menentukan etiologi ARF.
Temuan dari tes serologi ANCA menunjukkan penyakit ginjal intrinsik
akibat vaskulitis.
Pemeriksaan Pencitraan19
Pemeriksaan penunjang ini amat diperlukan untuk melihat anatomi ginjal. Pada ARF
pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomi ginjal, dapat
diperoleh informasi mengenai besar ginjal, ada atau tidaknya batu ginjal dan ada atau
tidaknya hidronefrosis. Dalam hal ini pemeriksaan USG cukup sensitif, cepat dan mudah
dilakukan. Pemeriksaan foto polos dapat dilakukan akan tetapi informasi yang didapat
tidak sebaik USG. Apabila pada USG jelas terdapat hidronefrosis dengan gambaran
korteks ginjal yang masih baik, segera dikonsulkan ke urologi untuk sistoskopi, atau
pielografi retrograde. Tindakan urologi diperlukan segera untuk mengatasi obstruksi agar
tidak terjadi kerusakan ginjal yang permanen. Pemeriksaan USG dapat juga menentukan
apakah gangguan fungsi ginjal ini sudah lama terjadi (GGK), yaitu apabila ditemukan
gambaran ginjal yang sudah kecil. Tahanan euvolemia, keseimbangan cairan dan
elektrolit,

mencegah

komplikasi

metabolik

seperti

hiperglikemia,

asidosis,

hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu


mengevaluasi obat-obat yang dipakai.
Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi
Walaupun ARF bukan indikasi untuk melakukan biopsi ginjal, tetapi apabila diduga
bahwa penyebab ARF adalah kelainan ginjal intrinsik, juga tidak ada kelainan lain seperti
dari bedah atau kebidanan sebagai penyebab perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.
Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab ARF tidak jelas atau
berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefritis atau nefritis interstisial.
Pemeriksaan ini perlu ditunjang oleh pemeriksaan serologi imunologi ginjal.

53

7.5 Pengelolaan hiperperfusi


Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan
homeostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
mempertahankan penderita tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan.
Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasikan pasien yang beresiko ARF
(sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab ARF, mempertahankan
homeostasis, mempertahankan euvolemia, keseimbangan cairan elektrolit, mencegah
komplikasi metabolik seperti hiperglikemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi
status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang
dipakai.
Pengelolaan Medis ARF
Kebanyakan pasien ARF berada dalam keadaan sakit berat dan prioritas utamanya adalah
mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, baik masalah ini berkaitan atau tidak ada
hubungannya dengan ginjal. Penanganan pasien harus dilakukan secara menyeluruh,
tidak hanya ginjalnya saja, oleh karena itu pada umumnya pasien ARF memerlukan
penanganan yang multidisiplin. Pada ARF terdapat dua masalah yang sering didapatkan
yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia.
Edema paru
Keadaan ini terjadi akibat ginjal tidak dapat mengekskresi urin, garam dalam jumlah
yang cukup. Keadaan ini dapat iatrogenik setelah pasien sakit berat masuk ke bagian
gawat darurat dan mendapat infus yang cukup banyak tanpa mengawasi produksi urin
dan memeriksa kadar ureum kreatininnya. Posisi pasien setengah duduk agar cairan
dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik, dipasang oksigen, dan diberikan
diuretik kuat (furosemid inj.) walaupun pada ARF sering tidak memberikan respons.
Morfin dosis kecil dapat menolong keadaan ini dengan cara vasodilatasi dan anti
kecemasan. Pengobatan definitif adalah dengan mengeluarkan cairan melalui
hemodialisis segera atau hemofiltrasi.

54

Hypercalemic
Pada ARF keadaan ini amat berbahaya oleh karena dapat mengakibatkan henti jantung
(cardiac arrest) tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Kalium lebih dari 5,5 mEq/L sudah
menunjukkan kelainan pada ECG seperti perubahan gelombang T dan pemendekan
interval QT.
Mula-mula diberikan kalsium intravena (Ca Glukonat) 10 % sebanyak 10 ml yang dapat
diulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya. Kadar kalium
tidak berubah, kerja obat ini pada jantung berfungsi untuk menstabilkan membran.
Pengaruh obat ini hanya sekitar 20 60 menit.
Pemberian infus glucose dan insulin (50 ml glucose 50 % dengan 10 U insulin kerja
cepat)selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1 2 mEq/L dalam waktu 30 60
menit. Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan
jantung, hati dan lemak, memasukkan kalium ke dalam sel. Glucose ditambahkan guna
mencegah hipoglikemia.
Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5 mg dalam 15 menit) atau
inhalasi nebuliser (10 atau 20 mg) dapat menurunkan 1 mEq/L. Obat ini bekerja
mengaktivasi pompa Na-K ATPase. Pemberian natrium bikarbonat walaupun dapat
menurunkan kalium tidak begitu dianjurkan oleh karena penambahan jumlah natrium,
dapat menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang.
Tetapi bermanfaat apabila ada asidosis atau hipotensi.

Pemberian Diuretik
Pada ARF sering diberikan diuretik loop yang sering bermanfaat pada keadaan tertentu.
Pemberian diuretik furosemid mencegah reabsorbsi Na sehingga mengurangi
metabolisme sel tubulus, selain itu juga diharapkan aliran urin dapat membersihkan

55

endapan, silinder sehingga menghilangkan obstruksi, selain itu furosemid dapat


mengurangi oliguria.
Dosis yang diberikan amat bervariasi dari mulai dengan dosis konvensional 40 mg
intravena, kemudian apabila tidak ada respon dinaikkan bertahap dengan dosis tinggi 200
mg setiap 6 jam, selanjutnya infus 10 40 mg/jam. Pada tahap lebih lanjut apabila belum
ada respon dapat diberikan furosemid dengan albumin yang diberikan secara intravena
selama 30 menit dengan dosis yang sama atau bersama dengan Hidrochlorotiazid (HCT).
Dialisis atau hemofiltrasi dilakukan apabila semua tindakan diatas gagal untuk
mengeluarkan cairan.
Nutrition
Kebutuhan nutrisi pada ARF amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau
kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa sampai dengan kebutuhan yang tinggi
seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi ARF amat berbeda dengan GGK
dimana pada ARF kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya.
Pada GGK justru dilakukan pembatasan-pembatasan.
Dialysis atau Pengobatan Pengganti Ginjal
Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan terdapatnya
kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau
asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Apabila terdapat kenaikan
terus ureum dan kreatinin darah pada pasien oliguria dan dengan pengobatan konservatif
tidak ada tanda-tanda perbaikan (produksi urin bertambah, ureum dan kreatinin tetap atau
menurun), maka sudah saatnya dipertimbangkan untuk didialisis.
Pada pasien dengan sakit berat, dengan gangguan hemodinamik, yang sering memerlukan
cairan agar kebutuhan energi dapat terpenuhi diperlukan pengeluaran cairan yang banyak
tetapi secara lambat.
7.6 komlikasi14

56

Ada beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari ARF antara lain :

Peningkatan volume cairan ekstraseluler

Increase potassium serum level

Asidosis metabolic

Hyperphosphatemia

Hypocalsemia

Anemia

systemic infection

congestive heart failure

myocard Infark

cardiac arrest

gastrointestinal tract bleeding

Perubahan siklus tidur

Somnolen

seizure

memory loss

7.7 PROGNOSIS19
Tingkat kematian ARF sekitar 50 % walaupun diberikan dengan terapi Pengganti
ginjal yang efektif.
Kematian karena ARF sangat berhubungan langsung dengan proses
perjalanan penyakit penderita itu sendiri (sepsis, CHF).
Angka kematian pada penderita yang berusia diatas 80 tahun diperkirakan
berkisar 40 %, sama seperti pada penderita di usia yang lebih muda. Umur
tidak merupakan faktor penentu dalam terapi Pengganti ginjal.

57

Sekitar 20 60 % pada penderita yang mengalami ARF perlu dilakukan hemodialisa


selama mereka dirawat di rumah sakit. Pada umumnya penderita sembuh, hanya
25 % yang memerlukan terapi Pengganti ginjal jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

58

1) Askandar

tjokroprawin,

poernmo

boedi

setiawan,djoko

santoso,

gatot

soegiarto.2007. buku ajar ilmu penyakit dalam. Airlangga universitas press


cetakan pertama. Hal 247-253
2) William b.abrams, robert berkow, andre j.fletcher.1997.the mercj manual of
geriartric jilid dua. Edisi bahasa Indonesia.binarupa aksara. Hal 75-81 dan 179181.
3) Dr halim mubin. Panduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi.2008.
Penerbit buku kedokteran EGC. Hal 645-646
4) Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. p.826-836.
5) Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi
B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing, 2010: 1967-71
6) Suyono S. Patofisiologi diabetes mellitus.. Dalam : Soegondo S, et al (editor).
Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 715
7) Sukadji K. Pentalaksanaan gizi pada diabetes mellitus. Dalam : Soegondo S, et al
(editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI
2007: 43-66
8) Ilyas EI. Olahraga bagi diabetes. Dalam : Soegondo S, et al (editor).
Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007:
67-112
9) Waspadji S. Diabetes mellitus, penyulit kronik dan pencegahannya. Dalam :
Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta :
Balai penerbit FKUI 2007: 163-74
10) Prognosis penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.newsmedical.net/health/Parkinsons-Disease-Prognosis-(Indonesian).aspx
11) Penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=479

59

12) Patofisiologi penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.newsmedical.net/health/Parkinsons-Disease-Pathophysiology-(Indonesian).aspx


13) Oxidative stress Penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.newsmedical.net/health/Parkinsons-Disease-Pathophysiology-(Indonesian).aspx
14) Komplikasi penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.webmd.com
15) Bakri, Syakib. Patogenesis Gagal Ginjal Akut. Edisi I. Cetakan I. PERNEFRI.
Jakarta. 2005.
16) Harison. Internal Medicine. Edition 16. Mc Graw Hill Company. New York. 2005.
17) Suharyono, dkk. Terapi Cairan pada Gagal Ginjal Akut. Editor : Sudoyo W, Aru.
Cetakan I. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Jakarta. 1999.
18) Aninch, JW. Smith General Urology. Editor : Tanagho, EA. Mc Graw Hill
Company. New York. 2000.
19) Suhardjono. Suhakatya, Made. Parsoedi, Imam. Gagal Ginjal Akut. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2000.

60

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Lampiran
    Lampiran
    Dokumen13 halaman
    Lampiran
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Case Asma Bronkiale
    Case Asma Bronkiale
    Dokumen19 halaman
    Case Asma Bronkiale
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
    Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
    Dokumen33 halaman
    Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Iva
    Iva
    Dokumen33 halaman
    Iva
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • CASE
    CASE
    Dokumen12 halaman
    CASE
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • LAPKAS
    LAPKAS
    Dokumen1 halaman
    LAPKAS
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Abstrak
    Abstrak
    Dokumen1 halaman
    Abstrak
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Lampiran IVA
    Lampiran IVA
    Dokumen13 halaman
    Lampiran IVA
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Wawancara
    Wawancara
    Dokumen4 halaman
    Wawancara
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • ANAK
    ANAK
    Dokumen13 halaman
    ANAK
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Appendisitis Akut
    Appendisitis Akut
    Dokumen33 halaman
    Appendisitis Akut
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen48 halaman
    PPT
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Kasus
    Presentasi Kasus
    Dokumen33 halaman
    Presentasi Kasus
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Dokumen48 halaman
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Don Gibson
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen48 halaman
    PPT
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Case 2
    Case 2
    Dokumen36 halaman
    Case 2
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Wawancara
    Wawancara
    Dokumen17 halaman
    Wawancara
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • KETUBAN PECAH DINI Case 1 DR Widiarso DONE
    KETUBAN PECAH DINI Case 1 DR Widiarso DONE
    Dokumen20 halaman
    KETUBAN PECAH DINI Case 1 DR Widiarso DONE
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Dokumen48 halaman
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Don Gibson
    Belum ada peringkat
  • Spss Laporan
    Spss Laporan
    Dokumen29 halaman
    Spss Laporan
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • PBL Makalah
    PBL Makalah
    Dokumen39 halaman
    PBL Makalah
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Makalah 22
    Makalah 22
    Dokumen21 halaman
    Makalah 22
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • 26
    26
    Dokumen25 halaman
    26
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Makalah Blok 22
    Makalah Blok 22
    Dokumen29 halaman
    Makalah Blok 22
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Makalah PBL Blok 20
    Makalah PBL Blok 20
    Dokumen15 halaman
    Makalah PBL Blok 20
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • KLB PENYAKIT
    KLB PENYAKIT
    Dokumen21 halaman
    KLB PENYAKIT
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • PBL 20
    PBL 20
    Dokumen29 halaman
    PBL 20
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat
  • Blok 20
    Blok 20
    Dokumen17 halaman
    Blok 20
    Stefany Fany
    Belum ada peringkat