Disusun oleh:
ANSELMA APRILA PRIHANTARI
15/390663/KU/18375
SYOK SEPTIK
1.1Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis dimana terdapat kegagalan dalam pengaturan peredaran
darah sehingga terjadi kegagalan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Kegagalan
sirkulasi ini biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan (hipovolemik), karena kegagalan pompa
jantung ataupun karena perubahan resistensi vaskuler perifer.1
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi
makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga
terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang
menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.1
Nomenklatur mengenai sepsis telah banyak dilakukan, salah satu yang paling sering
digunakan ialah sepsis merupakan kelanjutan dari sebuah sindrom respons inflamasi sistemik /
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) atau yang sering disebut sindrom sepsis
ditandai dengan 2 dari gejala berikut :3
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/ mm
Sepsis merupakan SIRS yang disertai dengan dugaan ataupun bukti adanya sumber
infeksi yang jelas. Sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis berat yaitu sepsis yang disertai dengan
kegagalan organ multipel / Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure
(MODS/MOF). Sepsis berat dengan hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90 mmHg
atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg. Perkembangan berikut dari sepsis ialah berujung
pada suatu syok septik.
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi oleh sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, serta disertai dengan
hipoperfusi jaringan.3
Syok septik didefinisikan sebagai keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan
hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang cukup ataupun adanya
hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang melebihi 4 mg / dL) yang
tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain.4
1.2Etiologi
Sepsis berat dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi. Infeksi adalah penyebab
paling umum.Pasien dengan tanda-tanda klinis inflamasi sistemik (SIRS), penyebab infeksi harus
dicari secaraaktif. Infeksi yang diperoleh sebelum masuk rumah sakit lebih mudah
dikenali,daripada infeksi nosokomial pada pasienrawat inap. Infeksi tersering penyebab sepsis
meliputi infeksi sistem saraf pusatmisalnya meningitis atau ensefalitis, infeksi kardiovaskular
misalnya
endokarditis,
infeksi
saluran
pernafasan
misalnya
pneumonia,
infeksi
Variabel inflamasi
Variabel hemodinamik
Hipoksemia arteri (rasio tekanan parsial oksigen arteri [PaO 2] terhadap fraksi
minimal 2 jam)
Kenaikan tingkat kreatinin > 0,5 mg / dl (> 44 umol / liter)
Kelainan koagulasi (INR > 1,5 aPTT > 60 detik)
Ileus paralitik (tidak adanya bising usus)
4
Toll-like receptor
C-type lectin receptors
Retinoic acid inducible gene1-like receptor
Nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors.
pelepasan
norepinephrine di limpa dan sekresi asetilkolin oleh selT CD4+. Pelepasan asetilkolin
menargetkan reseptor 7 kolinergik pada makrofag sehingga menekan pelepasan sitokin
proinflamasi.5
Pasien yang bertahan hidup dari sepsis dini namun tetap bergantung pada perawatan
intensif terbukti mengalami imunosupresi, terbukti dengan berkurangnya ekspresi HLA-DR pada
sel myeloid. Pasien ini sering memiliki fokus infeksi yang sedang berlangsung, meskipun terapi
7
antimikroba atau reaktivasi infeksi virus laten. Meningkatnya apoptosis sel B, sel T CD4 + dan sel
dendritik folikular, terlibat pada sepsis terkait imunosupresi dan kematian.5
1.4.5 Disfungsi organ
Gangguan oksigenasi jaringan merupakan sebab utama terjadinya disfungsi organ.
Beberapa faktor termasuk hipotensi, kurangnya pembentukansel darah merah, dan trombosis
mikrovaskuler berkontribusi terhadap kurangnya suplai oksigen pada syok septik. Peradangan
dapat menyebabkan disfungsi endotel vaskular, disertai dengan kematian sel dan hilangnya
integritas barrier, sehingga menimbulkan edema subkutis.Selain itu, kerusakan mitokondria yang
disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lainnya menyebabkan penggunaan oksigen
seluler. Cedera mitokondria melepaskan alarmins kelingkungan ekstraselular, termasuk DNA
mitokondriadan formil peptida, yang dapat mengaktifkan neutrofil dan menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut.7
Kerusakan multiorgan di tingkat seluler dipengaruhi oleh disfungsi dan kerusakan pada
mitokondria.Disfungsi dan kerusakan mitokondria pada sepsis terjadi akibat interaksi patogen8
pori-pori
membran
permeabilitas
mitokondria
(Mitochondrial
Permeability
Transition, MPT), yang menyebabkan edema matriks mitokondria, ruptur membran luar
mitokondria, serta aktivasi kaskade apoptosis. Namun, kadang tanpa melalui fase MPT, kaskade
apoptosis masih dapat dipicu akibat pergerakan faktor pro-apoptosis melalui membran luar
mitokondria (Mitochondrial Outer Membrane Permeabilization, MOMP).5,6
1.5 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan awal syok septik adalah memberikan resusitasi kardiorespirasi
dan mengurangi ancaman langsung infeksi yang tidak terkontrol. Resusitasi membutuhkan cairan
intravena dan vasopressor dengan terapi oksigen serta ventilasi mekanik yang disediakan
seperlunya. Komponen yang tepat diperlukan untuk mengoptimalkan resusitasi, seperti pilihan
dan jumlah cairan, jenis yang sesuai dan intensitas pemantauan hemodinamik, dan peran
penunjang agen vasoaktif.7
Pemberian antibiotik dengan cepat dan adekuat disertai operasi pengangkatan fokus
infeksi, merupakan tindakan utama dan satu-satunya terapi yang ditujukan pada penyebab
sepsis.Setiap keterlambatan dalam hitungan jam dalam pemberian terapi antibiotik yang tepat
pada syok septik akan meningkatkan angka kematian sebesar 7%.
Pada pertemuan tingkat internasional tentang surviving sepsis campaign memutuskan
bahwa early goal directed therapy (EGDT) untuk pasien sepsis adalah meregulasi anti inflamasi,
memperbaiki preload, afterload dan kontraktilitas jantung sehingga hantaran oksigen ke jaringan
menjadi optimal, atasi gangguan keseimbangan elektrolit, mendeteksi dan mengobati hipoksia
jaringan secara cepat sebelum kerusakan organ menjadi irreversible.
Selain itu, ada beberapa obat yang banyak diteliti manfaatnya terhadap sepsis.Statin
memiliki manfaat terapeutik tanpa tergantung pada efek penurunan kolesterol, yang disebut
dengan efek pleotropik.Efek pleotropik ini mencakup sifat anti inflamasi dan antioksidatif,
perbaikan fungsi endotel dan peningkatan bioavailabilitas NO.Berkat dampak kekuatan statin
pada inflamasi, maka statin mungkin merupakan terapi baru.
Intervensi untuk meningkatkan curah jantung meliputi resusitasi cairan untuk
meningkatkan preload, pemberian inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas jantung, serta
pemberian vasopresor atau vasodilator untuk optimalisasi afterload. Konten oksigen arterial
dapat ditingkatkan dengan transfusi Packed Red Cell(PRC) dan meningkatkan SaO2 dengan
terapi oksigen.3
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa terapi secara dini yang difokuskan terhadap
stabilisasi hemodinamik untuk mencegah terjadinya global tissue hypoxia dapat mencegah onset
terjadinya disfungsi multiorgan yang bertanggungjawab terhadap meningkatnya angka mortalitas
pasien dengan sepsis.
Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock.Warm shock
ditandai dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang hangat dan kering, serta bounding
pulse.Sedangkan cold shock ditandai oleh curah jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin,
serta nadi yang lemah.Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukannya takikardia,
bounding pulse, serta gangguan kesadaran.Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam.Pada
stadium yang lebih lanjut, dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir
ditandai dengan hipotensi.
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan inisial diawali
dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit, dititrasi dengan
pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung, produksi urin,
10
waktu pengisian kapiler, dan derajat kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga
awal resusitasi memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb, namun dapat mencapai hingga 200
mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan yaitu dengan memperhatikan
adanya onset baru hepatomegali, bertambahnya usaha nafas dan bertambahnya berat badan lebih
dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan lain untuk mengatasi overload
cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila didapatkan oliguria, atau continuous renal
replacement therapy (CRRT) bila diperlukan.
1.6 Prognosis
Sekitar 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40-60% pasien dengan syok septik
meninggal dalam waktu 30 hari dan lainnya meninggal dalam 6 bulan berikutnya. Kematian
sering disebabkan oleh kontrol infeksi yang kurang, imunosupresi, komplikasi dari perawatan
intensif, kegagalan organ multipel, atau penyakit yang mendasari. 8Rendahnya stroke volume
setelah resusitasi menunjukkan bahwa terjadi kegagalan pembuluh darah perifer dan dapat
menjadi faktor penyebab kematian karena sepsis.
11
12
PERITONITIS
2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam.Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis.(Fauci et al, 2008)
2.2 Anatomi dan Fisiologi
13
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah
dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis.Ia membentuk kantong tertutup
dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai
peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis .Ia berfungsi sebagai
membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel.(Marshall, 2003).
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma
sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.Oleh karena itu, sangat penting menjamin
berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat
berlangsung(Evans, 2001).
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk
bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan
lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan
mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah
terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata.
Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran
dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz - Hugh-Curtis, yaitu nyeri
perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga
peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas
memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).
14
15
2.3 Etiologi
2.3.1 Peritonitis primer ( Spontaneus )
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 1030% pasien dengan sirosis hepatis
dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
2.3.2 Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon ( kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus,
kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal
Penyebab
Boerhaave syndrome
Esophagus
Malignancy
Trauma (mostly penetrating )
Peptic ulcer perforation
Stomach
Duodenum
Biliary tract
or common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Pancreas
Small bowel
appendix
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating )
Pelvic inflammatory disease ( salpingo-oophoritis,
ovaries
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)
sebelumnya.sedangkan
infeksi
intraabdomen
biasanya
dibagi
menimbulkan
akumulasi
cairan
karena
kapiler
dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
17
dapat
timbul
peritonitis umum.Dengan
perkembangan
peritonitis
umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria.(Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.Obstruksi
tersebut menyebabkan
lamasemakin
banyak,
mukus
yang
diproduksi
namun elastisitas
dinding
mukosa
apendiks
mengalamibendungan,makin
mempunyai
keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al, 2008).
18
19
2.5.1 Gejala
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya
dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya
didapatkan pada seluruh bagian abdomen(Doherty, 2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada hentihentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.Nyeri biasanya lebih terasa
pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari
nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
(Schwartz et al, 1989).
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah.Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti
dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38C sampai
40 C (Schwartz et al, 1989).
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi
yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka
yang tampak pucat (Cole et al,1970).
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada
stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan
dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada
abdomen (Schwartz et al, 1989).
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang
tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,
angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).
20
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua faktor.Pertama akibat
perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua
dikarenakan terjadinya sepsis generalisata(Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negatif
dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena
ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang
dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada
manusia (Cole et al,1970).
2.5.2 Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul
pada peritonitis.Pada keadaan asidosis metabolik dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang
lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan
normal.Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan
pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian
khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartzet al, 1989).
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari
abdomen.Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis
peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 23 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).
21
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian.Suara usus dapat bervariasi
dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak terdengar suara
bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang
terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada
tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.Hilangnya
pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara
bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya
ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970).
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar
yang menghilang (Schwartz et al, 1989).
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini.Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik.
Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot
abdomen secara involunter. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi lokal, atau dapat
22
menjadi menyebar seperti pada pankreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada
daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara
involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat
berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Laboratorium
Evaluasi laboratorium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik.Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah
dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3,
kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan
tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan
ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).
5.6.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA
dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian
udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto
polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara
bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et
al,1970).
Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri / tegak
lurus dan lateral decubitus.Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi
dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et
al,1970).
23
jumlah
yang
lebih
besar
karena
kemudian
akan
dikeluarkan
lewat
Antibiotik
Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al,
1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel
darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan
hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam
plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram
negatif. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan
secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et
al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua(Schwartz et al, 1989).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolisme tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat
kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal
(Schwartz et al, 1989).
25
2.7.2Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,
reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik
tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat
irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen(Schwartz et al, 1989).
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau
nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut ). (Doherty, 2006).
26
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral
akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada
pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat
menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja
dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda
asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak
sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar
yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat
mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase
berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).
2.7.3Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ- organ vital
dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan
keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).
27
2.8Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula
biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator
adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CTScan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel
yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).
2.9.Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,
pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).
28
ASUHAN KEPERAWATAN
N
Diagnosa
o
1 Nyeri akut
Tujuan
intervensi
24
jam
tingkat 1.
kenyamanan
meningkat,
klien
komprehensif
dibuktikan
karakteristik,
menyatakan
petugas
termasuk
durasi,
lokasi,
frekuensi,
dan
kenyamanan 3.
Gunakan
terapeutik
teknik
untuk
komunikasi
mengetahui
5.
6.
7.
8.
9.
10.
(farmakologis/non
farmakologis)
11.
menentukan intervensi.
12.
distraksi
dll)
untuk
mengetasi nyeri..
13.
Berikan
analgetik
untuk
mengurangi nyeri.
14.
Evaluasi
tindakan
pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
15.
16.
monitor
penerimaan
klien
2.
Cek
program
analogetik;
jenis,
pemberian
dosis,
dan
frekuensi.
3.
4.
5.
Tentukan
pilihan
analgetik
7.
Monitor
TTV
sebelum
dan
Evaluasi efektifitas
analgetik,
2 Risiko infeksi
dibuktikan
Bersihkan
lingkungan
setelah
dengan 2.
klien
mengetahui
mengontrol
nyeri
cara 4.
dan
untuk
mencuci
tangan
saat
Gunakan
sabun
anti
miroba
7.
8.
9.
11.
12.
berikan
antibiotik
sesuai
program.
Proteksi terhadap infeksi
1.
2.
3.
Monitor
kerentanan
terhadap
infeksi.
4.
Batasi pengunjung.
5.
Saring
pengunjung
terhadap
penyakit menular.
6.
7.
8.
9.
Inspeksi
kulit
dan
mebran
11.
Ambil kultur.
12.
13.
14.
15.
Monitor
perubahan
tingkat
energi.
16.
17.
18.
19.
20.
Ajarkan
cara
menghindari
infeksi.
21.
22.
23.
24.
Yakinkan keamanan
air dan
26.
Imunisasi vaksinasi :
1.
imunisasi,
alsan
dan
3.
4.
5.
Identifikasi
tentang
teknik
Identifikasi
rekpomendasi
Berikan
injeksi
pada
paha
anterolateral.
8.
9.
Identifikasi
tentang
kontra
indikasi imunisasi.
10.
yakinkan
informed
concenst
untuk
pembayaran
imunisasi.
12.
Observasi
klien
setelah
pemberian imunisasi.
13.
14.
3 Kurang
pengetahuan
Jadwalkan
imunisasi
dalam
aspek
keperawatan selama 1 x 24
penyembuhan
Memahami
tentang
penyakit
dan
harapan
kesembuhan.
dan 2.
3.
dan
mempertahankan
4.
Jelaskan
istilah-istilah
34
Bekerja
sama
proaktif
mengetahuainya.
dalam 5.
program perawatan
4 Risiko
Libatkan
dalam
perencanaan
klien/keluarga
dan
program
perawatan.
ketidak Perawat akan mengatasi dan 1.
Pantau tanda dan gejala dini
seimbangan
meminimalkan faktor-faktor
volume cairan
klien
akan
memperlihatkan tanda-tanda 3.
jumlah
output
seimbang,
tidak 4.
kecil
untuk
mendorong
5.
6.
input
dapat
mengkompensasi output.
7.
35
DAFTAR PUSTAKA
Angus DC dan Poll VD.Review Article : Severe Sepsis and Septic Shock. N ENGL J Med. 2013.
369 (9) : 840-848.
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC) 6th Edition.USA: Elsevier Mosby.
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM et al.Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock:
2012. Society of Critical Care Medicine and the European Society of Intensive Care
Medicine. 2013. 41(2): 580-635.
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Eissa D, Carton EG dan Buggy DJ. Review article : Anaesthetic management of patients with
severe sepsis. British Journal of Anaesthesia. 2010. 105(6) :735-743.
Merx MW dan Weber C. Sepsis and the heart. Circulation. 2007. 116 : 793 - 802.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in:Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.
Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.
Kontra JM.Evidence - Based Management of Severe Sepsis and Septic Shock. The Journal of
Lancaster General Hospital.2006. 1(2): 39-46.
Pohan HT and Chen K. Penatalaksanaan Syok Septik. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A,
Simadibrata M dan Setiati S (eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
InternaPublishing. 2010
Tannehill D. Treating Severe Sepsis & Septic Shock in 2012. J Blood DisordTransfus. 2012. 84 :
1-6.
Widodo D and Pohan HT. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. Jakarta:2004: h.54-88.
Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill, Peritonitis
halaman 808-810, 1916-1917
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care
Medicine; 31(8) : 28-37
36