Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
DAN
DASAR TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Debit Andalan

Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari masa ke masa

(Suripin, 2002). Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering
sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air

mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu


(temporal variability) yang sangat tinggi. Kebutuhan air selalu diinginkan untuk

terpenuhi dalam jumlah yang cukup pada saat yang tepat. Oleh karena itu, analisis
kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan

informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air (Indra
Kusuma Sari, 2012).

Sungai merupakan salah satu sumber air permukaan. Daerah Aliran Sungai

(DAS) merupakan sebuah wilayah tata air yang mempunyai kemampuan untuk

menampung, menyimpan dan mengalirkan air. Pengelolaan DAS yang dilakukan


dengan cara tepat akan dapat memperbaiki, memelihara dan melindungi sumber air
sehingga masalah ketersediaan air dapat teratasi (Dorta Siagian, 2001). Salah satu

aspek yang perlu diketahui untuk perencanaan pengelolaan sumber daya air yang
berkelanjutan adalah diketahuinya keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan
airnya (Setyawan Purnama,2009).

Dari data hujan yang ada, banyak dikembangkan pemodelan untuk

mendapatkan nilai debit, baik itu untuk mendapatkan debit andalan untuk kebutuhan

6
irigasi dan air baku maupun debit puncak periode ulang tertentu untuk keperluan
analisa banjir (Demi Harlan, 2009).

DAS Ciliwung bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan

drainase rendah, kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah
banjir. Pada sungai Ciliwung ruas Jembatan Panus Depok sampai Manggarai terdapat

pemanfaatan air sungai Ciliwung sebagai air baku (PDAM) dan domestik sehingga
pengambilan perlu diperhitungkan (BBWS Ciliwung-Cisadane,2013).

Nohanamian Tambun (2008) menyatakan bahwa salah satu aspek yang harus

diketahui sebelum melakukan analisis neraca air untuk suatu daerah tertentu adalah

jumlah ketersediaan air. Perhitungan debit andalan diperlukan untuk menghitung debit

dari sumber air yang dapat diandalkan, metode yang digunakan dalam analisis debit
andalan menggunakan metode F.J Mock.

Yanuar Chandra Wirasembada (2012) berpendapat bahwa, untuk menentukan

besarnya debit andalan, dapat dihitung dengan beberapa metode yang disesuaikan

dengan data yang tersedia. Data yang tersedia dapat berupa seri data debit yang
panjang yang dimiliki oleh setiap stasiun pengamatan debit sungai maupun data seri
data curah hujan minimal 10 tahun. Metode yang sering dipakai untuk analisis debit
andalan adalah metode statistik rangking.

Dalam Pedoman Studi Kelayakan Hidrologi ESDM (2009) menyatakan bahwa,

perhitungan debit andalan dengan cara empiris untuk desain bangunan air di Indonesia

umumnya menggunakan beberapa metode, antara lain metode F.J Mock, NRECA dan

tank model. Analisis debit dari ketiga metode tersebut direkomendasikan berdasarkan

tingkat empiris, ketepatan hasil dan kemudahan perhitungan. Namun, metode tank
model dalam analisis debit andalan, lebih sulit dibandingkan dengan dua metode yang
lain.

Indratmo Soekarno (2012) berpendapat bahwa untuk perhitungan Metode

Water balance (kesetimbangan air) memakai teori dasar dari perhitungan debit dengan
Metoda FJ. Mock (Mock, 1973). Metode Mock merupakan salah satu dari sekian

banyak metoda perhitungan debit yang menjelaskan hubungan rainfall-runof. Metode


ini diaplikasikan untuk menghitung debit andalan dari hujan andalan. Pendapat yang

7
sama dinyatakan oleh Diding Sudirman (1999) metode F.J Mock digunakan untuk

menghitung debit bulanan rata-rata, perhitungan dengan metode ini didasarkan pada
konsep water balance yang merupakan siklus tertutup dalam kurun waktu satu tahun.

Menurut Soemarto (1987) probabilitas untuk debit andalan ini beragam.

Untuk keperluan irigasi digunakan probabilitas 80%. Untuk keperluan air minum
dan industri dituntut probabilitas yang lebih tinggi, yaitu 90% sampai dengan
95%.

a. Uji Data

Data yang akan digunakan harus diuji terlebih dahulu. Uji yang dimaksud

meliputi kepanggahan, jaringan dan agihan frekuensi. Data yang diperoleh dari alat

pencatat hujan bisa jadi tidak panggah karena alat yang digunakan rusak, perubahan
atau pemindahan lokasi hujan, dan gangguan lingkungan. Uji kepanggahan data hujan

dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu: lengkung massa ganda (Double Mass Curve),
Von Neumann Ratio, RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums), dan Weighted Adjusted
Partial Sum (Sri Harto,1989).

Metode Double Mass Curve membandingkan data hujan tahunan kumulatif

stasiun yang akan diuji (sumbu Y) dengan kumulatif rerata stasiun lain (sumbu X)
sesuai dengan kelompok data yang di uji (Searcy dan Hardison, 1982). Jika garis yang
dihasilkan berupa garis lurus, maka data hujan tergolong panggah. Sedangkan RAPS

untuk uji individual stasiun (stand alone station). Bila hasil uji statistik lebih kecil dari

nilai kritik untuk tahun dan confidence level yang sesuai, maka data dinyatakan
panggah.

Menurut Sriharto (1989), uji analisis frekuensi tidak dilakukan dengan memilih

salah satu dari beberapa jenis agihan statistik yang paling sesuai dengan sifat statistik
data yang bersangkutan. Ada empat jenis agihan yang paling banyak digunakan dalam
hidrologi, yaitu agihan normal, log-normal, log-Pearson Tipe III dan Gumbel.
Keempatnya dipilih berdasarkan aturan pemilihan dan pengujian tertentu.

8
b. Hujan Wilayah

Data hujan yang diperoleh dari alat pengukur hujan merupakan hujan yang

terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat
bervariasi terhadap tempat, maka untuk kawasan yang luas satu alat pengukur hujan

belum dapat menggambarkan hujan di wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan
hujan kawasan yang diperoleh dari jumlah rata-rata curah hujan di beberapa stasiun
penakar hujan yang ada di dalam/ atau disekitar kawasan tersebut (Dewi Handayani
Utari Ningsih, 2012).

Cara Rerata Aljabar, merupakan cara yang paling sederhana untuk menghitung

hujan rerata pada suatu daerah. Hasil perhitungan yang diperoleh dengan cara rerata
aljabar ini hampir sama dengan cara lain apabila jumlah stasiun pengamatan cukup

banyak dan tersebar merata di seluruh wilayah. Keuntungan perhitungan dengan cara
ini adalah lebih obyektif. Cara Poligon Thiessen, mempertimbangkan pengaruh tiap-

tiap stasiun pengamatan. panjang garis penghubung dari dua stasiun pengamatan. Cara
ini akan memberikan hasil yang lebih teliti daripada cara rerata aljabar. Akan tetapi,
penentuan stasiun pengamatan dan pemilihan ketingggian akan mempengaruhi

ketelitian hasil. Cara Garis Isohyet, dipandang paling baik. Tetapi, cara ini bersifat
subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman dan pengetahuan pemakai
terhadap sifat hujan di wilayah setempat.

c. Transformasi Hujan Menjadi Aliran

Demi Harlan (2009) mendefinisikan model rainfall-runoff adalah model untuk

memperkirakan besarnya debit berdasarkan data hujan. Pemodelan rainfall-runoff ini


sering digunakan karena keterbatasan ketersedian data debit, kususnya data debit jam-

jaman atau data debit dengan interval waktu yang lebih kecil. Telah banyak
dikembangkan pemodelan untuk mendapatkan nilai debit, baik untuk mendapatkan

debit andalan maupun debit puncak periode ulang tertentu. Regy (2008) berpendapat
bahwa dalam proses transformasi untuk mengetahui perubahan air hujan menjadi

aliran dibutuhkan suatu aturan (ketetapan) yang mencerminkan karakter DAS dalam

9
memproses pengalihragaman hujan-aliran. Dalam hal ini aturan dapat diartikan
sebagai sebuah model.

Model SWAT dikembangkan untuk melakukan prediksi dampak dari

manajemen lahan pertanian terhadap air, sedimentasi, dan jumlah bahan kimia,

pada suatu DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanah,

tata guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS (Maulana Ibrahim, 2012).
Penggunaan model SWAT dapat mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat

permasalahan suatu DAS dan sebagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam
mengendalikan permasalahan tersebut (Edy Junaidi dkk, 2011).

Model HEC-HMS merupakan model untuk menghitung transformasi hujan

dan proses routing pada suatu sistem DAS. Model ini dapat digunakan untuk

menghitung volume runof, direct runoff, baseflow dan channel flow (Nur Azizah
Afandi,2007). Model HEC-HMS merupakan program komputer untuk menghitung
pengalihragaman hujan dan proses routing pada suatu sistem DAS (Regy, 2008).
2.1.2. Prediksi Ketersediaan Air

Model simulasi hidrologi yang digunakan untuk memperkirakan debit suatu

daerah aliran sungai dari data curah hujan yang tersedia diantaranya (Clarcke, 1973)
yaitu:

Model Stokastik Empiris (SE):

- Model regresi oleh Guillot (1971)


- Model Thomas Fiering (1962)
- Model Bernier (1971)
- Model ARIMA

- Model Instaneous Unit Hydrograph


Model Stokastik adalah model yang dikhususkan untuk teori dan aplikasi dari

kemungkinan yang muncul dalam permodelan dalam ilmu alam dan teknologi. Model

ini biasanya mengkaji ulang data atau informasi terdahulu untuk menduga peluang

kejadian tersebut pada keadaan sekarang atau yang akan datang dengan asumsi

10
terdapat relevansi pada jalur waktu, sedangkan model stokastik empiris berdasarkan
pengalaman dan percobaan (Varshney, 1978).

Waluyo Hatmoko (2001) mengatakan,

secara sederhana metode Thomas

Fiering menyatakan bahwa debit bulan mendatang adalah sama dengan rata-rata debit

bulan mendatang ditambah dengan suatu faktor tetap dan faktor lainnya yang bersifat

acak (dinamakan faktor inovasi). Faktor tetap merupakan fungsi dari data debit bulan

ini dan statistik data (koefisien korelasi serta simpangan baku). Faktor inovasi
merupakan perkalian antara suatu faktor yang bergantung dari statistik data, dan
variabel acak berdistribusi normal baku (rata-rata nol dan variansi satu). Metode ini

memiliki keunggulan antara lain adalah mengawetkan rata-rata, simpangan baku, dan

korelasi antar bulan. Metode ini akan dikembangkan untuk peramalan, dengan

mengeliminir komponen yang bersifat acak, dan dilakukan dalam periode tengahbulanan. Metode pendekatan Thomas-Fiering merupakan metode probabilitas yang
telah banyak diterapkan oleh para ilmuan untuk membuat data forecasting (Taufik Dwi

Prasetyo, 2013). Dalam penelitian Fransisca Hicca Karunia (2012), input pada metode

Thomas Fiering dalam simulasi uji coba peramalan adalah daya debit rata-rata
bulanan. Untuk memperpanjang debit hingga sepuluh tahun diperlukan parameter

seperti simpangn baku, koefisien korelasi, koefisien regeresi dan angka random
(random number). Setelah mengetahui simpangan baku, koefisien korelasi dan

koefisien regresi, maka perhitungan perkiraan debit dengan metode Thomas Fiering.

Faktor inovasi merupakan perkalian antara suatu faktor yang bergantung dari statistik
data, dan variabel acak berdistribusi normal baku (rata-rata nol dan variansi satu).

Untuk mendapatkan ketersediaan air di suatu stasiun diperlukan debit aliran

yang bersifat runtut (time series), misalnya data debit harian sepanjang tahun selama
beberapa tahun (Zulkipli,2012). Dalam penelitian Melly Lukman (2000), untuk

melakukan prediksi (forecasting) debit aliran sungai dapat digunakan pendekatan


pemodelan deret waktu guna meramal nilai karakteristik tertentu pada periode ke
depan. Hal ini dikarenakan bahwa pemodelan deret waktu merupakan dasar dari

peramalan yang rasional, efektif, dan efisien. Teknik Exponential Smoothing adalah

11
salah satu teknik pemodelan deret waktu yang dapat digunakan untuk memprediksi.
Metode prediksi ketersediaan air dengan model statistik yang cukup sering digunakan

adalah Adaptive Neuro-Fuzzy Inference System (ANFIS). Metode ini memiliki segala
kelebihan yang dimiliki oleh model statistik dari segi sumber daya dan waktu
pemrosesan. ANFIS juga bisa digunakan untuk memprediksi debit tanpa harus
menggunakan data debit sebagai input (Rizki Maulana, 2012).
2.1.3. Prediksi Kebutuhan Air

a. Kebutuhan Air untuk Irigasi

Kebutuhan lahan untuk irigasi dipengaruhi oleh kebutuhan air konsumtif untuk

tanaman (Etc), penyiapan lahan (IR), penggantian lapis air (RW), perkolasi (P),
hujan efektif (ER), efisiensi irigasi (IE), luas sawah (A), dan pemakaian air kembali

(reuse-factor, RF) (Bambang Triatmodjo, 2008). Lahan pertanian beririgasi


memerlukan air untuk pengolahan lahan (land preparation), dan menggantikan air

yang hilang. Ditjen Sumberdaya Air (2005) memberikan perkiraan jumlah air
pengolahan lahan sebesar 12.7 mm/hari/ha selama 20 hari.

Mamok Suprapto (2008) berpendapat bahwa dengan telah ditetapkannya nilai

efisiensi irigasi, maka kebutuhan air untuk irigasi dapat diketahui. Selanjutnya

harus diselaraskan dengan keberadaan air di sumbernya, yaitu debit air di saluran

alam. Oleh sebab inilah maka perhitungan kc atau ETc perlu dilakukan dengan
menggeser-geser waktu mulai tanam. Dalam penelitian Yulia Mahdalena Hidayat

(2012) menyatakan bahwa perhitungan koefisien pengaliran harus dilakukan

apabila debit tersedia di bending lebih kecil dari perkiraan debit normal yang
dibutuhkan, jika hal tersebut terjadi maka pembagian air harus dilakukan dengan
cara sistim golongan

b. Kebutuhan Air untuk Industri

Kebutuhan air untuk industri dihitung berdasarkan jumlah karyawan industry

dan konsumsi pemakaian air per karyawan per hari (Setyawan Purnama, 2003).

12
Kusuma sari berpendapat bahwa Besarnya standar kebutuhan air industri adalah
sebagai berikut:

1. Untuk Pekerja Industri

Kebutuhan air untuk pekerja industri merupakan kebutuhan air domestik yang

telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun jumlah kebutuhan


air tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari.

2. Untuk Proses Industri

Kebutuhan air air berdasarkan jenis proses industri diklasifikasikan pada Tabel

2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi kebutuhan air untuk proses industri


Kategori
Kebutuhan Air
Metro
Kota Besar
0.2-0.8 L/dtk/ Hari
Kota Sedang
Kota Kecil
Desa
10 L/ Hari
Sumber: Ditjen Cipta Karya PU,2000
c. Kebutuhan Air untuk Domestik

1. Standart Kebutuhan Air Domestik

Standar kebutuhan air berdasarkan Ditjen Cipta Karya PU (2000), untuk

kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat
hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari seperti: memasak, air minum,

mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya. Kategori kebutuhan air domestik
ditampilkan pada Tabel 2.2.

13
Tabel 2.2. Kategori Kebutuhan Air Domestik
NO

1
2
3
4

URAIAN

Konsumsi unit Sambugan


Rumah (SR) l/o/h
Konsusi unit Hidran Umum
(HU) l/o/h
Konsumsi unit not dometik
l/o/h (%)
Kehilangan Air (%)

Faktor hari maksimum

Jumlah jiwa per SR

6
8
9
10
11
12
13

KATEGORI KOTA BERDASARKAN JUMLAH


JIWA
500,000
100,000
50,000
s/d
s/d
s/d
>1000,000
<
1000,000
500,000
100,000 50,000
METRO
BESAR
SEDANG
KECIL
DESA

Faktor jam puncak

SR:HU
Cakupan pelayanan %

170

130

100

30

30

30

30

30

20-30

20-30

20-30

20-30

20-30

20-30

20-30

20-30

20-30

20-30

1.1

1.1

1.1

1.1

1.1

1.5

1.5

100

24

Jumah jiwa per HU


Sisa tekan di penyediaan
distribusi (mka)

Jam operasi
Volume resevoir (% max day
per demand)

190

10
20

50:50 s/d
80:20

Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2000

*) 90

1.5

1.5

100

100

100

100

24

24

24

24

10

10

20

50:50 s/d
80:20

90

20

80:20

10
20

70:30
90

90

1.5

10
20

70:30
90

Standar pelayanan air bersih berdasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan


Prasarana Wilayah No: 534KPTSM, 2001 yaitu 55- 75 % penduduk terlayani.
2. Proyeksi Kebutuhan Air Domestik

Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor penting dalam

perencanaan kebutuhan air baku. Proyeksi jumlah penduduk digunakan untuk

menghitung tingkat kebutuhan air baku pada masa mendatang. Proyeksi jumlah
penduduk di suatu daerah dan pada tahun tertentu dapat dilakukan apabila diketahui

tingkat pertumbuhan penduduknya (Moh.Sholichin, 2011). Proyeksi kebutuhan air

bersih dapat ditentukan dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk untuk


diproyeksikan terhadap kebutuhan air bersih sampai dengan lima puluh tahun

14
mendatang atau tergantung dari proyeksi yang dikehendaki (Soemarto, 1999).
Dalam menentukan proyeksi kebutuhan air domestik terdapat dua hal yang harus
diperhitungkan terlebih dahulu, antara lain:
a. Angka Pertumbuhan Penduduk

Prediksi jumlah penduduk di masa yang akan datang didasarkan pada laju
perkembangan julhan penduduk pada masa lampau (Ratih Putri, 2007). Angka

pertumbuhan penduduk digunakan untuk memproyeksikan jumlah penduduk


sampai dengan 50 tahun mendatang (Bagus Adi Irawan, 2006).

b. Proyeksi Jumlah Penduduk

Prediksi jumlah penduduk di masa yang akan datang didasarkan pada laju
perkembangan kota dan kecenderungannya, arahan tata guna lahan serta
ketersediaan lahan untuk menanmpung perkembangan jumlah penduduk.

Prediksi jumlah penduduk dalam periode perencanaan 20 tahun perlu diketahui


untuk mengetahui kebutuhan air bersih wilayah perencanaan. Dengan

memeperhatikan laju perkembangan jumlah penduduk masa lampau, maka


metode

statistik

merupakan

metode

yang

paling

mendekati

untuk

memperkirakan jumlah penduduk di masa mendatang (Ratih Putri, 2007).

Muliakusumah (2000) berpendapat bahwa perhitungan proyeksi jumlah


penduduk pada umumnya dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode,
yaitu: Metode Aritmatik, Metode Geometrik, Metode Eksponensial. Soemarto
(1999) menyatakan bahwa dari angka pertumbuhan penduduk dalam persen
digunakan untuk memproyeksikan jumlah penduduk sampai dengan lima puluh

tahun mendatang. Meskipun pada kenyataannya tidak selalu tepat tetapi

perkiraan ini dapat dijadikan sebagai dasar perhitungan volume kebutuhan air
dimasa

mendatang.

Ada

beberapa

metode

yang

digunakan

untuk

memproyeksikan jumlah penduduk yaitu Metode Geometrik dan Metode


Arimatik.

15
2.1.2. Neraca Air (Water Balance)

Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air

disuatu tempat pada periode tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui

jumlah air tersebut kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit) (Ig. L. Setyawan
Purnama dkk, 2012). Analisis neraca air dilakukan dengan membandingkan antara total

ketersediaan air dengan total kebutuhan air yang ada di sub DAS (Moh. Sholichin
dkk,2010). Neraca air dapat diperoleh dengan membuat superposisi antara

ketersediaan air dengan kebutuhan air (Amirwandi dan Hatmoko, 1993; Barmawi dkk,
2007).

2.2. Dasar Teori

2.2.1. Debit Andalan


Debit andalan adalah debit minimum sungai dengan besaran tertentu yang mempunyai

kemungkinan terpenuhi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Untuk


kepentingan irigasi, debit minimum sungai untuk kemungkinan terpenuhi ditetapkan

80%, sedangkan untuk keperluan air baku ditetapkan 90% (Bambang Triadmojo,
2008). Dalam perencanaan penyediaan air terlebih dahulu harus dicari debit andalan

(dependable discharge), yang tujuannya adalah untuk menentukan debit perencanaan


yang diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto, 1987). Dalam menentukan

besarnya debit andalan dengan peluang 80 % digunakan probabilitas Metode Weibull,


dengan rumus:
=
dengan:
P
m
n

100%

= peluang (%)
= nomor urut data
= jumlah data

(2.1)

16
1.

Uji Kepanggahan Data

Dalam penelitian ini menggunakan cara RAPS, karena cara RAPS lebih umum

digunakan dan dapat diketahui hasil uji kepanggahan dari setiap stasiun hujan. Uji

kepanggahan menggunakan persamaan RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) sebagai


berikut:

S k* =

Y
k

i 1

S 0* = 0

Y , dengan k = 1, 2, 3, , n

(2.2)
(2.3)

S 0** = Sk , dengan k = 0, 1, 2, 3, , n
*

Dy

D y2

dengan:

Yi
Y
Dy
n

i 1

Y
n

(2.4)

(2.5)

= data hujan ke i
= data hujan rerata i
= deviasi standar
= jumlah data

Untuk uji kepanggahan digunakan cara statistik:


Q = IS*0k I, 0 k n, atau

(2.6)

**
**
R = maksimum S k minimum S k , dengan 0 k n

Nilai Kritik Q dan R ditunjukkan dalam Tabel 2.1.


Tabel 2.1. Nilai kritik Q dan R
N
10
20
30
40

90%
1,05
1,10
1,12
1,13

n
95%
1,14
1,22
1,24
1,26

99%
1,29
1,42
1,46
1,50

90%
1,21
1,34
1,40
1,42

n
95%
1,28
1,43
1,50
1,53

99%
1,38
1,60
1,70
1,74

17
Q

n
90%
95%
50
1,14
1,27
100
1,17
1,29

1,22
1,36
Sumber: Sri Harto, 1993

2.

99%
1,52
1,55
1,63

90%
1,44
1,50
1,62

n
95%
1,55
1,62
1,75

99%
1,78
1,86
2,00

Hujan Wilayah

Untuk mengetahui hujan wilayah biasanya digunakan cara rata-rata arimatik,

namun cara lain yang umum digunakan adalah metode isohayet dan metode Thiessen
(Warren Viessman dkk, 1977). Suripin (2004) berpendapat bahwa pemilihan dari

metode mana yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan tiga faktor yang ditampilkan dalam Tabel 2.2-2.4.
Tabel 2.2. Jaring-jaring pos penakar hujan
Jumlah pos penakar hujan cukup

Jumlah pos penakar hujan terbatas


Pos penakar hujan tunggal
Sumber: Suripin, 2004
Tabel 2.3. Luas DAS

Luas DAS besar (>5000 km2 )


DAS sedang (500 s/d 5000 km2)
DAS kecil (<500 km2)
Sumber: Suripin, 2004
Tabel 2.4. Topografi DAS

Pegunungan
Dataran
Berbukit dan tidak beraturan
Sumber: Suripin, 2004

Metode isohyet, Thiessen atau ratarata aljabar dapat dipakai


Metode rata-rata aljabar atau Thiessen
Metode hujan titik

Metode isohyet
Metode Thiessen
Metode rata-rata aljabar

Metode rata-rata aljabar


Metode Thiessen
Metode isohyet

18
Cara yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode Thiessen. Cara ini

dipilih karena data yang tersedia dapat mendukung cara ini.

dengan:

1
Aw

i 1

Ai .Pi

(2.7)

= hujan wilayah (mm)


= hujan masing-masing stasiun pencatat hujan (mm)
= luas wilayah (km2)
= luas masing-masing poligon (km2)
N = jumlah stasiun pencatat hujan

2.2.2. Prediksi Ketersediaan Air


1.
a.

Transformasi Hujan Menjadi Aliran

Model Transformasi Menggunakan Soil and Water Assesment Tools (SWAT)

Model pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah

satunya adalah dengan menggunakan Geographic Information System (GIS). Terdapat

berbagai macam perangkat lunak GIS yang dapat digunakan utuk memperhitungkan
dan mengkaji kondisi hidrologi serta perubahan tata guna lahan suatu wilayah. Salah
satu software tersebut adalah Soil and Water Assesment Tools (SWAT).

SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model, diantaranya adalah

Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB), Chemical, Runoff and
Erosion from Agricultural Management System (CREAMS), Groundwater Loading

Effect an Agricultural Management System (GREAMS), dan Erosion Productivity


Impact Calculator (EPIC) (Neitsch dkk, 2004). Sehingga SWAT dapat digunakan
untuk melakukan analisis debit sungai suatu wilayah DAS.

Dalam menjalankan setiap analisis hidrologi, SWAT menggunakan neraca air

sebagai dasar permodelan. Siklus hidrologi yang digunakan oleh SWAT dibagi
menjadi dua, yaitu:

1. Fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida
dalam pengisian saluran utama pada masing-masing sub basin.

19
2. Fase air yang berupa pergerakan air, sedimen, dan lainnya melalui jaringan

sungai pada DAS menuju outlet. Skema fase lahan pada siklus hidrologi dan
persamaan neraca air yang digunakan dalam model SWAT, persamaan fase
tersebut ditampilkan dalam persamaan sebagai berikut:
+

(2.8)

dengan:
= kandungan akhir air tanah (mm)
= kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm)
= jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm)
= jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm)
= jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm)
= jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah hari ke-i
(mm)
= jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)
Dalam mengestimasikan aliran permukaan (Qsurf), SWAT menggunakan dua

buah metode, yaitu SCS curve number (CN) dan infiltrasi Green and Ampt.
Berdasarkan volume aliran permukaan dan puncaknya, dilakukan simulasi pada setiap

HRU (Hydrology Response Units). SCS curve number merupakan fungsi dari

permeabilitas tanah, tata guna lahan, dan kondisi air tanah. Persamaan SCS curve
number (Neitsch dkk, 2004).
=

(
(

.
.

)
)

(2.9)

dengan:
= hujan per hari (mm)
= kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm)
= 25.4

10

(2.10)

20
Besarnya laju Wseep, dan Qgw dihitung dengan:
=

dengan:

(2.11)

= total air yang berada di bawah tanah pada hari ke-i (mm)
= jumlah perkolasi yang keluar dari lapisan bawah (mm)
= jumlah air mengalir melewati lapisan yang lebih bawah dari
muka tanah untuk mengalirkan aliran pada hari ke-i (mm)

Qgw = 800 ..gw .hwtbl

(2.12)

dengan:

gw
hwtbl
b.

= jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)


= specific yield dari akuifer dangkal (m/m)
= konstanta resesi aliran mantap
= tinggi muka air pada watertable (m)

Model Transformasi Menggunakan HEC-HMS

HEC-HMS menggunakan banyak metode hidrologi yang biasa digunakan

untuk mensimulasikan proses curah hujan menjadi aliran pada suatu DAS [USACEHEC, 2006]. Terdapat enam model unit hidrograf yang disediakan dalam progran

HEC-HMS antara lain Clark unit hidrograf, Mod Clark unit hidrograf, SCS curve
number, Snyder, User-specified S-graph dan, User- specified unit hydrograph. Model
unit hidrograf yang digunakan adalah Snyder. Snyder Unit Hydrograph merupakan
model yang menggabungkan data hujan dan limpasan dari aliran pemukaan.

Dalam HEC-HMS, terdapat empat alternatif model untuk memperhitungkan

kehilangan curah hujan. keempat alternatif model tersebut adalah model initial and
constant-rate loss model, deficit and constant-rate model, SCS curve number (CN)

loss model dan Green and Ampt loss. Dalam penelitian ini menggunakan initial
constant-rate, yaitu tingkat potensi kehilangan curah hujan maksimum dianggap
konstan sepanjang periode tertentu. Beberapa model yang digunakan untuk

21
menghitung volume runoff, direct runoff, baseflow, dan channel flow ditampilkan
pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Perhitungan dan model yang terdapat dalam HEC-HMS


Perhitungan

Model
User hytograph
User gage weighting
Hujan
Inverse distance gage weights
Gridded precipitation
Frequency storm
Standard project storm
Initial and Constant rate
Volume aliran
SCS curve number (CN)
Gridded SCS CN
Green and Ampt
Deficit and constant rate
Soil moisture accounting (SMA)
Gridded SMA
User-spesified unit hydrograph
Clarks UH
Direct runoff (overland flo
Snyders UH
dan interflow)
SCS UH
Modclark
Kinematic wave
Kinematic wave
Lag
Routing sungai
Modified Puls
Muskingum
Muskingum-Cunge Standard Section
Muskingum-Cunge 8-point Section
Sumber: Technical Reference Manual HEC-HMS,2000
2.

Metode Prediksi Ketersediaan Air dengan Metode Thomas Fiering

Model yang digunakan adalah model Thomas Fiering (Skokastik Empiris), karena

data yang akan dibangkitkan berupa data debit bulanan (multiple season). Rumus
Thomas-Fiering mempunyai bentuk umum aslinya sebagai berikut (Shahin, 1993):

(2.13)

22

dengan :

() /
r(j)
sj
sj-1
xj-1
ti,j

+ () /

)+

1 ( )

= debit bulan j dalam (j= 1,2,....,12)


= rata-rata debit bulan j
= koefisien regresi qi,j dari qi,j-1:
= koefisien korelasi bulan j dari bulan j-1
= simpangan baku bulan j
= simpangan baku bulan j-1
= rata-rata bulan j-1
= variabel acak berdistribusi normal baku, dengan rata-rata 0 dan
variansi 1, untuk bulan j dengan catatan bahwa untuk j = 1
(bulan Januari), maka j-1 = 12 (bulan Desember dari tahun yang
lalu).

Rumus koefisien regresi qi,j dari qi,j-1:


dengan :

() /

(2.14)

( ) = koefisien korelasi qi,j dari qi,j-1


= simpangan baku bulan j
= simpangan baku bulan j-1

2.2.3. Prediksi Kebutuhan Air

Proyeksi kebutuhan air bersih dapat ditentukan dengan memperhatikan

pertumbuhan penduduk untuk diproyeksikan terhadap kebutuhan air bersih sampai


dengan lima puluh tahun mendatang atau tergantung dari proyeksi yang dikehendaki
(Soemarto, 1999). Adapun yang berkaitan dengan proyeksi kebutuhan tersebut adalah:
a. Proyeksi Jumlah Penduduk

1) Metode Geometrical Increase ( Soemarto, 1999 )


Pn = Po + (1 + r) n

dengan:

Pn = jumlah penduduk pada tahun ke-n


Po = jumlah penduduk pada awal tahun

(2.15)

23
r = presentase pertumbuhan geometrical penduduk tiap tahun
n = periode waktu yang ditinjau
Dari proyeksi tersebut, kemudian dihitung jumlah kebutuhan air dari sektor

domestik berdasarkan kriteria Ditjen Cipta Karya 2000.


dengan :

(2.16)

= jumlah pemakaian air (Lt/hari)


J = jumlah pemakai (Jiwa)
q = konsumsi air rata-rata (Lt/jiwa/hari)

2.2.3. Neraca Air (water balance)

Dalam siklus hidrologi terdapat hubungan antara masukan air total dengan

keluaran air total yang dapat terjadi pada suatu Daerah Aliran Sungai. Hubungan itu
umumnya disebut dengan neraca air. Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan
keseimbangan antara jumlah air yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari
sistem (sub sistem) tertentu. Secara umum persamaan neraca air (Sri Harto Br, 2000)
dirumuskan dengan:
I = O S

dengan:

I ` = masukan (inflow)
O = keluaran (outflow)
S = Perubahan Tampungan (change of storage)

(2.17)

Anda mungkin juga menyukai