Anda di halaman 1dari 3

ANALIS DAN TINDAK LANJUT TERHADAP

ASUPAN
Kesempakatan global dalam bidang gizi menetapkan sasaran program perbaikan gizi yang harus
di capai oleh setiap Negara. Sasaran global tersebut sampai saat ini menjadi salah satu acuan
pokok dalam pembangunan program gizi disemua negara termasuk indonesia. Pembangunan
program gizi di indonesia selama 30 tahun terakhir menunjukkan hasil yang positif.
Gambaran makro perkembangan keadaan gizi masyarakat menunjukkan kecendrungan yang
sejalan. Prevalensi kurang energiprotein pada balita turun 37,5% pada tahun 1989 menjadi 26,4%
pada tahun 1990. Penurunan serupa terjadi pada prevalensi masalah gizi lain. Prevalensi
gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A dan anemia gizi pada tahun 1998 masing
9,8%, 0,3%, dan 50,9%. Dibandingkan dengan sasaran global yang disepakati, keadaan gizi
masyarakat di indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagai contoh pada tahun 2005 diharapkan
terjadi penurunan prevalensi kurang energy protein menjadi 20% , gangguan akibat yodium
menjadi 5% , anemia gizi menjadi 40%, dan bebas masalah kebutaan akibat kurang vitamin A.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 semakin memperburuk keadaan gizi masyarakat.
Selama krisis, ada kecendrungan meningkatnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk terutama
pada kelompok umur 6-23 bulan. Munculnya maramus, kwasiorkor merupakan indikasih adanya
penurunan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Upaya untuk mencegah semakin
memburuknya keadaan gizi masyarakat di masa mendatang harus di lakukan segera dan
direncanakan sesuai masalah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan
desentralisasi. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, undangundang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah, dan peraturan pemerintahan nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
provinsi sebagai daerah otonom, mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam merencanakan
dan melaksanakan pembangunan termasuk pembangunan di bidang gizi. Adanya kebijakan dan
strategi yang tepat, program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan akan sangat mendukung pencapaian secara nasional.

Seperti halnya di indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah
diberantas. Angka kematian ibu melahirkan turun drastis dari 230 tahun 1992 menjadi 17 per
100.000 tahun 1996.
Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian besar terhadap
data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai data nasional tahunan perkembangan
berat badan balita dan anak sekolah. Dalam kebijakan pembangunan nasional secara konsisten
memasukkan status gizi anak sebagai salah satu indicator kemiskinan. Atas dasar perkembangan
status gizi anak program gizi disuse sebagai bagian dari program penanggulanga kemiskinan.
Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antaralain dengan indicator pertumbuhan
berat badan anak, bukan hanya dengan berapa rata-rata persediaan atau konsumsi energy dan
protein penduduk seperti yang sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan gizi di
Thailand adalah paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi. Sedang kita masih
lebih banyak mengetrapkan paradigm lama yang berorientasi pangan atau makanan.
Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahtraan rakyat yaitu angka
penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh karna itu menurut WHO (2000) 49
% kematian bayi terkait dengan status gizi yang rendah, maka dapat dimengerti apabila
pertumbuhan dan status gizi termasuk indikator kesejahteraan seperti diterapkan di Thailand.
Paradigma baru menekankan pentingnya outcome dari pada input. Persediaan pangan yang
cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh
makanan yang cukup dan status gizinya baik. Banyak faktor lain yang dapat menggangu proses
terwujutnya outcome sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor
lain tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 semakin memperburuk keadaan gizi masyarakat.
Selama krisis, ada kecenderungan meningkatnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk terutama
pada kelompok umur 6-23 bulan.
Paradigma baru menekan pentingnya outcome dari pada input. Persediaan pangan yang
cukup (input) dimasayarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh
makanan yang cukup dan status gizinya baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses
terwujudnya outcome sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor
lain tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar.

Penyebab langsung kurang gizi adalah makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga
karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup baik, tetapi sering diserang diare
atau demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan dengan
tingkat yang tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam
keadaan demikian, mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya
dapat menderita kurang gizi. Dalam kenyataan keduanya (makanan dan penyakit)secara
bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Anda mungkin juga menyukai