Anda di halaman 1dari 43

MALNUTRISI ENERGI PROTEIN

PENDAHULUAN
Diseluruh dunia malnutrisi merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada masa anak. Malnutrisi diakibatkan karena masukan makanan yang tidak
sesuai atau tidak cukup atau akibat dari penyerapan makanan yang tidak cukup.
Malnutrisi diartikan sebagai kondisi kelebihan maupun kekurangan konsumsi
terhadap salah satu atau beberapa zat gizi esensial. Malnutrisi pada anak dapat berupa
Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi, Kekurangan Vitamin A (KVA),
serta Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Topik ini hanya akan
memfokuskan pada masalah malnutrisi Kekurangan Energi dan Protein (KEP).
Di antara seluruh penyebab utama kematian di antara anak di bawah umur lima tahun,
sebanyak 60% berhubungan erat dengan kejadian Malnutrisi Kekurangan Energi dan
Protein. Penyebab-penyebab kematian tersebut terdiri dari pneumonia (20%), diare
(12%), malaria (8%), campak (5%), HIV/AIDS (4%), perinatal (22%), serta lain-lain
(29%).
Berdasarkan SUSENAS 2002, 26% balita menderita gizi kurang dan gizi buruk, dan
8% balita menderita gizi buruk. Pada MEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis,
tergantung pada berat ringannya kelainan. Pada Riskesdas 2007, angka tersebut turun
menjadi 13% balita gizi kurang dan 5,4% gizi buruk.
Malnutrisi di masyarakat secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
terhadap 60% dari 10,9 juta kematian anak dalam setiap tahunnya dan 2/3 dari kematian
tersebut terkait dengan praktek pemberian makan yang tidak tepat pada tahun pertama
kehidupan (Infant Feeding Practice). Prevalensi terjadinya malnutrisi pada pasien anak
rawat inap cukup tinggi yaitu antara 20-40% dan makin meningkat pada pasien yang
dirawat di rumah sakit lebih dari dua. Penelitian pendahuluan pada 4 (empat) rumah sakit
di Indonesia menunjukkan lebih dari separuh pasien yang dirawat datang dengan berbagai
keadaan malnutrisi baik undernutrition ataupun overnutrition, dengan status gizi kurang
menempati porsi terbesar.

Malnutrisi terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ANP yang dapat disebabkan
oleh beberapa hal antara lain: kurangnya kesadaran dari dokter, kurangnya pengetahuan,
keterampilan dan strategi penanganan terapi nutrisi, serta berbagai kendala seperti
tingginya biaya dukungan nutrisi, adanya komplikasi yang terjadi akibat dukungan nutrisi
tersebut dan lain sebagainya.
Malnutrisi Energi Protein (MEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia. MEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun
sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada
defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi Malnutrisi
Energi Protein masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam
upaya penurunan prevalensi MEP.
Malnutrisi Energi Protein (MEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi zat energi dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Orang yang mengidap gejala klinis Malnutrisi
Energi Protein ringan dan sedang pada pemeriksaan anak hanya nampak kurus karena
ukuran berat badan anak tidak sesuai dengan berat badan anak yang sehat. Anak
dikatakan MEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut
umur (BB/U) baku World Health Organization-National Center for Health Statistics
(WHO-NCHS, 1983). MEP ringan apabila BB/U 70% sampai 79,9% dan MEP sedang
apabila BB/U 60% sampai 69,9%.
Penyakit Malnutrisi Energi Protein (MEP) merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat
terutama pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara
sedang berkembang. Bentuk MEP berat memberi gambaran klinis yang khas, misalnya
bentuk kwashiorkor, bentuk marasmus atau bentuk campuran kwashiorkor marasmus.
Pada kenyataannya sebagian besar penyakit MEP terdapat dalam bentuk ringan. Gejala
penyakit MEP ringan ini tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah
jika dibandingkan dengan anak seumurnya.

II

FUNGSI MAKANAN
1 Proses Tumbuh Kembang, Sebagai bahan pembangun tubuh,
pemelihara dan memperbaiki bagian bagian yang rusak (protein,
2

mineral)
Metabolic Programming, Mengatur pekerjaan faal tubuh dan sebagai

zat pelindung (mineral, vit, air)


Sumber Energi, Memberi tenaga/energi bagi tubuh saat istirahat dan
beraktivitas (K, P, L)

III

DEFINISI
Malnutrisi Energi Protein (MEP) adalah gangguan nutrisi yang disebabkan oleh
karena kekurangan protein dan/atau energi. Berdasarkan derajatnya MEP dibagi menjadi
MEP derajat ringan (gizi kurang) dan MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum
menunjukkan gejala yang khas, sedangkan gizi buruk memiliki 3 bentuk klinis yaitu
kwashiorkor, marasmus dan marasmik kwashiorkor.
Marasmus

merupakan

kekurangan

energi

pada

tingkat

berat

yang

telah

dimanifestasikan ke dalam gejala klinis. Biasanya gejala klinis ini dicirikan oleh kulit
yang hanya terbalut tulang, rambut tipis, serta wajah menyerupai orang tua (monkey
face). Selain itu, pada anak yang menderita marasmus juga kerap terjadi hipoglikemia
(kadar gula darah yang rendah) dan hipotermia (suhu tubuh yang rendah).
Kwashiorkor merupakan kekurangan protein pada tingkat berat yang juga telah dapat
diamati dari gejala-gejala klinis yang timbul. Gejala klinis pada anak yang menderita
kwashiorkor antara lain terjadinya edema yang dimulai di kaki dan telapak kaki; kulit
luka dan kering dengan hiperkeratosis dan hiperpigmentasi; rambut rontok dan kering;
serta anoreksia dengan muntah dan diare.

IV

EPIDEMIOLOGI
3

Di Negara sedang berkembang dan miskin, malnutrisi merupakan penyebab utama


kesakitan pada anak dan secara tidak langsung sebagai penyebab. Awal penyakit ini
dimulai pada saat pemberian makanan yang tidak adekuat atau karena adanya
malabsorpsi. Penyediaan makanan yang kurang, tingkat ekonomi yang rendah dan tingkat
pendidikan ibu yang rendah akan berpengaruh terhadap banyaknya masukan makanan.
Faktor pendidikan mencakup pengetahuan yang kurang tentang nilai bahan makanan,
kebiasaan makan yang buruk akibat pengaruh lingkungan, cara perawatan anak yang
belum memadai, sifat tahayul terhadap makanan dan kesehatan lingkungan yang buruk.
Selain itu kebutuhan nutrien esensial akan meningkat pada ketegangan mental, keadaan
sakit, dan pada pemberian obat antibiotik, obat katabolik atau anabolik. Bila keadaan
tersebut tidak diperhatikan akhirnya dapat menimbulkan malnutrisi.
Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat 1 milyar penduduk dunia
yang kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik.
Disamping itu masih ada 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat
melakukan aktivitas minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya
proses pertumbuhan badan secara normal.
Kecenderungan terjadinya malnutrisi pada anak berdasarkan tahun di berbagai
wilayah di seluruh dunia yang terdiri dari wilayah Afrika, Asia, dan Amerika ditunjukkan
dalam gambar 1.

Gambar 1. Kecenderungan Kejadian Malnutrisi Pada Anak Berdasarkan Wilayah

Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa di wilayah Afrika, kejadian malnutrisi


pada anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun mulai 1975, 1985, dan 1995. Adapun
di wilayah Asia dan Amerika, kejadian malnutrisi pada anak cenderung menurun pada
kurun waktu tersebut. Kejadian malnutrisi pada anak yang paling banyak pada tahun 1975
terjadi di wilayah Asia (45%), sedangkan di wilayah Afrika dan Amerika relatif sama
yaitu sebesar 25%. Pada tahun 1995, angka kejadian malnutrisi pada anak di wilayah Asia
dan Afrika relatif sama yaitu sebesar 29%. Sebaliknya di wilayah Amerika, kejadian
malnutrisi pada anak menurun tajam menjadi 10% di tahun 1995.
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering menyerang anak-anak kurang dari 5 tahun
karena pada saat itu kebutuhan energi dan protein sangat tinggi. Marasmus sering
dijumpai pada anak < 1 tahun, di daerah urban, sedangkan kwasiorkor sering dijumpai
pada usia > 2 tahun di daerah yang kumuh dan padat penduduk (Grover, 2009).
Di Negara terkebelakang, 0 5 % anak menderita KEP yang berat, 50 % anak
menderita KEP sedang. Di Negara berkembang 2 % anak menderita KEP berat, 19 %
menderita KEP sedang (Jilcott, 2007).
Di Indonesia, Kurang energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah
gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010,
sebanyak 13,0% berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk (Depkes,
2011).

ETIOLOGI
KEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam
makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi dan biasanya

disertai adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Penyebab KEP dibedakan
menjadi penyebab primer dan sekunder.
Penyebab primer meliputi kejadian KEP akibat kekurangan nutrisi yang pada
umumnya didasari oleh masalah ekonomi, pendidikan serta rendahnya
pengetahuan di bidang gizi.
Penyebab sekunder yaitu apabila disebabkan adanya penyakit utama seperti
kelainan kongenital contohnya adalah kelainan jantung bawaan, infeksi kronis
seperti tuberculosis dan metabolik yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi
meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan meningkatnya kehilangan
nutrisi (Grover, 2009).
Etiologi malnutrisi pada pasien dengan penyakit jantung bawaan, Penyakit
jantung bawaan adalah kelainan struktural pada dinding, katup, ruang dan arteri atau
vena dekat jantung yang didapat sejak lahir. Dimana defek pada PJB dapat
mengganggu proses hemodinamik, dikarenakan proses patofisiologi dari intake nutrisi
yang tidak adequate, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrisi dan peningkatan dari
proses metabolik.
Makanan yang tidak adekuat akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan
makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan
pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak, serta protein melalui
proses katabolik. Apabila terjadi stress katabolik (infeksi) maka kebutuhan protein
akan meningkat sehingga dapat menyebabkan defesiensi protein yang relatif jika
kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD maka terjadilah
kwashiorkor, pada kondisi ini peranan radikal bebas dan antioksidan sangat penting.
Bila stress katabolik terjadi saat status gizi dibawah -3 SD maka akan terjadi
marasmik-kwashiorkor. Apabila kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai
dibawah -3 SD maka akan terjadi marasmik (Hidajat, 2008).

VI

KLASIFIKASI
Pada penentuan prevalensi MEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya MEP,

klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut :

1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS


Tabel 1 Klasifikasi BB/U
KEP

BB/TB

berdasarkan

baku median WHONCHS

Klasifikasi

KEP
Ringan
Sedang
Berat

70-80%
60-70%
<60%

80-90%
70-80%
<70%

2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI


Klasifikasi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan umur
menurut Depkes RI adalah sebagai berikut :
Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut TB/U
Departemen Kesehatan RI BB/TB
(berat menurut tinggi)
Mild
80-90%
Moderate
70-79%
Severe
<70%

(tinggi menurut umur)


90-94%
85-89%
<85%

3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956)


Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat
badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.
Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Berat badan % dari baku
Gomez Derajat KEP
0 (normal)
1 (ringan)
2 (sedang)

90%
89-75%
74-60%

4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967)


McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya.
Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi
nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum.

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita :
0-3 angka

: marasmus

4-8 angka

: marasmic-kwashiorkor

9-15 angka

: kwashiorkor

5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust (1970)


Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini
diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat
pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada penderita
kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang
sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat lagi dan berat
badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu akan didiagnosis sebagai
penderita marasmus.
Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Edema
Trust Party Berat badan % dari baku
Tidak ada
Ada
>60%
Gizi kurang
<60%
Marasmus

Kwashiorkor
MarasmikKwashiorkor

6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)


Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun.
Waterflow berpendapat bahwa defisit berat menurut tinggi mencerminkan gangguan
gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit
tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau
kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek
8

(stunting) untuk seusianya. Tabel 6. Penentuan status gizi menurut kriteria Waterlow,
WHO 2006, dan CDC 2000

7. Klasifikasi Menurut Jellife


Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)
menurut umur (U) sebagai berikut :
Tabel 7 Klasifikasi KEP BB/U (% baku)
menurut

Jellife

Kategori
KEP I
KEP II
KEP III
KEP IV

90-80
80-70
70-60
<60

8. Menurut Depkes (1997) :


Terdapat

beberapa

istilah

yang

digunakan

di

lapangan

dalam

mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP total adalah
menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku
median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang
dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada pemisah antara
KEP sedang dan KEP berat pada KMS). Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka
sejak awal periode Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap
balita sejak tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score)
dengan menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score
masing-masing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Tabel 8. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks menurut
kemenkes RI tahun 2011

Tabel 9. Penentuan status gizi secara klinis dan antropometri

10

VII

PATOFISIOLOGI
Interaksi antara faktor-faktor keberadaan zat gizi (faktor penyebab), cadangan zat
gizi dalam tubuh, penyakit infeksi, infestasi cacing, aktifitas (faktor penjamu), pantangan,
cara pengolahan (faktor lingkungan) sangat penting dipertahankan dalam keadaan
seimbang dan optimal. Bila keseimbangan ini tidak terjaga maka akan terjadi perubahan
dalam tubuh, yakni terjadinya pemakaian cadangan zat gizi yang tersimpan dalam tubuh
(Forrester, et al. 2012).
Bila hal ini berlangsung lama maka berangsur-angsur cadangan tubuh akan berkurang
dan akhirnya akan habis. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan metabolisme
kehidupan sehari-hari. Diawali dengan terjadinya mobilisasi zat-zat gizi yang berasal dari
jaringan tubuh. Sebagai akibat hal tersebut, tubuh akan mengalami penyusutan jaringan
tubuh, kelainan metabolisme oleh karena kekurangan zat-zat gizi, kelainan fungsional,
11

dan akhirnya kerusakan organ tubuh dengan segala keluhan, gejala-gejala dan tanda-tanda
yang timbul sesuai dengan jenis zat gizi yang menjadi pangkal penyebabnya, bila protein
penyebabnya akan terjadi kwasiorkor, bila energi penyebanya akan terjadi marasmus atau
keduanya sebagai penyebab akan terjadi marasmus kwashiorkor (Manary,2009).
Secara klinis MEP berat terdapat dalam 3 tipe yaitu :
1.

Marasmus
Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Terdapat beberapa tanda
khusus pada marasmus ialah kurangnya (bahkan tidak ada) jaringan lemak di bawah
kulit. Selain itu terdapat pula beberapa tanda khusus bayi terkena marasmus,
diantaranya:
a) Bayi akan merasa lapar dan cengeng.
b) Oedema (bengkak) tidak
c) Warna rambut tidak berubah.
d) Wajahnya tampak menua (old man/monkey face).
e) Atrofi jaringan, otot lemah terasa kendor/lembek ini dapat dilihat pada paha dan
pantat bayi yang seharusnya kuat dan kenyal dan tebal.
Pada marasmus tingkat berat, terjadi retardasi pertumbuhan, berat badan dibanding
usianya sampai kurang 60% standar berat normal. Sedikitnya jaringan adipose pada
marasmus berat tidak menghalangi homeostatis, oksidasi lemak tetap utuh namun
menghabiskan cadangan lemak tubuh. Keberadaan persediaan lemak dalam tubuh
adalah faktor yang menentukan apakah bayi marasmus dapat bertahan terjadi
(Forrester, et al. 2012).

2.

Kwashiorkor
Kwashiorkor bisanya terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Pertumbuhannya terhambat,
jaringan otot lunak dan kendor, Namun jaringan lemak dibawah kulit masih ada
dibanding bayi marasmus. Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah:
12

a) Rambut berubah menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah
rontok, apabila rambut keriting menjadi lurus.
b) Kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia.
c) Selalu ada oedema (bengkak), terutama pada kaki dan tungkai bawah. Sifatnya
pitting oedema. Bayi tampak gemuk, muka membulat (moon face), karena
oedema. Cairan oedema sekitar 5-20% dari jumlah berat badan yang diperhitungkan
dari penurunan berat badan ketika tidak oedema lagi (pada masa penyembuhan).
d) Terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein. Pada kulit
yang terdapat dispigmentasi akan tampak pucat. Sering terjadi dermatitis (radang
pada kulit). Kulit mudah luka karena tidak adanya tryptophan dan nicotinamide,
meskipun kekurangan zinc bisa juga menjadi penyebab dermatitis. Pada kasus
kwashiorkor tingkat berat kulit akan mengeras seperti keripik terutama pada
persendian utama. Bibir retak-retak, lidah pun menjadi lunak dan gampang luka.
e) Pada kwashiorkor, pengaruh terhadap sistem neurologi dijumpai adanya tremor
seperti Parkinson yang berpengaruh terhadap jaringan (cabang) syaraf tunggal
maupun syaraf kelompok pada otot. Seperti otot mata sering terjadi terus berkedip,
atau pada pita suara yang menghasilkan suara getar serak/cengeng (Manary, et al.
2009).

3.

Marasmik Kwashiorkor
Anak/bayi yang menderita marasmik-kwashiorkor mempunyai gejala (sindroma)
gabungan kedua hal di atas. Seorang bayi yang menderita marasmus lalu berlanjut
menjadi kwashiorkor atau sebaliknya tergantung dari makanan/gizinya dan sejauh mana
cadangan energi dari lemak dan protein akan berkurang/habis terpakai (Forrester, et al.
2012).
PATOGENESIS MALNUTRISI ENERGI PROTEIN

Patogenesis penyakit MEP melalui 5 tahapan :

13

1. Ketidakcukupan zat gizi , Bila ketidakcukupan zat gizi berlangsung lama maka
cadangan jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidakcukupan itu
2. Bila keadaan ini berlangsung lama, maka akan terjadi kemerosotan jaringan yang
ditandai dengan penurunan BB
3. Terjadi perubahan biokimia yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium,
yaitu Hb rendah, serum vitamin A dan karoten rendah
4. Bila keadaan berlangsung lama, terjadi perubahan fungsi tubuh seperti pusing, lemah,
lekas capek
5. Terjadi perubahan anatomi yang dapat dilihat dari munculnya tanda klasik : warna
rambut, xeroftalmia, stomatitis angular, edema, dermatosis

PENGARUH MEP TERHADAP BEBERAPA ORGAN


a. Saluran Pencernaan
Malnutrisi berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak lambung. Mukosa
usus halus mengalami atrofi. Vili pada mukosa usus lenyap, permukaannya berubah
menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel, indeks
mitosis, kegiatan disakarida berkurang. Pada hewan percobaan, kemampuan untuk

14

mempertahankan kandungan normal mucin dalam mukosa terganggu dan laju penyerapan
asam amino serta lemak berkurang (Jen, 2010).
b. Pankreas
Malnutrisi menyebabkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan mengganggu
fungsi pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan fungsi pankreas bersama dengan
intoleransi disakarida akan menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut
sebagai diare (Jen, 2010).
c. Hati
Pengaruh malnutrisi pada hati bergantung pada lama, serta jenis zat gizi yang
berkurang. Glikogen pada penderita marasmus cepat terkuras sehingga zat lemak
kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati. Jika kelaparan terus berlanjut, hati mengerut
sementara kandungan lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah hepatosit
relative tidak berubah (Jen, 2010).
d. Sistem Hematologik
Perubahan pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia, trombotopenia,
pembentuan akantosit, serta hipoplasia sel-sel sumsum tulang yang berkaitan dengan
transformasi substansi dasar, tempat nekrosis sering terlihat. Derajat kelainan ini
bergantung pada berat serta lamanya kekurangan energi berlangsung (Sunita Matsier,
2009)
Anemia pada kasus demikian biasanya bersifat normokromik dan tidak disertai oleh
retikulositosis meskipun cadangan zat besi cukup adekuat. Penyebab anemia pasien yang
asupan proteinnya tidak adekuat ialah menurunnya sintesis eritropoietin, sementara
anemia pada mereka yang sama sekali tidak konsumsi protein timbul karena stem cell
dalam sumsum tulang tidak berkembang, di samping sintesis eritropoietin juga menurun
(Sunita Matsier, 2009).
Malnutrisi berat berkaitan dengan leukopenia dan hitung jenis yang normal.
Morfologi neutrofil juga kelihatan normal. Namun, jika infeksi terjadi, jumlah neutrofil
biasanya meningkat. Simpanan neutrofil yang dinyataan sebagai hitung neutrofil tertinggi
setelah 3-5 jam pemberian hidrokortison pada malnutrisi juga berkurang, dan fungsinya
tidak normal. Sebagai tambahan, jumlah trombosit turut pula menurun (Sunita Matsier,
2009).

15

VIII

MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan

lama

dan

beratnya

kekurangan

energi

dan

protein.

MEP

diklasifikasikan menjadi MEP ringansedang (gizi kurang) dan MEP berat (Gizi Buruk).
Adapun MEP ringan-sedang atau Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang
khas, sedangkan pada MEP berat atau gizi buruk terdapat gambaran klinis berupa
kwashiorkor, marasmik, dan marasmik-kwashiorkor (WHO,1999).
Pada MEP ringan sering ditemukan gangguan pertumbuhan berupa :

Anak tampak kurus


Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti
Berat badan tidak bertambah adakalanya menurun
Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal
Maturasi tulang terlambat
Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal atau menurun
Tebal lipatan kulit abnormal atau berkurang
Anemia ringan
Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat (Pudjiati,
2010)

MEP berat
Kwashiorkor :
16

Perubahan mental sampai apatis


Anemia
Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut atau rontok . Pada kwarsiorkor
terjadi penurunan produksi pigmen dan gangguan pada penggabungan serat rambut

karena kekurangan protein dalam waktu yang lama


Gangguan sistem Gastrointestinal
Pembesaran hati
Perubahan kulit (dermatosis) crazy pavement disebabkan karena kekurangan vitamin
A sehingga

mengakibatkan

berkurangnya

jumlah

kelenjar

subaceous

dan

penyumbatan kelenjar keringat sehingga kulit menjadi kering dan elastisitas kulit
berkurang. Bila terdapat gesekan pada kulit dapat menimbulkan lesi sehingga

menimbulkan crazy pavement


Atrofi otot
Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat samapai seluruh tubuh (Pudjiati,
2010)

Gambar 2. Kwashiorkor
(Sediaoetama, 2009)
Marasmus :

Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus


Perubahan mental, cengeng
Kulit kering, dingin, mengendor, keriput
Lemak subktan menghilang hingga turgor kulit berkurang
Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas kadang-kadang terdapat bradikardi
Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya (Pudjiati, 2010)

17

Gambar 3. Marasmus (Sediaoetama, 2009)

Gambar 4. Kulit mengendor pada Marasmus (Sediaoetama, 2009)

Marasmik-kwashiorkor
Terdapat gejala marasmus dan kwashiorkor secara bersamaan

Gambar 5. Marasmik-kwashiorkor (Sunita, 2005)

18

IX

DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak
didiagnosis gizi buruk apabila:
BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB >-3SD
atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas,
dengan atau tanpa adanya edema.
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak
membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.
Anamnesis
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.

Anamnesis

Riwayat nutrisi selama dalam kandungan, saat kelahiran, keadaan waktu lahir (BB,
PB)

Penyakit yang diderita oleh pasien

Keadaan keluarga

Kontak dengan pasien penyakit menular

Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

Kejadian mata cekung yang baru saja muncul


Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
19

Kapan terakhir berkemih


Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi

dan/atau syok, serta harus diatasi segera.


Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani):

Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit


Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV

Pemeriksaan fisik:
Keadaan Umum, Kesadaran, Vital Sign
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.

Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB (Antropometri)


Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan status

dehidrasi pada gizi buruk).


Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah dan

cepat), kesadaran menurun.


Demam (suhu aksilar 37.5 C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5 C).
Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya

suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)


Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot
Ulkus kornea
Keratomalasia

Ulkus pada mulut


Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit
20

Lesi kulit pada kwashiorkor:


hipo- atau hiper-pigmentasi
deskuamasi
ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi sekunder

(termasuk jamur).
Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).
Tanda dan gejala infeksi HIV

Catatan:
o Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk memeriksa mata
dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.
o Pemeriksaan laboratorium terhadap Hb dan atau Ht, jika didapatkan anak sangat pucat.
o Pada buku Pedoman TAGB untuk memudahkan penanganan berdasarkan tanda bahaya dan
tanda penting (syok, letargis, dan muntah/diare/dehidrasi), anak gizi buruk dikelompokkan
menjadi 5 kondisi klinis dan diberikan rencana terapi cairan dan makanan yang sesuai.
Pemeriksaan laboratorium
Kadar gula darah
Jika kadar gula darah kurang dari 54 mg/dl maka pasien menderita hipoglikemia
Darah tepi lengkap
Untuk mengetahui kadar hemoglobin dan hematocrit. Jika Hb atau Ht: < 4 g/dl atau <
12% maka pasien sedang mengalami anemia berat. Dapat juga di lakukan hapusan

darah tepi untuk mengetahui apakah terdapat infeksi malaria.


Urine lengkap
Untuk mengetahui apakah terdapat bakteri, jika jumlah bakteri + atau > 10

lekosit/LPB= infeksi
Feses lengkap
Jika pada feses terdapat darah + maka pasien mengalami disentri. jika terdapat
parasite maka kemungkinan sudah terjadi infeksi parasit, misalnya Giardia + / parasit

lain = infeksi
Radiologi (dada AP dan lateral)
Pada foto rongten thorax terdapat gambaran mirip Pneumonia dan Gagal jantung.

DIAGNOSIS BANDING
Sindroma Nefrotik
Sirosis Hepatis
Penyakit Jantung Kongestif
21

XI

ALUR PEMERIKSAAN ANAK GIZI BURUK

Gambar 6. Alur Pemeriksaan Anak Gizi Buruk (Depkes, 2011)


Gambar 7. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk di Rumah Sakit/Puskesmas (Depkes, 2011)

22

XII

PENATALAKSANAAN

Penanganan Rawat Jalan

23

Pelayanan pemulihan anak gizi buruk yang rawat jalan dilaksanakan sampai dengan
anak berstatus gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD). Pelayanan anak gizi buruk dilakukan
dengan frekuensi sebagai berikut (Depkes, 2011) :

3 bulan pertama, anak gizi buruk datang dan diperiksa setiap minggu
Bulan ke 4 sampai ke 6, anak gizi buruk datang dan diperiksa setiap 2 minggu
Anak yang belum dapat mencapai status gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD, dan tidak

ada edema) dalam waktu 6 bulan, dapat melanjutkan kembali proses pemulihan, dengan
ketentuan, jika :

Masih berstatus gizi buruk, rujuk ke RS atau Puskesmas Perawatan atau Pusat

Anak dengan satu atau le


Pemulihan Gizi (PPG)
Terlihat
Sangat Kurus
Sudah berstatus gizi kurang, maka dilanjutkan dengan program pemberian
makanan

Edema pada seluruh tubu


BB/PB atau BB/TB < -3 S
LiLA < 11,5 cm (untuk an
Pemberian paket obat dan Makanan untuk Pemulihan Gizi
salah satu atau lebih dari
Obat
anoreksia
Bila pada saat kunjungan ke puskesmas anak dalam keadaan sakit, maka oleh tenaga
pneumonia berat
kesehatan anak diperiksa dan diberikan obat. Vitamin A dosis tinggi diberikan
pada anak
anemia
berat
dehidrasi berat
gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada saat pertama kali ditemukan (Depkes,
2011).
demam sangat tinggi
penurunan kesadaran

tambahan dan konseling.

Makanan untuk Pemulihan Gizi


a.

Prinsip :
Makanan untuk Pemulihan Gizi adalah makanan padat energi yang diperkaya

dengan vitamin dan mineral.


Makanan untuk Pemulihan Gizi diberikan kepada anak gizi buruk selama masa

pemulihan.
Makanan untuk Pemulihan Gizi dapat berupa : F100, makanan therapeutic/gizi siap
saji dan makanan lokal. Makanan lokal dengan bentuk mulai dari makanan bentuk

Gizi bu

cair, lumat, lembik, padat.


Bahan dasar utama Makanan Untuk Pemulihan Gizi dalam formula F100 dan

Rawat Inap di R
makanan gizi siap saji (therapeutic feeding) adalah minyak, susu, tepung, gula,

kacang- kacangan dan sumber hewani. Kandungan lemak sebagai sumber energi

sebesar 30-60 % dari total kalori.


Makanan lokal dengan kalori 200 kkal/Kg BB per hari, yang diperoleh dari lemak
30-60% dari total energi, protein 4-6 g/Kg BB per hari. Apabila akan menggunakan
makanan lokal tidak dilakukan secara tunggal (makanan lokal saja) tetapi harus
dikombinasikan dengan makanan formula.

24

Pemberian jenis Makanan untuk pemulihan gizi disesuaikan masa pemulihan


(rehabilitasi) : 1 minggu pertama pemberian F 100, Minggu berikutnya jumlah dan
frekuensi F100 dikurangi seiring dengan penambahan makanan keluarga.

b.

Jumlah dan Frekuensi


Anak gizi buruk dengan tanda klinis diberikan secara bertahap:
Fase rehabilitasi awal 150 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali
pemberian/hari. Diberikan selama satu minggu dalam bentuk makanan cair

(Formula 100).
Fase rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali

pemberian/hari (Formula 100).


Anak gizi buruk tanpa tanda klinis langsung diberikan fase rehabilitasi lanjutan 200220 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali pemberian/hari (Formula 100).
Rehabilitasi lanjutan diberikan selama 5 minggu dengan pemberian makanan secara
bertahap dengan mengurangi frekuensi makanan cair dan menambah frekuensi
makanan padat. Pemberian makanan rehabilitasi lanjutan dapat diteruskan bila kondisi
anak gizi buruk masih memerlukan makanan formula. Bagi anak yang status gizinya
pulih ( -2 SD) maka berangsur menuju ke makanan anak sehat sesuai dengan anjuran
makan menurut kelompok umur.
c.

Cara pemberian
Cara Pemberian Makanan untuk Pemulihan Gizi KEP pada anak di rumah :

Sebelum menyiapkan makanan, cucilah tangan dengan sabun.


Berikan makanan KEP pada anak dengan memperhatikan jarak waktu makan.
Usahakan makanan tersebut dihabiskan sesuai dengan porsi yang ditentukan.
Berikan makanan dalam bentuk cair dengan menggunakan gelas, hindari
menggunakan botol atau dot.

Makanan untuk Pemulihan Gizi :

Diberikan setelah pemberian ASI bagi bayi yang masih mendapat ASI
Diberikan sebelum pemberian makanan keluarga bagi anak yang sudah
mendapat makanan utama

d. Cara penyimpanan

Makanan untuk Pemulihan Gizi dalam bentuk cair (Formula 100) harus segera
diberikan dan dihabiskan. Makanan dalam bentuk cair tersebut hanya dapat
disimpan dalam suhu ruang maksimal 2 jam.

25

Makanan untuk Pemulihan Gizi dalam bentuk kering yang diracik secara
terpisah dapat disimpan maksimal 7 hari, dan disimpan di tempat yang sejuk
dan kering, aman, tertutup dan terhindar dari bahan cemaran dan binatang

pengganggu (semut, tikus, kecoa, cicak, kucing, anjing, unggas, dll).


Makanan untuk Pemulihan Gizi dalam kemasan agar diperhatikan masa
kadaluarsa yang terdapat pada kemasan (Depkes, 2011).

Rujukan
Rujukan dilakukan apabila ditemukan :

Anak dengan komplikasi medis atau penyakit penyerta


Sampai kunjungan ketiga berat badan anak tidak naik (kecuali anak dengan

edema)
Timbul edema baru

Drop Out (DO)


DO dapat terjadi pada anak yang pindah alamat dan tidak diketahui, menolak
kelanjutan perawatan dan meninggal dunia. Anak yang menolak kelanjutan perawatan
dilakukan kunjungan rumah untuk diberikan motivasi, bila tetap menolak diminta
untuk membuat pernyataan tertulis atas penolakan (Depkes, 2011).

Penanganan Rawat Inap


Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk :

26

Anak Marasmus dan Kwarsiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat


berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan berdasarkan
ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting yang dikelompokkan menjadi 5 :
Kondisi 1
27

Jika ditemukan : Renjatan (syok), letargis, muntah, diare atau dehidrasi. Lakukan rencana 1
dengan tindakan segera, yaitu :
1. Pasang Oksigen 1-2 L/menit
2. Pasang infus ringer laktat dan dextrose / glukosa 10% dengan perbandingan
1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% iv bolus, dosis 5 ml/kgBB bersamaan dengan ReSoMal
5 ml/kgBB melalui NGT
Kondisi 2
Jika ditemukan : Letargis, muntah, diare atau dehidrasi. Lakukan rencana 2 dengan tindakan
segera, yaitu :
1. Berikan glukosa 10% iv bolus, dosis 5 ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50 ml
3. 2 Jam pertama :
- berikan ReSoMal secara oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5 ml/kgBB setiap
pemberian
- catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi 3
Jika ditemukan : Muntah, diare atau dehidrasi. Lakukan rencana 3 dengan tindakan segera,
yaitu :
1. Berikan 50 ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama :
- berikan ReSoMal secara oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5 ml/kgBB setiap
pemberian
- catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi 4
Jika ditemukan : Letargis. Lakukan rencana 4 dengan tindakan segera, yaitu :
1. Berikan bolus glukosa 10% iv, 5 ml/kgBB

28

2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50 ml
3. 2 Jam pertama :
- berikan F 75 setiap 30 menit, dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan
(Oral/NGT)
- catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi 5
Jika tidak diketemukan : Renjatan (syok), letargis, muntah, diare atau dehidrasi. Lakukan
rencana 5 dengan tindakan segera, yaitu :
1. Berikan 50 ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas, kesadaran
KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10
langkah tindakan (Depkes, 2011).
Tabel 10. Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

Dalam proses pelayanan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase
transisi, dan fase rehabilitasi.

29

1. Fase Stabilisasi Diberikan makanan formula 75 (F-75) dengan asupan gizi 80-100
KKal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 g/KgBB/hari. ASI tetap diberikan pada anak yang
masih mendapatkan ASI.
2. Fase Transisi Pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan dari F-75
menjadi F-100. Diberikan makanan formula 100 (F-100) dengan asupan gizi 100150 KKal/kgBB/ hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari.
3. Fase Rehabilitasi Diberikan makanan seperti pada fase transisi yaitu F-100, dengan
penambahan makanan untuk anak dengan BB < 7 kg diberikan makanan bayi dan
untuk anak dengan BB > 7 kg diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-220
KKal/kgBB/hari dan protein 4-6 g/kgBB/hari.
4. Fase Tindak Lanjut (dilakukan di rumah) Setelah anak pulang, anak tetap dikontrol
oleh Puskesmas pengirim secara berkala melalui kegiatan Posyandu atau kunjungan
ke Puskesmas. Lengkapi imunisasi yang belum diterima, berikan imunisasi campak
sebelum pulang. Anak tetap melakukan kontrol (rawat jalan) pada bulan I satu kali/
minggu, bulan II satu kali/ 2 minggu, selanjutnya sebulan sekali sampai dengan
bulan ke-6. Tumbuh kembang anak dipantau oleh tenaga kesehatan Puskesmas
pengirim sampai anak berusia 5 tahun.
10 langkah penting yaitu :
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/cegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Stabilisasi dan Transisi
8. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi


Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau
larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit. Jika fasilitas
30

setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua
anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani
sesuai panduan (Depkes, 2011).
Tatalaksana
-

Segera

beri

F-75

pertama

atau

modifikasinya

bila

penyediaannya

memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml air) secara oral atau

melalui NGT.
Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam selama minimal

dua hari.
Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-

75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml
dengan NGT.
Berikan antibiotik

Pemantauan
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30
menit.
- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian
-

larutan glukosa atau gula 10%.


Jika suhu rektal < 35.5 C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula
darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).

Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,
lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang
malam (Depkes, 2011).
2. Mencegah dan mengatasi hipotermia
Diagnosis
Suhu aksilar < 36 C
31

Tatalaksana
-

Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut
hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau
lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik,

letakkan lampu pijar 60 W dengan jarak 60 cm dari tubuh anak.


Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan
-

Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5 C
atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan

pemanasan bila suhu mencapai 36.5 C


Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada

malam hari
Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia

Pencegahan
-

Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin

dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut


Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap

kering
Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,

atau selama pemeriksaan medis)


Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di

malam hari
Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,

sepanjang hari, siang dan malam (Depkes, 2011).


3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi
Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak
dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi
buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.
Tatalaksana
-

Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat

dengan syok.
Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding
jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
32

- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama


- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan
F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang
keluar dan apakah anak muntah.
-

Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam


Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100ml
setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar (Depkes,
2011).

4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit


Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya.
Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa
mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Periksalah:
- frekuensi napas
- frekuensi nadi
- frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
- frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai
ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah cekung mata dan fontanel
berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi,
tetapi anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun
rehidrasi penuh telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat
badan.
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit
dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan
lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.
Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada
anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti
larutan oralit standar.
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
- Pemberian F-75 sesegera mungkin
- Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Tatalaksana

33

Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium, yang


sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam

F-75, F-100 atau ReSoMal


Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl) (Depkes, 2011).

5. Mengobati infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam seringkali
tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena
itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka
datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan
hipotermia merupakan tanda infeksi berat.

Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksin campak jika anak berumur 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan.
- Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas
- Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol
-

peroral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari)


Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau
tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan
dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari)
ATAU jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin per oral (50

mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari


DITAMBAH :
Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati

dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari


Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis,

malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai.
Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit malaria.

34

Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat, obat


antituberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat diduga
menderita tuberkulosis.

Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan
pengobatan sampai 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik, lakukan
penilaian ulang menyeluruh pada anak (Depkes, 2011).

6. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun
sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu
sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat
badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi
dapat memperparah infeksi.
Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
- Multivitamin
- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
- Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :
Umur
<6 bulan
6 12 bulan
1 5 tahun

Dosis
50 000 (1/2 kapsul biru)
100 000 (1 kapsul biru)
200 000 (1 kapsul merah)

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi
Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati
sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.
Tatalaksana
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah :
35

Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun

rendah laktosa
Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
Energi
: 80 kkal/kgBB/hari sesuai recall kalori 24 jam ( bertahap)
Protein
: 1-1.5 g/kgBB/hari
Cairan
: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100

ml/kgBB/hari)
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan
- F-75 yang ditentukan harus dipenuhi seperti di bawah ini :
Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat
dipercepat menjadi 2-3 hari. Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk
pemberian makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling
berat, dan bila terpaksa upayakan paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan.
Libatkan dan ajari orang tua atau penunggu pasien.
Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu
lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan risiko kematian).
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan
minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Jangan melebihi 100
kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak perlu
mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari:

Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan


Muntah
Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
Berat badan.

8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar


Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
Kembalinya nafsu makan
Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh
kembang (F-100) (fase transisi) :
Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama

2 hari berturutan.
Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini
terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari.
36

Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi

sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.


Setelah transisi bertahap, beri anak :
- pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai

kemampuan anak)
- energi
: 150-220 kkal/kgBB/hari
- protein
: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak
sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup
energi untuk menunjang tumbuh kembang. Makanan terapeutik siap saji (ready to
use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet
92g dapat digunakan pada fase rehabilitasi.
Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung.
Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi maupun
frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit),
dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturutturut, maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
-

kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam


kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya

130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya


selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana

dijelaskan sebelumnya.
atasi penyebab

Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi
dan mendapat F-100 :

Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari
Jika kenaikan berat badan:
- kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap
- sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau
-

mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.


baik (> 10 g/kgBB/hari).

9. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang


37

ungkapan kasih sayang


lingkungan yang ceria
terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari
aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,
memandikan, bermain)

10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah


Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap anak
telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak
berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
- Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering.
- Terapi bermain yang terstruktur
Sarankan:
- Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
- Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
Pemulangan sebelum sembuh total
Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh.Waktu untuk
pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor sosial juga
harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui rawat jalan
untuk menyelesaikan fase rehabilitasi sertauntuk mencegah kekambuhan.

Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil:


Anak seharusnya:
telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
mempunyai nafsu makan baik
menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang.
Ibu atau pengasuh seharusnya:
mempunyai waktu untuk mengasuh anak
memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah dan
frekuensi)

38

mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin, nasihati
tentang dukungan yang tersedia.
Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh
Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai anak
sembuh:
Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local untuk
melakukan supervisi dan pendampingan.
Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan kenaikan
berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi penurunan berat
badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.
Edukasi KEP :
-

Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di Puskesmas

Pelayanan di PPG untuk memperoleh PMT-Pemulihan selama 90 hari. Ikuti


nasehat pemberian makanan dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan
secara teratur di posyandu/puskesmas.

pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat

penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu

Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal

Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000 SI )


sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus (Depkes, 2011).

Kriteria sembuh:
Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi
kriteria pulang sebagai berikut (Depkes, 2011) :
a) Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
b) BB/PB atau BB/TB > -3 SD
c) Komplikasi sudah teratasi
d) Ibu telah mendapat konseling gizi
e) Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
f) Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan
39

XIII

PROGNOSIS
Malnutrisi Energi Protein yang berat mempunyai angka kematian yang tinggi,

kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering

tidak dapat dibedakan antara

kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium
saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan
adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari.

40

XIV

KOMPLIKASI
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain :
Masalah pada mata
Anemia berat
Tuberkulosis
Lesi kulit pada kwashiorkor
Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa,
diare osmotik) (WHO, 2013)

41

DAFTAR PUSTAKA

Barness L.A., Curran J.S., 1996. Nutrition. Dalam : Berhman R.E., Kligman R.M., Jenson
H.B., eds. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke lima belas. Philadelphia : W.B.
Saunders Co, 141-161.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2011.Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak. Jakarta:
Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2011. Bagan Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku
II. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Pedoman Tata Laksana Kurang Energi
Protein Pada Anak di Rumah Sakit Kabupaten/Kodya, Depkes RI Jakarta.

42

Forrester, T. E., A. V. Badaloo, et al. (2012). "Prenatal factors contribute to the emergence of
kwashiorkor or marasmus in severe undernutrition: evidence for the predictive adaptation
model." PLoS One7(4): 30
Grover, Z. and L. C. Ee (2009). "Protein energy malnutrition." Pediatr Clin North Am56(5):
1055-1068.
Hidajat B, Irawan R, Hidjati S. 2008. Kurang Energi Protein (KEP). Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya: RSU dr. Soetomo
Jen M, Yan AC. Syndromes associated with nutritional deficiency and excess. Clin Dermatol.
Nov-Dec 2010;28(6):669-85.
Jilcott SB, Masso KL, Ickes SB, Myhre SD, Myhre JA. Surviving but not quite thriving:
anthropometric survey of children aged 6 to 59 months in a rural Western Uganda district.
J Am Diet Assoc. Nov 2007;107(11):1983-8.
Manary, M. J., G. T. Heikens, et al. (2009). "Kwashiorkor: more hypothesis testing is needed
to understand the aetiology of oedema." Malawi Med J21(3): 106-107.
Pudjiati A, Hegar B, Hendryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, et al. Pedoman
Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI. 2010;183 87
Sediaoetama achmad djaeni. 2009. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian
Rakyat.
Sunita Almatsier (2005), Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Syam Fahrial. Malnutrisi. Dalam: Sudojo A, Bambang S, Alwi I, Simbadibrata M, Setiadi S,
Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
2009;355 65
WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in infants and
children. Geneva: World Health Organization; 2013.
WHO. Management Of Severe Malnutrition:A Manual Or Physicians And Other Senior
Health Workers. Geneva: World Health Organization;1999.
World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
Indonesia. 2009. 193 221

43

Anda mungkin juga menyukai