0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan2 halaman
Pada zaman dahulu, di Gunung Tengger hiduplah seorang gadis bernama Rara Wayi. Ia diperistri oleh Ki Samansaki. Mereka hidup berbahagia.
Kala itu, Rara Wayi tengah mengandung. Usia kandungannya telah sembilan bulan. Sehari-harinya Rara Wayi selalu hidup suci, menghindari semua pantangan leluhurnya. Misalnya, seorang wanita yang sedang mengandung pantang untuk membunuh sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa, makan sambil berdiri di depan pintu, berkata kasar dan lain-lain.
Sementara itu, di Gunung Penanggungan, siluman Nagabumi direpotkan oleh permintaan Nagaraja yang bersikeras ingin menjadi seorang manusia. Sebagai seorang ibu, Nagabumi menyanggupi permintaan anaknya, Nagaraja.
Pada zaman dahulu, di Gunung Tengger hiduplah seorang gadis bernama Rara Wayi. Ia diperistri oleh Ki Samansaki. Mereka hidup berbahagia.
Kala itu, Rara Wayi tengah mengandung. Usia kandungannya telah sembilan bulan. Sehari-harinya Rara Wayi selalu hidup suci, menghindari semua pantangan leluhurnya. Misalnya, seorang wanita yang sedang mengandung pantang untuk membunuh sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa, makan sambil berdiri di depan pintu, berkata kasar dan lain-lain.
Sementara itu, di Gunung Penanggungan, siluman Nagabumi direpotkan oleh permintaan Nagaraja yang bersikeras ingin menjadi seorang manusia. Sebagai seorang ibu, Nagabumi menyanggupi permintaan anaknya, Nagaraja.
Pada zaman dahulu, di Gunung Tengger hiduplah seorang gadis bernama Rara Wayi. Ia diperistri oleh Ki Samansaki. Mereka hidup berbahagia.
Kala itu, Rara Wayi tengah mengandung. Usia kandungannya telah sembilan bulan. Sehari-harinya Rara Wayi selalu hidup suci, menghindari semua pantangan leluhurnya. Misalnya, seorang wanita yang sedang mengandung pantang untuk membunuh sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa, makan sambil berdiri di depan pintu, berkata kasar dan lain-lain.
Sementara itu, di Gunung Penanggungan, siluman Nagabumi direpotkan oleh permintaan Nagaraja yang bersikeras ingin menjadi seorang manusia. Sebagai seorang ibu, Nagabumi menyanggupi permintaan anaknya, Nagaraja.
Pada zaman dahulu, di Gunung Tengger hiduplah seorang gadis bernama Rara Wayi.
Ia diperistri oleh Ki Samansaki. Mereka hidup berbahagia.
Kala itu, Rara Wayi tengah mengandung. Usia kandungannya telah sembilan bulan. Sehari-harinya Rara Wayi selalu hidup suci, menghindari semua pantangan leluhurnya. Misalnya, seorang wanita yang sedang mengandung pantang untuk membunuh sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa, makan sambil berdiri di depan pintu, berkata kasar dan lain-lain. Sementara itu, di Gunung Penanggungan, siluman Nagabumi direpotkan oleh permintaan Nagaraja yang bersikeras ingin menjadi seorang manusia. Sebagai seorang ibu, Nagabumi menyanggupi permintaan anaknya, Nagaraja. Pergilah ke Gunung Tengger. Carilah seorang wanita yang tengah mengandung sembilan bulan. Ia bernama Rara Wayi, istri Ki Samansaki. Amatilah perilakunya setiap hari. Carilah kesempatan supaya kau dapat masuk ke perutnya, menggantikan anak yang ada dalam kandungannya. Dengan demikian, kau akan dapat menjadi seorang manusia dan berkuasa di bumi, kata Nagabumi kepada Nagaraja. Sesuai dengan pesan ibunya, Nagaraja pergi ke Gunung Tengger. Rumah Rara Wayi pun akhirnya ditemukannya pula. Setelah dua hari lamanya mengamati perilaku Rara Wayi, Nagaraja mendapatkan suatu kesempatan. Ketika Rara Wayi sedang menguap di depan pintu dan ia lupa menutup mulutnya, dengan cepat Nagaraja memasuki perut Rara Wayi. Sebagai manusia biasa, Rara Wayi memang sedang sial. Malang nasibnya. Ia lupa menjaga pantangan leluhurnya ketika sedang mengandung. Perilaku jahat Nagaraja diketahui oleh seorang pendeta sakti bernama Bagawan Nilakanta. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ia segera mengambil bayi yang ada di kandungan Rara Wayi secara gaib sebelum dibunuh oleh Nagaraja. Bayi itu dimandikan dengan air gege oleh Bagawan Nilakanta supaya cepat besar. Setelah besar, ia diberi nama Bambang Jatisrana. Dengan sabar, Bagawan Nilakanta mengasuh dan mendidik Bambang Jatisrana. Ia diajari beberapa ilmu kanuragan, kesentosaan, kewiraan, dan kesaktian. Tumbuhlah Bambang Jatisrana menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, pemberani, dan sakti mandraguna. Pada waktu usia kandungan Rara Wayi genap sembilan bulan sepuluh hari, ia pun melahirkan seorang anak berwujud seekor naga kecil jelmaan siluman Nagaraja. Rupanya, kehendak Nagaraja tak dikabulkan oleh Dewata. Ia tak terlahir sebagai anak manusia, melainkan masih tetap sebagai anak seekor naga. Rara Wayi berhari-hari tak sadarkan diri. Ki Samansaki berusaha menyingkirkan ular naga itu. Ia tak percaya bahwa anaknya lahir menyerupai seekor anak naga. Namun, naga jelmaan Nagaraja marah besar. Sawah ladang mereka dirusak. Mereka merasa tak aman akibat ulah Nagaraja.
Dalam semadinya, Bagawan Nilakanta mengetahui ulah jahat Nagaraja. Maka
disuruhnya Bambang Jatisrana untuk menghentikan niat jahat Nagaraja. Bambang Jatisrana segera menemui Nagaraja di sarangnya. Hai, Nagaraja! Urungkan saja niat jahatmu itu kalau kau tak ingin mati di tanganku! kata Bambang Jatisrana. Berani benar kau, hai anak muda! Kemarilah kau! Kau hendak kubunuh lebih dulu sebelum kau membunuhku! ujar Nagaraja dengan geramnya. Tiba-tiba Bambang Jatisrana diserang oleh Nagaraja. Untungnya, ia cepat menghindar. Serangan yang kuat dan tiba-tiba itu akhirnya mengenai sebuah pohon gurda yang besar. Taring Nagaraja patah sebelah. Nagaraja mengerang kesakitan. Kesempatan yang baik itu tak disia-siakan oleh Bambang Jatisrana. Dengan sigap dan cepat, ia menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Dengan tangkas, cepat dan tepat serta hati-hati, ia menghunjamkan keris yang tajam itu tepat mengenai ubunubun Nagaraja. Nagaraja pun tewas seketika bersimbah darah. Tubuhnya ditanam di dalam tanah. Nagabumi yang mengetahui peristiwa itu sangat murka. Ia lalu mengejar dan menyerang Bambang Jatisrana. Ia bermaksud membalas dendam atas kematian anaknya, Nagaraja. Dari angkasa, Bagawan Nilakanta telah waspada. Sebelumnya, ia telah mengawasi gerak-gerik Nagabumi. Ketika Bambang Jatisrana diserang oleh Nagabumi, Bagawan Nilakanta melepaskan senjata pamungkasnya berupa Carang Gading. Carang Gading segera dipecutkan mengenai tubuh Nagabumi. Nagabumi lumpuh tak dapat bergerak sama sekali. Nagabumi menyerah tanpa syarat. Ia minta ampun kepada Bagawan Nilakanta dan berjanji tak akan mengganggu lagi keluarga Rara Wayi di Gunung Tengger. Setelah Bagawan Nilakanta mengampuninya, ia pun pulang ke Gunung Penanggungan. Bagawan Nilakanta segera menceritakan kepada Ki Samansaki dan Rara Wayi bahwa Bambang Jatisrana sebenarnya adalah anak mereka. Dari awal hingga akhir, cerita Bagawan Nilakanta dapat dimengerti oleh mereka. Mereka mengucapkan terima kasih. Lebih-lebih mereka telah terbebas dari ancaman Nagabumi. Akhirnya mereka hidup rukun dan damai di Gunung Tengger.