BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan uraian yang telah dijelaskan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa baik dalam kajian Psikoanalisa maupun
tasawuf, memandang jiwa manusia sebagai struktur dan bertingkat.
Bagian terbawah dalam Psikoanalisa adalah id, sedangkan dalam
tasawuf yaitu nafs al-amarah. Persaman antara id dan nafs al-amarah
adalah terletak pada potensi sifat-sifat kejelekan yang ada pada masingmasing sub kejiwaan. Hal ini dapat diketahui dari uraian bahwa id itu selalu
bertentangan dengan superego (norma dan nilai yang ada dalam
masyarakat), dan nafs al-amarah itu memerintahkan kejelekan atau
kejahatan (amarah bi al-su).
Id merupakan keseluruhan bagian bawah sadar dari jiwa, dan
melambangkan dorongan instinktif dari seks dan agresi. Instink seksual
mendorong manusia dan hewan untuk mengejar dan mendapatkan kepuasan
secara biologis, sedangkan instink agresif mendorong manusia dan hewan
untuk menolak sesuatu yang tidak menyenangkan dengan cara-cara agresif
dan penyerangan. Hal ini sama dengan uraian tentang nafs hewani atau alnafs al-hayawaniyyah yang ada pada diri manusia dan mempunyai dua daya,
yang salah satunya adalah daya kekuatan pendorong (quwa al-muharrika).
Quwa berarti tenaga, energi, kekuatan atau kemampuan, dan muharrika
berarti dorongan impuls, stimulus, dan yang membangkitkan tindakan dan
gerakan. Daya kekuatan pendorong ini mempunyai dua tipe, yaitu pertama
dorongan sensual (quwa al-syahwati) yang berarti daya kekuatan atau libido
seksual. Daya ini mendorong binatang dan manusia untuk mengejar
kenikmatan, kedua dorongan kemarahan (quwa al-ghazabi) yang berarti
dorongan kemarahan, murka, dan agresi.
57
58
Kesimpulan yang dapat ditarik uraian tersebut yaitu id itu lebih tepat
bila disamakan dengan nafs hewani, karena masing-masing mempunyai
kekuatan dan kemampuan yang sama yaitu dorongan sensual (al-syahwat)
dan dorongan agresif (al-ghazabi).
Adapun perbedaan antara id dan nafs al-amarah dapat dikelompokkan
sebagai berikut ini. Pertama, id hubungannya dengan dunia internal (ego),
dan realitas eksternal atau superego (norma yang berlaku dalam lingkungan
masyarakat di mana ia hidup), sedangkan nafs al-amarah itu hubungannya
dengan internal atau diri seseorang (al-Aql dan al-Qalb), realitas eksternal
atau lingkungan dan sekaligus norma agama, karena hubungannya ini jihadu
al-nafsi atau melawan nafsu dengan keimanan (dimensi al-fitrah). Kedua, id
hubungannya dengan neurose (gangguan jiwa), sedangkan nafs al-amarah
hubungannya dengan kemunafikan, pengingkaran kebenaran dan bahkan
diambang kekufuran. Ketiga, id hubungannya dengan alam ketidaksadaran
manusia (unconsciousnes) dan libido sebagai energi bagi id, sedangkan nafs
al-amarah hubungannya dengan manusia seutuhnya yang sadar akan segala
tindakannya dan diberi potensi untuk mengetahui seluruh realitas (al-aql),
juga tentang dimensi ruhaniyah (al-ruh) atau tauhid. Keempat, id
berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhan pada diri seseorang,
sedangkan nafs al-amarah dalam hubungannya dengan kesempurnaan hidup
(insan kamil) dalam usaha untuk mengalahkan dan menundukkan hawa
nafsu (jihadu al-nafsi), yang dalam tarekat biasa disebut dengan mujahadah
dan riyadlah. Kelima, id itu dominan pada anak kecil atau pada anak yang
sangat muda, tetapi nafs al-amarah itu dominan pada orang yang sedang
melakukan perjalanan spiritual (suluk) dalam tarekat, karena nafs al-amarah
tadi bisa menjelma atau berubah menjadi nafs yang memperdaya dan nafs
yang mempesona. Keenam, id merupakan struktur jiwa yang paling rendah,
sedangkan nafs al-amarah dalam konteks surat Yusuf juga berpotensi untuk
menjadi nafs al-marhamah yang positif. Sedangkan hawa atau al-hawa
adalah sudah pasti berarti negatif dan juga nafs al-hayawaniyyah. Ketujuh,
59
B.
Saran-Saran
1.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa pada dasarnya manusia
itu mempunyai dua potensi perilaku yang berlainan, yaitu kebaikan
dan kejahatan. Potensi kejahatan inilah yang harus selalu diawasi,
diwaspadai, dan selanjutnya dikontrol dalam rangka menjauhkan diri
dari sikap-sikap yang bertentangan dengan norma masyarakat
maupun agama, dan bersifat merusak dan amoral.
2.
Perlu adanya kesadaran dari setiap muslim, bahwa sisi jelek dari diri
manusia atau jiwa rendah merupakan musuh dalam selimut, yang
hanya bisa dikenali dan dikendalikan oleh individu-individu yang
bersangkutan. Oleh karena itu pengetahuan dan pedalaman tentang
ajaran agama menjadi sangat penting untuk menjadikan setiap muslim
yang siap menjadi tentara dalam jihadu al-nafsi.
60
3.
C.
Penutup