Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. Saharuddin
Umur
: 21 thn, 0 bulan, 17 hari (25-4-1993)
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Mahasiswa
Alamat
: Maros
Agama
: Islam
No. RM
: 663107
Tanggal masuk
: 12/05/2014
II. ANAMNESIS

: Autoanamnesis

Keluhan Utama

: Bengkak seluruh tubuh

Anamnesis Terpimpin

Pasien datang dengan keluhan utama bengkak seluruh tubuh dialami sejak
1 bulan yang lalu. Awalnya bengkak muncul pada perut, kemudian
diikuti bengkak pada kedua kaki, kedua lengan, dan wajah. Bengkak pada

wajah sudah berkurang.


Tidak ada demam. Ada riwayat demam sejak 1 hari yang lalu, demam

turun dengan obat penurun panas.


Tidak ada batuk, tidak ada sesak, tidak ada nyeri dada.
Tidak ada nyeri ulu hati, tidak ada mual dan muntah, tidak ada nyeri perut.
BAB : biasa, lancar. BAK : biasa, kuning muda, kesan banyak.

Riwayat Penyakit Sebelumnya:


- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat TB (-)
- Riwayat malaria (-)
- Riwayat hepatitis (-)
- Riwayat opname (+) di RS Maros selama 3 hari kemudian dirujuk ke
RSWS
Riwayat Psikososial:
- Riwayat Minum Alkohol (-)
- Riwayat Merokok (-)
Riwayat Keluarga:

Riwayat keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama


(-)

III.STATUS PRESENT
Sakit Sedang / Gizi Cukup / Sadar
BB
= 80 kg
BB Koreksi = BB-(30%BB) = 80-(30% x 80)= 56 kg
TB
= 167 cm
IMT
= 20.07 Gizi Cukup (Normal)
LP
= 92 cm
Tanda vital :
Tekanan Darah

: 160/120 mmHg

Nadi

: 96 x/menit reguler, kuat angkat

Pernapasan

: 22 x/menit, Tipe : Thoracoabdominal

Suhu

: 37 oC (axilla)

IV. PEMERIKSAAN FISIS


Kepala

Ekspresi

: Biasa

Simetris muka

: simetris kiri = kanan

Deformitas

: (-)

Rambut

: Hitam lurus, alopesia (-)

Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus

: (-)

Gerakan

: ke segala arah

Tekanan bola mata

: dalam batas normal

Kelopak Mata

: edema palpebra (+)

Konjungtiva

: anemis (-)

Sklera

: ikterus (-)

Kornea

: jernih

Pupil

: bulat, isokor 2,5mm/2,5mm


Reflex cahaya +/+

Telinga
Pendengaran
Tophi
Nyeri tekan di prosesus mastoideus
Hidung
Perdarahan
Sekret
Mulut
Bibir
Lidah
Tonsil
Faring
Gigi geligi
Gusi
Leher
Kelenjar getah bening
Kelenjar gondok
DVS
Kaku kuduk
Tumor
Dada
Inspeksi
:
Bentuk
Pembuluh darah
Buah dada
Sela iga
Paru
Palpasi
:

: dalam batas normal


: (-)
: (-)
: (-)
: (-)
: pucat (-), kering (-)
: kotor (-) tremor (-) hiperemis (-)
: T1 T1, hiperemis (-)
: hiperemis (-),
: caries (-)
: perdarahan gusi (-)
: tidak ada pembesaran
: tidak ada pembesaran
: R-2 cm H2O
: (-)
: (-)

: normochest, simetris kiri = kanan


: tidak ada kelainan
: simetris kiri = kanan
: dalam batas normal

Nyeri tekan

: (-/-)

Massa tumor

: (-/-)

Fremitus raba

: vocal fremitus menurun pada kedua


basal paru

Perkusi
:
Paru kiri
Paru kanan
Batas paru-hepar

: sonor (beralih pekak pada basal)


: sonor (beralih pekak pada basal)
: ICS V-VI

Batas bawah paru belakang kanan : setinggi CV Th VIII


Batas bawah paru belakang kiri : setinggi CV Th IX
Auskultasi
:
Bunyi pernapasan
: Vesikuler, bunyi pernapasan
menurun di regio basal

Bunyi tambahan

: Rh

Jantung
Inspeksi
Palpasi

Wh

: ictus cordis tidak tampak


: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: dalam batas normal

batas atas jantung


batas kanan jantung
batas kiri jantung
Auskultasi

: ICS II sinistra
: ICS III-IV linea parasternalis dextra
: ICS V linea midclavicularis sinistra
: bunyi jantung I/II murni regular,
bunyi tambahan (-)

Perut
Inspeksi

: cembung, ikut gerak napas

Auskultasi

: Peristaltik (+), kesan normal

Palpasi
Hepar
Lien
Ginjal

: NT (-) MT (-)
: tidak teraba
: tidak teraba
: tidak teraba

Perkusi

: Asites, Shifting dullness (+)

Alat kelamin

: Skrotum edema (-)

Ekstremitas
Edema +/+
+/+

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Jenis Pemerikaan

Hasil (13/05/2014)

Nilai Rujukan

WBC
RBC
HGB
HCT

10.4x103/uL

4 - 10 x 103/uL

5.25x106/uL
15.4 g/dL
44.5 %

46 x 106/uL
12 - 18 g/dL
37 48%

PLT
SGOT

257 x 103/uL
18 U/L

150-400x103/uL
<38 U/L

SGPT

12 U/L

<41 U/L

PT

10.7

10-14

APTT

23.4

22.0-30.0

Ureum
Creatinin
Natrium

53 mg/dL
1.6 mg/dL
135

10-50 mg/dL
L(<1.3), P(<1.1)
136-145 mmol

Kalium

3.9

3.5-4.5 mmol

Klorida

111

97-111 mmol

Protein total

6.6-8.7 gr/dL

Albumin

0.9 gr/dL

3.5-5.0 gr/dL

HbSAg

Non Reactive

Non Reactive

Anti HCV

Non Reactive

Non Reactive

GDS

97 mg/dL

140 mg/dL

Kolesterol total

601 mg/dL

< 200 mg/dL

Kolesterol HDL

29 mg/dL

Kolesterol LDL

230 mg/dL

mg/dL
< 130 mg/dL

Trigliserida

522 mg/dL

< 200 mg/dL

(>50),

(>55)

Pemeriksaan Penunjang Lainnya :


Urinalisis tanggal 13-05-2014

Protein
: +++/300
Blood
: ++/80
Kesan
: Proteinuria dan hematuria
Foto thorax PA 13-05-2014
Kesan
: Efusi pleura bilateral
VI.

ASSESMENT :
Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade II
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral
Hipoalbuminemia
VII. PLANNING
Pengobatan :
Connecta
Diet rendah garam, diet protein 0,8 gr/ kgBB/ hari
Captopril 25 mg 2x1
Lasix 2 amp/ 8 jam/ IV
Simvastatin 20 mg 0-0-1
Metilprednisolon 125 mg/ 24 jam/ IV
Rencana selanjutnya :
o USG Abdomen
o Protein Esbach
o Konsul GH

VIII. PROGNOSIS
Quad ad functionam
Quad ad sanationam
Quad ad vitam

:
:
:

Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam

IX.

FOLLOW UP PASIEN

TANGGAL
13/05/2014
00.00

PERJALANAN PENYAKIT
INSTRUKSI DOKTER
S : Bengkak seluruh tubuh (+) P:
Connecta
Sesak (-) Nyeri perut (-)
Diet rendah garam, diet protein
O:
0,8 gr/ kgBB/ hari
SS / GC / CM
Captopril 25 mg 2x1
T :160/120mmHg
Lasix 2 amp/ 8 jam/ IV
N : 96 x/i
Simvastatin 20 mg 0-0-1
P : 22 x/i
Metilprednisolon 125 mg/ 24
S : 37 C
jam/ IV
7

Anemis (-), ikterus (-)


DVS R-2 cmH2O
Periksa :
BP : Vesikuler Rh -/- Wh -/Protein Esbach
CV : BJ I/II murni regular, BT
USG Abdomen
(-)
Konsul GH
Peristaltik (+) kesan menurun
Hepar & lien tidak teraba
Ascites (+)
Edema
ekstremitas
+/+
(seluruh ekstremitas)

BB: 80 kg
TB : 167 cm
IMT : 28,7
BB koreksi : 30% = 56 kg

A:

13/05/2014
07.30

S:

Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade II
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral
P:
Connecta
Restriksi cairan
Diet rendah garam, diet protein

Bengkak (+) Lemas (+)


O:

SS / GC / CM
Anemis (-) ikterus (-)
T : 160/100 mmHg
N : 84 x/i
P : 24 x/i
S : 36.6 C
Pembesaran kelenjar

getah

bening (-)
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba

0,8 gr/ kgBB/ hari


Captopril 25 mg 2x1
Lasix 2 amp/ 8 jam/ IV
Simvastatin 20 mg 0-0-1
Metilprednisolon 125 mg/ 24
jam/ IV

Periksa
Protein Esbach (tunggu hasil)

Ext : Akral hangat, Edema +/+

USG : Efusi pleura bilateral


+ Ascites

A:

14/05/2014
07.00

S:

Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade II
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral
Hipoalbuminemia (0.9)
P:
Conecta
Restriksi cairan
Diet rendah garam, diet protein

Bengkak (+)
O:

SS / GC / CM
T : 160/100 mmHg
N : 88 x/i
P : 24 x/i
S : 37.6C
Anemis (-) ikterus (-)
Pembesaran kelenjar

getah

0,8 gr/ kgBB/ hari


Captopril 25 mg 2x1
Lasix 2 amp/ 8 jam/ IV
Simvastatin 20 mg 0-0-1
Metilprednisolon 125 mg/ 24
jam/ IV

bening (-)
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan norma
Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Akral hangat, Edema +/+
BB: 76 kg
LP : 98,5 cm

A:

Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade II
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral

15/05/2014
09.00
(Ginjal
Hipertensi)

Hipoalbuminemia (0,9)
S:

P:
Diet rendah garam, diet protein

Bengkak seluruh badan (+)


O:

SS / GC / CM
T : 150/100 mmHg
N : 76 x/i
P : 26 x/i
S : 36.5C
Anemis (-) ikterus (-)
Pembesaran kelenjar

bening (-)
BP : vesikuler, kesan menurun

pada regio basal kedua paru


BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) MT (-) NT (-)
Ascites (+)
Ext : Edema +/+
BB: 76 kg

0,8 gr/ kgBB/ hari


Lasix 5 mg/ jam/ sp
Captopril 25 mg 2x1
Simvastatin 20 mg 0-0-1
Metilprednisolon 125 mg/ 24
jam/ IV

Plan:
getah Rencana biopsi ginjal

A:

16/05/2014
07.00

Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade I
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral
Hipoalbuminemia

Protein Esbach : 4 gr/l


S:
Bengkak (+) Nyeri perut (-)
O:

SS / GC / CM
T : 140/100 mmHg
N : 84 x/i

P:
Restriksi cairan
Diet rendah garam, diet protein

0,8 gr/ kgBB/ hari


Lasix 5 mg/ jam/ sp
Captopril 25 mg 2x1
Simvastatin 20 mg 0-0-1

10

P : 24 x/i
S : 36.8C
Anemis (-) ikterus (-)
Pembesaran kelenjar

Metilprednisolon 125 mg/ 24


jam/ IV

getah

bening (-)
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N
Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Edema +/+
BB: 80 kg
LP : 90 cm

Rencana biopsi ginjal

A:

16/05/2014
08.00
(Ginjal
Hipertensi)

S:

Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade I
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral
Hipoalbuminemia

P:
Bengkak seluruh tubuh (+) Sesak Diet rendah garam, diet protein
0,8 gr/ kgBB/ hari
(-)
Lasix 5 mg/ jam/ sp
O:
Simvastatin 20 mg 0-0-1
Metilprednisolon 125 mg/ 24
SS / GC / CM
T : 140/100 mmHg
jam/ IV
N : 84 x/i
P : 24 x/i
Monitor
S : 36.8C
Anemis (-) ikterus (-)
Rencana biopsi ginjal
Pembesaran kelenjar getah
Thorax PA

bening (-)
BP : vesikuler, menurun pada

region basal hemitoraks D/S


BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N

Timbang BB per hari

11

Hepar dan lien tidak teraba


Ascites (+)
Ext : Edema +/+
Prot. Esbach 4 gr/dl
Vol. Urin 3000 cc = 12 jam
Urin = 2250 cc/ 24 jam

A:

CKD

St.

IIIA

ec.

SN

(Glomerulonefritis G3A A3)


HT grade I
Hipoalbuminemia
Dislipidemia
17/05/2014
07.00

S:

P:
Diet rendah garam, diet protein

Bengkak (+)
O:

SS / GC / CM
T : 140/100 mmHg
N : 84 x/i
P : 24 x/i
S : 36.9C
Anemis (-) ikterus (-)
Pembesaran kelenjar

bening (-)
BP : vesikuler, menurun pada

0,8 gr/ kgBB/ hari


Lasix 5 mg/ jam/ sp
Simvastatin 20 mg 0-0-1
Metilprednisolon 125 mg/ 24
jam/ IV

getah

Monitor :
R/

biopsi

ginjal

keluarga setuju

region basal hemitoraks D/S


BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ascites (+)
Ext : Akral hangat, Edema +/+
BB : 80 kg
LP : 95 cm

A:

12

jika

Sindrom nefrotik
AKI renal dd akut on CKD dd
CKD stage 3 ec. SN
Hipertensi grade I
Dislipidemia
Hipoalbuminemia

X.

RESUME
Pasien laki-laki umur 21 tahun datang ke RS dengan keluhan bengkak
seluruh tubuh sejak 1 bulan sebelum masuk RS. Awalnya bengkak
muncul pada perut, kemudian diikuti bengkak pada kedua kaki, kedua
lengan, dan wajah. Bengkak pada wajah sudah berkurang.
Ada riwayat demam sejak 1 hari yang lalu, demam menurun dengan
obat penurun panas.
BAK : biasa, kuning muda, kesan banyak.
Ada riwayat opname di RS Maros selama 3 hari kemudian dirujuk ke
RSWS.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


Sakit sedang/Gizi cukup/Composmentis
TD
: 160/120 mmHg
Nadi
: 96 x/menit reguler; kuat angkat

13

Pernapasan : 22 x/menit, tipe thoracoabdominal


Suhu
: 37 oC (axilla)
Anemis (-), Ikterus (-), Sianosis (-)
Edema palpebra +/+
Thorax
: BP vesikuler, menurun pada kedua basal paru
Vocal fremitus menurun pada kedua basal paru

CV
Abdomen
Ekstremitas

: BJ I/II murni regular, bising (-)


: Peristaltik (+) kesan menurun, hepar & lien tidak teraba
Ascites (+) shifting dullness
: +/+ seluruh ekstremitas

Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil laboratorium


o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Leukosit 10.4x103/uL
Hb 15.4 g/dL
Albumin 0.9 g/dL
Kolesterol total 601 mg/dL
Kolesterol HDL 29 mg/dL
Kolesterol LDL 230 mg/dL
Trigliserida 522 mg/dL
Ureum 53 mg/dl
Kreatinin 1,6 mg/dl
Urinalisis : protein +++/300 dan Blood ++/80
Fotothorax PA : efusi pleura bilateral
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

yang telah dilakukan, maka pasien didiagnosis:

XI.

Sindrom nefrotik
AKI prerenal dd renal ec. SN
Hipertensi grade II
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral
Hipoalbuminemia

DISKUSI
Pasien laki-laki umur 21 tahun datang dengan keluhan utama bengkak

seluruh tubuh yang dialami sejak 1 bulan sebelum masuk RS. Awalnya bengkak
muncul pada perut, kemudian diikuti bengkak pada kedua kaki, kedua lengan, dan
wajah. Bengkak pada wajah sudah berkurang. Tidak ada demam. Ada riwayat

14

demam sejak 1 hari yang lalu, demam menurun dengan obat penurun panas. Tidak
ada batuk, tidak ada sesak. Tidak ada nyeri ulu hati, tidak ada mual dan muntah.
Tidak ada sakit kepala. BAB : biasa, lancar. BAK : biasa, kuning muda, kesan
banyak. Ada riwayat opname di RS Maros selama 3 hari kemudian dirujuk ke
RSWS.
Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan bengkak seluruh tubuh yang
dialami sejak 1 bulan sebelum masuk RS. Awalnya bengkak muncul pada perut,
kemudian diikuti bengkak pada kedua kaki, kedua lengan, dan wajah. Bengkak
pada wajah sudah berkurang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema
palpebra, asites serta edema pada extremitas. Adanya edema generalisata pada
pasien ini bisa mengarahkan diagnosa pada berbagai kemungkinan misalnya
sindrom nefrotik, GGA oliguria, gagal jantung kongestif, sirosis hepatis,
kwashiorkor. Berdasarkan hasil laboratorium darah didapatkan albumin 0.9 g/dL,
kolesterol total 601 mg/dL, kolesterol HDL 29 mg/dL, kolesterol LDL 230 mg/dL,
dan trigliserida 522 mg/dL. Hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan protein ++
+/300 dan Blood ++/80. Pemeriksaan protein Esbach diperoleh hasil 4 gram/dl.
Karena hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini
memenuhi kriteria diagnosis sindrom nefrotik yaitu adanya edema anasarka,
proteinuria

masif

(3.5

g/hari),

hipoalbuminemia

(<3,5

gr/dL),

dan

hiperkolestrolemia, maka diagnosis pasien ini diarahkan pada sindrom nefrotik.


Proteinuria pada pasien ini disebabkan karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein yaitu berdasarkan ukuran molekul
(size barrier) dan berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom
nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu sehingga protein dapat
lolos pada saat proses filtrasi glomerulus.
Hipoalbuminemia pada pasien ini disebabkan oleh proteinuria masif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula
terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus

15

proximal. Hipoalbuminemia juga dapat menyebabkan efusi pleura oleh karena


terjadi penurunan tekanan koloid osmotik vaskular pleura.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Kedua mekanisme tersebut
ditemukan secara bersama pada pasien SN.
Hiperlipidemia disebabkan oleh meningkatnya LDL (Low Density
Lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Mekanisme hiperlipidemia
pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan
menurunnya katabolisme.
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid. Hipertensi pada kasus ini dapat juga
berdiri sendiri tanpa berhubungan dengan sindrom nefrotik.
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, dan
gangguan sistem komplemen. Hal ini bisa berhubungan dengan penyakit SN yang
diderita.
Pengobatan pada SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Pada praktek seharihari, intake protein yang direkomendasikan untuk penderita sindrom nefrotik yaitu
0,8-1 g/kg/hari, dengan anjuran asupan protein berasal dari protein nabati dan
protein dari ikan. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacammacam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1
hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sampai 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Untuk

terapi

16

suportif/simtomatik ACE inhibitor diindikasikan untuk mengurangi proteinuria,


pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis
1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan dengan dosis 1-2
mg/kg per hari.
Komplikasi sindrom nefrotik yang bisa terjadi yaitu keseimbangan
nitrogen menjadi negatif, tromboemboli, kekurangan vitamin D, infeksi serta
gangguan fungsi ginjal.
Keseimbangan nitrogen merupakan salah satu komplikasi SN yang terjadi
oleh karena proteinuria yang masif. Tromboemboli bisa terjadi karena adanya
peningkatan koagulasi intravaskular, kelainan ini disebabkan oleh perubahan
tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan
fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Kekurangan vitamin D juga merupakan komplikasi SN. Vitamin D yang
terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan
kadar plasma. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan
gangguan sistem komplemen. Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami
gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan
atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain
yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.

17

TINJAUAN PUSTAKA
I.

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak
penyebab, yang ditandai permeabilitas membran glomerulus yang meningkat
dengan manifestasi proteinuri massif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan
biasanya disertai edema dan hiperkolesterolemia.1,2
SN merupakan manifestasi glomerulus yang paling sering ditemukan di
anak yang 15 kali lebih sering daripada orang dewasa. Kelainan histologik
tersering pada anak adalah kelainan minimal yang disebut Sindrom Nefrotik
Kelainan Minimal (SNKM).2
Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang cenderung kambuh berulang
kali, perjalanan penyakit ini bersifat secara kebetulan (insidious), dan seringkali
menyebabkan keterlambatan diagnosis.2

II.

ETIOLOGI
Sebagian besar kasus sindrom nefrotik muncul karena disebabkan oleh
penyakit ginjal primer. Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) merupakan jenis yang ditemukan pada sepertiga dari seluruh
kasus SN primer (idiopatik).3
Namun, FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang diketahui
terjadi pada usia remaja. Penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA terjadi pada
sekitar 25% kasus SN idiopatik. Kondisi lain, seperti glomerulonefritis
membranoproliferatif jarang terjadi. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit

18

ginjal tahap akhir (ESRD). Di sisi lain, penyebab terbanyak dari kasus SN
sekunder yakni diabetes mellitus.3

Tabel 1. Jenis tersering dari sindrom nefrotik idiopatik 3

19

Tabel 2. Penyebab tersering dari sindrom nefrotik sekunder 3

a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom nefrotik
idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan
gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi1,3-5 :
1. GN lesi minimal (GNLM);
2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3. GN membranosa (GNMN);
4. GN Membranoproliferatif (GNMP);
5. GN proliferatif lain.1,3-5

b. Penyebab Sekunder
1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra,

skistosoma
2. Keganasan : leukemia, Hodgkins disease, adenokarsinoma (paru, payudara,

kolon), multiple myeloma, karsinoma ginjal


3. Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE), Reumatoid
artritis, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
4. Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis
5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid,
kaptopril, heroin
6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom
nefrotik yang sensitif terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan
minimal, tidak perlu biopsi), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya
bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy. 1,3-5
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi SNKM di Negara barat sekitar 2-3 kasus per 100.000 anak < 16
tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per

20

100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak
perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur <
10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata 2-5 tahun.2
IV. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein


akibat kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh
besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.1,5
b. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan


peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.1
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan
onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar
tubuh dan menigkatkan edema.1,5
c.

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang

sering menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid


bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Kolesterol serum yang
mengalami peningkatan yakni VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low
density lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan HDL

21

(high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.1,5

d. Edema

Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik dan bergesernya cairan plasma,
terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler
tetapi juga akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu
menjaga cairan intravaskuler.1,5
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal
utama.Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan
terus mengaktivasi system retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga edema
semakin berlanjut.1,5
V. TANDA DAN GEJALA
Tanda yang terdapat pada sindrom nefrotik yakni terdapat proteinuria
massif >3-3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni
edema pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain
dapat disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura
maupun efusi perikard.3
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1
22

1. Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot >300-

350 mg/mmol.
2. Serum albumin <2,5 gr/dl.
3. Manifestasi klinis edema perifer.
4. Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai.1

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis

sindrom

nefrotik

dapat

ditegakkan

melalui

beberapa

pemeriksaan penunjang berikut: 4


a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
b) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies:
epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau
single spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan
urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan
harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya
proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein
urin dan kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per
hari sebanyak 3g.
d) USG renal

Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.


e) Biopsi ginjal

23

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset


usia > 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak
diketahui asalnya, biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki
pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan
minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosis fokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap
steroid.
f) Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
VIII.

PENATALAKSANAAN
Tidak ada guideline dan penelitian terbaru tentang tata laksana sindrom

nefrotik pada remaja. 3


Nutrisi dan Cairan
Pasien harus membatasi intake natrium pada kisaran 3 gr per hari, dan
mungkin butuh restriksi intake cairan (<1,5 liter per hari). 3
Diuretik
Diuretik merupakan terapi medis utama, namun tidak ada bukti tentang
rekomendasi pemilihan obat maupun dosisnya. Berdasarkan pendapat yang
disepakati saat ini, diuresis ditargetkan pada penurunan berat badan 0,5-1 kg per
hari untuk menghindari gagal ginjal akut atau gangguan keseimbangan elektrolit.
Obat-obatan Loop diuretic seperti furosemid (Lasix) atau bumetanide saat ini
paling banyak digunakan. Dosis besar (80-120 mg furosemid) seringkali
dibutuhkan, dan obat-obatan ini secara tipikal harus diberikan secara intravena
24

karena daya absorpsi yang kurang secara oral terhadap obat-obatan tersebut dapat
menyebabkan edema intestinum. Kadar albumin serum yang rendah juga
membatasi efektivitas obat-obat diuretic dan membutuhkan dosis yang lebih
tinggi. Diuretik thiazid, potassium-sparing diuretic, atau metolazone (Zaroxolyn)
dapat berguna sebagai terapi adjuvant atau penyerta diuretik.3
ACE Inhibitors
Angitensin-converting enzyme (ACE) inhibitors telah diketahui dapat
menurunkan proteinuria dan mengurangi risiko progresifitas yang mengarah ke
penyakit ginjal pada pasien dengan sindrom nefrotik. Suatu penelitian
menemukan bahwa tidak ada peningkatan respon ketika terapi kortikosteroid
dikombinasikan dengan terapi ACE inhibitors. Dosis yang direkomendasikan pun
masih belum ada, namun dosis enalapril (Vasotec) 2,5-20 mg per hari banyak
digunakan. Pasien-pasien dengan sindrom nefrotik sebaiknya diterapi dengan
ACE inhibitiors untuk mengurangi proteinuria yang terjadi dengan memengaruhi
tekanan darah.3
Albumin
Albumin intravena telah diusulkan untuk menangani diuresis yang terjadi
karena edema dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia. Namun, tidak ada bukti
penelitian yang mengindikasikan keuntungan dari terapi dengan albumin, dan
pada keadaan yang tidak diharapkan seperti hipertensi dan edema pulmonum,
jelas membatasi terapi albumin.3
Kortikosteroid
Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam manajemen
sindrom nefrotik pada orang dewasa. Terapi ini tidak memiliki keuntungan,
namun direkomendasikan pada beberapa pasien yang tidak berespon terhadap
terapi konservatif. Terapi pada anak dengan sindrom nefrotik berbeda, dan hal
tersebut lebih memperlihatkan bahwa anak berespon baik terhadap terapi
kortikosteroid. Secara klasik, penyakit kelainan minimal berespon lebih baik

25

terhadap kortikosteroid dibanding glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS),


dan hal ini ditemukan pada anak dengan sindrom nefrotik primer.3
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan
yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Pengobatan dengan
kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.3,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya pada orang dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg
berat badan/hari selama 4 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sekitar 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.3,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5
g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang
lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak
memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan
kortikosteroid.3,5
Lipid-lowering treatment
Beberapa

bukti

penelitian

memperlihatkan

peningkatan

risiko

aterosklerosis atau infark miokard pada pasien SN, yang mungkin berhubungan
dengan peningkatan kadar lipid serum. Namun, peranan terapi pada peningkatan
lipid serum masih belum diketahui. Pemilihan untuk memulai terapi dengan
penurun lipid pada pasien SN dapat digunakan jika tidak menimbulkan kerugian.3

IX. KOMPLIKASI
1. Infeksi

26

Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah


selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah
infeksi gram negatif.5
2. Hipertensi

Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid.5
3. Hipovolemia

Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik


yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan
muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin
dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada
beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia diterapi dengan
pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau
albumin 1 g/kg berat badan. 5
4. Tromboemboli

Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan


hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular,
keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor
pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin.
Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2
g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN
dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan
dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan
bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan
dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena. 5
5. Hiperlipidemia

27

Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida,


fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat,
namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar
kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat
proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan
tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk
melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN
juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid
kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan
mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat
asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan. 5
X. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5
tahun memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun
juga lebih memiliki risiko gagal ginjal.

28

Anda mungkin juga menyukai