Anda di halaman 1dari 15

Definisi Penyakit Trauma

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk
menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para psikolog menyatakan
trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami
seseorang dan mennggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut
post-traumatic syndrome disorder. Trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis,
trauma mengacu pada cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, trauma
memiliki makna yang berbeda dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan,
menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik
berkelanjutan gangguan pada jiwa yang timbul akibat peristiwa traumatik. Peristiwa
traumatik bisa sekali dialami, bertahan dalam jangka lama, atau berulang-ulang dialami oleh
penderita. Peristiwa tersebut mengalahkan individu untuk mengatasi dan mengintegrasikan
ide-ide dan emosinya.

B. Proses Penyakit Trauma Dalam Tubuh


Transmisi energi pada trauma dapat menyebabkan kerusakan tulang, pembuluh darah
dan organ termasuk fraktur, laserasi, kontusi, dan gangguan pada semua sistem
organ,sehingga tubuh melakukan kompensasi akibat ada trauma bila kompensasi tubuh
tersebut berlanjuttanpa dilakukan penanganan akan mengakibatkan kematian seseorang.
1. Trauma mekanik
a.

Trauma tumpul,akibat luka :


Luka memar diskontinuitas pembuluh darah dan jaringan di bawah kulit tanpa rusaknya

jaringan kulit.
Teraba menonjol pengumpulan darah dijaringan pembuluh darah rusak.
Bentuk luka menyerupai benda yang mengenai.
Luka lecet terjadi pada epidermis gesekan dengan benda yang permukaannya kasar.
Luka lecet tekan : arah kekerasan tegak lurus pada permukaan tubuh, epidermis yang

tertekan melesak kedalam.


Luka lecet geser arah kekerasan miring membentuk sudut, epidermis terdorong dan

terkumpul pada tempat akhir gerak benda tersebut.


Luka lecet regang diskontinuitas epidermis akibat peregangan yang letaknya sesuai

dengan garis kulit.


Luka robek terjadi pada epidermis jaringan dibawahnya akibat kekerasan yang

mengenainya melebihi elastisitas kulit jaringan.


b. Trauma tajam, akibat luka :
Luka iris dalam luka lebih kecil dari pada panjang irisan luka.

c.

Luka tusuk dalam luka lebih besar atau lebih dalam dari pada panjang luka.
Luka bacok dalam luka kurang lebih sama dengan panjang luka.
Senjata api
Kulit disekitar luka terbakar atau hitam karena asap.
Rambut disekitar luka hangus.
Pakaian yang menutupi luka hangus terbakar.
Warna hitam dan kelim tato lebih luar disekitar luka.

2. Trauma fisika
a.

Suhu panas (luka bakar)


Eritem dengan ciri ciri epidermis intak, kemereahan, sembuh tanpa meninggalkan

sikatriks.
Vesikel, bulla dan bleps dengan albumin atau NaCl tinggi.
Necrosis coagulativa dengan ciri- ciri warna coklat gelap hitam dan sembuh dengan

meninggalkan sikatriks (litteken).


Karbonisasi (sudah menjadi arang).
b. Trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia)
Kulit pucat akibat vasokonstriksi kemerahan akibat vasodilatasi karena paralisis vasomotor

center.
Kulit berubah menjadi merah kehitaman, membengkak (skin blister), gatal dan nyeri.
Kemudian timbul gangren superfisial yang irreversibel.

3. Trauma kimia
a.

Asam kuat mengkoagulasikan protein luka korosif yang kering, kertas seperti kertas

permanen.
b. Basa kuat membentuk reaksi penyabunan luka basah, licin kerusakan sampai
kedalam.
C. Respon Tubuh Terhadap Trauma
1. Aktivasi sistem saraf simpatik menyebabkan peningkatantekanan artera dan
vena, bronkhodilatasi, takikardia,takipneu,capillary shunting ,dan diaforesis.
2. Peningkatan heart rate Cardiac output sebanding dengan stroke volume dikalikan heart rate.
Jika stroke volume menurun, heart rate meningkat.
3. Peningkatan frekuensi napas. Saat inspirasi, tekanan intrathoracik negatif. Aksi pompa thorak
ini membawa darah ke dada dan pre-loads ventrikel kanan untuk menjaga cardiac output.
4. Menurunnya urin output. Hormon anti-diuretik dan aldosteron dieksresikan untuk menjaga
cairan vaskular. Penurunan angka filtrasi glomerulus menyebabkan respon ini.
5. Berkurangnya tekanan nadi menunjukkan turunnya cardiac output (sistolik) dan peningkatan
vasokonstriksi (diastolik). Tekanan nadi normal adalah 35-40 mmHg
6. Capillary shunting dan pengisian trans kapiler dapat menyebabkan dingin, kulit pucat dan
mulut kering. Capillary refill mungkin melambat.

7. Perubahan status mental dan kesadaran disebabkan oleh perfusi ke otak yang menurun atau
mungkin secara langsung disebabkan oleh trauma kepala.
Nyeri akut adalah salah satu pemicu respon imunitas dan neurohumoral tubuh
terhadap cedera atau trauma. Nyeri akut dan cedera/trauma saling berhubungan timbale balik,
bila makin parah dan makin lama maka akan menyebabkan respon cedera menjadi
kontraproduktif yang membawa dampak merugikan tubuh. Meskipun nyeri akut hanya salah
satu pemicu penting respon cedera, namun berat dan lamanya respon cedera selaras dengan
berat dan lamanya stimuli yang menyebabkan nyeri- sehingga penghilangan nyeri yang
efektif (effective pain relief) dapat secara signifikan mengurangi dampak buruk respon cedera
.
Respon tubuh terhadap trauma atau cedera adalah terjadinya reaksi endokrin berupa
mobilisasi hormone-hormon katabolic dan terjadinya reaksi imunologik yang secara umum
disebut respon stress atau respon cedera. Respon cedera yang tampak nyata secara klinik
dapat diklasifikasikan menjadi enam hal, yaitu inflamasi, hiperalgesia, hiperglikemia,
katabolisme protein, peningkatan kadar asam lemak bebas (lipolisis) dan perubahan air dan
elektrolit yang terus-menerus.
Hiperalgesia disebabkan oleh sensitisasi nosiseptor di perifer (karena respon terhadap
stimuli yang meningkat di lokasi cedera) maupun karena sensitisasi sentral (karena
amplifikasi transmisi input dari jaringan perifer yang mengalami cedera). Rangsang
nosiseptif akan meningkatkan pelepasan hormone-hormon katabolic dan menekan hormonehormon anabolic seperti dideskripsikan table diatas. Peningkatan hormone katabolic akan
menyebabkan hiperglikemia, katabolisme protein , lipolisis serta retensi air dan natrium .
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.
Terjadinya hiperglikemia melalui mekanisme resistensi insulin, sekresi insulin yang
menurun, peningkatan glikogenolisis maupun gluconeogenesis. Hiperglikemia selaras dengan
luasnya respon cedera, dimana respon cedera akan menstimulasi tranpor glukosa membrane
tak tergantung insulin (insulin-independent membrane glucose tranporters) jenis glut-1, glut-2
dan glut-3 yang tersebar luas di otak, endotel pembuluh darah, hepar dan sel-sel darah.
Glukosa di sirkulasi masuk ke sel-sel organ-organ tanpa membutuhkan insulin, terjadilah
overload glukosa intrasel. Adanya glukosa intrasel yang berlebih akan mengglukosilasi
protein seperti immunoglobulin dan juga glukosa yang berlebih tersebut masuk ke jalur
glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang akan menghasilkan molekul superoksida yang
berlebih pula. Molekul superoksida yang berlebih akan mengikat nitrit oksida,akan
membentuk peroksinitrat, yang akhirnya menyebabkan disfungsi mitokondria pada sel-sel

yang memiliki glut-1, glut-2 dan glut-3. Otot skeletal dan otot jantung terlindung dari
fenomena toksik seperti ini, karena kedua jaringan ini hanya memiliki glut-4 dimana
ekspresinya dihambat oleh mediator-mediator respon cedera jaringan.
Respon cedera juga menimbulkan peningkatan pemecahan protein dan oksidasi asam
amino. Contohnya pada operasi abdomen, oksidasi asam amino dan pelepasan asam amino
dari otot meningkat berturur-turut 90% dan 30% sedangkan sistesis protein hanya 10 %.
Katabolisme protein yang meningkat pada respon cedera akan memperlambat penyembuhan
luka, menurunkan fungsi imun tubuh, mengurangi kekuatan otot yang semua itu
berkontribusi memperlama proses penyembuhan dan meningkatkan morbiditas.
Peningkatan kadar asam lemah bebas (free fatty acid /FFA) pada respon cedera yang berlebih
akan berefek negative pada fungsi jantung. Kadar FFA yang tinggi akan menekan
kontaktilitas miokardium, meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung, mengganggu
homeostasis kalsium, meningkatkan radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan
instabilitas kelistrikan jantung dan aritmia ventrikel. Pelepasan hormone-hormon katabolic
seperti katekolamin, aldosteron, kortisol, ADH dan angiotensin II akan menimbulkan efek
pada kardiovaskuler. Angiotensin II menimbulkan vasokontriksi. Katekolamin menimbulkan
takikardia, meningkatkan kontraktilitas miokardium dan meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer sehingga terjadilah hipertensi.
Peningkatan aldosteron, kortisol dan ADH akan meningkatkan ekskresi kalium,retensi
natrium dan air serta penurunan pergeseran cairan ekstrasel ke dalam cairan intrasel yang
akhirnya dapat terjadi penumpukan cairan di ekstrasel. Pada system respirasi, bertambahnya
cairan ekstrasel di paru-paru akan menimbulkan gangguan ventilasi perfusi.
Respon cedera juga berkontribusi mensupresi fungsi imunologik humoral maupun
selular, seperti limfopeni, leukositosis, depresi RES yang berakibat resistensi terhadap kuman
pathogen menurun. Keadaan hiperkoagulopati , adesifitas trombosit yang meningkat
ditambah adanya vasokontriksi karena efek angiotensin II maka resiko komplikasi thrombosis
akan meningkat.
Nyeri yang berasal dari cedera juga dapat mengaktifasi saraf simpatis. Efek aktivasi
saraf simpatis antara lain peningkatan frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung, akhirnya
peningkatan tekanan darah. Juga terjadi penurunan motilitas gastrointestinal yang dapat
beresiko terjadinya gangguan pasase usus.
Yang tidak kalah penting, nyeri juga berdampak negative terhadap mutu kehidupan
(quality of life). Nyeri menyebabkan pasien menderita,tidak mampu bergerak bebas, cemas,
gelisah, susah tidur, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan ini sangat

mengganggu kehidupan normal pasien sehari-hari sehingga penatalaksanaan nyeri yang


efektif tidak hanya mampu menghilangkan nyeri, mengurangi efek negative respon cedera
namun juga dapat meningkatkan mutu kehidupan pasien sehingga kembali dapat menikmati
kehidupan yang normal.
D. Respon Imun Tubuh Terhadap Trauma
Bagaimanapun masih ada perbedaan gender dalam hal respons imun dan hasil akhir
perjalanan klinis pemberian immunonutrition, khususnya pada pasien yang mendapat trauma.
Respon metabolik terhadap stres, trauma dan sepsis berhubungan erat dengan perubahan
imunologis dalam tubuh. Konsekuensi hal ini adalah dibutuhkannya dukungan nutrisi untuk
memperbaiki mekanisme pertahanan tubuh dan menurunkan morbiditas. Namun hanya
sedikit pengaruh dukungan nutrisi tradisional pada fungsi imun. Sistem imun juga
dipengaruhi oleh lipid dalam diet yang merupakan prekusor eikosanoid, prostaglandin dan
leukotrin, sementara sintesis eikosanoid dimodifikasi oleh golongan antioksidan seperti
vitamin E dan vitamin C, mineral Se dan Cu. Definisi Zn juga berhubungan dengan
kegagalan fungsi sel-T.
Pada hewan percobaan yang diberikan Zn dalam jumlah sub-optimal memperlihatkan
atrofia dari timus, penurunan jumlah lekosit dalam mediator antibodi dan respons
hipersensitivitas tipe lambat. Tindakan hiperalimentasi sendiri gagal mengantisipasi
berkurangnya massa otot serta imbangan nitrogen negatip selama kondisi kritis disebabkan
perbedaan respons metabolik terhadap starvasi, stres, trauma dan sepsis. Aktivitas regional
seperti alur nutrien, pemecahan molekul besar menjadi lebih kecil untuk memudahkan
penyerapan, absorbsi protein, vitamin, trace element, air, penyimpanan sisa pencernaan,
adalah hal-hal yang mempengaruhi respons imun selular dalam beberapa tingkatan. Pada
kondisi klinis lain dapat ditemukan sindrom yang kompleks dari kakeksia malignansi sebagai
kontributor utama morbiditas dan mortalitas pasien dengan keganasan lanjut. Faktor-faktor
yang berperan termasuk perubahan metabolik yang menghasilkan hipermetabolisme dan
anoreksia sehingga menurunkan asupan makanan; dalam hal mana suplemen oral gagal
menaikkan berat badan bila gangguan metabolisme tidak dikoreksi.
E. Manifestasi Tubuh Terhadap Trauma

Mengarahkan kesulitan mereka kepada diri sendiri, menjadi pendiam, tidak mau bergaul
dengan teman-teman mereka.

Kelakuan mereka seperti anak kecil lagi (ngompol di tempat tidur, mengisap jempol, mimpi
ketakutan), atau bicara bergagap.

Menjadi cepat marah, aggressive, berkelakuan nakal, berkelahi.

Tidak dapat tidur, takut tidur sendiri, tidak mau ditinggal sendirian meskipun untuk waktu
yang singkat saja.

Mencari tempat aman di tempat mereka berada. Kadang-kadang mau tidur di lantai, tidak
mau tidur di tempat tidur, karena takut kalau tidur nyenyak tidak tahu kalau bahaya datang.

Ketakutan kalau mendengar, melihat, atau mencium sesuatu yang mirip seperti waktu
kejadian trauma berlangsung. Bunyi mobil kadang-kadang mengingatkan si anak kepada
bunyi tembakan yang membunuh seseorang. Untuk seorang anak, mendengar anjingnya jalan
turun dari tangga, seperti ayahnya jatuh dari tangga dan mati.

Menjadi waspada terus-selalu melihat-lihat sekeliling karena takut ada bahaya.

Berlaku seperti tidak takut karena sesuatu dan kepada siapapun juga. Kalau ada bahaya
mereka berlaku tidak wajar, sambil berkata mereka tidak takut pada apapun juga.

Lupa kecakapan yang baru saja dipelajari.

Berkata-kata mau membalas dendam.

Sakit kepala, sakit perut, cepat capai dan sakit-sakit yang sebelumnya tidak ada.

Sering mengalami kecelakaan karena mengambil risiko yang berbahaya, menempatkan diri
sendiri di tempat-tempat bahaya, men-sandiwarakan kejadian trauma sekali lagi seperti
korban (victim) atau tokoh.

Kesulitan-kesulitan di sekolah, nilai yang menurun, dan kesulitan konsentrasi.

Menjadi pessimis, tidak ada harapan masa depan, kehilangan keinginan untuk survive,
bermain, menikmati hidup.

Minum obat narkotik atau ikut gerakan-gerakan yang melawan kebudayaan (counter culture
movement) teristimewa bagi anak-anak yang lebih tua.
Sesudah kejadian trauma berakhir, dan keadaan aman kembali, pikiran dan perasaan trauma
masih saja mempengaruhi si anak untuk waktu yang lama. Pengalaman teroris masih terkilas
dengan jelas dipikiran si anak, dan sangat mempengaruhi dia. Ini menyebabkan :

Luka emosi

Bingung (karena tidak mengerti trauma)

Kelainan tingkah laku

F. Komplikasi Penyakit Trauma


Penyakit mungkin sekali mempunyai efek yang diperpanjang, sekunder atau jauh.
Misalnya penyebaran organisme penyakit trauma dari tempat asal masuknya kuman, pada
tempat itu terjadi rangsangan reaksi radang, yang menyebar ketempat lain dari tubuh
manusia, dimana reaksi yang serupa akan terjadi.
A. Komplikasi penyakit trauma tumpul, tajam, dan tembak (trauma abdomen)
o Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau
mikroorganisme. Bila perforasi terjadi di bagian atas, misalnya lambung, maka terjadi
perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma atau timbul gejala peritonitis hebat. Bila
perforasi terjadi dibagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak, baru setelah 24 jam timbul
gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat
bakteri dan hasil akhirnya adalah feses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi
perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium
akan terkontaminasi oleh bakteri dan feses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang
berakibat lebih berat.
o Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat
parenkim, mesenterium, dan ligamenta. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih
sulit dibandingkan dengan trauma tajam,lebih-lebih pada taraf permulaan.
B. Komplikasi trauma fisika
Komplikasi akibat trauma panas (luka bakar)
o
o
o
o

Shock
Infeksi
Ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit)
Masalah distres pernapasan
Komplikasi akibat trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia)

o Stadium perangsangan (hipotermia ringan, 32-35 drajat Celcius) : terjadi tremor otot
maksimal, akibatnya kecepatan metabolisme basal sangat meningkat, semua sumber glukosa

dipakai, penggunaan O2 meningkat sampai 6 kalinya. Peningkatan tekanan darah,


menimbulkan nyeri.
o Stadium kelelahan (hipotermia sedang, 28-32 drajat Celcius) : sumber glukosa tidak ada lagi,
terjadi bradikardia, aritmia dan depresi pernapasan.
o Stadium paralysis (hipotermia berat, di bawah 28 drajat Celcius) : koma, refleks pupil hilang
(tetapi tidak ada tanda kematian otak), diikuti ventrikel, asistol, dan apnea. Semakin rendah
penurunan suhu yang terjadi sampai aliran darah ke otak terhenti, maka semakin lama otak
bisa menoleransi terhentinya sirkulasi (30drajat C:10-15 menit, 18drajatC:60-90 menit).
C. Komplikasi trauma kimia
Komplikas trauma kimia asam kuat dan basa kuat sering terjadi pada trauma mata. Diantara
komplikasinya yaitu :

Kehilangan penglihatan

Glaukoma

Katarak

Ulkus/perforasi kornea

Sikatrik kornea

Retinal detachment

Konjungtiva, dan

Palpebra

2.1
Cedera kepala
2.1.1 Definisi
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun trauma benda tajam. Cedera kepala
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, cedera kulit kepala
karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala
berdarah bila cedera dalam, cedera akibat fraktur tengkorak adalah
rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma.ini
dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur
tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak dibagi menjadi dua yaitu fraktur terbuka dan
tertutup

Perimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah


apakah otak telah atau tidak mengalami cedera.kejadian
cederaminor dapat menyebabkan otak bermakna. Otak tidak dapat
menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang
bermakna. Sel-sel serebral memburuhkan suplai darah terus menerus
untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan selsel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya
beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami
regenerasi
2.1.2 Etiologi
Cedera kepala paling sering dan penyakit yang serius di antara
penyakit neurologic dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil
kecelakaan jalan raya. kekerasan dan gangguan kejang juga bisa jadi
penyebab cedera kepala.. Duapertiga kasus ini berusia 30 tahun, dengan
jumlah laki-laki lebih banyak daripada wanita . adanya kadar alcohol
dalam darah terdeteksi lebih dari 50% pasien cedera kepala yang diterapi
di ruang darurat.

2.1.3 Patofisiologi
Benturan pada
kepala
Luka atau injuri
pada kepala

Kulit kepala
terbuka

Tulang tengkorak
patah

Trauma otak

Bakteri masuk

Hemoragi, CSS
keluar dari telinga
dan hidung

Otak tidak dapat


suplai oksigen dan
glukosa

Organism masuk
kedalam cranial
melalui hidung

Sel-sel di otak mati

Kulit meradang
Infeksi pada
kulit kepala

Meningitis

Kerusakan pada
otak

2.1.4 Manifestasi
Gejala-gejala yang muncul pada cedera kepala local begantung
pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau
setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
Fraktur kubah cranial menyebabkan bengkak pada sekitar
frakturdan karena alas an ini diagnosis yang akurat tidak dapat
ditetapkan tanpa pemeriksaan sinar-x
Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada
tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering
menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva. Suatu area ekimosis atau memar
mungkin terlihat di atas mastoid. Fraktur dasar tengkorak di curigai
ketika CSS keluar dari teling dan hidung . keluarnya cairan
serebrospinal merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan
infeksi seperti meningitis, jika organism masuk kedalam isi cranial
melalui hidung telinga atau sinus melalui robekan pada dura
Laserasi atau konstitusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal
berdarah
Trauma otak mempengaruhi setiap system kekebalan tubuh.
Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi
abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologic, dan perubahan
tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan
pergerakan, kejang ,dan lain-lain.
2.1.5 Komplikasi
- Meningitis
meningitis, jika organism masuk kedalam isi cranial melalui hidung
telinga atau sinus melalui robekan pada dura
-

Komosio
Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi
neurologic sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya
meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang
berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit
Hemoragi epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang
epidural(ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini
sering di akbatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan
arteri menigeal tengah putus atau rusak(laserasi), di mana arteri ini
berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian
tipis tulang temporal; hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak

Hemoragi subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah di antara
dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh
cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga
terjafi kecenderungan perdarahan yag serius dan aneurisma.
Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan
akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural
Hemoragi intraserebral
Hemoragi intra serebral adalah perdarahan ke dalam
substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala
dimana tekanan mendesak ke kepala sampai ke daerah kecil (luka
tembak). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga di akibatkan
oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan rupture
pembuluh darah; rupture kantung aneuresime; anomaly vaskuler;
tumor intracranial; penyebab sistemik, temasuk gangguan
perdarahan seperti leukemia, hemophilia, anemia aplastik dan
trombositopenia; dan komplikasi terapi antikoagulan

2.1.6 Penatalaksanaan
- Fraktur tulang tanpa impresi memerlukan intervensi bedah,
kerusakan yang luas pada tengkorak dapat di perbaiki selanjutnya
dengan lempeng logam atau plastic bila diperlukan. Luka penetrasi
membutuhkan pembedahan debridement untuk mengeluarkan
benda-benda asing dan memperbaiki keadaan vital jaringan otak
dan untuk mengintril hemoragi. Pengobatan antibiotic direncanakan
segera, dan terapi komponen darah diberikan bila diindikasikan
- Naso faring dan telinga eksternal harus dipertahankan bersih dan
selalu menutup telinga dengan gumpalan kapas steril atau bantalan
kapas steril dapat di temple menutup lubang hidung atau pada
telinga untuk mengumpulkan cairan yang keluar. Kepala biasanya di
tinggikan 30Ountuk menurunkan TIK dan meningkatkan keluarnya
cairan yang bocor secara spontan . rinorea atau otorea cairan spinal
menetap biasanya memerlukan intervensi pembedahan.
- Dari tempat kecelakaan pasien dipindahkan dengan papan di mana
kepala dan leher sejajar. Traksi ringan harus dipertahankan pada
kepala, dan kolar servikal di pasang dan dipertahankan sampai
sinar-x medulla servikal di dapatkan dan diketahui tidak ada cedera
medulla spinalis servikal
- Tindakan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak
membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi
peningkatan TIK dan memerlukan tindakan segera. TIK di pantau
dengan ketat dan, bila meningkat, keadaan ini di atasi dengan
mempertahankan oksigenasi adekuat, pemberian minnitol, yang
mengurangi edema serebral dengan dehidrasi osmotic;

hiperventilasi; pengguanaan steroid; peningkatan kepala tempat


tidur; dan kemungkinan intervensi bedah neuro. Pembedahan di
perlukan untuk evakuasi bekuan darah, dan jahitan terhadap
laserasi kulit kepala berat. Alat untuk memantau TIK dapat di
pasang selama pembedahan atau dengan teknik aseptic di tempat
tidur. Pasien dirawat di unit perawatan intensif di mana ada perawat
ahli keperawatan dan medis
Tindakan pendukung lain. Tindakan juga mencakup dukungan
ventilasi,pencegahan kejang, dan pemeliharaan caiian,elektrolit dan
keseimbangan nutrisi. Pasien cedera kepala hebat yang koma
diintubasi dan ventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi
jalan nafas. Hiperventilasi terkontrol juga mencakup hipokapnia,
yang mencegah vasodilatasi, menurunkan aliran darah serebral ,
menurunkan volume darah serebral, dan kemudian menurunkan
TIK.
Bila pasien teragitasi, klopromazin dapat di berikan untuk
menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran. Selang
nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun dan
peristaltic terbalik dikaitkan dengan cedera kepala, dengan
membuat reguritasi umum pada beberapa jam pertama

A IDENTITAS
- Nama
: An. Diki darmawan
- Umur
: 11 tahun
- Agama
: Muslim
- Alamat
: depok
- Pekerjaan
:
- Status perkawinan : belum menikah

- Sumber informasi : keluarga


- Sumber biaya
: cash
- Tanggal masuk : 19 10 2010. Pukul 13.45
B Riwayat kesehatan
- Keluhan utama
Klien jatuh dari pohon kurang lebih tingginya 3 meter, 1 jam yang lalu klien
tidak sadar, muntah 2 x dan kejang di perjalanan, dan ada perdarahan dari hidung.
Riwayat kesehatan yang lalu dan kebiasaan hidup terkait penyakit
Klien tidak memiliki riwayat penyakit sebelunya.
C Pengkajian ( primery )
- Airway
Adanya sumbatan jalan nafas berupa sekret. Terdengar suara nafas.klien di suction
-

dan terpasang gudel ( opa)


Breathing
Terlihat pengembangan dada, terdenga suara nafas cepat, terasa hembusan nafas
frekwansi nafas 42x/menit
Circulation
Adanya sianosi, akral dingin, kapilari refill kurang dari 3 detik, frekwansi nafas
42x/menit, nadi 133, tekanan darah 153/90.

Disability
Pasien dalam keadaan tidak sadar ( koma )
- Exposure
Terlihat tada cedera di kepala, tangan dan kaki. Dan ada jejas di baian dada.
D Pengkajian Head to toe (secondary )
Kepala: adanya luka di kepala kiri, kounjungtuva anemis, skelra tidak ikterik,
kepala tidak simetris
Thorak: ada jejas,
Abdominal: tidak ada jejas, tidak ada lesi, umbilicus di tengah
Ekstrimitas: tidak ada laserasi, kaki simetris, edema tidak ada
- Pemeriksaan penunjang
Hb = 11,8
L = 20, 6
Ht = 36
Tr = 458
Pemeriksaan
CT-scan
Ronsen torax, cervical, pelvis.
E Diagnose medis
Cidera kepala sedang ( CKS )
Analisa Data

Etiologi

DX keperawatan

Do: . kesadaran klien koma,


TD = 153/90
N = 133
RR = 42
S = 35, 8.
Ds:

Klien jatuh

Perubahan

perfusi

jaringan

serebral

kejang di perjalanan

klien tidak sadar

perubahan perfusi jaringan


serebral

Kriteria hasil:
Setelah Dilkukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam masalah
-

mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan


kognisi dan fungsi mototrik atau sensorik
tanda - tanda vital stabil
tidak ada peningkatan tekanan intra cranial

NIC:
Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial)

pantau atau cacat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
( misalnya Skala Coma Glasacow ) untuk mengetahui adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan tekanan intra kranial dan bermanfaat dalam

menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan sistem saraf pusat.


Pantau tekanan darah, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada
saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik, kehilangan autoregulasi dapat mengikuti
kerusakan vaskularisasi serebral lokal atau menyeluruh, peningkatan tekanan darah
sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda terjadinya

peningkatan tekanan intra kranial jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan dan
reaksi terhadap cahaya untuk mengetahui keadaan otak apakah masih bagus atau tidak
sedangkan respons terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf
kranial optikus ( II ) dan okulomotor ( III ).

Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi adanya demam dapat
mencerminkan kerusakan pada hipotulamus, peningkatan kebutuhan metabolisme dan
konsumsi oksigen terjadi ( terutama pada saat demam dan menggigil ) yang selanjutnya
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Pertahankan kepala atau leher pada
posisi netral, kepala yang miring, pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan

menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan tekanan intra kranial.
Berikan waktu istirahat diantara aktivitas keperawatan yang dilakukan dan batasi waktu
dari setiap prosedur tersebut, aktivitas yang terus menerus dapat meningkatkan tekanan

inta kranial dengan menimbulkan efek stimulasi kumulatif.


Tinggikan kepala pasien 15 sampai 45 derajat sesuai indikasi yang ditoleransi untuk
meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema
atau risiko terjadinya peningkatan tekanan intra kranial. Pemberian obat diuretik sesuai
program untuk menurukkan edema otak dan tekanan intra kranial

Anda mungkin juga menyukai