Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk
menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para psikolog menyatakan
trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami
seseorang dan mennggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut
post-traumatic syndrome disorder. Trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis,
trauma mengacu pada cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, trauma
memiliki makna yang berbeda dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan,
menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik
berkelanjutan gangguan pada jiwa yang timbul akibat peristiwa traumatik. Peristiwa
traumatik bisa sekali dialami, bertahan dalam jangka lama, atau berulang-ulang dialami oleh
penderita. Peristiwa tersebut mengalahkan individu untuk mengatasi dan mengintegrasikan
ide-ide dan emosinya.
jaringan kulit.
Teraba menonjol pengumpulan darah dijaringan pembuluh darah rusak.
Bentuk luka menyerupai benda yang mengenai.
Luka lecet terjadi pada epidermis gesekan dengan benda yang permukaannya kasar.
Luka lecet tekan : arah kekerasan tegak lurus pada permukaan tubuh, epidermis yang
c.
Luka tusuk dalam luka lebih besar atau lebih dalam dari pada panjang luka.
Luka bacok dalam luka kurang lebih sama dengan panjang luka.
Senjata api
Kulit disekitar luka terbakar atau hitam karena asap.
Rambut disekitar luka hangus.
Pakaian yang menutupi luka hangus terbakar.
Warna hitam dan kelim tato lebih luar disekitar luka.
2. Trauma fisika
a.
sikatriks.
Vesikel, bulla dan bleps dengan albumin atau NaCl tinggi.
Necrosis coagulativa dengan ciri- ciri warna coklat gelap hitam dan sembuh dengan
center.
Kulit berubah menjadi merah kehitaman, membengkak (skin blister), gatal dan nyeri.
Kemudian timbul gangren superfisial yang irreversibel.
3. Trauma kimia
a.
Asam kuat mengkoagulasikan protein luka korosif yang kering, kertas seperti kertas
permanen.
b. Basa kuat membentuk reaksi penyabunan luka basah, licin kerusakan sampai
kedalam.
C. Respon Tubuh Terhadap Trauma
1. Aktivasi sistem saraf simpatik menyebabkan peningkatantekanan artera dan
vena, bronkhodilatasi, takikardia,takipneu,capillary shunting ,dan diaforesis.
2. Peningkatan heart rate Cardiac output sebanding dengan stroke volume dikalikan heart rate.
Jika stroke volume menurun, heart rate meningkat.
3. Peningkatan frekuensi napas. Saat inspirasi, tekanan intrathoracik negatif. Aksi pompa thorak
ini membawa darah ke dada dan pre-loads ventrikel kanan untuk menjaga cardiac output.
4. Menurunnya urin output. Hormon anti-diuretik dan aldosteron dieksresikan untuk menjaga
cairan vaskular. Penurunan angka filtrasi glomerulus menyebabkan respon ini.
5. Berkurangnya tekanan nadi menunjukkan turunnya cardiac output (sistolik) dan peningkatan
vasokonstriksi (diastolik). Tekanan nadi normal adalah 35-40 mmHg
6. Capillary shunting dan pengisian trans kapiler dapat menyebabkan dingin, kulit pucat dan
mulut kering. Capillary refill mungkin melambat.
7. Perubahan status mental dan kesadaran disebabkan oleh perfusi ke otak yang menurun atau
mungkin secara langsung disebabkan oleh trauma kepala.
Nyeri akut adalah salah satu pemicu respon imunitas dan neurohumoral tubuh
terhadap cedera atau trauma. Nyeri akut dan cedera/trauma saling berhubungan timbale balik,
bila makin parah dan makin lama maka akan menyebabkan respon cedera menjadi
kontraproduktif yang membawa dampak merugikan tubuh. Meskipun nyeri akut hanya salah
satu pemicu penting respon cedera, namun berat dan lamanya respon cedera selaras dengan
berat dan lamanya stimuli yang menyebabkan nyeri- sehingga penghilangan nyeri yang
efektif (effective pain relief) dapat secara signifikan mengurangi dampak buruk respon cedera
.
Respon tubuh terhadap trauma atau cedera adalah terjadinya reaksi endokrin berupa
mobilisasi hormone-hormon katabolic dan terjadinya reaksi imunologik yang secara umum
disebut respon stress atau respon cedera. Respon cedera yang tampak nyata secara klinik
dapat diklasifikasikan menjadi enam hal, yaitu inflamasi, hiperalgesia, hiperglikemia,
katabolisme protein, peningkatan kadar asam lemak bebas (lipolisis) dan perubahan air dan
elektrolit yang terus-menerus.
Hiperalgesia disebabkan oleh sensitisasi nosiseptor di perifer (karena respon terhadap
stimuli yang meningkat di lokasi cedera) maupun karena sensitisasi sentral (karena
amplifikasi transmisi input dari jaringan perifer yang mengalami cedera). Rangsang
nosiseptif akan meningkatkan pelepasan hormone-hormon katabolic dan menekan hormonehormon anabolic seperti dideskripsikan table diatas. Peningkatan hormone katabolic akan
menyebabkan hiperglikemia, katabolisme protein , lipolisis serta retensi air dan natrium .
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.
Terjadinya hiperglikemia melalui mekanisme resistensi insulin, sekresi insulin yang
menurun, peningkatan glikogenolisis maupun gluconeogenesis. Hiperglikemia selaras dengan
luasnya respon cedera, dimana respon cedera akan menstimulasi tranpor glukosa membrane
tak tergantung insulin (insulin-independent membrane glucose tranporters) jenis glut-1, glut-2
dan glut-3 yang tersebar luas di otak, endotel pembuluh darah, hepar dan sel-sel darah.
Glukosa di sirkulasi masuk ke sel-sel organ-organ tanpa membutuhkan insulin, terjadilah
overload glukosa intrasel. Adanya glukosa intrasel yang berlebih akan mengglukosilasi
protein seperti immunoglobulin dan juga glukosa yang berlebih tersebut masuk ke jalur
glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang akan menghasilkan molekul superoksida yang
berlebih pula. Molekul superoksida yang berlebih akan mengikat nitrit oksida,akan
membentuk peroksinitrat, yang akhirnya menyebabkan disfungsi mitokondria pada sel-sel
yang memiliki glut-1, glut-2 dan glut-3. Otot skeletal dan otot jantung terlindung dari
fenomena toksik seperti ini, karena kedua jaringan ini hanya memiliki glut-4 dimana
ekspresinya dihambat oleh mediator-mediator respon cedera jaringan.
Respon cedera juga menimbulkan peningkatan pemecahan protein dan oksidasi asam
amino. Contohnya pada operasi abdomen, oksidasi asam amino dan pelepasan asam amino
dari otot meningkat berturur-turut 90% dan 30% sedangkan sistesis protein hanya 10 %.
Katabolisme protein yang meningkat pada respon cedera akan memperlambat penyembuhan
luka, menurunkan fungsi imun tubuh, mengurangi kekuatan otot yang semua itu
berkontribusi memperlama proses penyembuhan dan meningkatkan morbiditas.
Peningkatan kadar asam lemah bebas (free fatty acid /FFA) pada respon cedera yang berlebih
akan berefek negative pada fungsi jantung. Kadar FFA yang tinggi akan menekan
kontaktilitas miokardium, meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung, mengganggu
homeostasis kalsium, meningkatkan radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan
instabilitas kelistrikan jantung dan aritmia ventrikel. Pelepasan hormone-hormon katabolic
seperti katekolamin, aldosteron, kortisol, ADH dan angiotensin II akan menimbulkan efek
pada kardiovaskuler. Angiotensin II menimbulkan vasokontriksi. Katekolamin menimbulkan
takikardia, meningkatkan kontraktilitas miokardium dan meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer sehingga terjadilah hipertensi.
Peningkatan aldosteron, kortisol dan ADH akan meningkatkan ekskresi kalium,retensi
natrium dan air serta penurunan pergeseran cairan ekstrasel ke dalam cairan intrasel yang
akhirnya dapat terjadi penumpukan cairan di ekstrasel. Pada system respirasi, bertambahnya
cairan ekstrasel di paru-paru akan menimbulkan gangguan ventilasi perfusi.
Respon cedera juga berkontribusi mensupresi fungsi imunologik humoral maupun
selular, seperti limfopeni, leukositosis, depresi RES yang berakibat resistensi terhadap kuman
pathogen menurun. Keadaan hiperkoagulopati , adesifitas trombosit yang meningkat
ditambah adanya vasokontriksi karena efek angiotensin II maka resiko komplikasi thrombosis
akan meningkat.
Nyeri yang berasal dari cedera juga dapat mengaktifasi saraf simpatis. Efek aktivasi
saraf simpatis antara lain peningkatan frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung, akhirnya
peningkatan tekanan darah. Juga terjadi penurunan motilitas gastrointestinal yang dapat
beresiko terjadinya gangguan pasase usus.
Yang tidak kalah penting, nyeri juga berdampak negative terhadap mutu kehidupan
(quality of life). Nyeri menyebabkan pasien menderita,tidak mampu bergerak bebas, cemas,
gelisah, susah tidur, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan ini sangat
Mengarahkan kesulitan mereka kepada diri sendiri, menjadi pendiam, tidak mau bergaul
dengan teman-teman mereka.
Kelakuan mereka seperti anak kecil lagi (ngompol di tempat tidur, mengisap jempol, mimpi
ketakutan), atau bicara bergagap.
Tidak dapat tidur, takut tidur sendiri, tidak mau ditinggal sendirian meskipun untuk waktu
yang singkat saja.
Mencari tempat aman di tempat mereka berada. Kadang-kadang mau tidur di lantai, tidak
mau tidur di tempat tidur, karena takut kalau tidur nyenyak tidak tahu kalau bahaya datang.
Ketakutan kalau mendengar, melihat, atau mencium sesuatu yang mirip seperti waktu
kejadian trauma berlangsung. Bunyi mobil kadang-kadang mengingatkan si anak kepada
bunyi tembakan yang membunuh seseorang. Untuk seorang anak, mendengar anjingnya jalan
turun dari tangga, seperti ayahnya jatuh dari tangga dan mati.
Berlaku seperti tidak takut karena sesuatu dan kepada siapapun juga. Kalau ada bahaya
mereka berlaku tidak wajar, sambil berkata mereka tidak takut pada apapun juga.
Sakit kepala, sakit perut, cepat capai dan sakit-sakit yang sebelumnya tidak ada.
Sering mengalami kecelakaan karena mengambil risiko yang berbahaya, menempatkan diri
sendiri di tempat-tempat bahaya, men-sandiwarakan kejadian trauma sekali lagi seperti
korban (victim) atau tokoh.
Menjadi pessimis, tidak ada harapan masa depan, kehilangan keinginan untuk survive,
bermain, menikmati hidup.
Minum obat narkotik atau ikut gerakan-gerakan yang melawan kebudayaan (counter culture
movement) teristimewa bagi anak-anak yang lebih tua.
Sesudah kejadian trauma berakhir, dan keadaan aman kembali, pikiran dan perasaan trauma
masih saja mempengaruhi si anak untuk waktu yang lama. Pengalaman teroris masih terkilas
dengan jelas dipikiran si anak, dan sangat mempengaruhi dia. Ini menyebabkan :
Luka emosi
Shock
Infeksi
Ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit)
Masalah distres pernapasan
Komplikasi akibat trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia)
o Stadium perangsangan (hipotermia ringan, 32-35 drajat Celcius) : terjadi tremor otot
maksimal, akibatnya kecepatan metabolisme basal sangat meningkat, semua sumber glukosa
Kehilangan penglihatan
Glaukoma
Katarak
Ulkus/perforasi kornea
Sikatrik kornea
Retinal detachment
Konjungtiva, dan
Palpebra
2.1
Cedera kepala
2.1.1 Definisi
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun trauma benda tajam. Cedera kepala
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, cedera kulit kepala
karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala
berdarah bila cedera dalam, cedera akibat fraktur tengkorak adalah
rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma.ini
dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur
tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak dibagi menjadi dua yaitu fraktur terbuka dan
tertutup
2.1.3 Patofisiologi
Benturan pada
kepala
Luka atau injuri
pada kepala
Kulit kepala
terbuka
Tulang tengkorak
patah
Trauma otak
Bakteri masuk
Hemoragi, CSS
keluar dari telinga
dan hidung
Organism masuk
kedalam cranial
melalui hidung
Kulit meradang
Infeksi pada
kulit kepala
Meningitis
Kerusakan pada
otak
2.1.4 Manifestasi
Gejala-gejala yang muncul pada cedera kepala local begantung
pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau
setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
Fraktur kubah cranial menyebabkan bengkak pada sekitar
frakturdan karena alas an ini diagnosis yang akurat tidak dapat
ditetapkan tanpa pemeriksaan sinar-x
Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada
tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering
menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva. Suatu area ekimosis atau memar
mungkin terlihat di atas mastoid. Fraktur dasar tengkorak di curigai
ketika CSS keluar dari teling dan hidung . keluarnya cairan
serebrospinal merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan
infeksi seperti meningitis, jika organism masuk kedalam isi cranial
melalui hidung telinga atau sinus melalui robekan pada dura
Laserasi atau konstitusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal
berdarah
Trauma otak mempengaruhi setiap system kekebalan tubuh.
Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi
abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologic, dan perubahan
tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan
pergerakan, kejang ,dan lain-lain.
2.1.5 Komplikasi
- Meningitis
meningitis, jika organism masuk kedalam isi cranial melalui hidung
telinga atau sinus melalui robekan pada dura
-
Komosio
Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi
neurologic sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya
meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang
berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit
Hemoragi epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang
epidural(ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini
sering di akbatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan
arteri menigeal tengah putus atau rusak(laserasi), di mana arteri ini
berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian
tipis tulang temporal; hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak
Hemoragi subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah di antara
dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh
cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga
terjafi kecenderungan perdarahan yag serius dan aneurisma.
Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan
akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural
Hemoragi intraserebral
Hemoragi intra serebral adalah perdarahan ke dalam
substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala
dimana tekanan mendesak ke kepala sampai ke daerah kecil (luka
tembak). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga di akibatkan
oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan rupture
pembuluh darah; rupture kantung aneuresime; anomaly vaskuler;
tumor intracranial; penyebab sistemik, temasuk gangguan
perdarahan seperti leukemia, hemophilia, anemia aplastik dan
trombositopenia; dan komplikasi terapi antikoagulan
2.1.6 Penatalaksanaan
- Fraktur tulang tanpa impresi memerlukan intervensi bedah,
kerusakan yang luas pada tengkorak dapat di perbaiki selanjutnya
dengan lempeng logam atau plastic bila diperlukan. Luka penetrasi
membutuhkan pembedahan debridement untuk mengeluarkan
benda-benda asing dan memperbaiki keadaan vital jaringan otak
dan untuk mengintril hemoragi. Pengobatan antibiotic direncanakan
segera, dan terapi komponen darah diberikan bila diindikasikan
- Naso faring dan telinga eksternal harus dipertahankan bersih dan
selalu menutup telinga dengan gumpalan kapas steril atau bantalan
kapas steril dapat di temple menutup lubang hidung atau pada
telinga untuk mengumpulkan cairan yang keluar. Kepala biasanya di
tinggikan 30Ountuk menurunkan TIK dan meningkatkan keluarnya
cairan yang bocor secara spontan . rinorea atau otorea cairan spinal
menetap biasanya memerlukan intervensi pembedahan.
- Dari tempat kecelakaan pasien dipindahkan dengan papan di mana
kepala dan leher sejajar. Traksi ringan harus dipertahankan pada
kepala, dan kolar servikal di pasang dan dipertahankan sampai
sinar-x medulla servikal di dapatkan dan diketahui tidak ada cedera
medulla spinalis servikal
- Tindakan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak
membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi
peningkatan TIK dan memerlukan tindakan segera. TIK di pantau
dengan ketat dan, bila meningkat, keadaan ini di atasi dengan
mempertahankan oksigenasi adekuat, pemberian minnitol, yang
mengurangi edema serebral dengan dehidrasi osmotic;
A IDENTITAS
- Nama
: An. Diki darmawan
- Umur
: 11 tahun
- Agama
: Muslim
- Alamat
: depok
- Pekerjaan
:
- Status perkawinan : belum menikah
Disability
Pasien dalam keadaan tidak sadar ( koma )
- Exposure
Terlihat tada cedera di kepala, tangan dan kaki. Dan ada jejas di baian dada.
D Pengkajian Head to toe (secondary )
Kepala: adanya luka di kepala kiri, kounjungtuva anemis, skelra tidak ikterik,
kepala tidak simetris
Thorak: ada jejas,
Abdominal: tidak ada jejas, tidak ada lesi, umbilicus di tengah
Ekstrimitas: tidak ada laserasi, kaki simetris, edema tidak ada
- Pemeriksaan penunjang
Hb = 11,8
L = 20, 6
Ht = 36
Tr = 458
Pemeriksaan
CT-scan
Ronsen torax, cervical, pelvis.
E Diagnose medis
Cidera kepala sedang ( CKS )
Analisa Data
Etiologi
DX keperawatan
Klien jatuh
Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
kejang di perjalanan
Kriteria hasil:
Setelah Dilkukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam masalah
-
NIC:
Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial)
pantau atau cacat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
( misalnya Skala Coma Glasacow ) untuk mengetahui adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan tekanan intra kranial dan bermanfaat dalam
peningkatan tekanan intra kranial jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan dan
reaksi terhadap cahaya untuk mengetahui keadaan otak apakah masih bagus atau tidak
sedangkan respons terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf
kranial optikus ( II ) dan okulomotor ( III ).
Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi adanya demam dapat
mencerminkan kerusakan pada hipotulamus, peningkatan kebutuhan metabolisme dan
konsumsi oksigen terjadi ( terutama pada saat demam dan menggigil ) yang selanjutnya
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Pertahankan kepala atau leher pada
posisi netral, kepala yang miring, pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan tekanan intra kranial.
Berikan waktu istirahat diantara aktivitas keperawatan yang dilakukan dan batasi waktu
dari setiap prosedur tersebut, aktivitas yang terus menerus dapat meningkatkan tekanan