Dengan
demikian
dapat
dilihat bahwa segala komponen
warga negara Indoensia merupakan
sekelompok
manusia
yang
berazaskan gotong royong. Tidak
hanya dalam perjuangan fisik saja,
namun juga dalam perjuangan
mentalitas
(non-fisik),
manusia
Indonesia tetap menganut azas
gotong royong. Tidak hanya pada
masa sebelum kemerdekaan dan
setelah
kemerdekaan
hingga
Konferensi Meja Bundar (1949),
bahkan hingga masa selanjutnya
antara militer dan sipil tetap
menjaga equilibrium dalam tubuh
Indonesia. Berbagai upaya telah
dilakukan
untuk
menciptakan
simbiosis-mutualisme
untuk
mencapai
kesejahteraan
dalam
segala sektor kehidupan bernegara.
Secara eksplisit upaya ini dilakukan
oleh
golongan
militer
dengan
menerapkan
berbagai
konsep
paramiliter.
Pada masa kepemimpinan
Soekarno,
tepatnya
saat
diterapkannya sistem Domokrasi
Liberal dibentuk sebuah Corps
Tjadangan Nasional sebagai unsur
paramiliter, dalam masa sistem
Demokrasi
Terpimpin
dibentuk
Militer
Sukarela
berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 1963. Dilanjutkan dengan
kepemimpinan Soeharto setelah
berhasil menumbangkan kekuasaan
Soekarno dalam tahun 1965-1966,
maka
dibentuklah
pasukan
paramiliter yang terbagi atas dua,
takni Komponen Cadangan Wajib
dan Komponen Cadangan Sukarela
yang berlandaskan pada UU Nomor
20 Tahun 1982.
Komponen Wajib terdiri dari
anggota TNI yang telah selesai masa
dinasnya dan atas keinginannya
sendiri atau panggilan negara.
Sedangkan Komponen Cadangan
Sukarela terdiri dari rakyat terlatih
dan mantan polisi yang memenuhi
persyaratan.
Terakhir,
setelah
peristiwa demonstrasi besar-besaran
tersebut
tanpa
memikirkan
keselamatan
dirinya
yang
berhadapan
dengan
seorang
petinggi Agkatan Darat. Musuh
nyata Republik yang paling utama
adalah korupsi, dan berdasarkan
pengalaman sejarah Indonesia, sipil
memiliki jiwa nasionalisme dan
patriotisme yang tinggi (JPNN.com,
14 Oktober 2015), begitulah kirakira
analisis
Budyatna
untuk
mengajak pemerintah memikirkan
kembali
terkait
program
Bela
Negara.
Landasan
program
bela
negara adalah pasal 27 ayat 3 UUD
1945 yang mengatur, setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara
(MPR, 2011). Inilah yang menjadi
klausul UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang
pertahanan
negara.
Memang benar bahwa dalam UU
tersebut dalam pasal 8 dan 9
dijelaskan tentang pelaksana dan
tugas komponen-komponen bela
negara. Namun, selagi Indonesia
masih
merupakan
anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
tentunya harus mengakui kebijakan
PBB, tepatnya tentang Resolusi
1998/ 77 tentang Conscientious
Objection, yang dkeluarkan oleh
Komisi Tinggi HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(UN
High
Commission for Human Rights).
Adapun
Conscientious
Objection
yang secara harafiah diartikan
sebagai
penolakan
bersungguhsungguh sebenarnya merupakan
penolakan seseorang terhadap wajib
militer berdasarkan kepercayaannya
(Bhatara Ibnu Reza, 2009).
Hak-hak yang dilanggar pada
proses perekrutan adalah hak untuk
hidup (right to life), hak untuk
kebebasan
dan
keamanan
seseorang (right to liberty and
security), serta kekebasan untuk
berpikir, hati nurani dan beragama
(freedom of thought, conscience
and religion) serta hak untuk
diperlakukan
sama
dihadapan