Anda di halaman 1dari 5

BOIKOT!

Satu Kata di Ujung


Bayonet
Perjalanan sejarah Indonesia tidak
terlepas dari peranan militer dalam
setiap segmennya. Seperti yang
digambarkan
dalam
buku-buku
pelajaran sejarah di sekolah, kita
dapat melihat peranan heroik mliter
yang tak kenal lelah bahkan rela
mengorbankan
nyawa
demi
mencapai
kemerdekaan
seratus
persen bagi Indonesia. Kita ambil
saja
contohnya,
bagaimana
manuver militer dalam mengusir
Belanda dan sekutunya Inggris yang
ingin menguasai Indonesia kembali
dalam paroh kedua tahun 1940an
melalui
programnya
yang
dinamakan Oporesi Produk dan
Operasi Gagak, atau yang lebih
popular
ditelinga
kita
sebagai
Agresi Militer I dan II.
Kita kenal sosok seperti
Sudirman, Urip Sumoharjo, Lukas
Kustrayo, A H Nasution, dan temanteman mereka lainnya yang samasama menyabung nyawa demi
sesuatu yang diyakini walaupun
belum pasti, Merdeka. Mereka
merupakan
tokoh-tokoh
militer
terbaik yang pernah dimiliki oleh
Indonesia
dalam
masa
awal
kemerdekaan
Indonesia
dan
memiliki
andil
besar
dalam
mempertahankan
kemerdekaan
Indonesia. Tepat sekali apabila kita
menyatakan
bahwa
Indoenesia
berhutang budi pada mereka, para
pejuang kemerdekaan dari kalangan
angkatan bersenjata. Namun tak
dapat dipungkiri, bahwa tanpa
adanya keharmonisan antara militer
dan sipil dalam hal ini ialah
memiliki
tujuan
mencapai
kemerdekaan Indonesia, mungkin
sekarang kita masih berada di
bawah kekuasaan Belanda. Apa
yang telah diupayakan oleh militer
yang disokong oleh keberpihakan
sipil tersebut terus berlanjut hingga
keerdekaan Indonesia diakui secara
de jure.

Dengan
demikian
dapat
dilihat bahwa segala komponen
warga negara Indoensia merupakan
sekelompok
manusia
yang
berazaskan gotong royong. Tidak
hanya dalam perjuangan fisik saja,
namun juga dalam perjuangan
mentalitas
(non-fisik),
manusia
Indonesia tetap menganut azas
gotong royong. Tidak hanya pada
masa sebelum kemerdekaan dan
setelah
kemerdekaan
hingga
Konferensi Meja Bundar (1949),
bahkan hingga masa selanjutnya
antara militer dan sipil tetap
menjaga equilibrium dalam tubuh
Indonesia. Berbagai upaya telah
dilakukan
untuk
menciptakan
simbiosis-mutualisme
untuk
mencapai
kesejahteraan
dalam
segala sektor kehidupan bernegara.
Secara eksplisit upaya ini dilakukan
oleh
golongan
militer
dengan
menerapkan
berbagai
konsep
paramiliter.
Pada masa kepemimpinan
Soekarno,
tepatnya
saat
diterapkannya sistem Domokrasi
Liberal dibentuk sebuah Corps
Tjadangan Nasional sebagai unsur
paramiliter, dalam masa sistem
Demokrasi
Terpimpin
dibentuk
Militer
Sukarela
berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 1963. Dilanjutkan dengan
kepemimpinan Soeharto setelah
berhasil menumbangkan kekuasaan
Soekarno dalam tahun 1965-1966,
maka
dibentuklah
pasukan
paramiliter yang terbagi atas dua,
takni Komponen Cadangan Wajib
dan Komponen Cadangan Sukarela
yang berlandaskan pada UU Nomor
20 Tahun 1982.
Komponen Wajib terdiri dari
anggota TNI yang telah selesai masa
dinasnya dan atas keinginannya
sendiri atau panggilan negara.
Sedangkan Komponen Cadangan
Sukarela terdiri dari rakyat terlatih
dan mantan polisi yang memenuhi
persyaratan.
Terakhir,
setelah
peristiwa demonstrasi besar-besaran

terhadap kepemimpinan Soeharto


pada tahun 1998, maka dibentuklah
Komponen
Utama,
Komponen
Cadangan,
dan
Komponen
Pendukung pada tahun 2002 atas
dasar UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara. Setelah
diundangkan, UU Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara ini
tetap berlaku hingga sekarang.
Pembagian tiga komponen tersebut
adalah (1) Komponen Utama terdiri
dari TNI; (2) Komponen Cadangan
dan Komponen Pendukung terdiri
dari Sumber Daya Manusia (SDM),
Sumber Daya Alam (SDA), dan
Sumber Daya Buatan, (Kompas, 22
Oktober 2015). Istilah militer dalam
paparan di atas diartikan sebagai
Angkatan Darat.
Tak
lama
berselang,
Kementerian
Pertahanan
menawarkan sebuah terobosan yang
kita kenal sekarang sebagai program
Bela Negara. Jenderal (purn)
Ryamizard Ryacudu selaku Kemhan
menyampaikan
bahwa
program
tersebut
dimaksudkan
untuk
menghadapi musuh nyata Republik,
dan program ini bukanlah program
wajb militer, melainkan upaya
pembinaan kesadaran bela negara
melalui tahapan pembinaan disiplin
pribadi, kemudian disiplin kelompok,
dan akhirnya akan menumbuhkan
kesadaran
bela
negara
(tribunlampung.co.id, 13 Oktober
2015).
Sebagai kalimat penghias
program
(baca:
ancaman),
ia
katakan bahwa siapa yang tidak
bersedia, silakan angkat kaki dari
NKRI.
Sikap
Kemhan
tersebut
sebenarnya memperlihatkan sikap
ambiguitas yang menyebabkannya
mengeluarkan
statement
yang
secara
implisit
bermakna
no
comment. Namun, entah apa yang
dipikirkan
oleh
Muhammad
Budyatna, ahli politik Universitas
Indonesia,
tanpa
latihan
Bela
Negara, ia berani menyatakan tidak
setuju
atas
program
Kemhan

tersebut
tanpa
memikirkan
keselamatan
dirinya
yang
berhadapan
dengan
seorang
petinggi Agkatan Darat. Musuh
nyata Republik yang paling utama
adalah korupsi, dan berdasarkan
pengalaman sejarah Indonesia, sipil
memiliki jiwa nasionalisme dan
patriotisme yang tinggi (JPNN.com,
14 Oktober 2015), begitulah kirakira
analisis
Budyatna
untuk
mengajak pemerintah memikirkan
kembali
terkait
program
Bela
Negara.
Landasan
program
bela
negara adalah pasal 27 ayat 3 UUD
1945 yang mengatur, setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara
(MPR, 2011). Inilah yang menjadi
klausul UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang
pertahanan
negara.
Memang benar bahwa dalam UU
tersebut dalam pasal 8 dan 9
dijelaskan tentang pelaksana dan
tugas komponen-komponen bela
negara. Namun, selagi Indonesia
masih
merupakan
anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
tentunya harus mengakui kebijakan
PBB, tepatnya tentang Resolusi
1998/ 77 tentang Conscientious
Objection, yang dkeluarkan oleh
Komisi Tinggi HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(UN
High
Commission for Human Rights).
Adapun
Conscientious
Objection
yang secara harafiah diartikan
sebagai
penolakan
bersungguhsungguh sebenarnya merupakan
penolakan seseorang terhadap wajib
militer berdasarkan kepercayaannya
(Bhatara Ibnu Reza, 2009).
Hak-hak yang dilanggar pada
proses perekrutan adalah hak untuk
hidup (right to life), hak untuk
kebebasan
dan
keamanan
seseorang (right to liberty and
security), serta kekebasan untuk
berpikir, hati nurani dan beragama
(freedom of thought, conscience
and religion) serta hak untuk
diperlakukan
sama
dihadapan

hukum tanpa diskriminasi dalam


kesamaan
perlindungan
hukum
(right to be treated equal before the
law).
Kesemua
hak
tersebut
termasuk dalam rumpun hak tidak
dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (Bhatara, 2009).
Sebenarnya
dapat
dipertannyakan motif perjuangan
Kemhan dalam upaya meloloskan
program ini. Sebelumnya program
pemerintah
berencana
untuk
mengucurkan dana Rp 200 triliun
per tahun untuk Angkatan Laut dan
Angkatan
Udara,
sedangkan
Angkatan Darat hanya direncanakan
untuk membangun Komando Daerah
Militer
(Kodam)
di
perbatasan
(Kompas, 23 Juni 2015), yang
disampaikan oleh Anggota Komisi I
DPR, TB Hasanuddin dalam sebuah
diskusi
di
Jakarta.
Keputusan
tersebut
tampaknya
mendapat
tanggapan dari Kemhan. Ryamizard
selaku Menhan mengatakan, dalam
menetapkan anggaran pertahanan,
pemerintah harus mengacu pada
rujukan standar minimum kekuatan
militer atau minimum essential force
(Kompas, 22 September 2015).
Dengan mengacu pada hal tersebut,
Menhan
berkeinginan
untuk
mengajukan anggaran Rp 105
triliun, yang naik dari tahun 2015
sekitar Rp 102,2 triliun. Penurunan
anggaran
ini
mengacu
pada
pertimbangan bahwa pertahanan
negara belum terlalu penting untuk
diperhatikan,
karena
terlalu
banyaknya pekerjaan rumah kita
yang
belum
selesai
seperti
pendidikan,
lingkungan,
infrastruktur, degradasi budaya, dan
lain sebagainya.
Menhan
mengatakan
penambahan anggaran itu terutama
untuk
kesejahteraan
prajurit,
kebutuhan
alat
utama
sistem
persenjataan
(alutsista),
dan
menjaga
perbatasan.
Namun
keinginan tersebut tak mendapat
tanggapan yang positif dari DPR,
yang malah menetapkan Rancangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara
(RAPBN)
2016
untuk
Kementerian Pertahanan sebesar Rp
95,9 triliun. Nasib anggaran ini
belum jelas.
Dalam
kasus
Laut
Cina
Selatan, negara tetangga seperti,
Vietnam, Filipina, Malaysia, dan
Tiongkok
serta
Jepang
telah
mempersiapkan
dirinya
untuk
pertahanan
kawasan
masingmasing. Selain itu kasus terorisme
dan ancaman separatisme di dalam
negeri juga dijadikan pedoman
untuk meloloskan RAPBN Kemhan
(babel.antaranews.com,
26
September 2015). Ditimbang dari
sisi, kelebihan anggaran tahuntahun
sebelumnya,
yang
jika
ditotalkan sekitar Rp 35 triliun,
belum cukup untuk modernisasi
alutsista
(metrotvnews.com,
08
September 2015). Dalam menilai
dua pendapat antagonis di atas, kita
dituntut untuk lebih kritis.
Dalam
rencana
pelaksanaannya,
Menhan
memprioritaskan
untuk
tahap
pertama 4.500 calon pembina
nasional
yang
mewakili
45
kabupaten kota. Pada tanggal 22
Oktober 2015 telah diresmikan oleh
Presiden Joko Widodo. Mereka yang
mengikuti program tersebut akan
dibentuk untuk menghasilkan 100
juta warga Indonesia pembela
negara. Program yang sebenarnya
telah dicananngkan pada masa SBY
seperti disebutkan di atas. Kemudan
dilanjutkan oleh Dirjen Potensi
Pertahanan
Kementerian
Pertahanan, pada Desember tahun
lalu
sebenarnya
juga
telah
menyinggung persoalan yang sama.
Dapat disimpulkan bahwa dalam
narasi sejarah Indonesia, gairah
politik militer masih tetap ada.
Syukurlah kalau begitu (terbuka
untuk kritik).
Saya kira jika Louis Althusser
melihat kondisi ini ia akan kembali
merumuskan
konsep
Aparatus
Represif
Negaranya.
Ia
akan

kebingungan karena salah satu


institusi yang ia asosiasikan ke
dalam kelompok tersebut ternyata
menggunakan metode Aparatus
Ideologi Negara dalam prakteknya.
Kemudian, apa yang telah dipahami
oleh masyarakat umum setidaknya
saya tentang fungsi dan tugas
Menko
Bidang
Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan dalam
upaya
pembangunan
manusia
adalah memberdayakan manusia
Indonesia.
Bagaimana seorang anggota
masyarakat akan sadar diri bahwa
mereka memiliki kewajiban untuk
membela negara apabila mereka
dipupuk oleh salah satu golongan
masyarakat negara (baca: militer)?
Nah,
disinilah
akan
tampak
diskursus politik militer. Melalui
serangkaian
pengaturan
oleh
Kemhanbukannya
Menko
Pembangunan
Manusia
dan
Kebudayaanakan
mengaburkan
konsep
nasionalisme
sebagai
representasi
kecintaan
warga
negara terhadap negara. Dalam
praktiknya, calon Pembina Bela
Negara,
yang
dididik
melalui
berbagai metode dan pendekatan
dalam masa pendidikannya, akan
menciptakan manusia
Indonesia
yang
terjebak
dalam
tendensi
militerisme,
walaupun
secara
teorinya program ini bukanlah
program wajib militer setidaknya
seperti itulah yang disampaikan oleh
pendukung program.
Terserah
bagaimana
pendapat pembaca tentang hal
tersebut, namun saya kira alasan
menerapkan program bela negara
untuk
meningkatkan
kesadaran
nasionalisme
warga
tidaklah
rasional. Mengapa demikian? Karena
kehilangan kesadaran nasionalisme
tersebut merupakan konsekuensi
absennya negara dalam pemecahan
masalah bidang kehidupan yang
strategis bagi rakyat untuk dapat
melanjutkan kehidupannya.

Selain itu, menurut saya


dalam kehidupan kita di zaman
sekarang ini, siapa musuh kita
sebenarnya tidaklah bisa dilihat
hanya melalui ujung bayonet atau
keker
senapan.
Musuh
kita
sebenarnya atau yang nyata, secara
konkrit memang benar seperti yang
disampaikan oleh Budyatna di atas,
korupsi. Namun, secara abstrak
dapat dikatakan bahwa musuh
sebenarnya lebih kepada dimensi
intelektualitas yang menggunakan
jubah berbagai macam, dan tidak
menggunakan otot atau kekerasan.
Berbicara tentang musuh
intelektual,
mengapa
lebih
berbahaya?
Karena
mereka
menyerang, memukul, menendang
dengan
berbagai
jurus,
serta
menggunakan perlengkapan yang
serba canggih dapat mengalahkan
lawan,
bahkan
nyaris
tanpa
perlawanan dari yang diserang
(kita).
Dalam
melancarkan
serangan,
mereka
lebih
memusatkan pada golongan yang
berpotensi dan masih memiliki
semangat patriotik, yakni golongan
pemuda. Jelas alasan mereka untuk
membidik golongan muda sebagai
sasaran
utama,
karena
dalam
perhitungan
mereka,
golongan
muda berdasarkan pengalaman
sejarah berbagai negara-bangsa
merupakan unsur yang tidak pernah
absen dalam setiap perjuangan
yang bersifat transformatif.
Budaya merupakan target
utama dalam setiap penyerangan,
karena budya akan membentuk jati
diri seseorang dan tidak akan
mudah terjajah oleh unsur luar.
Melalui iklan, produksi perfilman,
media cetak dan elektronik, hingga
menyusup
ke
dalam
sektor
pendidikan
(khususnya
dalam
reproduksi tenaga kerja) melalui
kebijakan-kebijakan
yang
tidak
memper-timbangkan
kebudayaan
lokal
kurikulum
yang
bersifat
imperatif. Jadi, jangan heran apabila
kita melihat fenomena sekarang

yang berkaitan dengan golongan


pemuda
yang
tidak
peduli
lingkungan
sekitar,
lebih
mementingkan
dirinya
sendiri
(individualisme), walaupun hanya
bermain game di smart phone,
tablet, dan sejenisnya.
Dengan demikian, program
Bela Negara yang seakan-akan
mengindikasikan
kemerosotan
bangsa bersumber seratus persen
dari rakyat saya rasa belumlah
saatnya
untuk
diterapkan
di
Indonesia saat ini. Pembentukan
mentalitas atau lebih tepatnya
pendisiplinan warga melalui aparat
militer yang menurut saya akan
bersifat
tendensius
pada
indoktrinasi
militeristik

sebagaimana yang Kemhan inginkan


dapat kita wujudkan dengan cara
berhenti
mengkambinghitamkan
rakyat sebagai penyebab segala
kemerosotan bangsa!. Ketahuilah
kebutuhan warga dan jalankan tugas
dan fungsi yang dipercayai dalam
menjabat, maka kita tidak harus dan
boleh mengabaikan himbauan untuk
mengikuti anjuran J F Kennedy yang
terdengar
seperti
manifesto
superioritas
pemerintah
yang
berperan sebagai subjek yang
berada di atas masyarakat sebagai
objek. Maka dari itu, mewakili
mereka
yang
sadar
akan
keterampasan haknya, yang harus
kita lakukan sekarang bukanlah
takut dan bersembunyi atau bahkan
lari, melainkan kita harus berani
menghampiri, lalu mengarahkan
bayonet tepat pada wajah kita, dan
teriakkan kata: BOIKOT!
26 Oktober 2015
Baheunk

Anda mungkin juga menyukai