HAM
1. Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar pemikiran tindakan negara dan
menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Pancasila sebagai
dasar negara pola pelaksanaanya terpancar dalam empat pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan selanjutnya dijabarkan dalam pasalpasal UUD 1945 sebagai strategi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.
Pokok pikiran pertama yaitu pokok pikiran persatuan yang berfungsi sebagai dasar
negara (dalam kesatuan organis) merupakan landasan dirumuskannya wawasan
nusantara, dan pokok pikiran kedua, yaitu pokok pikiran keadilan sosial yang
berfungsi sebagai tujuan negara (dalam kesatuan organis) merupakan tujuan
wawasan nusantara.
Tujuan negara dijabarkan langsung dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, yaitu
tujuan berhubungan dengan segi keamanan dan segi kesejahteraan dan tujuan
berhubungan dengan segi ketertiban dunia.
Berdasarkan landasan itu maka wawasan nusantara pada dasarnya adalah sebagai
perwujudan nilai sila-sila Pancasila didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
2. Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai lihur yang
diyakini kebenarannya. Perwujudan nilai-nilai luhur Pancasila terkandung juga
dalam wawasan nusantara, demi terwujudnya ketahanan nasional. Dengan
demikian ketahanan nasional itu disusun dan dikembangkan juga tidak boleh lepas
dari wawasan nusantara.
Perwujudan nilai-nilai Pancasila mencakup lima bidang kehidupan nasional, yaitu
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan landasan, yang disingkat
dengan (poleksosbud Han-Kam), yang menjadi dasar pemerintahan ketahanan
nasional. Dari lima bidang kehidupan nasional itu bidang ideologilah yang menjadi
landasan dasar, berupa Pancasila sebagai pandangan hidup yang menjiwai empat
bidang yang lainnya.
Dasar pemikiran ketahanan nasional di samping lima bidang kehidupan nasional
tersebut yang merupakan aspek sosial pancagatra didukung pula adanya dasar
pemikiran aspek alamiah triagatra.
3. Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kesatuan konsep-konsep dasar yang
memberikan arah dan tujuan menuju pencapaian cita-cita bangsa dan negara.
Cita-cita bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila itu terpancar melalui
Alinea II Pembukaan UUD 1945, merupakan cita-cita untuk mengisi kemerdekaan,
yaitu: bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Bersatu merupakan bekal untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur,
dengan sistem berdaulat.
Cita-cita mengisi kemerdekaan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur
harus diisi dengan pembangunan nasional, tanpa pembangunan nasional cita-cita
bangsa untuk mengisi kemerdekaan tidak akan terwujud.
4. Pancasila, Hukum dan HAM
Perbincangan tentang HAM sebagai nilai-nilai kemanusiaan dalam perspektif
Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
yang oleh Soekarno dikatakan sebagai philosophische grondslag. Karena itu,
secara filosofis dan sosiologis, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia, termasuk hukum yang terkait dengan HAM.
Apabila dicermati isi Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
dapat dilihat bahwa pembentukan negara dan pemerintahan Indonesia bukanlah
semata-mata suatu gejala revolusi rakyat Indonesia belaka, akan tetapi mempunyai
tujuan tegas yang lebih jauh dan mendalam. Dari kalimat yang berbunyi: Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, ..., sudah nyata bahwa
ada hubungan pokok antara Pancasila dan hak-hak asasi manusia, khususnya hak
asasi kemerdekaan segala bangsa. Sehubungan dengan itu, maka sifat dan hakekat
HAM Indonesia adalah HAM yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yaitu nilai
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial.
Sebagai perangkat nilai yang menjadi cita hukum (rechtsidee) masyarakat
Indonesia sebagaimana dicetuskan awal mulanya oleh founding fathers kita dimana
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang kemudian hal ini
telah dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian, pembentukan produk hukum nasional maupun daerah baik yang
bersifat pengaturan (regelling) maupun penetapan (beschiking) harus selalu
dilandasi dengan sila-sila dalam Pancasila.
Produk Hukum Nasional
Produk Hukum Daerah
Regelling
Beschiking
Regelling
Beschiking
UU/Perppu
Keputusan Presiden Perda Provinsi
Keputusan Kepala
Daerah (Provinsi)
Peraturan
Instruksi Presiden
Perda
Keputusan Kepala
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Daerah
(Kabupaten/Kota)
Peraturan
Keputusan Menteri
Peraturan Kepala
Instruksi Kepala
Presiden
Daerah
Daerah
Peraturan Menteri Instruksi Menteri
Peraturan Desa
Persoalan HAM adalah persoalan yang terkait dengan perhubungan antara manusia
sebagai individu dengan masyarakatnya dan atau negara. Dalam konteks Pancasila,
posisi individu tidak dapat dilepaskan dari individu lainnya dan juga masyarakatnya
sebagai satu kesatuan sosial karena individu hanya akan berarti apabila dia berada
dalam masyarakat. Berangkat dari hal ini maka subyek hukum HAM bukanlah
semata-mata individu, tetapi juga masyarakat sebagai kolektivitas. Karena itu hak
yang dimiliki oleh individu haruslah diselaraskan dengan kepentingan individu lain
dan masyarakat yang juga secara kolektif mempunyai hak-hak tertentu. Dalam
kerangka ini, maka batasan HAM adalah hak orang lain dan hak masyarakat sebagai
kolektivitas yang wajib dihormati. Dikaitkan dengan hal ini, maka hak dan
kebebasan yang dimiliki oleh individu akan selalu diimbangi dengan kewajiban yang
butir ketentuan HAM tersebut, diatur pula mengenai kewajiban setiap orang untuk
menghormati hak asasi orang lain serta tanggung jawab Negara atas tegaknya HAM.
Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 ditegaskan: Setiap orang
wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dalam Pasal 28J ayat (2) juga
ditegaskan: Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berbagai ketentuan yang telah dituangkan dalam rumusan UUD Negara RI Tahun
1945 tersebut merupakan substansi yang berasal dari rumusan Ketetapan MPR RI
No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian menjelma menjadi
materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena
itu, untuk memahami substansi yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945,
kedua instrument tersebut perlu dipelajari dengan seksama. Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang HAM yang telah diadopsi ke dalam
sistem hukum nasional Indonesia berasal dari konvensi-konvensi internasional, dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta berbagai instrument hukum
internasional lainnya.
6. Pengaturan HAM di Indonesia
Terdapat berbagai sumber hukum sebagai dasar hukum dalam upaya untuk
menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi HAM warga negara
Indonesia, yaitu:
Instrumen HAM internasional;
Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945;
KUHP dan KUHAP;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM;
Berbagai UU sektoral terkait.
Melihat berbagai dasar hukum tersebut maka dapat disimpulkan bahwa HAM di
Indonesia telah sedikit banyak terjamin baik dalam konstitusi (primary rule), yang
berarti juga menjadi constitutional rights, maupun dalam undang-undang serta
peraturan di bawahnya (secondary rule), yang berarti menjadi legal rights.
Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm) yang termaktub dalam UUD 1945
merupakan kerangka dasar pengaturan HAM yang kemudian dilaksanakan lebih
lanjut dalam berbagai peraturan hukum di bawahnya secara lebih operasional.
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sebagai payung dalam pengaturan
HAM di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU
HAM) yang disahkan pada tanggal 23 September 1999. Dalam Undang-Undang
tersebut, HAM didefinisikan:
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Pasal 1
angka 1)
Dari rumusan tersebut terlihat bahwa dalam hukum positif Indonesia, HAM
dipahami sebagai hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
anugerah Tuhan YME. Dengan demikian, pengaturan hukum hanya sebagai legalitas
hak tersebut agar dalam pelaksanaan perwujudan dan perlindungan HAM tersebut
mempunyai dasar kepastian hukum.
Dalam UU HAM tersebut dicantumkan ada 11 kelompok hak yang dirinci dalam 89
jenis hak yang diakui, dihormati, dan dilindungi. Kesebelas kelompok hak tersebut
adalah:
hak untuk hidup;
hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
hak mengembangkan diri;
hak memperoleh keadilan;
hak atas kebebasan pribadi;
hak atas rasa aman;
hak atas kesejahteraan;
hak turut serta dalam pemerintahan;
hak-hak wanita;
hak-hak anak.
Rumusan butir-butir HAM dalam UU HAM tersebut meliputi baik hak-hak sipil dan
politik, hak-hak ekonomi social dan budaya, maupun hak atas pembangunan. Di
samping itu pula dirumuskan pula bahwa HAM tidak hanya dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kolektifitas, yaitu masyarakat.
Sebagai sebuah hak yang dimiliki oleh manusia Indonesia, maka pelaksanaan hak
tersebut menurut UU HAM, tidaklah berdiri sendiri, tetapi selalu berdampingan
dengan kewajiban dasar yang harus ditunaikannya agar pelaksanaan hak tersebut
tidak mengakibatkan terlanggarnya hak asasi pihak lain baik secara perorangan
maupun kolektif (masyarakat). Sejalan dengan itu, dalam Pasal 69 ayat (2) UU HAM
ditegaskan: Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar
dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara bertimbal
balik, serta . Lebih lanjut, apabila dicermati rumusan Pasal 67, Pasal 69 ayat
(1), dan Pasal 70, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan HAM setiap orang akan
selalu dibatasi oleh berbagai kewajiban untuk mematuhi peraturan perundangundangan, hukum tidak tertulis, hukum internasional tentang HAM yang telah
diratifikasi Indonesia, hak asasi manusia orang lain, moral, etika, keamanan dan
ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai negara yang telah menjujung tinggi HAM sejak berdirinya dan sampai saat
ini, Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menerapkan nilai-nilai HAM
guna mencapai keamanan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bangsa yang
beradab dilandasi dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertera
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut UU HAM, penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, serta
pemenuhan HAM terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah
(Pasal 8 jo. Pasal 71 UU HAM), di mana hal ini sejalan dengan komitmen Negara RI
yang dalam Pasal 2 UU HAM yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan
kebebasan dasar manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan,
serta keadilan. Kewajiban tersebut menurut Pasal 72 UU HAM diwujudkan dengan
mengambil langkah-langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan kemanan, dan bidang-bidang lainnya.
Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban Pemerintah tersebut,
dengan mengingat keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta antara hak-hak
seseorang dengan orang lain serta hak-hak masyarakat, maka pada prinsipnya,
terhadap hak-hak asasi yang dimiliki oleh warga Negara RI dalam pelaksanaannya
boleh dibatasi.
Namun demikian menurut Pasal 73, pembatasan terhadap HAM masih dimungkinkan
sepanjang memenuhi persyaratan berikut:
dilakukan/didasarkan melalui undang-undang, dan
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa.
Yang dimaksud dengan kepentingan bangsa menurut penjelasan Pasal 73 adalah
untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Namun demikian, tidak semua jenis HAM dapat dibatasi melalui cara-cara tersebut,
karena ada beberapa jenis HAM yang sama sekali tidak boleh dilakukan
pembatasan terhadapnya dalam situasi dan kondisi apapun (non derogable rights).
Dalam UU HAM ada beberapa jenis HAM yang sama sekali tidak diperbolehkan
untuk dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU HAM, yaitu:
1. hak untuk hidup;
2. hak untuk tidak disiksa;
3. hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani;
4. hak beragama;
5. hak untuk tidak diperbudak;
6. hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum;
7. hak untuk tidak dituntut hukum yang berlaku surut.
Dengan adanya perangkat hukum baik dalam arti peraturan perundang-undangan
dan sumberdaya manusia pendukung sebagai pelaksana dan penegak peraturan
dimaksud diharapkan bahwa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan dan
berperikemanusiaan dan beradab, menjadi manusia yang seutuhnya.
7. Penegakkan HAM di Indonesia
Terkait dengan tugas perlindungan HAM, maka kewajiban Negara adalah melakukan
investigasi, mengadili pelaku, dan menghukumnya bila terbukti bersalah. Di
samping itu, Negara bertanggung jawab untuk memberikan
santunan/rehabilitas/kompensasi kepada para korban pelanggaran HAM. Dengan
demikian, pengadilan HAM diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM. Menurut UU HAM, dalam Pasal 1 angka 6, yang dimaksud dengan
pelanggaran HAM adalah:
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pengadilan HAM tersebut, menurut Pasal 104 ayat (1) UU HAM dibentuk untuk
mengadili pelanggaran HAM yang berat dan berkedudukan di lingkungan Peradilan
Umum.
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal ini, maka kemudian pada tanggal 23
November 2000 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Kewenangan Pengadilan HAM sebagaimana ditegaskan dalam
rangkaian Pasal 4, 5 dan 6 UU Pengadilan HAM, yang intinya adalah bahwa
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus:
a. perkara pelanggaran HAM berat, dan
b. pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara RI
yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia.
Namun demikian, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur
di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Sementara itu, pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU Pengadilan HAM
meliputi (a) kejahatan genosida; dan (b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menurut Pasal 8 UU Pengadilan HAM, kejahatan genosida adalah:
setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan
fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (c) menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik
baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anakanak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity) menurut Pasal 9 UU Pengadilan HAM adalah :
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan (c)
perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e)
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; (f)
penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin. Atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i)
penghilangan orang secara paksa; (j) kejahatan apartheid.
Hukum acara yang digunakan untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM, pada
prinsipnya adalah KUHAP. Dalam Pasal 10 UU Pengadilan HAM ditegaskan bahwa:
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas
perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan KUHAP. Dalam
ketentuan menyangkut hukum acaranya, UU Pengadilan HAM mengatur beberapa
kekhususan, antara lain : kewenangan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM
berat dilakukan oleh KOMNAS HAM; kewenangan Jaksa Agung untuk menangkap dan
menahan, batasan-batasan waktu penahanan dalam perkara pelanggaran HAM
berat mulai pada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di