Anda di halaman 1dari 9

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hukum dan

HAM
1. Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar pemikiran tindakan negara dan
menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Pancasila sebagai
dasar negara pola pelaksanaanya terpancar dalam empat pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan selanjutnya dijabarkan dalam pasalpasal UUD 1945 sebagai strategi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.
Pokok pikiran pertama yaitu pokok pikiran persatuan yang berfungsi sebagai dasar
negara (dalam kesatuan organis) merupakan landasan dirumuskannya wawasan
nusantara, dan pokok pikiran kedua, yaitu pokok pikiran keadilan sosial yang
berfungsi sebagai tujuan negara (dalam kesatuan organis) merupakan tujuan
wawasan nusantara.
Tujuan negara dijabarkan langsung dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, yaitu
tujuan berhubungan dengan segi keamanan dan segi kesejahteraan dan tujuan
berhubungan dengan segi ketertiban dunia.
Berdasarkan landasan itu maka wawasan nusantara pada dasarnya adalah sebagai
perwujudan nilai sila-sila Pancasila didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
2. Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai lihur yang
diyakini kebenarannya. Perwujudan nilai-nilai luhur Pancasila terkandung juga
dalam wawasan nusantara, demi terwujudnya ketahanan nasional. Dengan
demikian ketahanan nasional itu disusun dan dikembangkan juga tidak boleh lepas
dari wawasan nusantara.
Perwujudan nilai-nilai Pancasila mencakup lima bidang kehidupan nasional, yaitu
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan landasan, yang disingkat
dengan (poleksosbud Han-Kam), yang menjadi dasar pemerintahan ketahanan
nasional. Dari lima bidang kehidupan nasional itu bidang ideologilah yang menjadi
landasan dasar, berupa Pancasila sebagai pandangan hidup yang menjiwai empat
bidang yang lainnya.
Dasar pemikiran ketahanan nasional di samping lima bidang kehidupan nasional
tersebut yang merupakan aspek sosial pancagatra didukung pula adanya dasar
pemikiran aspek alamiah triagatra.
3. Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kesatuan konsep-konsep dasar yang
memberikan arah dan tujuan menuju pencapaian cita-cita bangsa dan negara.
Cita-cita bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila itu terpancar melalui
Alinea II Pembukaan UUD 1945, merupakan cita-cita untuk mengisi kemerdekaan,
yaitu: bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Bersatu merupakan bekal untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur,
dengan sistem berdaulat.

Cita-cita mengisi kemerdekaan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur
harus diisi dengan pembangunan nasional, tanpa pembangunan nasional cita-cita
bangsa untuk mengisi kemerdekaan tidak akan terwujud.
4. Pancasila, Hukum dan HAM
Perbincangan tentang HAM sebagai nilai-nilai kemanusiaan dalam perspektif
Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
yang oleh Soekarno dikatakan sebagai philosophische grondslag. Karena itu,
secara filosofis dan sosiologis, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia, termasuk hukum yang terkait dengan HAM.
Apabila dicermati isi Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
dapat dilihat bahwa pembentukan negara dan pemerintahan Indonesia bukanlah
semata-mata suatu gejala revolusi rakyat Indonesia belaka, akan tetapi mempunyai
tujuan tegas yang lebih jauh dan mendalam. Dari kalimat yang berbunyi: Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, ..., sudah nyata bahwa
ada hubungan pokok antara Pancasila dan hak-hak asasi manusia, khususnya hak
asasi kemerdekaan segala bangsa. Sehubungan dengan itu, maka sifat dan hakekat
HAM Indonesia adalah HAM yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yaitu nilai
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial.
Sebagai perangkat nilai yang menjadi cita hukum (rechtsidee) masyarakat
Indonesia sebagaimana dicetuskan awal mulanya oleh founding fathers kita dimana
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang kemudian hal ini
telah dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian, pembentukan produk hukum nasional maupun daerah baik yang
bersifat pengaturan (regelling) maupun penetapan (beschiking) harus selalu
dilandasi dengan sila-sila dalam Pancasila.
Produk Hukum Nasional
Produk Hukum Daerah
Regelling
Beschiking
Regelling
Beschiking
UU/Perppu
Keputusan Presiden Perda Provinsi
Keputusan Kepala
Daerah (Provinsi)
Peraturan
Instruksi Presiden
Perda
Keputusan Kepala
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Daerah
(Kabupaten/Kota)
Peraturan
Keputusan Menteri
Peraturan Kepala
Instruksi Kepala
Presiden
Daerah
Daerah
Peraturan Menteri Instruksi Menteri
Peraturan Desa
Persoalan HAM adalah persoalan yang terkait dengan perhubungan antara manusia
sebagai individu dengan masyarakatnya dan atau negara. Dalam konteks Pancasila,
posisi individu tidak dapat dilepaskan dari individu lainnya dan juga masyarakatnya
sebagai satu kesatuan sosial karena individu hanya akan berarti apabila dia berada
dalam masyarakat. Berangkat dari hal ini maka subyek hukum HAM bukanlah
semata-mata individu, tetapi juga masyarakat sebagai kolektivitas. Karena itu hak
yang dimiliki oleh individu haruslah diselaraskan dengan kepentingan individu lain
dan masyarakat yang juga secara kolektif mempunyai hak-hak tertentu. Dalam
kerangka ini, maka batasan HAM adalah hak orang lain dan hak masyarakat sebagai
kolektivitas yang wajib dihormati. Dikaitkan dengan hal ini, maka hak dan
kebebasan yang dimiliki oleh individu akan selalu diimbangi dengan kewajiban yang

harus ditunaikannya baik terhadap orang lain maupun masyarakatnya sebagai


kesatuan kolektif. Singkatnya, HAM tidaklah dapat dipisahkan dari kewajiban.
Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, di dalamnya mengandung nilainilai HAM yang sifatnya universal dalam setiap sila-silanya. Sila Pertama tentang
Ketuhanan yang Maha Esa, memberikan jaminan akan kebebasan kepada seseorang
untuk memeluk suatu agama, dimana setiap agama mempunyai tempat hidup
untuk diakui oleh negara. Pemerintah mempunyai komitmen untuk tidak
menentukan agama tertentu sebagai agama negara. Sila Kedua, berkaitan dengan
penghormatan terhadap kemanusiaan dan martabat manusia. Setiap manusia
dilahirkan secara sama tanpa membedakan ras, etnis, agama, dan latar belakang
budaya. Sila Ketiga, merefleksikan didalamnya adanya hal untuk menentukan nasib
sendiri untuk membangun bangsa. Setiap bangsa haruslah dihormati kapasitasnya
sebagai bagian dari keluarga bangsa-bangsa. Sila Keempat, merefleksikan di
dalamnya adanya hak berdemokrasi, menyampaikan pendapat dan didengar
pendapatnya, hak memilih, dipilih, dan sebagainya. Sila Kelima, berkaitan dengan
hak hidup, hak atas pangan, papan, pekerjaan, dan pendidikan, dan sebagainya.
Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan
empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan
umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh maupun penjelasan
dari undang-undang dasar tersebut. Pancasila sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 sebagai bersifat terbuka dan merupakan rechts-idee dalam
pembangunan tata hukum Indonesia, artinya bahwa pembentukan atau penyusunan
peraturan perundang-undangan yang diperlukan dalam berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat harus mendasarkan pada Pancasila.
Dalam bidang hukum dan HAM, nilai yang terkandung dalam ke lima asas Negara RI
yang terwujud dalam Pancasila, terdapat 2 (dua) fungsi yaitu Fungsi Konstitutif dan
Regulatif. Fungsi Konstitutif yakni yang menentukan dasar suatu tata hukum dan
memberikan arti dan makna sebagai hukum. Sudah teramat jelas bahwa dengan
mengacu kepada fungsi ini, maka dalam setiap proses perumusan ketentuan
perundang-undangan, para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya dan yang memberi kemungkinan bagi
hukum untuk berfungsi sebagai :
a. as a tool of social engineering;
b. as a dispute resolution mechanism;

c. as a social control mechanism.


Fungsi Regulatif dirumuskan sebagai fungsi yang menentukan apakah suatu hukum
positif bersifat adil atau tidak adil.
Sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial, hukum sepantasnya mengacu
pada tujuan utama yang ditentukan, yang jika diterjemahkan melalui Pembukaan
UUD 1945 adalah masyarakat yang cerdas, adil dan makmur. Merupakan
konsekuensi logis apabila kemudian semua ketentuan perundang-undangan harus
dapat dikembalikan kepada tujuan tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang
menyimpang darinya dengan demikian harus dikategorikan sebagai null and void.
Dari uraian singkat ini selayaknya dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pada
dasarnya bukan hanya ditujukan bagi subyek yang berupa rakyat suatu negara,
akan tetapi juga mengikat para penyelenggara kekuasaan negara yang tercemin
dari konsep Negara berdasar atas Hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.
5. Penghormatan, Pemajuan, Pemenuhan, dan Perlindungan HAM di Indonesia
Sejalan dengan prinsip Negara hukum (rechtsstaat) upaya untuk membentuk
masyarakat madani Indonesia dengan menguatkan masyarakat sipil telah dan
sedang dilakukan di Indonesia. Terwujudnya masyarakat madani tersebut akan
sangat bergantung kepada beberapa prasyarat seperti perwujudan prinsip negara
hukum, pelaksanaan demokrasi, dan perlindungan HAM. Sebagaimana telah
diketahui secara luas, HAM merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan YME
yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi demi harkat dan martabat manusia.
Setelah Orde Baru jatuh, muncullah Orde Reformasi yang lahir dari kehendak
rakyat untuk melakukan reformasi total guna mengembalikan supremasi hukum,
memberdayakan masyarakat sipil, dan penghormatan serta perlindungan HAM di
Indonesia. Di Era Reformasi ini, penghormatan dan perlindungan HAM warga negara
mengalami kemajuan yang amat pesat. Hal ini paling tidak dapat dicermati dari
beberapa fakta berikut: pertama, diamandemennya UUD 1945 dengan merumuskan
ketentuan mengenai HAM secara lebih rinci dan lengkap dalam Bab tersendiri yaitu
Bab XA dan dibentuknya peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum
perlindungan HAM. Kedua, Pembentukan kelembagaan yang mendorong
peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM,
seperti penguatan Komnas HAM, pembentukan komisi-komisi negara, dan
penguatan institusi peradilan. Ketiga, Peratifikasian instrumen-instrumen HAM
internasional sehingga kemudian menjadi bagian hukum nasional. Keempat,
Mengadili para pelanggar HAM. Kelima, Perumusan kebijakan nasional tentang
penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM melalui Rencana
Aksi Nasional HAM yang dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah.
Sejalan dengan prinsip perlindungan HAM tersebut, maka perubahan UUD 1945
dianggap sebagai sesuatu yang niscaya, dan perubahan UUD 1945 itu sendiri dapat
dikatakan sebagai puncak aspirasi gaerakan reformasi itu sendiri. Setelah
perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dan hak
warga Negara dalam UUD 1945 mengalami perubahan yang signifikan. Materi
tentang ketentuan dasar tentang HAM dalam UUD 1945 dimuat dalam Pasal 28A
ayat (1) sampai dengan Pasal 28J. Ketentuan dalam Pasal 28 tersebut jika dirinci
butir demi butir, mencakup 47 prinsip-prinsip dasar, seperti hak untuk hidup, hak
membentuk keluarga, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, hak bebas berserikat, hak
bebas mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Dalam rangka menegakkan butir-

butir ketentuan HAM tersebut, diatur pula mengenai kewajiban setiap orang untuk
menghormati hak asasi orang lain serta tanggung jawab Negara atas tegaknya HAM.
Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 ditegaskan: Setiap orang
wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dalam Pasal 28J ayat (2) juga
ditegaskan: Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berbagai ketentuan yang telah dituangkan dalam rumusan UUD Negara RI Tahun
1945 tersebut merupakan substansi yang berasal dari rumusan Ketetapan MPR RI
No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian menjelma menjadi
materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena
itu, untuk memahami substansi yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945,
kedua instrument tersebut perlu dipelajari dengan seksama. Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang HAM yang telah diadopsi ke dalam
sistem hukum nasional Indonesia berasal dari konvensi-konvensi internasional, dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta berbagai instrument hukum
internasional lainnya.
6. Pengaturan HAM di Indonesia
Terdapat berbagai sumber hukum sebagai dasar hukum dalam upaya untuk
menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi HAM warga negara
Indonesia, yaitu:
Instrumen HAM internasional;
Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945;
KUHP dan KUHAP;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM;
Berbagai UU sektoral terkait.
Melihat berbagai dasar hukum tersebut maka dapat disimpulkan bahwa HAM di
Indonesia telah sedikit banyak terjamin baik dalam konstitusi (primary rule), yang
berarti juga menjadi constitutional rights, maupun dalam undang-undang serta
peraturan di bawahnya (secondary rule), yang berarti menjadi legal rights.
Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm) yang termaktub dalam UUD 1945
merupakan kerangka dasar pengaturan HAM yang kemudian dilaksanakan lebih
lanjut dalam berbagai peraturan hukum di bawahnya secara lebih operasional.
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sebagai payung dalam pengaturan
HAM di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU
HAM) yang disahkan pada tanggal 23 September 1999. Dalam Undang-Undang
tersebut, HAM didefinisikan:
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Pasal 1
angka 1)
Dari rumusan tersebut terlihat bahwa dalam hukum positif Indonesia, HAM
dipahami sebagai hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

anugerah Tuhan YME. Dengan demikian, pengaturan hukum hanya sebagai legalitas
hak tersebut agar dalam pelaksanaan perwujudan dan perlindungan HAM tersebut
mempunyai dasar kepastian hukum.
Dalam UU HAM tersebut dicantumkan ada 11 kelompok hak yang dirinci dalam 89
jenis hak yang diakui, dihormati, dan dilindungi. Kesebelas kelompok hak tersebut
adalah:
hak untuk hidup;
hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
hak mengembangkan diri;
hak memperoleh keadilan;
hak atas kebebasan pribadi;
hak atas rasa aman;
hak atas kesejahteraan;
hak turut serta dalam pemerintahan;
hak-hak wanita;
hak-hak anak.
Rumusan butir-butir HAM dalam UU HAM tersebut meliputi baik hak-hak sipil dan
politik, hak-hak ekonomi social dan budaya, maupun hak atas pembangunan. Di
samping itu pula dirumuskan pula bahwa HAM tidak hanya dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kolektifitas, yaitu masyarakat.
Sebagai sebuah hak yang dimiliki oleh manusia Indonesia, maka pelaksanaan hak
tersebut menurut UU HAM, tidaklah berdiri sendiri, tetapi selalu berdampingan
dengan kewajiban dasar yang harus ditunaikannya agar pelaksanaan hak tersebut
tidak mengakibatkan terlanggarnya hak asasi pihak lain baik secara perorangan
maupun kolektif (masyarakat). Sejalan dengan itu, dalam Pasal 69 ayat (2) UU HAM
ditegaskan: Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar
dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara bertimbal
balik, serta . Lebih lanjut, apabila dicermati rumusan Pasal 67, Pasal 69 ayat
(1), dan Pasal 70, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan HAM setiap orang akan
selalu dibatasi oleh berbagai kewajiban untuk mematuhi peraturan perundangundangan, hukum tidak tertulis, hukum internasional tentang HAM yang telah
diratifikasi Indonesia, hak asasi manusia orang lain, moral, etika, keamanan dan
ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai negara yang telah menjujung tinggi HAM sejak berdirinya dan sampai saat
ini, Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menerapkan nilai-nilai HAM
guna mencapai keamanan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bangsa yang
beradab dilandasi dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertera
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut UU HAM, penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, serta
pemenuhan HAM terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah
(Pasal 8 jo. Pasal 71 UU HAM), di mana hal ini sejalan dengan komitmen Negara RI
yang dalam Pasal 2 UU HAM yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan
kebebasan dasar manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan,
serta keadilan. Kewajiban tersebut menurut Pasal 72 UU HAM diwujudkan dengan
mengambil langkah-langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan kemanan, dan bidang-bidang lainnya.
Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban Pemerintah tersebut,
dengan mengingat keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta antara hak-hak
seseorang dengan orang lain serta hak-hak masyarakat, maka pada prinsipnya,

terhadap hak-hak asasi yang dimiliki oleh warga Negara RI dalam pelaksanaannya
boleh dibatasi.
Namun demikian menurut Pasal 73, pembatasan terhadap HAM masih dimungkinkan
sepanjang memenuhi persyaratan berikut:
dilakukan/didasarkan melalui undang-undang, dan
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa.
Yang dimaksud dengan kepentingan bangsa menurut penjelasan Pasal 73 adalah
untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Namun demikian, tidak semua jenis HAM dapat dibatasi melalui cara-cara tersebut,
karena ada beberapa jenis HAM yang sama sekali tidak boleh dilakukan
pembatasan terhadapnya dalam situasi dan kondisi apapun (non derogable rights).
Dalam UU HAM ada beberapa jenis HAM yang sama sekali tidak diperbolehkan
untuk dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU HAM, yaitu:
1. hak untuk hidup;
2. hak untuk tidak disiksa;
3. hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani;
4. hak beragama;
5. hak untuk tidak diperbudak;
6. hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum;
7. hak untuk tidak dituntut hukum yang berlaku surut.
Dengan adanya perangkat hukum baik dalam arti peraturan perundang-undangan
dan sumberdaya manusia pendukung sebagai pelaksana dan penegak peraturan
dimaksud diharapkan bahwa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan dan
berperikemanusiaan dan beradab, menjadi manusia yang seutuhnya.
7. Penegakkan HAM di Indonesia
Terkait dengan tugas perlindungan HAM, maka kewajiban Negara adalah melakukan
investigasi, mengadili pelaku, dan menghukumnya bila terbukti bersalah. Di
samping itu, Negara bertanggung jawab untuk memberikan
santunan/rehabilitas/kompensasi kepada para korban pelanggaran HAM. Dengan
demikian, pengadilan HAM diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM. Menurut UU HAM, dalam Pasal 1 angka 6, yang dimaksud dengan
pelanggaran HAM adalah:
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pengadilan HAM tersebut, menurut Pasal 104 ayat (1) UU HAM dibentuk untuk
mengadili pelanggaran HAM yang berat dan berkedudukan di lingkungan Peradilan
Umum.
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal ini, maka kemudian pada tanggal 23
November 2000 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Kewenangan Pengadilan HAM sebagaimana ditegaskan dalam
rangkaian Pasal 4, 5 dan 6 UU Pengadilan HAM, yang intinya adalah bahwa
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus:
a. perkara pelanggaran HAM berat, dan
b. pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara RI
yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia.
Namun demikian, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur
di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Sementara itu, pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU Pengadilan HAM
meliputi (a) kejahatan genosida; dan (b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menurut Pasal 8 UU Pengadilan HAM, kejahatan genosida adalah:
setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan
fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (c) menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik
baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anakanak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity) menurut Pasal 9 UU Pengadilan HAM adalah :
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan (c)
perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e)
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; (f)
penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin. Atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i)
penghilangan orang secara paksa; (j) kejahatan apartheid.
Hukum acara yang digunakan untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM, pada
prinsipnya adalah KUHAP. Dalam Pasal 10 UU Pengadilan HAM ditegaskan bahwa:
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas
perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan KUHAP. Dalam
ketentuan menyangkut hukum acaranya, UU Pengadilan HAM mengatur beberapa
kekhususan, antara lain : kewenangan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM
berat dilakukan oleh KOMNAS HAM; kewenangan Jaksa Agung untuk menangkap dan
menahan, batasan-batasan waktu penahanan dalam perkara pelanggaran HAM
berat mulai pada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di

pengadilan, sampai kepada pemeriksaan di tingkat banding, dan di tingkat kasasi,


dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai