Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi


1. Ontologi
Pengertian menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu on atau
ontos yang berarti being atau ada dan logos yang berarti logic atau ilmu. Jadi,
ontologi dapat dikatakan the theory of being qua being (teori tentang keberadaan
sebagai keberadaan). Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang hakikat suatu yang berwujud atau ada dengan berdasarkan kepada logika
semata. Pengertian menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani atau
konkrit maupun rohani atau abstrak.
Selanjutnya menurut Guba: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui?
Atau apakah hakikat dari realitas?
Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat
suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan hakikat suatu
fenomena.
Sedangkan Denzin & Lincoln menjelaskan ontologi dengan pertanyaan: Apakah
bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?
Sebagai contoh mengenai argumen yang bersifat ontologis, pertama kali
dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap
yang ada dalam di alam nyata ini mesti ada idea-nya. Idea yang dimaksud oleh Plato
adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada
seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih,
ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea kuda itu adalah
paham, gambaran, atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang
berada di benua manapun di dunia ini (Adib, 2010 : 70 72).
Van Peursen mengungkapkan bahwa pada tahap ontologi, sikap hidup manusia
tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mistis, melainkan secara bebas ingin meneliti
segala hal. Manusia mengambil jarak terhadap sesuatu yang dulu dirasakan sebagai
kepungan dan mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala
sesuatu menurut perinciannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami
bahwa ontologi dapat dicapai hanya jika manusia mengambil jarak terhadap sesuatu
(obyek) tersebut, membuat sebuah distansi dengan obyek, untuk dapat melihat
obyek dari berbagai sudut pandang, dan kemudian menemukan hakikat dari sesuatu
(obyek) tersebut. Ontologi juga sebuah sikap mengambil jarak (distansi) dengan
sesuatu (obyek) yang dapat ditangkap oleh indera untuk mempelajari hakikatnya
dengan berdasarkan logika.
2. Epistemologi
Secara etimologis, istilah epistemology merupakan gabungan kata dari bahasa
Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos
berarti pengetahuan sistematik atau ilmu (Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel

Surabaya, 2011 : 79). Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai suatu
pemikiran mendasar dan sistematik mengenai ilmu pengetahuan. Webster Third New
International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai kajian tentang metode dan
dasar pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan batas-batas dan tingkat
kebenarannya. Dengan kata lain, epistemologi menyoroti atau membahas tentang tata
cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan (Adib, 2010 : 74).
Menurut Musa Asyarie (dalam Kusumaningrum, dkk, 2009 : 4), epistemologi
berbicara mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada
suatu obyek kajian ilmu.
Guba menjelaskan: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui
(peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan
epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih
konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi atau
dapat terjadi?
Sedangkan Denzin & Lincoln menjelaskan: Apakah hakikat hubungan antara
peneliti atau yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.
Epistemologi bertanya mengenai bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa
yang harus diperhatikan agar mendapat pengetahuan yang benar? Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang dapat
membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Dari beberapa pertanyaan diatas, pertanyaan utama epistemologi yaitu apa yang
benar-benar sudah diketahui dan bagaimana cara untuk mengetahuinya?
Contoh: Tidak peduli apakah lukisan di depan mata adalah penampakan belaka
atau bukan. Jika ada sebuah lukisan terpampang di depan mata maka kemudian
diteliti secara scientific.
3. Metodologi
Menurut Senn (dalam Suriasumantri, 1984 : 119), metode adalah suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.
Sedangkan metodologi merupakan pengkajian dari peraturanperaturan dalam
metode tersebut. Sedangkan Metodologi merupakan pengkajian dari peraturanperaturan dalam metode tersebut (Senn, 1971 : 4, dalam Suriasumantri, 1984 : 119).
Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam
metode tersebut, atau pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan
dalam penelitian. Dengan kata lain, metodologi merupakan sebuah kerangka
konseptual dari metode tersebut.
Guba menjelaskan: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara
lebih sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara
peneliti

menemukan

pengetahuan,

atau

lebih

konkret

lagi

metodologi

mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk
menemukan pengetahuan?
Denzin & Lincoln juga menjelaskan melalui pertanyaan: Bagaimana cara peneliti
atau yang akan menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat
diketahui.
Metodologi meletakkan prosedur yang harus dipakai pada pembentukan atau
pengetesan proposisiproposisi oleh para ilmuwan yang ingin mendapatkan
pengetahuan yang valid. Dengan demikian metodologi juga menyentuh bahasan
tentang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode.
Contoh:

B. Kajian Ontologi ke dalam Positivisme


Suparlan (1997) menjelaskan pandangan filsafat positivisme adalah bahwa tindakantindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial.
Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya
sebagai benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi
atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya,
menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungankecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data
kuantitatif diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya
demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel
bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).
Positivisme adalah paradigma dalam penelitian kuantitatif, yaitu suatu keyakinan
dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu
ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws).
Dengan demikian penelitian berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), positivisme melihat
penelitian sosial sebagai langkah instrumental. Penelitian dianggap sebagai alat untuk
mempelajari

peristiwa

dan

hukum-hukum

sosial

yang

pada

akhirnya

akan

memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian serta mengendalikan


peristiwa.
Guba menjelaskan: The basic belief system of positivism is rooted in a realist
ontology, that is, the belief that there exists a reality out there, driven by immutable the
natural laws. Intinya sistem keyakinan dasar dari positivisme berakar pada ontologi
realis yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh
hukum-hukum alam yang tetap.

Secara singkat, positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan


kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum
kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba, sistem keyakinan dasar
para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology: Realist-reality exists out there and is driven by immutable natural
laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is
conventionally summarized in the form of time and context-free generalizations.
Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu
mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme
yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum,
dan mekanisme-mekanisme ini secara konvensional (berdasarkan kesepakatan umum
-KBBI) diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak
terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-akibat.
Juga, ontologi adalah hakikat filsafat hukum. Ontologi dalam melihat hukum adalah
realitas ekternal yaitu melihat secara nyata dan umum.
Karena sifatnya naif, ontologi dalam positivisme melihat hakikat-hakikat yang ada
hanya yang tampak dari luarnya saja tidak detail, tidak jelas, dan tidak rinci tetapi bisa
dipahami perbedaannya. Bersifat objektif, real, dan mudah dipahami.

C. Pendapat Pakar dalam Positivisme

1. Guba
The basic belief system of positivism is rooted in a realist ontology, that is, the
belief that there exists a reality out there, driven by immutable the natural laws.
Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan
kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam, yaitu
hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba, sistem
keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology: Realist-reality exists out there and is driven by immutable natural

laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is


conventionally summarized in the form of time and context-free generalizations.
Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita
itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan
mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia
(entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas
dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat
konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-akibat.

2. John Austin (1970-1859)


Bagi Austin, hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri
menurutnya terletak pada unsur perintah (command). Hukum dipandang sebagai
suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin menyatakan: A law is a command
which obliges a person or person. Laws and other commands are said to proceed from
superior, and to bind or oblige inferiors. Austin membedakan hukum dalam dua jenis:
a) Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws)
b) Hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibagi lagi kedalam dua bagian:
Hukum yang sebenarnya: (disebut juga hukum positif) meliputi hukum
yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara
individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya
Hukum yang tidak sebenarnya: hukum yang tidak dibuat oleh penguasa,
sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.
3. H. L. A. Hart (1907-1992)
Positivisme hukum merujuk konsep hukum yang mendefinisikan hukum sebagai
komando, sebagaimana diperkenalkan oleh pakar filsafat Inggris yaitu John Austin.

Akan tetapi menurut H. L. A Hart, definisi Austin tidak cukup memadai dikarenakan
mengabaikan peraturan lainnya yang berfungsi sebagai hukum meskipun tidak
harus dalam artian komando dari seorang yang berdaulat.
Jadi menurut Hart, semua undang-undang dan kontitusi serta hukum
Internasional dapat dimasukkan dalam kategori positivisme dan dapat diperluas
meliputi hukum adat dan hukum yang dibuat oleh hakim dalam proses pengadilan
(yurisprudensi).
Teori Hart tentang hukum positif dimulai dengan menjawab pertanyaan
Apakah hukum itu?. Hart menjelaskan bahwa esensi hukum terletak pada
penggunaan unsur paksaan. Secara garis besar, teori Hart diuraikan sebagai berikut:
a) Hukum adalah perintah
b) Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk
dilakukan
c) Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturanperaturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk pada tujuantujuan sosial, kebijakan serta moralitas
d) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian
e) Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah
yang sekarang sering kita terima sebagai pemikiran arti terhadap positivisme
Dalam tulisannya Positivism and the Separation of Law and Morals, Hart
meguraikan adanya lima ciri tentang positivisme yang terdapat pada ilmu hukum
dewasa ini, yaitu:
a) Hukum adalah suatu perintah yang datangnya dari manusia
b) Tak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan kesusilaan, atau antara
hukum yang berlaku (law as it is) dan hukum yang dicita-citakan (law as
it ought to be)
c) Analisis mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting dan
harus dibedakan dari:
Penyelidikan secara sejarah tentang sebab musabab hukum atau
tentang sumber hukum
Penyelidikan secara sosiologis mengenai hubungan hukum
dengan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya
Penyelidikan hukum yang didasarkan pada kesusilaan, tujuantujuan sosial fungsi hukum, dan sebagainya
d) Sistem hukum adalah satu sistem logika yang tertutup (closed logical
system); pada sistem tersebut ketentuan-ketentuan hukum yang benar
bisa diperoleh dengan alat-alat logika (logical means) dari peraturan-

peraturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, memerhatikan


tujuan-tujuan sosial, politik, ukuran-ukuran moral, dan sebagainya
e) Pertimbangan-pertimbangan mengenai kesusilaan tidak dapat dibuat atau
dibuktikan dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi dan buktibukti berdasarkan logika, sebagai misalnya dalam hal keteranganketerangan tentang fakta-fakta (non cognitivism in ethics).
D. Kesimpulan
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada yang merupakan
ultimate reality yang berbentuk jasmani atau konkrit maupun rohani atau abstrak.
Epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar dan sistematik
mengenai ilmu pengetahuan. Sedangkan metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut, atau pengetahuan tentang berbagai metode
yang dipergunakan dalam penelitian.
Kemudian Guba secara singkat menjelaskan positivisme sebagai sistem keyakinan
dasar yang menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukumhukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Sistem keyakinan dasar
oleh Guba dapat diringkas sebagai:
Ontology: Realist-reality exists out there and is driven by immutable natural
laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is
conventionally summarized in the form of time and context-free generalizations.
Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu
mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme
yang bersifat tetap.

Anda mungkin juga menyukai