Anda di halaman 1dari 20

HAM DAN POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI

INDONESIA
DIAN HIDAYAT, TEKNIK KELAUTAN, D32114305
ABSRTAC
Pada dasarnya, hak asasi manusia menjadi isu yang sangat penting bukan
hanya di dalam negeri tapi juga di tingkat internasional. Sejak 1999, perhatian
terhadap hak asasi manusia dan hukum penegaknnya di Indonesia telah bertambah
sevara signifikan
Institusi pemerintah yang dimana sering berhubungan dengan isu hak asasi
manusia adalah polisi. Isu dari hak asasi manusia nyatanya selalu terintegrasi dengan
penegakan hukumnya yang membutuhkan kelegalan pelaksanaan di lapangan.
Kekerasan hak asasi manusia tidak hanya terselesaikan oleh anggota
masyarakat tetapi juga bagi penegak hukum. Di dalam banyak kasus, peran
pelaksanaan oleh anggota polisi dalam situasi yang kritis dapat dibolehkan oleh
hukum , contohnya untuk melindungi keamanan umum dan anggota polisi itu sendiri.
Apa jenis kekerasan hak asasi manusia dan apa yang diketahui oleh publik tentang
definisi dari kekerasan hak asasi manusia?
Dalam paper ini, kita mencoba mendiskusikan peran polisi dan isu kekerasan hak
asasi manusia di Indonesia dan konsekuensi dari kekerasan hak asasi manusia
berdasarkan kerangka kerja kelegalan hukum Indonesia.

BAB I
PENDAHULUAN

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah tuhan yang maha esa
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan,
hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang
tidak boleh diabaikan atau diramaps olehsiapapun. Sejak bulan januari tahun 1999,
perhatian terhadap hak asasi manusia (HAM) dan penegakan hukumnya di
Indonesia menunjukkan arah peningkatan yang menggembirakan. HAM telah
dinyatakan sebagai salah satu kebutuhan yang mendasar dalam konsep
pembangunan kemanusian terhadap seluruh masyarakat. Saat ini HAM merupakan
permasalahan yanghangat dalam tingkatan nasional suatu negara maupun
internasional. HAM bukan lagi dianggap sebagai masalah domestik atau dalam
negeri tetapi HAM sudah menjadi permasalahan yang bersifat universal dan
masyarakat internasional.

Perubahan politik yang diawali dengan pergantian rezim di Indonesia telah


membuka

informasi

terhadap

pelanggaran

hukum

yangdilakukan

oleh

otoritas/pemerintah atau pelanggaran hukum yang tidak direspon oleh negara


sebagai kejahatan internasional atau yang dapat dikategorikan pelanggaran hak
asasi manusia. Pelanggaran HAM terjadi karena kekuasaan yangdidominasi oleh
otoritas kekuasaan, dalam situasi tersebut pelanggaran HAM oleh polisi atau
perjabat pemerintahan lainnya sering terjadi dalam masyarakat seperti perampasan
hak milik pribadi dengan alasan digunakan untuk kepentingan umum, penculikan
dan pembunuhan aktivis HAM dan lain- lain. Sejak turunnya Suharto dari kursi
kepresidenan telah membuat penegakan hukum di Indonesia

menjadi

sentral dan selalu menjadi perhatian dalam bentuk penegakkannya.

titik

Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atau ketentuan


yangtelah ada akan mudah dan cepat mendapat reaksi serta sorotan dari
masyarakat, apalagi apabila
penyimpangan tersebut dilakukan olehaparat penegak ukum yang berakibat
munculnya pelanggaran HAM. Hal ini menandakan bahwa masyarakat telah kritis
dan mempunyai kepedulian dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul
yang berhubungan dengan penegakan hukum dan mengenai sesuatu yang yang
menyimpang dari HAM, hal tersebut tidak boleh terulang kembali, untuk itu
supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis
harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam
berkehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB II
PEMBAHASAN
A. HAM DAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA

1. KONSEP HAM
Secara mendasar HAM sebagai suatu konsep telah diakui secara
internasional

namun

terkadang

konsepsi

tersebut

menjadi

bias

dan

dipersepsikan secara sepihak sehingga kita sering melihat bahwa setiap pihak
yang berhadapan masing-masing mengklaim dirinya sedang menegakkan
HAM-nya, untuk itu perlu agar HAM sebagai konsep maupun definisi
disatukan dalam makalah ini. Akan tetapi memang perlu diperhatikan bahwa
konsepsi HAM mempunyai jangkauan yang luas dan komplek, tetapi
kenyataannya hanya menyentuh para aparat pemerintahan saja khususnya para
penegak hukum. Batas antara kewenangan tugas alat negara/penegak hukum
yang

merupakan

representasi

negara

sebagai

otoritaskekuasaan

dan

penyelenggara negara dengan poelanggaran HAM sangat tipis, untuk itu perlu
pemahaman yang mendalam dari penegak hukum dan alat negara terhadap
konsep HAM.
Hukum HAM memusatkan fokus kepada kepentingan pribadi dan
kelompok

pribadi

perlindungan

dengan

terhadap

pemerintah

dengan

tujuan

memberikan

hak- hak asasi dan kebebasan pribadi atas

penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah danjuga oleh kelakuan pribadi,


kelompok pribadi dan organisasi swasta serta mengusahakan dan menjamin
iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia namun juga memperhatikan
kepentingan neara sebagai representasi masyarakat dalam mengelola organisasi
masyarakat (negara). Secara ideal hukum HAM harus memperhatikan
harmonisasi kehidupan masyarakat dalam negara sehingga ada batas yang jelas
antara penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Secara faktual penegakan
hukum yang dilakukan oleh negara merupakan rangkaian penegakan HAM,
namun apabila negara yang diwujudkan oleh otoritas kekuasaan/pemerintah
tidak menjalankan fungsinya maka secara faktual pula telah terjadi pelanggaran
HAM.

2.

PRAKTIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI

INDONESIA
Terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia disebabkan oleh
beberapa indicator-indikator antara lain:
a.

Pendekatan pembangunan pada masa orde baru yang mengutamakan Security

Approach dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah.


Cara- cara refresif yang digunakan oleh pemegang kekuasaan dapat mengakibatkan
terjadinya pelanggaran HAM, antara lain;
1)

Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabilitas,

tanpa berdasarkan hukum.


2)

Penerapan budaya kekerasan untuk menindak warga

masyarakat yang dianggap ekstrim.


3) Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUP.
4)

Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta menyatakan

pendapat, karena dikhawatirkan akan menjadi oposan pemerintah.


b. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan orde baru, dengan pemusatan
kekuasaan pada pemerintah pusat yang nota bene pada figure seorang presiden,
telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyatatas negara sebagai akibat dari
penguasaan pra pemimpin negara terhadap rakyat sehingga menimbulkan peluang
pelanggaran HAM dalam bentuk pengekangan yang berakibat mematikan
kreativitas masyarakat dan pengekangan hak politik warga selaku pemilik
kedaulatan, hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
c.

Kualitas layanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya

good governance yang ditandai dengan transparansi diberbagai bidang,


akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi. Serta belum
berubahnya paradigma aparat pelayan publik yang masih memposisikan
dirinya sebagai birokrat bukan pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan
pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran hak
asasi manusia seperti:

1) Hilang/berkurangnya

beberapa

hak

yang

berkaitan

dengan

kesejahteraan lahir dan bathin yang sebenarnya menjadi tugas dan


tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraannya.

2) Hilang/berkurangnya

hak

yang

berkaitan

dengan

jaminan,

perlindungan, pengakuan hukum, dan perlakuan yang adil dan layak.

3) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang


baik dan sehat.

4) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan kemudahan dan


perlakuan khusus bagi anak-anak, orang tua dan penderita cacat.

5) Hilang/berkurangnya

hak

untuk

mendapatkan

pekerjaan

dan

penghidupan yang layak.


d.

Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindakan

kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok
masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat seperti:
1) Pembunuhan.
2) Penganiayaan.
3) Penculikan.
4) Pemerkosaan.
5) Pengusiran.
6) Hilangnya mata pencaharian.
7) Hilangnya rasa aman, dll.

e.

Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi,

walaupun Perserikatan

Bangsa-Bangsa

telah

mendeklarasikan

Hak

Asasi

Manusia yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan
mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras,
warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin, namun
faktanya adalah bahwa instrument tentang hak asasi manusia belum mampu
melindungi perempuan terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk:
1)

Kekerasan berbasis gender bersifat phisik, seksual atau

psikologis;
penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai jenis pelecehan.
2) Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.

3) Diskriminasi dalam sistem pengupahan.


4) Perdagangan wanita.
f.

Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun piagam hak asasi manusia telah

memuat dengan jelas mengenai perlindungan hak asasi anak namun kenyataannya
masih sering terjadi perlanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah:

1)

Kurangnya perlindungan hukum terhadap anak dari segala

bentuk kekerasan fisik dan mental.


2) Menelantarkan anak.
3) Perlakuan buruk.
4) Pelecehan seksual.
5) Penganiayaan.
6) Mempekerjakan anak dibawah umur.
g. Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, maka
berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk:
1)

Perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecil merasakan

bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka, tidak bagi pejabat.


2) Menjauhnya rasa keadilan.
3)

Terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidakpercayaan

kepada perangkat hukum.


3. UPAYA PENCEGAHAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA
1.

Pendekatan security yang terjadi di era orde baru dengan mengedepankan

upaya refresif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar


menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh terulang
kembali, untuk itu
supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan
dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan


masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi
manusia, untuk itu desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan
berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu
dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak
boleh berhenti, melainkan harus ditindak lanjuti dan dilakukan pembenahan atas
segala kekurangan yang terjadi.

3. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi


pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural,
invromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak
asasi manusia oleh pemerintah.

4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di


tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggara hak
asasi manusia baik oleh sesame kelompok masyarakat dengan cara menyelesaikan
akar permasalahan secara terencana, adil dan menyeluruh.

5.

Kaum

perempuan

berhak

untuk

menikmati

dan

mendapatkan

perlindungan yang sama bagi semua ahak asasi manusia di bidang, politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup,
persamaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama menurut
hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja yang adil. Untuk itu badan-badan
penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
lebih

konsekuen

dalam

mematuhi

Konvensi

perempuan,

Perempuan sebagaimana

yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1984, mengaktifkan


fungsi Komnas anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harus dibuat peraturan
perundang-undangan yang memadai yang menjamin perlindungan hak asasi
perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai terhadap semua jenis
pelanggarannya.

6.

Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari

semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anak harus
diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang
memudahkan mereka berinteraksi didalam masyarakat, anak tidak boleh dikenai
siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, pemenjaraan
atau penahanan terhadap anak merupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan
hukum terhadap anak harus berbeda dengan orang dewasa, anak harus
mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana phisik
dan psikologis yangmemungkinkan anak berkembang secara normal dengan baik,
untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi
anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakkan secara professional
tanpa padang bulu.

7.

Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan

baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang
dibebankan kepadanya dengan memberikan layanan yang baik dan adil kepada
masyarakat penari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dari
perbuatan melawan hukum, menghindari tindakan kekerasan yang melawan
hukum dalam rangka menegakkan hukum.
8. Perlu adanya control dari masyarakat (social control) dan pengawasan dari
lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan hak asasi manusia yang
dilakukan oleh pemerintah.
Dalam

rangka

mewujudkan

supremasi

hukum,

pemerintah

telah

meletakkan landasan hukum yang kuat dalam usaha penegakan HAM di


Indonesia, berbagai kebijakan tertuang dalam peraturan perundang-undangan,
antara lain:
a. Hak-hak tersangka/terdakwa telah dilindungi dalam KUHAP (UU No.
8 Tahun 1981).
b. UU No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM
c. UU No. 23 Tahun 2001 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.]

d. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi,


Penyidik, Penuntut Umum Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana
Terorisme.
e. PP No. 2 Tahun 200 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban
Dan aksi Dalam Pelanggaran HAM Berat.

B. TUGAS POLRI
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memuattugas
pokok Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelaksanaan kepada masyarakat,
untuk itu Polri dituntut harus senantiasa tampil simpatik dan menyenangkan hati
masyarakat, sedangkan dalam tugas penegakan hukum Polri harus tegas, kuat dan
perkasa walaupun terpakasa dengan menggunakan kekerasan.
Kepada polisi diberikan peran tertentu yang tidak diberikan kepada orang
lain. Kepadanya diberikan kekuatan dan hak yang tidak diberikan kepada orang
biasa. Oleh karena keistimewaan tersebut, kepada polisi dihadapkan tuntutantuntutan yang tidak diminta dari warga negara biasa. Polisi harus berani
menghadapi bahaya dan kekerasan, sedang

rakyatdibenarkan

menghindari

bahaya tersebut. Sebagai manusia biasa, polisi akan menghadapinya dengan


perasaan takut, marah, kecurigaan, dibanding dengan orang lain pada pekerjaan
yang berbeda. Polisi dituntut untuk memberikan respon terhadap emosi-emosi
tersebut secara memadai, seperti menunjukkan keberanian, keuletan dan
kehati-hatian.
Polisi sebagai hukum yang hidup berusaha untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan teoritik ditengah-tengah masyarakat yang majemuk. Hal ini
sangatlah berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, hakim,
pejabat lembaga pemasyarakatan dan advokat. Polisi terjun langsung untuk
mencari dan mengungkap kasus yang terjadi dengan taruhan pangkat dan nyawa di
dalam kehidupan masyarakat. Polisi biasanya menghadapi berbagai pilihan untuk
mencapai tujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya, maka penilaian terhadap
polisi didasarkan pada bagaimana ia mampu membuat pilihan tindakan yang benar

untuk tujuan yang benar. Secara singkat, polisi yang baik mampu menjadikan
moralitas sebagi bagian yang integral dari pekerjaannya. Pekerjaan polisi yang
boleh menggunakan kekerasan ditujukan untuk mencapai satu dari sekian banyak
tujuan moral, yaitu kelangsungan hidup manusia. Dihadapkan kepada tuntutan
yang demikian itu banyak pekerjaan polisi yang secara moral menjadi
problematik.
Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibnas mempunyai
posis yang sentral dalam melaksanakan tugas sebagai representasi kekuasaan dan
dalam melaksanakan tugasnya tersebut telah diatur tentang penggunaan kekerasan
baik secara nasional maupun internasional, dimana penyalahgunaan wewenang
atau pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berpotensi menjadi pelanggaran
terhadap HAM. Polri sebagai aparat penegak hukum, dalam melaksanakan
tugasnya secara yuridis, polisi kadang kala dalam situasi yang kritis atau genting
dapat menggunakan kekerasan dalam menjalankan wewenangnya dan hal tersebut
mungkin dapatdibenarkan oleh hukum terutama saat polisi harus menangkap atau
menahan pelaku kejahatan. Penggunaan kekerasan oleh polisi dalam melaksanakan
tugasnya dalam penegakan hukum dan kamtinas telah diatur dan diakui antara lain:
1.

Dalam Pasal 3 Code of Conduct for Law enforcement officials (1979)

dinyatakan bahwa petugas penegak hukum diperkenankan menggunakan


kekerasan sepanjang penggunaan kekerasan tersebut bersifat eksepsional
dan

bersifat

fungsional

atau dengan kata lain penggunaan kekerasan

merupakan kekecualian yang bersifat tertentu dan penggunaannya yang


bersifat:
a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan.
b. Untuk memudahkan serta membantu menangkap/menahan tersangka
berdasarkan prosedur yang melangar undang-undang.
c. Landasan penggunaan kekerasan adalah asas oporsionalitas.
2.

Dalam kongres PBB tentang Prevention of Crime and Treatment


offender di Havana, Kuba (1990) telah diadopsi prinsip-prinsip dasar yang
memuat ketentuan tentang syarat-syarat penggunaan senjata api, yaitu:

a.

Petuas penegak hukum dapat menggunakan senjata api untuk membela diri,

untuk menghadapi kondisi terbunuh atau luka berat terhadap ancaman fisik pribadi.
b. Untuk mencegah atau persiapan khususnya terhadap kejahatan yang
membahayakan kehidupan.
c. Untuk menangkap seseorang dalam kondisi yang berbahaya dalam
melawan kejahatan.
d.

Untuk mencegah seseorang melarikan diri dan kecuali dalam kondisi yang

mendesak untuk mencapai tujuan.


3.

Dalam hukum positif juga diatur penggunaan kekerasan oleh Polri

dalam melaksanakan tugas, antara lain:


1)

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 18 ayat (1) menyatakan

bahwa untuk kepentingan umum pejabat Polri dalam melaksanakan tugasnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2). Dalam KUHP
a.

pasal 50 KUHP yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan

b.

pasal 51 KUHP yaitu atas perintah jabatan

Menyikapi fenomena pelaksanaan tugas kepolisian tersebut maka Polri dalam


merespon situasi harus melaksanakan tugas secara professional. Dari segi yuridis
kewenangan Polri menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan tugasnya secara
internasional telah diatur dan diakui namun harus tetap terkontrol agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh Polri atau Polri digunakan dan dikooptasi
oleh kekuasaan (elit politik).
Nilai kejuangan, aktualisasi dan implementasi nilai-nilai kejuangan yang
dijabarkan melalui doktrin Tribrata dan Catur Prasetya merupakan modal dasar
bagi lembaga Polri. Dalam penjabaran nilai-nilai rersebut telah diciptakan supra
struktur yang menunjang dengan menciptakan lembaga kode etik profesi sehingga
pelaksanaan tugas anggota Polri terukur dengan kodeetik profesi. Selain hal
tersebut Mabes Polri juga telah menerbitkan Juklak dan Juknis tentang pembinaan
nilai juang untuk dipedomani dan dilaksanakan oleh setiap anggota Polri yang
diharapkan anggota Polri tidak melakukan pelanggaran HAM, selain itutuntutan
masyarakat untuk menciptakan Polri yang mandiri secara structural dan
instrumental terlepas dari pengaruh politis menciptakan iklim yang kondusif bagi
Polri dalam melaksanakan tugas sehingga dapat dihindari penyalahgunaan

kelembagaan Polri sebagai alat kekuasan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap


HAM.
C. PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan hukum
yang dicita-citakan yang bersifat abstrak menjadi wujud yang konkrit, dimana
peran Polri adalah untuk mengkonkritkan hal tersebut. Penegakan hukum
mempunyai tujuan mewujudkan
kepastian

hukum

dan

cita-cita

hukum

berupa

ketertiban,

keadilan. Penegakan hukum yang dilakukan tanpa

disertai penegakan terhadap HAM hanya akan mempertahankan otoritas


kekuasaan terhadap kepentingan kekuasaan dan hukum secara luas. Penegakan
hukum sangat rentan terhadap perkembangan politik suatu negara sehingga
terkadang hukum dapat dikooptasi untuk kepentingan politik atau penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya.
Polri sebagai salah satu komponen fungsi terdepan dalam penegakan
hukum

berhadapan

langsung

dengan

berbagai

macam

kompleksitas

kemasyarakatan didalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),


namun dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam pelaksanaan
tugasnya banyak menemui hambatan- hambatan, antara lain:
a.Dalam substansi hukumnya:
1) Tentang ketentuan perundang-undangan yang saling bertentangan;
2) Pembaharuan hukum ternyata belum didahului dengan persamaan persepsi
sehingga ada penyelundupan ketentuan hukum yang tidak benar;
3) Masih adanya ketentuan hukum positif peninggalan colonial Belanda yang
tidak sesuai dengan perkembangan jaman;
4) Adanya

peraturan

perundang-undangan

yang

belum

ada

peraturan

pelaksananya, sehingga menyulitkan penegakannya;


5)

Tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkap yang dapat

mengatur semua perilaku manusia;


b.

Dalam kondisi masyarakat yang dihadapi masih terdapat adanya sikap-

sikap dan perilaku masyarakat yang tidak/kurang menguntungkan untuk


terselenggaranya penegakan hukum yang baik, antara lain:
1) Kurangnya

kesadaran

hukum

masyarakat

terhadap

pembinaan

kamtibnas

pada umumnya, khususnya penegakan hukum.


2) Enggan berpartisipasi dalam melaksanakan tugas keamanan yang dilakukan
oleh Polri.
3) Kurang mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka dilanggar
atau diganggu.
4) Kurang mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya.
5) Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor
ekonomi, psykis, sosial atau politik.
Dalam rangka menciptakan profesionalisme di bidang penegakan hukum
sebagai suatu core business, kepolisian telah mengembangkan keorganisasian
untuk menunjang hal tersebut. Peningkatan organisasi Reserse secara struktural
akan berdamapak terhadap terciptanya anggota Polri yang lebih professional
dibidang penegakan hukum.
D. PENEGAKAN HAM OLEH PORLI
Penegakan hukum mempunyai perbedaan dengan penegakan HAM,
penegakan hukum bertujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban,
kepastian hukum dan keadilan sedangkan penegakan HAM bertujuan mewujudkan
nilai-nilai etika dan moral didalam
didalam

nilai

etika

dan

kehidupan

manusia

secara

universal,

moral tersebutsecara implisit terkandung nilai

penegakan hukum. HAM sebagai suatu bentuk kejahatan yang melibatkan otoritas
kekuasaan sebagai pribadi maupun kelompok, dengan implikasinya kejahatan ini
sulitdideteksi karena pada prinsipnya pelanggaran HAM ini adalah bentuk kooptasi
politik terhadap hukum, dalam prakteknya kejahatan ini terjadi secaraterencana
dan sistematis dimana kejahatan atau pelanggaran ini didukung oleh sistem
sosial lainnyasebagai bagian dari sistem politik negara. Pelanggaran akan
terungkap manakala rezim suatu pemerintahan berakhir atau tumbang sehingga

sistem pendukung lainnya juga tidak berfungsi.


Institusi pemerintah yang sering terlibat langsung dengan permasalahan
HAM adalah Polri. Tujuan strategi Polri dalam menghadapi kejahatan atau
pelanggaran HAM adalah
professional

dengan

untuk

menciptakan

anggota

Polri

yang

menguasai pelaksanaan tugas khususnya dibidang

penegakan hukum yang mencakup pelaksanaan tugas dibidang penyelidikan dan


penyidikan yang mempunyai aspek yang berhubungan dengan HAM yang diakui
secara internasional sebagai kejahatan internasional. Sebagai penyidik dan
penyelidik yang melaksanakan tugas penyidikan yang merupakan penyidik utama
dalam KUHAP, Polri mempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum yang
berhubungan dengan HAM. Dalam menghadapi pelanggaran HAM Polri sebagai
aparat penegak hukum perlu melaksanakannya secara terencana serta didukung
oleh kebijaksanaan strategi yang jelas. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
telah diintrodusirsuatu mekanisme peradilan dimana penyidikan dan penuntutan
merupakan suatu sub sistem yang berdiri sendiri. Penyidikan sebagai gerbang
proses dalam sistem peradilan pidana dilaksanakan oleh lembaga Polri dan dalam
proses penyidikan secara umum dilakukan oleh Polri dan Pegawai Negeri Sipil
tertentu sesuai dengan lingkup kewenangannya, dalam KUHAP pula dinyatakan
bahwa Polri merupakan penyidik utama dan sekaligus sebagai coordinator
penyidikan lainnya, walaupun hal tersebut diingkari oleh beberapa undang-undang
lainnya seperti UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 9 Tahun 1995
tentang Kepabeanan, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, namun secara
menyeluruh penyidikan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan
penegakan HAM dilakukan oleh Polri.
Secara substansial dan formal kelembagaan Polri pada prinsipnya telah
melaksanakan penegakan hukum sebagai rangkaian penegakan terhadap HAM,
namun dalam praktek masih ditemukan kendala-kendala yang bersifat eksternal
dan internal, untuk menyikapi hal tersebut selain upaya untuk meniadakan
kendala eksternal maka Polri secara kelembagaan perlu membenahi diri secara
internal. Tugas polisi sangat penting dalam menjaga supremasi HAM dalam
kehidupan sosial sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002,

yaitu:
1. Polri harus menjaga dan melindungi keamanan masyarakat, tata tertib
serta penegakan hukum dan HAM.
2. Polri harus menjaga keamanan umum dan hak milik, serta menghindari
kekerasan dalam menjaga tata tertib bermasyarakat dengan menghormati
supremasi HAM.
3. Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus menghormati
asas praduga tak bersalah sebagai hak tersangka sampai dinyatakan terbukti
bersalah oleh pengadilan.
4. Polri harusmematuhi norma-norma hukum dan agama untuk menjaga
supremasi HAM
Dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam melakukan pemeriksaan,
polisi kadangkala mempunyai hambatan-hambatan dalam menjaga supremasi
HAM, tetapi polisi tetap harus menghormati hak-hak tersangka, yaitu antara lain:
1. Hak untuk dilakukan pemeriksaan dengan segera, penuntutan di
pengadilan.
2. Hak untuk menjelaskan kepada penyelidik dan hakim dengan bebas.
3. Hak untuk mempunyai penerjemah.
4. Hak

untuk

didampingi

pengacara/penasehathukum

dalam

setiap

pemeriksaan.
5. Hak

WNA

untuk

menghubungi
negaranya
menjadi

Kedutaan

ketika

mereka

tersangka

dalam

suatu kasus kejahatan.


6. Hak untuk menghubungi dokter.
7. Hak

untuk

didampingi

pengacaraketika

tersangka

ditahan

dan

untuk mendampinginya selama proses di pengadilan.


8. Hak untuk dikunjungi oleh keluarganya
9. Hak tersangka untuk dikunjungi oleh penasehat spiritualnya.
10. Hak tersangka atau terdakwa untuk mempunyai saksi dalam pembelaan
terhadapnya.
11. Haka tersangka atau terdakwa untuk menuntut gantirugi.

Berdasarkan

penjelasan

diatas,

dapat

dikatakan

bahwa

pengacara/penasehat hukum sangat dibutuhkan untuk menyertai tersangka atau


terdakwa selama pemeriksaan oleh polisi sampai mereka dinyatakan terbukti
bersalah oleh pengadilan, tetapi untuk kasus subversi, pengacara/penasehat
hukum tidak dapat menyertai tersangka tetapi hanya dapat melihat jalannya
pemeriksaan.

BAB VI

PENUTUP
Meningkatkan perhatian terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan
penegakan hukumnya di Indonesia telah membuat tuntutan untuk menegakkan
HAM menjadi sedemikian kuat baik didalam negeri maupun melalui tekanan dunia
internasional. Oleh karena itu diperlukan niat dan kemauan yang serius dari
pemerintah, aparat penegak hukum, dan elit politik agar penegakan hak asasi
manusia berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Strategi polri dalam menghadapi pelanggaran HAM dapat dinyatakan
sebagai upaya profesionalitas dibidang penbegakan hukum, penegakkan HAM
secara latent merupakan penegakkan hukum yang
merupakan

baik secara sistematis

strategi penegakan HAM, selain itu pula anggota Polri perlu

diberikan pengetahuan tentang hak dan kewajibannya dalam menegakkan hukum


sesuai dengan hukum nasional maupun standar internasional, sehingga terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas kepolisian.
Untuk menanggulangi semakin meningkatnya serta mencegah agar
pelanggaran hak asasi manusia dimasa lalu tidak terulang kembali dimasa sekarang
dan masa yang akan datang merupakan sudah menjadi kewajiban bersama segenap
komponen bangsa sehingga diharapkan dengan berpartisipasinya masyarakat
Indonesia akan mendorong suasana yang kondusif dan akomodatif terhadap
penegakan HAM.

DAFTAR

PUSTAKA
1. A HAMZAH, DR. SH., Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara,
Cetakan
Ke-2, SinarGrafika Offset, 1995.
2. BALDWIN, R, KINSEY, R, 1982. Police Power and Politics, Namara
Group
27/29 Goodge Street, London WIP-IFD, 380, pp. 172.
3. BARDA NAWAWI ARIEF, Prof, DR, SH., Bunga Rampai Kebijakan
Hukum
Pidana, Cetakan Ke-1, PT. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 1996.
4. BAYLEY, D.H., 1994. Police for Future, Oxford University Press Inc,
New
York, 297, pp.112
5. BINKUM POLDA JATENG, 2003. Data Pelanggaran Disiplin Anggota
POlda
Tahun 2001-2003
6. HURST HANUM, Guide to International Human Right Practice, Cetakan
Ke-II, University of Pennsylvania Press, 1994.
7.

HUTAJULU, P.H. 1999. Police and Human Rights on Crime

CodePenal, CV. Sibaya, Surabaya, pp. 24-25.


8.

KELANA, M, 2002, To Understand Indonesian National Police,

PTIK-Press, Jakarta, pp. 111-113.


9. KOESPARMONO I, 2002, Human Rights and Law, PTIK-Press,
Jakarta, pp.
194-197.
10. KOMAR KANTAATMADJA, Prof, DR SH, LLM (ALM)., Beberapa
Pemikiran
Memasuki Abad XXII, Angkasa Bandung, 1998.
11. MARBUN, B.H. Gaktama, C, 2000. Human Rights, a Good Arrange of
State
Nation, National Human Right Committee, Jakarta, 98, pp. 141.
12. MOELJATNO, 2001. Crime Code Penal, Bumi Nsabtara, Jakarta, pp. 136.

13. MR. R. TRESNA, Komentar Hir, Cetakan ke-15, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 1996.
14. PAUL DE JONG, 1986. Het Blauwe Recht-Op weg Naar een
beroepscode van de politie, Koninklijke Vermande BV-1986, 175.
15. PAUL HOFFMAN, PROF, Kumpulan Diktat Kuliah The New Due
Process, oxford university, 1998.
16. PETER BACHR, PIETER VANDIJK, ADNAN BUYUNG NASUTION,
LEO ZWAAK, Instrument Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia,
Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997.
17. PETER R. BACHR, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar
Negeri, Cetakan ke-1, Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998.
18. PETER DAVIES, Hak-Hak Asasi Manusia, Cetakan ke-1, Cetakan
ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.
19. RAMLI ATMASASMITA, Hukum Pidana Internasional, Cetakan ke1, PT. Ersesco Bandung, 1995.
20. RALH STEINHARD, PROF, Kumpulan Diktat Kuliah Human
Right
Lawyering, Oxford University, 1998.
21. SAURYAL, S.S, 1999. Ethics In Criminal Justice, Sam Houston
State
University, 633.
22. SITOMPUL, D.P.M, 1999. Hukum Kepolisian Indonesia, CV. Tarsito,
Bandung,
156, pp. 111-120.
23. SITOMPUL, D.P.M, 2000. Beberapa Tugas Dan Peranan Polri, CV.
Wanthy
Jaya, Jakarta, 163, pp.137-148.
24. THE ROME CONVENTION STATUTA FOR THE
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT.
25. THOMAS BURGENTHAL, International Human Rights Law, Cetakan
ke-III, Wet Publishing, Co, 1995.

Anda mungkin juga menyukai