Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN RINITIS ALERGI


A. Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi
hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi pada
mukosa hidung.
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. Rhinitis alergi
Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi
alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman.
(Dorland,2002 ).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa
di hidung. (Dipiro, 2005 ).
Rinitis alergi merupakan bentuk alergi respiratorius yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diantarai oleh reaksi imunologi cepat
(hipersensitivitas) . ( Brunner and Suddart, Edisi 8 vol 3)
1. Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi
rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat
kerja (occasional). Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang
memiliki empat musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir sama, hanya sifat
berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul
terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter
gejala dan kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten
dengan gejala 4 hari perminggu atau 4 minggu dan persisten dengan
gejala >4 hari perminggu dan >4 minggu. Berdasarkan beratnya penyakit
dibagi dalam ringan dan sedang-berat tergantung dari gejala dan kualitas

hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan


aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan lain-lain yang
mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih
gangguan tersebut di atas.
Intermiten

Persisten

Gejala

Gejala

4 hari per minggu

> 4 hari per minggu

atau 4 minggu

dan > 4 minggu

Ringan

tidur normal

aktivitas sehari-hari, saat olah


raga dan santai normal

bekerja dan sekolah normal

tidak ada keluhan yang

Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala

tidur terganggu

aktivitas sehari-hari, saat olah


raga dan santai terganggu

mengganggu

masalah dalam sekolah dan


bekerja

ada keluhan yang mengganggu

2. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan, serta jamur.
b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan
kacang-kacangan.

c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,


misalnya penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasanBerbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang
tinggi.
3. Manifestasi Klinik
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari,
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air
mata (lakrimasi).
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa
bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung
tersumbat.
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal,
conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.
Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian
tengah.
Yang paling umum terjadi adalah:
a. Kongesti nasal
b. Secret hidung yang jernih serta encer
c. Bersin- bersin
d. Rasa gatal pada hidung
e. Sering terdapat rasa gatal pada tenggorok dan palatum mole
f. Timbul batuk kering atau suara parau
g. Sakit kepala, nyeri didaerah paranasal
h. Epistaksis dapat juga menyertai rhinitis alergi
4. Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit
dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen
presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan.

Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh


sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida
imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang
berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan
dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0).
Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul
tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1
akan mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara
lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya
pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B.
Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan
dan ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel
basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat
terlepasnya mediator alergis.Mediator yang terlepas terutama histamin.
Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami
hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung,
bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah
dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan
hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20
menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.
Sepanjang RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik
yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan
NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul
tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ
sasaran.

Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi
fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas
RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi
yangberakumulasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 48 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya dalam
mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala
pasca paparan adalah eosinofil.

PATHWAY
Allergen
Inhalasi & konsumsi antigen
Jaringan mukosa
pe permeabilitas kapiler

perlambatan silia

sinus

paranasal
vasodilatasi

kuman mudah msuk sal. nafas bawah

odema jaringan

secret hidung jernih

Risiko Infeksi

odema mukosa hidung

bersin, rasa gatal

epistaksis
Risiko Aspirasi

Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas


Gangguan Rasa Nyaman

nyeri
Nyeri Akut

5. Komplikasi
a. Asma alergik
b. Obstruksi nasal kronik
c. Otitis kronik dengan gangguan pendengaran
d. Anosmia ( gangguan kemampuan membau)
e. Pada anak-anak deformitas dental orofasial
6. Pemeriksaan Khusus
a. Pemeriksaan sitologi hidung sebagai pemeriksaan penyaring atau
pelengkap. Ditemukan eosofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan, basofil kemungkinan alergi ingestan dan
sel polimorfonuklear menunjukkan infeksi bakteri.
b. Pada pemeriksaan darah tepi, hitung eosinofil dan IgE total serum
dapat normal atau meningkat.
c. Yang lebih bermakna tes IgE spesifik dengan RAST (radio
immunosorbent test) atau ELISA (enzyme linked immuno assay).
d. Dapat juga dicari secara in vivo dengan uji intrakutan yang tunggal
atau berseri, uji tusuk ( prick test ), uji provokasi hidung / uji inhalasi
dan uji gores. Pemeriksaan eliminasi dan provokasi untuk alergi
makanan.
7. Penatalaksanaan/Terapi
Tujuan terapi adalah untuk meringankan gejala. Terapi dapat
mencakup salah satu atau seluruh intervensi berikut ini : tindakan
menghindari alergen, farmakoterapi atau imunoterapi.
a. Terapi penghindaran ( menghindari alergen)
Setiap upaya harus dilakukan untuk menghilangkan alergen yang
bekerja sebagai factor pemicu. Tindakan sederhana dan kontrol
lingkungan sering efektif untuk mengurangi gejala. Contoh
tindakan ini adalah penggunaan alat pengendali suhu ruangan atau
air conditioner, pembersih udara, pelembab / penghilang
kelembaban dan lingkungan yang bebas asap.
b. Farmakoterapi
1) Antihistamin
Merupakan kelompok utama obat yang diprogramkan untuk
mengatasi gejala rinitis alergik. Efek samping yang utama dari

kelompok obat ini adalah sedasi. Efek samping tambahan


mencakup keadaan gelisah, tremor, vertigo, mulut yang
kering, palpitasi, anoreksia, mual dan vomitus. Contoh
kelompok kimia preparat antihistamin H1 berefek sedasi:
difenildramin, hidroksizin, CTM, tripelenamina, prometazin.
Contoh kelompok kimia preparat antihistamin H1 tidak
berefek sedasi: Hismanal, Claritin, seldane.
2) Preparat adrenergic
Merupakan vasokontriksi pembuluh darah mukosa dan dapat
diberikan secara topical (nasal serta oftalmika) disamping
peroral. Pemberian topical (tetesan dan semprotan )
menyebabkan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
peroral.
3) Natrium kromolin intranasal
Merupakan semprotan yang bekerja dengan cara menstabilkan
membrane sel mast dan menghambat pelepasan histamine serta
mediator lainnya dalam respons alergi.
4) Kortikosteroid
Merupakan indikasi untuk kasus alergi yang berat dan
persisiten. Dapat diberikan sistemik atau intranasal untuk
kortikosteroid yang diabsopsi buruk seperti beklometason atau
flunisolid.
c. Imunoterapi
Merupakan indikasi hanya jika hipersensivitas Ig E terlihat pada
alergen inhalan yang spesifik yang tidak dapat dihindari oleh
pasien ( debu rumah, serbuk sari).
Tujuan imunoterapi mencakup : penurunan kadar IgE dalam darah,
peningkatan tingkat penghambatan antibody Ig G dan pengurangan
sensitivitas sel mediator.
A. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian Fokus
a.
Anamnesis
Data subjektif :

a. pasien mengatakan gatal pada hidungnya


b. pasien mengeluh sakit kepala
c. batuk kering
d. pasien mengatakan bersin-bersin
Data objektif :
a. secret hidung jernih
b. odema mukosa hidung
c. nyeri di daerah paranasal
d. epistaksis
e. gatal pada tenggorokan
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang.
Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL
sebagai akibat dilkepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga
perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti
asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja
b.

dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
1) Wajah
a) Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
b) Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
2) Hidung
a) Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi
b) Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.
c) Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis
alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya

berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,


purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
d) Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
e) Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip
dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan
tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut.
Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
3) Telinga, mata dan orofaring
a) Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani,
air-fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran
timpani dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik.
Kelaianan tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai
dengan disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
b) Pada pemeriksaan mata
Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva
palpebral yang disertai dengan produksi air mata.
4) Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
5) Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma
6) Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Rasa Nyaman
b. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
c. Risiko Aspirasi
d. Nyeri Akut
e. Risiko Infeksi
Berdasarkan masalah diatas maka prioritas diagnose keperawatan yang
muncul yaitu sebagai berikut:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/ d dengan peningkatan
produksi secret d/d pasien mengatakan gatal pada hidungnya, batuk
kering, pasien mengatakan bersin-bersin, secret hidung jernih, nyeri di
daerah paranasal, epistaksis, odema mukosa hidung

b. Nyeri akut b/d respons alergi d/d pasien mengatakan sakit kepala,
pasien mengatakan gatal pada hidungnya, pasien mengatakan bersinbersin, odema mukosa hidung,epistaksis, nyeri di daerah paranasal.
c. Gangguan rasa nyaman b/d odema pada mukosa hidung d/d pasien
mengatakan bersin-bersin, rasa gatal,secret hidung jernih,
d. Risiko aspirasi b/d edema jaringan
e. Risiko terhadap infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan utama
sekunder terhadap perlengketan secret di saluran pernapasan

3. Rencana Asuhan Keperawatan (Tujuan, Intervensi, Rasional)


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/ d dengan peningkatan
produksi secret d/d pasien mengatakan gatal pada hidungnya, batuk
kering, pasien mengatakan bersin-bersin, secret hidung jernih, nyeri di
daerah paranasal, epistaksis, odema mukosa hidung
Tujuan : mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/
jelas.
Kriteria hasil :
- ronchi tidak ada
- wheezing tidak ada
- tidak ada penumpukan sekrret
- respirasi 20 X / menit
Tindakan perawatan

Rasional

1. Kaji
frekuensi/kedalaman 1. Takipnea, pernapasan dangkal dan
pernapasan dan gerakan dada
gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada dan atau
cairan paru.
2. Auskultasi area paru, catat area
penurunan/tak ada aliran udara dan
bunyi napas krakels

2.Penurunan aliran udara terjadi


pada area konsolidasi dengan
cairan, krakels terdengar sebagai
respon terhadap pengumpulan
cairan, secret.

3. Cairan hangat memobilisasi dan


3. Berikan minum air hangat daripada
mengeluarkan secret.
air dingin

4. Membantu menurunkan spasme


bronkus dengan mobilisasi secret.
4. Kolaborasi pemberian mukolitik,
ekspektoran
b. Nyeri akut b/d respons alergi d/d pasien mengatakan sakit kepala,
pasien mengatakan gatal pada hidungnya, pasien mengatakan bersinbersin, odema mukosa hidung,epistaksis, nyeri di daerah paranasal.
Tujuan : nyeri pasien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :- pasien mengatakan nyerinya berkurang
- Pasien tidak meringis lagi
- Tanda tanda vital normal
Tindakan perawatan

Rasional

1. Tentukan karakteristik nyeri, misal : tajam, 1. nyeri merupakan pengalaman subj


ditusuk, konstan
dan harus dijelaskan oleh pa
Identifikasi karakteristik nyeri dan fa
yang berhubungan merupakan suatu
yang amat penting untuk mem
intervensi yang cocok dan u
mengevaluasi keefektifan terapi
diberikan
2. merupakan indicator derajat nyeri
tidak langsung yang dialami. Sakit ke
2. Observasi adanya tanda tanda nyeri non
bersifat akut atau kronis, jadi manife
verbal, seperti: ekspresi wajah, posisi
fisiologis bisa muncul atau tidak
tubuh,
gelisah,
menangis/meringis,
menarik diri, diaphoresis, perubahan
frekuensi jantung/pernapasan dan tekanan 3. perubahan frekuensi jantung atau
darah
menunjukkan bahwa pasien menga
3. Pantau tanda vital
nyeri

4. Berikan tindakan nyaman,


relaksasi, pijatan punggung

misal

4. tindakan non analgesic diberikan de


sentuhan lembut dapat menghilan
:
ketidaknyamanan dan memperbesar
terapi analgesic.

5. Diharapkan dapat membantu mengur


nyeri
5. Kolaborasi dalam pemberian analgesic.

c. Gangguan rasa nyaman b/d odema pada mukosa hidung d/d pasien
mengatakan bersin-bersin, rasa gatal,secret hidung jernih,
Tujuan : pasien menunjukkan tanda-tanda kearah

perbaikan

kenyamanan

Tindakan perawatan

Rasional

1.Minta pasien menunjukkan lokasi dan 1.Memudahkan pemberian intervensi


lama waktu munculnya rasa tidak nyaman

2.Pantau berat ringan rasa tidak nyaman 2.Mengetahui sejauh mana rasa tidak nya
yang dirasakan dengan menunjuk pada
sehingga memudahkan intervensi
skala nyeri
3.Menghindari pencetus merupakan salah
3.Pantau saat muncul awitan rasa tidak
metode distraksi yang effektif
nyaman
d. Risiko aspirasi berhubungan dengan edema jaringan
Tujuan : Tidak terjadi gangguan aspirasi
Kriteria hasil : Jalan napas pasien lancar
Tindakan perawatan

Rasional

1. Kurangi resiko aspirasi, jika pada pasien 1. Membantu membuka saluran napas
tirah baring, tinggikan posisi kepala
2. Bantu bersihkan sekresi dari hidung
menggunakan tissue
2. Mengurangi resiko aspirasi

3. Kaji kembali adanya obstruksi karena 3. Untuk menentukan intervensi selanjutn


sekresi
e. Risiko terhadap infeksi b/d

ketidakadekuatan pertahanan utama

sekunder terhadap perlengketan secret di saluran pernapasan.


Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : tanda-tanda vital normal

Tindakan perawatan

Rasional

1. Pantau tanda vital, khususnya 1. Selama periode waktu ini potensial


selama awal terapi
komplikasi dapat terjadi maka perlu
dilakukan pemantauan terhadap
tanda-tanda infeksi
2. Observasi adanya inflamasi
3. Berikan
obat-obatan
indikasi : anti biotic

2. Perkembangan
infeksi
memperlambat pemulihan

dapat

3. Mungkin
diberikan
secara
sesuai
profilaktik
atau
menurunkan
jumlah organisme sehingga tidak
terjadi penyebaran kuman

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart, 2000, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

Doengoes, E. Maryline. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:


EGC.

Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta:
EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth edisi 8 Volume 3. Jakarta: EGC.
Javed Sheikh. 2014. Allergic Rhinitis di
http://emedicine.medscape.com/article/134825 diakses pada 19/05/2014 (20:17)
Stuart I. Henochowicz. 2014. Allergic Rhinitis di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm diakses pada
19/05/2014 (19:58)

Anda mungkin juga menyukai