Anda di halaman 1dari 66

MAKALAH FARMAKOTERAPI

HIV / AIDS

DISUSUN OLEH:
FANNY AGUSTY

24041315345

GHINA NURKHALIFAH

24041315349

LUTVIA

24041315406

RINY ATMIATI

24041315422

RINO MAHFUZIARUDIN NOOR

24041315424

TANTRI ALFIONITA

24041315380

WINDY ANA LESTIANI

24041315383

WINI LIANA

24041315434

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GARUT
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul HIV/AIDS ini.
Kita semua mengetahui bahwa penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu
penyakit yang sangat berbahaya. Jadi, kami mencoba untuk membahasnya dalam
makalah ini. Kami mengangkat masalah tentang AIDS karena ingin mengulas halhal yang berkaitan dengan masalah HIV/AIDS yang kita semua ketahui
merupakan bukan masalah yang sepele.
Kami berharap dengan adanya makalah ini, para pembaca menjadi semakin
tahu apakah HIV/AIDS itu. Dan tahu apa saja gejala-gejala, cara-cara penularan
sampai pencegahan-pencegahan penyakit HIV/AIDS. Selain itu, dalam makalah
ini juga termuat kondisi HIV/AIDS di Indonesia dan usaha-usaha yang dapat
dilakukan apabila terinfeksi virus HIV. Pokoknya semua hal yang berkaitan
tentang AIDS akan kami bahas dalam makalah kami. Jadi, para pembaca akan
menjadi lebih mudah dalam mengenali maupun menghindari hal-hal yang dapat
menyebabkan terinfeksi virus HIV.
Dalam membahas masalah tentang AIDS ini, kami mendapatkan informasi
dari media elektronik khususnya media internet. Untuk itu, semua hal mengenai
HIV/AIDS kami muat dalam makalah ini. Mudah mudahan dengan hadirnya
makalah ini dapat memberikan manfaat dan berkontribusi positif bagi kepentingan
pembaca.
Tiada gading yang tak retak. Atas segala kekurangan makalah ini, kami
mohon koreksi, kritik, dan saran dari pembaca ataupun dari dosen mata kuliah
farmakoterapi. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.

Penulis
Kelompok 2

DAFTAR ISI

JUDUL.. i
KATA PENGANTAR .. ii
DAFTAR ISI. iii
BAB 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang .. 1


1.2 Tujuan 2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA .. 3

2.1
2.2
2.3
2.4

Sejarah HIV AIDS. 3


Asal usul HIV AIDS.. 4
Pengertian HIV AIDS 4
Jenis-jenis HIV AIDS 5
2.4.1 Tipe HIV.. 6
2.4.2 Group 6
2.4.3 Subtipe. 7
Etiologi.. 8
Prevalensi.. 9
2.6.1 HIV/AIDS di Global (Dunia) 9
2.6.2 HIV/AIDS di Indonesia .. 10
Patogenesis 20
2.7.1 Penularan dan masuknya virus .... 20
2.7.2 Replikasi virus .... 20
Klasifikasi. 21
Gejala Klinis 22
2.9.1 Gejala klinis dan diagnosis . 22
Diagnosis . 24
2.10.1 Pemeriksaan laboratorium 24
2.10.2 Pemeriksaan penunjang dan diagnosa HIV AIDS 25
Komplikasi penderita ODHA 26
Terapi HIV AIDS 32
Panduan Terapi Khusus HIV AIDS . 48
2.13.1 Komponen Layanan HIV 48
2.13.2 Pemeriksaan dan Tata laksanan Setelah Diagnosis HIV

2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
2.10
2.11
2.12
2.13

Ditegakkan....54

BAB III PEMBAHASAN .. 57


DAFTAR PUSTAKA . 63

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Mendengar kata virus mungkin yang ada dipikiran kita adalah sesuatu yang
membahayakan, apalagi mendengar kata virus HIV/AIDS. Kita semua mungkin
sudah banyak mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang HIV/AIDS, apalagi

penyebaran HIV/AIDS ini berlangsung secara cepat dan mungkin sekarang sudah
ada di sekitar kita.
Sejauh ini belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit HIV/AIDS ini,
bahkan penyakit ini belum bias dicegah dengan vaksin. Tetapu kita tidak perlu
takut, dengan membiasakan berperilaku sehat dan bertanggung jawab serta
senantiasa memegang teguh ajaran agama, maka kita akan terbebas dari
HIV/AIDS.
AIDS adalah suatu penyakit yang belum ada obatnya dan belum ada vaksin
yang bisa mencegah serangan virus HIV, sehingga penyakit ini merupakan salah
satu penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia baik sekarang
maupun waktu yang datang. Selain itu AIDS juga dapat menimbulkan
penderitaan, baik dari segi fisik maupun dari segi mental.
Mungkin kita sering mendapat informasi melalui media cetak, elektronik,
ataupun seminar-seminar, tentang betapa menderitanya seseorang yang mengidap
penyakit AIDS. Dari segi fisik, penderitaan itu mungkin, tidak terlihat secara
langsung karena gejalanya baru dapat kita lihat setelah beberapa bulan. Tapi dari
segi mental, orang yang mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS akan
merasakan penderitaan batin yang berkepanjangan. Semua itu menunjukkan
bahwa masalah AIDS adalah suatu masalah besar dari kehidupan kita semua.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dan alasan itulah kami sebagai pelajar,
sebagai bagian dari anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus bangsa,
merasa perlu memperhatikan hal tersebut.
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan
AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yaitu: H = Human
(manusia), I = Immuno deficiency (berkurangnya kekebalan), V = Virus.
Maka dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel
kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah
terserang berbagai penyakit antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan
gejala penyakit yang menyerang tubuh kita itulah yang disebut AIDS.
Maka, selama bertahun-tahun orang dapat terinfeksi HIV sebelum akhirnya
mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling sering ditemukan pada penderita
AIDS adalah sejenis radang paru-paru yang langka, yang dikenal dengan nama
pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu

kaposis sarcoma (KS). Biasanya penyakit ini baru muncul dua sampai tiga tahun
setelah penderita didiagnosis mengidap AIDS. Seseorang yang telah terinfeksi
HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang yang
tidak terinfeksi HIV.
Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka
telah tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa inkubasi penyakit ini termasuk
lama dan itulah sebabnya mengapa penyakit ini sangat cepat tertular dari satu
orang ke orang lain. Masa inkubasi adalah periode atau masa dari saat penyebab
penyakit masuk ke dalam tubuh (saat penularan) sampai timbulnya penyakit.
1.2 TUJUAN
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah ilmu pengetahuan
dan wawasan. Secara terperinci tujuan dari penelitian dan penulisan makalah ini
adalah:
a. Mengetahui penyebab AIDS serta bahaya yang ditimbulkan.
b. Mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SEJARAH HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun
1981 yang dipelajari melalui studi cohort pada pelaku homoseksual yang
mengalami penurunan imunitas. Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para
peneliti di Institut Pasteur Perancis pada tahun 1983 dan NIH yaitu sebuah institut
kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun 1984. Meskipun tim dari
Institute Pasteur Perancis yang dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang pertama
kali mengumumkan penemuan ini di awal tahun 1983 namun penghargaan untuk
penemuan virus ini tetap diberikan kepada para peneliti baik yang berasal dari
Perancis maupun Amerika. Peneliti Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala Limfadenopati, sehingga

pada waktu itu memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy Associated
Virus. Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini
HTLV-3 atau Human T-Cell Lymphotropic Virus Type-3.
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama,
sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of
Viruses

(1986)

WHO,

memutuskan

untuk

menetapkan

nama

Human

Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai nama yang dikenal sampai sekarang


makapara peneliti tersebut juga sepakat untuk menggunakan istilah HIV. Sesuai
dengan namanya, virus ini memakan imunitas tubuh (Widoyono, 2005).
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu
singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara.
Dikatakan pula bahwa epidemic yang terjadi tidak saja mengenal penyakit
(AIDS), virus (HIV) tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti
kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini
merupakan tantangan yang harus diharapi baik oleh negara maju maupun negara
berkembang.
Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada
tahun 1983 dan virusnya di temukan Luc Montagnier pada tahun 1983. AIDS
pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 juni 1981, ketika Centers for Disease
Control

and

Prevention Amerika

Serikat

mencatat

adanya

Pneumonia

pneumosistis (sekarang masih diklasifikasi sebagai PCP tetapi diketahui


disebabkan oleh Pneumocystis Jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los
Angeles.
2.2 ASAL USUL HIV/AIDS
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retovirus yang disebut
Human Immunodeciency Virus (HIV). Dua spesies HIV yang diketahui
menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih
mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di
dunia, sementara HIV-2 sulit di masukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.

Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primate. Asal HIV-1 berasal dari Sooty
Mangabey (cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat
kontak dengan primate lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan
daging. Teori yang lebih controversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV
AIDS, menyatakan bahwa epidermik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di
Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski rehadap vaksin
polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umunya berpendapat bahwa scenario
tersebut tida didukung oleh bukti-bukti yang ada.
2.3 PENGERTIAN HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang tergolong
familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang
terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun
(kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya
dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan
daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun (Daili, F.S., 2009).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan
gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi
dibuat

dari

hasil

penularan.

Penyakit

ini

disebabkan

oleh

Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi masalah Internasional


karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan
semakin melanda banyak Negara. Saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang
efektif untuk pencegahan HIV/AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia
(Widoyono, 2005).
2.4 JENIS-JENIS HIV
Virus HIV merupakan penyebab utama terjadinya AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome). HIV adalah virus yang sangat mudah berubah. Bahkan
dalam tubuh satu orang, bisa ada beberapa golongan/strain virus ini. Seiring
berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, banyak strain virus ini berhasil

diidentifikasi dan dikelompokkan. Berdasarkan kesamaan dan perbedaan genetik,


HIV dikelompokkan menjadi beberapa tipe, grup, dan subtipe (Dipiro, 2007).

Gambar 1. Bagan Jenis-Jenis HIV

2.4.1

TIPE HIV
HIV dapat dibagi menjadi dua tipe, yakni tipe 1 dan tipe 2. HIV-1 dapat

ditemukan di seluruh dunia, sementara HIV-2 jarang ditemukan di tempat lain


selain di Afrika Barat. Kedua tipe virus ini ditularkan dengan cara yang sama dan
sama-sama dapat menyebabkan AIDS. Akan tetapi, tampaknya HIV-2 lebih sulit
menular dan infeksi HIV-2 jauh lebih lambat berubah menjadi AIDS dibandingkan
HIV-1.Virulensi dan viral load yang rendah dari HIV-2 menjadi penyebab
keadaan tersebut. HIV-2 memiliki setidaknya delapan subtipe, dimana subtipe A
dan B adalah yang tersering ditemukan.
Diduga HIV-1 berkembang dari Simian Immunodeficiency Virus (SIV)
yang menginfeksi simpanse (SIVcpz) sementara HIV-2 berkembang dari SIV
yang menginfeksi monyet sooty mangabey (SIVsmm).
2.4.2

GROUP
HIV-1 dapat dibagi lagi menjadi empat grup, yakni M (main atau major), N

(new), O (outlier), dan P. Grup M adalah yang paling sering ditemukan di antara
semua grup yang tergabung dalam HIV-1. Grup O tampaknya hanya ditemukan di
Afrika Tengah-Barat. Grup N ditemukan pada tahun 1998 di Kamerun, sementara
grup P baru ditemukan pada tahun 2009 pada seorang wanita Kamerun.

Infeksi HIV-2 maupun HIV-1 grup O sangat jarang, dan oleh sebab itu
program pendeteksian dini rutin mungkin tidak mencakup tipe tersebut. Meski
begitu, tes EIA generasi keempat sudah mampu mendeteksi baik HIV-1 maupun
HIV-2. Siapapun yang curiga dirinya mendapat HIV-2, HIV-1 grup O, maupun
jenis-jenis lain yang jarang, harus menghubungi seorang dokter yang lebih ahli
(spesialis).
Tidak semua obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV-1 juga
efektif terhadap HIV2. Secara khusus, HIV2 resisten terhadap obat
antiretroviral tipe NNRTI. Lebih banyak penelitian dan pengalaman klinis
diperlukan untuk menentukan pengobatan yang paling efektif untuk HIV2.
2.4.3

SUBTIPE
Pada HIV-1, hingga saat ini dalam grup M telah ditemukan beberapa

subtipe, yakni subtipe A, B, C, D, F, G, H, J, dan K. Berikut adalah persebaran


utama berbagai subtipe tersebut:
a. Subtipe A : Afrika Tengah dan Timur serta negara-negara Eropa Timur yang
dulunya bagian dari Uni Soviet.
b. Subtipe B : Eropa Tengah dan Barat, Amerika Utara, Australia, Amerika
Selatan, Karibia, dan beberapa negara Asia tenggara (Thailand dan Jepang),
serta Afrika Utara dan Timur Tengah.
c. Subtipe C : merupakan subtipe yang paling banyak menyebabkan infeksi di
seluruh dunia. Subtipe ini adalah yang paling dominan di negara-negara
Afrika SubSahara, India, Nepal, dan Brazil.
d. Subtipe D : Afrika Utara dan Timur Tengah.
e. Subtipe E* : Thailand dan Afrika Tengah.
f. Subtipe F : Asia Tenggara dan Selatan, Brazil, dan Romania.
g. Subtipe G: Afrika Tengah dan Barat, Rusia, dan Gabon.
h. Subtipe H: Afrika Tengah.
i. Subtipe J: Amerika Tengah.
j. Subtipe K: Kongo dan Kamerun.

Setiap subtipe memiliki kecenderungan metode penularan masing-masing.


Sebagai contoh, subtipe B lebih mudah menular melalui hubungan homoseksual
dan darah, sedangkan penularan HIV-1 subtipe C dan E* lebih cenderung melalui
hubungan heteroseksual. Penularan virus dari ibu ke anak tampaknya lebih efektif
terjadi pada subtipe D dan C dibandingkan subtipe A.
Dua virus dari subtipe yang berbeda dapat bertemu dalam satu sel dan
mengadakan

rekombinasi,

suatu

proses

yang

menyebabkan

terjadinya

percampuran materi genetik kedua virus untuk menghasilkan suatu virus hybrid.
Biasanya virus hybrid ini tidak bertahan lama, tetapi virus yang berhasil bertahan
dan menginfeksi lebih dari satu orang digolongkan sebagai CRF (Circulating
Recombinant Forms). Setidaknya ada dua puluh CRF berhasil teridentifikasi.
*Satu CRF diberi nama CRF A/E karena dikatakan CRF tersebut berasal
dari rekombinan virus subtipe A dan E. Meski begitu, virus subtipe E
sesungguhnya belum pernah ditemukan dalam bentuk murni. Sekarang, orangorang lebih senang menyatakan CRF A/E sebagai subtipe E meskipun
penggunaan istilah ini juga kurang tepat.
Mengapa tidak ada subtipe I? Awalnya peneliti mengisolasi virus subtipe I
di daerah Cyprus, akan tetapi kemudian diketahui bahwa subtipe I sesungguhnya
adalah CRF yang terbentuk dari subtipe A, G, H, K, dan region tak terklasifikasi.
Sekarang istilah subtipe I tidak lagi digunakan.
2.5 ETIOLOGI
Daili, F.S. (2009) menyatakan bahwa virus masuk ke dalam tubuh manusia
terutama melalui perantara darah, semen dan sekret Vagina. Sebagian besar (75%)
penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh penderita
(sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian
diintregasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.

HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen permukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain
limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel
Langerhans pada kulit, sel dendrite folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada
alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel microglia otak. Virus yang
masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi
banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun
pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat
mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancurkan
limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan system kekebalan
tubuh menjadi lumpuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan
timbulnnya infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala AIDS.
2.6 PREVALENSI
2.6.1 HIV/AIDS di Global (Dunia)
Pada gambar dibawah menunjukkan prevalensi di dunia secara
keseluruhan sebesar 36,7 juta dan pada masing-masing negara memiliki
jumlah pengidap hiv yang berbeda berdasarkan Negara. Rata-rata pengidap
hiv global sebesar 5,26143 juta.

Gambar 2. Prevalensi Di Dunia


Berdasarkan gambar dibawah menunjukkan prevalensi penderita
HIV/AIDS di global berdasarkan cara penularannya, dapat disimpulkan
bahwa pada masing-masing Negara penularan paling banyak adalah
transgender dan sisa populasi dari cara penulaaran secara hubungan seksual
serta dari jarum suntik.

Gambar 3. Prevalensi Penderita HIV/AIDS Di Global Berdasarkan Cara


Penularannya
2.6.2 HIV/AIDS di Indonesia
Berikut adalah Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan
September 2014, yang diterima dari Ditjen PP & PL, berdasarkan surat Direktur
Jenderal P2PL, dr. H.M. Subuh tertanggal 17 Oktober 2014:
Laporan perkembangan HIV-AIDS di Indonesia, Triwulan III Tahun 2014.
Data HIV-AIDS Triwulan III 2014 yang disajikan adalah bersumber dari Sistem
Informasi HIV-AIDS & IMS (SIHA). Sejak periode Juli-September 2012 terjadi
perubahan dan perkembangan data dalam laporan pasca Kegiatan Validasi dan
Harmonisasi Data bersama seluruh provinsi di Indonesia bulan Mei 2012. Hal ini
dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas laporan. Laporan tahun 2012 dan
sebelumnya adalah benar-benar kasus ditemukan pada tahun yang bersangkutan.

Laporan perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2014 sebagai


berikut:
A. Situasi Masalah HIV-AIDS Triwulan II (Juli-September) Tahun 2014
1. HIV
a. Dari bulan Juli sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV
yang baru dilaporkan sebanyak 7.335 kasus.
b. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 2549 tahun (69,1%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,2%), dan
kelompok umur >= 50 tahun (5,5%).
c. Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1.
d. Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko
pada heteroseksual (57%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (15%), dan
penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (4%).
2. AIDS
a. Dari bulan Juli sampai dengan September 2014 jumlah AIDS yang
dilaporkan baru sebanyak 176 orang.
b. Persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (42%),
diikuti kelompok umur 20-29 tahun (36,9%) dan kelompok umur 4049 tahun (13,1%).
c. Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
d. Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks
berisiko pada heteroseksual (67%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (6%),
penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (6%), dan dari
ibu positif HIV ke anak (4%).

B. Situasi Masalah HIV-AIDS Tahun 1987 - September 2014


Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan September
2014, HIV-AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIVAIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah
Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.
1. HIV
a. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan
sebanyak 859, tahun 2006 (7.195), tahun 2007 (6.048), tahun 2008
(10.362), tahun 2009 (9.793), tahun 2010 (21.591), tahun 2011
(21.031), tahun 2012 (21.511), tahun 2013 (29.037) dan tahun 2014
(22.869). Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai
dengan September 2014 sebanyak 150.296.
b. Jumlah infeksi HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (32.782), diikuti
Jawa Timur (19.249), Papua (16.051), Jawa Barat (13.507) dan Bali
(9.637).
2. AIDS
a. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
sebanyak 5.184, tahun 2006 (3.665), tahun 2007 (4.655), tahun 2008
(5.114), tahun 2009 (6.073), tahun 2010 (6.907) dan tahun 2011
(7.312), tahun 2102 (8.747), tahun 2013 (6.266) dan 2014 (1.876).
Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan September
2014 sebanyak 55.799 orang.
b. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29
tahun (32,9%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun
(28,5%), 40-49 tahun (10,7%), 50-59 tahun (3,4%), dan 15-19 (3,1%).

c. Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 54% dan perempuan 29%.


Sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin.
d. Jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti
wiraswasta

(6.203),

tenaga

non-profesional/karyawan

(5.638),

petani/peternak/nelayan (2.324), buruh kasar (2.169), penjaja seks


(2.052), pegawai negeri sipil (1.658), dan anak sekolah/mahasiswa
(1.295).
e. Jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (10.184), Jawa Timur
(8.976), DKI Jakarta (7.477), Bali (4.261), Jawa Barat (4.191), Jawa
Tengah (3.767), Papua Barat (1.734), Sulawesi Selatan (1.703),
Kalimantan Barat (1.699) dan Sumatera Utara (1.573).
f. Faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual (61,5%),
penasun (15,2%), diikuti penularan melalui perinatal (2,7%), dan
homoseksual (2,4%).
g. Angka kematian (CFR) menurun dari 3,79% pada tahun 2012 menjadi
0,46% pada bulan September tahun 2014.
C. Layanan
1. Sampai dengan September 2014, layanan HIV-AIDS yang aktif
melaporkan data layanannya, sebagai berikut:
a. 1.391 layanan Konseling dan Tes HIV (KT), termasuk Tes HIV dan
Konseling yang diprakarsai oleh Petugas Kesehatan (TIPK).
b. 448 layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) yang aktif
melakukan pengobatan ARV, terdiri dari 328 RS Rujukan PDP (induk)
dan 120 satelit.
c. 87 layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon).

d. 1.180 layanan IMS (Infeksi Menular Seksual).


e. 182 layanan PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak).
f. 223 layanan yang mampu melalukan layanan TB-HIV.
2. Sampai dengan bulan Maret 2014, jumlah Lapas/Rutan/Bapas yang
melaksanakan kegiatan pengendalian HIV-AIDS dan IMS sebagai
berikut:
a. 148 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan KIE (Komunikasi,
Informasi dan Edukasi).
b. 20 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan penjangkauan.
c. 78 Lapas/Rutan/Bapas memiliki Kelompok Dampingan Sebaya
(KDS).
d. 45 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan Konseling dan Tes
HIV.
e. 148 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan koordinasi.
f. 9 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan layanan PTRM.
g. 127 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan rujukan HIV-AIDS.
3. Jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai
dengan bulan September 2014 sebanyak 45.631 orang. Pemakaian
rejimennya adalah 97,03% (44.275 orang) menggunakan Lini 1 dan
2,97% (1.356 orang) menggunakan Lini 2.
Statistik Kasus AIDS di Indonesia dilapor s/d September 2014
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI

Dalam triwulan Juli s.d. September 2014 dilaporkan tambahan kasus HIV & AIDS
sebagaimana berikut:

HIV: 7335
AIDS: 176

Jumlah kasus HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 September 2014
adalah:

HIV: 22869
AIDS: 1876

Secara kumulatif kasus HIV & AIDS 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2014,
terdiri dari:

HIV: 150296
AIDS: 55799

2.7

PATOGENESIS

2.7.1 Penularan dan masuknya virus


HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,
sekresi vagina atau serviks, urine, ASI, dan air liur. Penularan terjadi paling
efisien melalui darah dan semen. HIV juga dapat ditularkan melalui air susu dan
sekresi vagina atau serviks. Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan
darah, kontak seksual dan kontak ibu-bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi
serangkaian proses yang kemudian menyebabkan infeksi.
HIV menginfeksi dengan mengikat sel sasaran yang memiliki molekul
reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai oleh HIV adalah limfosit
T penolong positif-CD4 atau sel T4 (limfosit CD4+).
2.7.2 Replikasi Virus
Setelah terjadi fusi selvirus, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma
limfosit CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik
(reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA)
untai ganda virus. Integrase HIV membantu insersi cDNA virus kedalam inti sel
penjamu. Apabila sudah terintegrasi kedalam kromosom sel penjamu, maka dua
untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger
(mRNA) ysng meninggalkan inti sel dan masuk kedalam sitoplasma. Proteinprotein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap yang telah mengalami spicing
(penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan kedalam sitoplasma. Tahap akhir
produksi virus membutuhkan suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang
memotong dan menata protein virus, membentuk partikel virus menular yang
menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel penjamu, partikelpartikel virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari membran sel yang
terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel-sel rentan
lainnya diseluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya
terjadi aktivitas virus yang minimal didalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah

besar didalam limfosit CD4+ dan makrofag diseluruh sistem limfoid pada semua
tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel
dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama migrasi
melalui folikel-folikel limfoid.
2.8

KLASIFIKASI

Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium, yaitu:

Stadium
I

Gejala Klinis
Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala

II

Penurunan berat badan <10%


ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis Seboroik

III

Infeksi jamur pada kuku


Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral

IV

Sindroma Wasting (HIV)


Pneumoni Pneumocystis
Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas

2.9 GEJALA KLINIS


Gejala Klinis dan kriteria Diagnosis
HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang
biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan,
penggunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang,
penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah
bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA yaitu pengidap HIV
atau AIDS. Sedangkan OHIDA (Orang hidup dengan HIV atau AIDS) yakni
keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman-teman pengidap HIV atau
AIDS.
Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif
terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung
meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV.
Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala-

gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat menularkan
kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan menunjukkan
tanda-tanda atau gejala-gejala.
Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Pembagian tingkat
klinis penyakit infeksi HIV. Dibagi sebagai berikut :
I.

Tingkat klinis 1 (asimptomatik / Limfadenopati Generalisata Persisten


(LGP).
1 Tanpa Gejala sama sekali.
2 LGP
Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan
aktivitas normal.

II.

Tingkat Klinis 2 (dini).


Penurunan berat badan kurang dari 10%.
1 Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya delmatitis seboroid,
prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis
angularis.
2 Helpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
3 Infeksi saluran bagian atas berulang, misalnya sinositi.
Pada tingkat ini penderita sudah menunjukkan gejala,tetapi aktivitas tetap
normal.

III.

Tingkat Klinis 3 (Menengah)


1. Penurunan berat badan lebih dari 10%.
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya.
3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan,hilang
4.
5.
6.
7.

IV.

maupun terus menurus.


Kandidosis mulut.
Bercak putih berambut di mulut (Hairy Leukoplakia).
Tuberkulosis paru setahun terakhir.
Infeksi bakteri berat, ,misalnya Pnemonia.

Tingkat Klinis 4 (Lanjut)


1. Badan menjadi kurus.
2. Pnemonia pneumocystis carini.
3. Toksoplasmosis.
4. Kriptokokosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
5. Kriptokokosis diluar paru.

6. Infeksi sitomegalo virus pada organ tubuh kecuali dilimfa,hati atau


kelenjar getah bening.
7. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutans lebih dari 1 bulan atau di
alat dalam (viseral) lamanya tidak dibatasi.
8. Mikosis apa saja (misalnya hitoplasmosis,koksidiomikosis) yang
endemik,yang menyerang banyak organ tubuh (diseminata).
10 DIAGNOSIS
2.10.1 Pemeriksaan Laboratorium
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Yang pertama, enzymelinked immunosorbent assay (ELISA),
bereaksi terhadap adanya antibodi dalam serum dengan memperlihatkan
warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar.
Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang
besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya
positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western blot. Uji Western
blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya
memberi hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Juga dapat terjadi hasil uji
yang tidak konklusif, misalnya saat ELISA atau Western blot bereaksi lemah
dan agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV, pada
infeksi yang sedang berkembang (sampai semua pita penting pada uji
Western blot tersedia lengkap), atau pada reaktivitas-silang dengan titer
retrovirus tinggi lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah konfirmasi,
pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan
klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai
usaha-usaha untuk mengendalikan infeksi.
HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya
virus atau komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat
mendeteksi antibodi. Prosedur-prosedur ini mencakup biakan virus,
pengukuran antigen p24, dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang
menggunakan reaksi berantai polimerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma.

Uji-uji semacam ini bermanfaat dalam studi mengenai imunopatogenesis,


sebagai penanda penyakit, pada deteksi dini infeksi, dan pada penularan
neonatus. Bayi yang lahir dari ibu positif-HIV dapat memiliki antibodi antiHIV ibu dalam darah mereka sampai usia 18 bulan, tanpa bergantung
apakah mereka terinfeksi atau tidak.
2.10.2 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosa HIV AIDS
1

Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen

virus structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi
(antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus

diperiksa.
Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat. Untuk memantau
progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4 diperiksa secara
teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum pengobatan
menentukan

kecepatan

penurunan

CD4,

dan

pemeriksaan

pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL). menghitung


CD4 menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200
4

sel/mm3 menggambarkan resiko yang terbatas.


ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang
digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang
tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif

2-3 bulan setelah infeksi.


WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis
HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24

jam.
PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :
a Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan
menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan
penyakit tersebut. Zat kekbalan itulah yang diturunkan pada bayi
melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-

olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (catatan: HIV sering
merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIV-nya sendiri).
b Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
c Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas
7

rendah untuk HIV-2.


Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko,

dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.


Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

2.11 KOMPLIKASI PENDERITA ODHA


1. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang sering terjadi pada orang
yang terinfeksi HIV/AIDS. Gejala klinik candidiasis meliputi Candidiasis
orofaringeal, Candidiasis esofageal dan Candidiasis vulvovaginal (Princeton,
2003).
a. Kandidiasis Orofaringeal/ Oropharygeal Candidiasis (OPC). Terjadi gejala
sakit dan panas pada tenggorokan, sensasi rasa yang berbeda dan susah
menelan. Hal ini menyebabkan peradangan dan terbentuk lapisan putih tebal
pada selaput lendir kerongkongan (Princeton, 2003).
b. Kandidiasis Esofageal. Terjadi bersamaan dengan candidiasis orofaringeal.
Umumnya terjadi disfagia (kesulitan dalam menelan) dan rasa nyeri terbakar
di dada (Princeton, 2003).
c. Kandidiasis vulvovaginal. Umumnya terjadi gatal-gatal, berair atau terjadi
keputihan, vagina kemerahan, terjadi dispareunia (nyeri vagina), disuria,
eritema, dan terjadi lesi (Princeton, 2003).
Diagnosis yang dilakukan berdasarkan tampilan klinis yang khas pada
pemeriksaan fisik dan respon terhadap terapi sistemik antifungi.
Terapi untuk kandidiasis oral:

Tablet Nistatis 100.000 IU selama, dihisap setiap 4 jam selama 7 hari atau
Suspensi Nistatin 3-5 cc dikumur 3 kali sehari selama 7 hari

Terapi untuk kandidiasis esofageal:

Flukonazol 200 mg setiap hari selama 14 hari, atau


Itrakonazol 400 mg setiap hari selama 14 hari, atau
Ketokonazol 200 mg setiap hari selama 14 hari.
Untuk Volvovaginal Candidiasis, diberikan terapi topikal selama 3 hari

meliputi Klotrimazole dan Miconazole. atau flukonazole 150 mg (Pedoman ART,


2011).
2. Infeksi Bakteri yang berhubungan denga HIV/AIDS
Haemophilus influenza. Merupakan infeksi bakteri yang umum bagi orang
yang terinfeksi HIV/AIDS. HIV meningkatkan risiko terkena infeksi H.Influenza.
Pneumonia, spesis, dan beberapa meningitis menjadi gejala klinik dari HIV.
Demam dan batuk berdahak menunjukkan pneumonia. Meningismus dan demam
menunjukkan meningitis. Pengobatan menggunakan golongan sefalosporin
generasi ke tiga, atau trimetroprim-sulfametoxazol.
Pseudomonas aeruginosa merupakan infeksi oportunistik patogen yang
terpenting pada penderita HIV/AIDS.Faktor risiko yang dapat terjadi pada pasien
yag telat dirawat di rumah sakit, penggunaan kateter, neutropenia (Princeton,
2003).
3. Pneumonia pneumocystis atau Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)
Pneumonia

pneumocystis

(PCP)

awalnya

diketahui

dengan

nama

Pneumonia Pneumocystis carinii, jarang dijumpai pada orang yang sehat dan
imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit
ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. PCP biasanya terjadi gejala
demam, batuk kering, dan nafas pendek atau dispnea dan keringat malam subakut
sampai 1-2 bulan. Sebelum adanya diagnosis, perawatan dan tindakan pencegahan
rutin dilakukan di negara-negara Barat. Penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum di tes, walaupun

umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 <200 sel/L.
Diagnosis dilakukan dengan melihat kelainan pada foto toraks dengan infiltrat
intersisial bilateral (Princeton, 2003).
Terapi pilihan

Kotrimoksasol (TMP 15 mg + SMZ 75 mg/kg/ hari) dibagi dalam 4

dosis atau,
Kotrimoksasol 480 mg, 2 tablet 4 kali sehari untuk BB < 40 k g dan 3
tablet 4 kali sehari untuk BB > 40 kg selama 21 hari .

Terapi alternatif

Klindamisin 600 mg IV atau 450 mg oral 3 kali sehari + Primakuin 15

mg oral sekali sehari selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa.
Untuk pasien yang parah dianjurkan pemberian Pednisolon 40 mg, 2
kali sehari, dengan penurunan dosis secara bertahap hingga 7 - 10 hari,
tergantung dari respon terhadap terapi (Pedoman ART, 2011).

4. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi terkait HIV
lainnya karena dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute
respirasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi
obat. Namun demikian, kekebalan terhadap berbagai obat adalah masalah serius
pada penyakit ini. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L),
TB muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada infeksi HIV belakangan, TB sering
muncul dengan penyakit ekstrapulmoner (sistemik). Gejala biasanya bersifat
konstitusional dan tidak dibatasi pada satu tempat, sering menyerang sumsum
tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, nodus limfa regional,
dan sistem saraf pusat. Selain itu, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan
dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner. Diagnosis dilakukan dengan
cara pemeriksaan dahak SPS untuk mencari BTA, dan foto toraks. Terapi sesuai
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Princeton, 2003).
5. Esofagitis

Esofagitis adalah peradangan pada esofagus (tabung berotot pada vertebrata


yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung).
Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur
(kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus).
6. Diare kronik
Diare kronik pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab, termasuk
infeksi bakteri (Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia
coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan
sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping
beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi
HIV, terutama selama infeksi HIV utama. Pada stadium akhir, diare diduga
menunjukkan perubahan cara saluran usus menyerap nutrisi dan mungkin
merupakan komponen penting pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
7. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu
disebut Toxoplasma gondii. Toksoplasmosis serebral yang terjadi menimbulkan
gejala sakit kepala, pusing, demam, defisit nerologis fokal dan kejang. Diagnosis
dilakukan dengan melihat defisit nerologis fokal, CT scan kepala dan respon
terhadap terapi presumtif dapat menyokong diagnosis (Princeton, 2003).
Terapi pilihan

Pirimetamin dosis awal: 100 mg, diikuti dengan 50 mg perhari +

klindamisin 4 X 600 mg
Asam folinat 15 mg setiap 2 hari bila tersedia
Terapi selama 6 minggu

Terapi rumatan

Pirimetamin 25 mg / hari + klindamisin600mg (Pedoman ART,


2011)

8. Herpes Simpleks dan Herpes Zoster


Herpes simpleks berupa sekelompok vesikel berair biasanya di daerah genital
atau sekitar mulut. Dapat menjadi sistemik seperti esofagitis dan ensefalitis.
Sedangkan herpes zoster berupa sekelompok vesikel berair terasa sangat nyeri di
sepanjang dermatom yang dapat menyerang mata. Diagnosa yang dilakukan dengan
melihat gambaran klinis yang khas (Pedoman ART, 2011).
Terapi untuk herpes simpleks

Biasanya sembuh sendiri dan tidak perlu terapi perawatan lesi,

dengan gentian violet atau larutan klorheksidin.


Bila ada indikasi dapat diberi asiklovir 5 200 atau 3 X 400 mg selama 7
hari.

Terapi untuk herpes zoster

Perawatan lesi, dengan gentian violet atau larutan klorheksidin


Asiklovir 5 X 800 mg selama 7 hari, diberikan dalam 72 jam sejak

timbulnya erupsi vesikel.


Famsiklovir dan valasiklovir sebagai alternatif

9. Meningitis kriptokokal
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini
dapat menyebabkan demam, sakit kepala belakang, lelah, mual, dan muntah.
Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan. Diagnosis dapat dilihat dari peningkatan tekanan
intrakranial pada punksi lumbal, protein di cairan seresbrospinal, dan dapat
ditemukan organisme dalam CSP atau lesi kulit dengan sediaan pengecatan tinta
India di bawah mikroskop (Princeton, 2003).
Terapi pilihan :
Amfoterisin B IV (0,7 mg/ kg/ hari) selama 2 minggu diikuti dengan flukonasol
400 mg perhari selama 8-10 minggu. Hati- hati akan efek samping nefrotoksik.
Terapi alternatif:

Flukonasol 400-800 mg per hari selama 8 - 12 minggu


Terapi rumatan:
itrakonasol 200 mg/hari atau flukonasol 200 mg/ hari
10. Kanker yang berhubungan dengan HIV
Pasien dengan infeksi HIV pada pokoknya meningkatkan insiden beberapa
kanker. Hal ini terjadi karena infeksi dengan virus DNA onkogenik, terutama
virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes penyebab sarkoma Kaposi (KSHV) dan
papilomavirus manusia (HPV).

11. Sarkoma Kaposi


Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang
terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun
1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang
juga disebut virus herpes sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di
kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain,
terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru (Princeton, 2003).
12. Limfoma
Limfoma sel B tingkat tinggi seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma),
Burkitt's-like lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma
sistem saraf pusat primer muncul lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali mengakibatkan prognosis yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma ini merupakan tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar
disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV) atau KSHV.
13. Kanker leher rahim

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama
AIDS. Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus manusia (HPV).
14. Tumor lainnya
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti
limfoma Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus besar.

2.12 TERAPI HIV/AIDS


Tatalaksana Pemberian ARV
A. Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi
syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa:
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Tabel 6. Saat Memulai Terapi Pada ODHA Dewasa
Target
Populasi

Stadium
Klinis

Jumlah sel CD4

Rekomendasi

ODHA dewasa

Stadium klinis
1 dan 2

>350
sel/mm3

<350
sel/mm3
Stadium klinis
3 dan 4
Apapun
Stadium klinis
Apapun
Stadium klinis

Pasien dengan
ko-infeksi TB
Pasien dengan
ko-infeksi
Hepatitis
B
Kronik aktif
Ibu hamil
Apapun
Stadium klinis

Belum
mulai
terapi.
Monitor
gejala klinis dan
jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
Mulai terapi

Berapapun
sel CD4
Berapapun
sel CD4
Berapapun
sel CD4

jumlah

Mulai Terapi

jumlah

Mulai terapi

jumlah

Mulai terapi

Berapapun
sel CD4

jumlah

Mulai terapi

B. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Opurtunistik (IO) yang


aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu
pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel
di bawah ini:
Tabel 7. Tatalaksana IO Sebelum Memulai Terapi ARV
Jenis Infeksi Opportunistik
Progresif
Multifocal
Leukoencephalopathy,
Sarkoma
Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis,
MAC

Rekomendasi
ARV diberikan langsung setelah
diagnosis infeksi ditegakkan
ARV diberikan setidaknya 2
minggu
setelah
pasien
mendapatkan pengobatan infeksi
opportunistik

C. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu:

Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat

Prinsip dalam pemberian ARV adalah:


a) Panduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan
berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin
efektivitas penggunaan obat.
b) Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan
mendekatkan akses pelayanan ARV.
c) Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan dibawah ini:
AZT + 3TC + NVP

(Zidovudine + Lamivudine +

Atau

AZT + 3TC + EFV

Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine +

Atau

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine (atau

Atau

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Emtricitabine) + Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)

Tabel 8. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada


orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV(treatment nave)

Populasi
Target

Pilihan yang
direkomendasikan

Catatan

Dewasa
anak

dan AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan


(atau FTC) + EFV yang sesuai untuk sebagian
atau NVP
besar pasien. Gunakan FDC
jika tersedia
Perempuan
AZT + 3TC + EFV Tidak boleh menggunakan
hamil
atau NVP
EFV pada trimester pertama
TDF bisa merupakan pilihan
Ko-infeksi
AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera
HIV/TB
(FTC) + EFV
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Ko-infeksi
TDF + 3TC (FTC) + Pertimbangkan pemeriksaan
HIV/Hepatiti EFV atau NVP
HBsAg terutama bila TDF
s B kronik
merupakan
paduan
lini
aktif
pertama.
Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV
D. Berbagai Pertimbangan Dalam Penggunaan Dan Pemilihan Panduan
Terapi ARV
1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI).
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF +
3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi
200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi
dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama
terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang
muncul dini.

Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI:
Hentikan NVP atau EFV
Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian
Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko
resistensi NNRTI.
Penggunaan NVP dan EFV
NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara.
Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga.
NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson
dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi.
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3
bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama.
Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4

>250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada
laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui
jumlah CD4-nya.
Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan
satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2
kali sehari.
EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan
baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia
dibandingkan NVP.
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat
(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat
teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester

dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri
tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan
meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut
dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian
obat oleh pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik
berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan
trimester pertama.
EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin.
Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi
TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai
terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.
2. Pilihan Pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah:
AZT+3TC +TDF
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya,
setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama
karena supresi virologisnya kurang kuat.
3. Penggunaan AZT dan TDF
AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal.
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT.
Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu
antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang
lanjut.

TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas


dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi
sebesar 0.5% sampai 2%.
TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit
data tentang keamanannya pada kehamilan.
TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian
satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA.
4. Perihal Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam
kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak
membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang
relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti
Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC).
Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai
efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan
neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang
menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar
kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun
2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2
tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010
merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T
dengan Tenofovir (TDF).
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah
memutuskan sebagai berikut:
a) Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi
dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya.
b) Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai
efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk
diganti setelah 6 bulan.

c) Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka


sebagai obat substitusi gunakan TDF.
d) Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk
dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan
penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak
menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.
5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk
terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan
pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi
terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini
dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini
Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas.
6. Panduan Obat ARV yang Tidak Dianjurkan
Tabel 9. Panduan ARV Yang Tidak Dianjurkan
Panduan ARV
Mono atau dual terapi untuk pengobatan
infeksi HIV kronis
d4T + AZT
d4T + ddI

3TC + FTC
TDF + 3TC + ABC atau
TDF + 3TC + ddI
TDF + ddI + NNRTI manapun

Alasan tidak dianjurkan


Cepat menimbulkan resisten
Antagonis (menurunkan khasiat kedua
obat)
Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,
hepatitis dan lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu
hamil
Bisa saling menggantikan tapi tidak
boleh digunakan secara bersamaan
Paduan tersebut meningkatkan mutasi
K65R dan terkait dengan seringnya
kegagalan virologi secara dini
Seringnya kegagalan virologi secara dini

E. Sindrom Pulih Imun (SPI - immune reconstitution syndrome = IRIS)


Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons
inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian
terapi antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam
bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada

umumnya adalah berupa inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun
infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan
infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada
ODHA yang berespons baik terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini
merupakan respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap
rangsangan antigen tertentu setelah pemberian ARV.
Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta analisis
adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung
pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan
koinfeksi dengan patogen lain.
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu
sindrom pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun
paradoksikal. Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan
tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung
mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis paradoksikal, pasien telah
mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya. Setelah mendapatkan
ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari
bahan infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak
mudah. Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit
infeksi atau non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS
Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat
konsensus untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut:
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and
successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas

c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah
saat memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai
terapi ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus
RNA HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat
diagnosis infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai
terapi infeksi oportunistik dan memulai terapi ARV.
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya
pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari
prednisolon.
Tabel 10. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA

F. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana
pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya
karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan
lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau
kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap
kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan
pasien mengkonsumsi ARV.
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan
terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk
mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua
dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien
sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan
pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan
membantu pasien untuk patuh minum obat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:
1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem
pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah
penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena
hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan
dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan
kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan
membantu pasien.
2. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin,
ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan,
dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks
komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza,

lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV


dan terapinya).
3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,
bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,
kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan),
karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk
mendapatkan ARV.
4. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak
terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang
berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain
menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum.
5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga
kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan
kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan
pasien

terhadap

kompetensi

tenaga

kesehatan,

komunikasi

yang

melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari


hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian
kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien
Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi
ARV beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan
dukungan kepatuhan harus dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau
pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan antara lain:
Langkah 1 : Memberikan Informasi
Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,
kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan.
Perlu diberikan informasi yang mengutamakan aspek positif dari
pengobatan sehingga dapat membangkitkan komitmen kepatuhan berobat.
Langkah 2: Konseling perorangan

Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi


kesiapan pengobatannya. Sebagian klien sudah jenuh dengan beban
keluarga atau rumah tangga, pekerjaan dan tidak dapat menjamin
kepatuhan berobat.
Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang
lain. Hal ini sering mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga sering
menjadi hambatan dalam menjaga kepatuhan. Ketidak siapan pasien bukan
merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu klien perlu
didukung agar mampu menghadapi kenyataan dan menentukan siapa yang
perlu mengetahui statusnya.
Langkah 3: Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat
rencana terapi.
Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan
dengan diskusi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut secara
bersama dan membuat perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu
didiskusikan antara lain:
Di mana obat ARV akan disimpan?
Pada jam berapa akan diminum?
Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum obat?
Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan seharihari?
Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien berkunjung
dan mengambil obat secara teratur sesuai dengan kondisi pasien.
Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas
kesehatan. Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci
kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien. Sikap petugas yang
mendukung dan peduli, tidak mengadili dan menyalahkan pasien, akan
mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan makan obatnya.
Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV

Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien


untuk memulai terapi ARV dapat dilakukan dengan cara:
Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut
minum obat dengan semua kemunginan efek samping dan kegagalan

pengobatan.
Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik.
Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak

terlewatkan.
Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.
Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau

dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.


Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan
kondisi pasien baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika
perlu disertai dengan banyak minum wajib menanyakan sumber air,

dll).
Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa

membuat pasien takut terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obat


Mempunyai efek samping untuk menetralkan ketakutan terhadap ARV.
Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap
menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau
menggunakan alat suntik steril bagi para penasun (pengguna NAPZA

suntik).
Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan
obat ARV yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk
komunikasi dengan dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obat-

obat yang boleh terus dikonsumsi dan tidak.


Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat

memenuhi janji/jadwal berkunjung.


Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak patuhan
tanpa menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa minum
obat.

Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek
lain diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi
ketidak patuhan pasien.

Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat

Memberikan informasi yang benar dan mengutamakan manfaat postif

dari ARV
Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu

menemukan seseorang sebagai pendukung berobat


Mengembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai dengan
gaya hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan

sebagai pengingat minum obat


Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil
yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua

kali sehari), dan meminimalkan efek samping obat.


Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah
tergantung dari faktor penyebabnya.

Semakin sederhana paduan obat ARV semakin tinggi angka


kepatuhan minum obat.
Kepatuhan sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan, akan
tetapi kepatuhan tidak boleh menjadi hambatan untuk akses
pengobatan ARV sehingga petugas kesehatan mempunyai kewajiban
untuk menjalin hubungan yang baik dan membantu pasien untuk
mencapai kondisi kepatuhan yang baik
Perlu diingat bahwa pasien yang tidak dapat mengambil obat TIDAK
Kepatuhan
dapatpatuh
dinilai
dari
laporan pasien sendiri, dengan
selalu
berarti tidak
minum
obat.
menghitung sisa obat yang ada dan laporan dari keluarga atau
pendamping

yang

membantu

pengobatan.

Konseling

kepatuhan

dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan secara terus menerus dan
berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien merasa bosan.
2.13 PANDUAN TERAPI HIV DAN AIDS

2.13.1 Komponen Layanan HIV


1

Kegiatan layanan HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan


Layanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV
secara dini dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang
datang ke fasyankes, perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain
dengan sistem rujukan ke berbagai fasilitas layanan lain dengan sistem
rujukan ke berbagai fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ADHA.
Layanan

perlu

dilakuakan

secara

terintegritas,

paripurna,

dan

berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan berbagai


macam infeksi noportunisktik yang memiliki dampak sosial terkait stigma
dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan HIV
yang terdiri dari:
a) Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
b) Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah
ditentukan.
c) Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
d) Skrining TB dan infeksi oportunistik.
e) Konseling bagi odha perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan
reproduksitermasuk rencana untuk mempunyai anak.
f) Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan
oportunistik.
g) Pemberian ARV untuk odha yang telah memenuhi syarat.
h) Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh
ibu hamil dengan HIV.
i) Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
j) Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis, dan IMS lainnya pada
perawatan antenatal (ANC).
k) Konseling untuk memulai terapi.
l) Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan
konseling lainnya sesuai keperluan.
m) Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksualnya,
(IMS), dan kelompok resiko tinggi beserta pasangan seksualnya,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

n) Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan


pasien.
Sesuai dengan usnur tersebut maka perlu terus diupayakan untuk
meningkatkan akses pada perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti
pemeriksaan CD4 dan tes viral load. Komponen layanan tersebut harus
disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya setempat. Semakin dini
ODHA terjangkau di layanan kesehatan untuk akses ARV, maka semakin
kurang resiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun
menularkan infeksi HIV.
2

Konseling dan Tes HIV


Tedapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
a Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counselling
b

& Testing).
Tes HIV dan Konseling atas inisiti petugas kesehatan (KTIP-PITC =
Provider-intiated Testing Counseling).
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan

kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes


HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan
gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok
berisiko (penasun, PSK, LSL-Lelaki Seks dengan Lelaki), pasien IMS dan
seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan
pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan
semua pihak menjaga kesehatan (prinsip 3c-counselling, consent,
confidentiality).

Tabel 1. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
3

Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV


Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3
dan selalu didahului dengan konseling pra-tes atau informasi singkat.
Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan
ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan
sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2
dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu
hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes
HIV yang dilakukan dalam amsa jendela menunjukkan hasil negatif,
maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih perilaku yang
berisiko.

Gambar 2. Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

Tabel 2. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1


4

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan Toksoplasmosis)


dapat dicegah dengan pemberian kotrimoksasol. Keterangan dan panduan
lebih lengkap dibahas di bab tersendiri.
5

Infeksi Menular Seksual (IMS)


Layanan pra-terapi ARV dan terapi ARV merupakan peluang untuk
memberikan layanan IMS secara paripurna, yang meliputi diagnosis yang
tepat berdasarkan gejala atau tes laboratotium, pemberian terapi efektif
pada

saat

diagnosis,

pemberitahuan

dan

pengobatan

pasangan,

pengurangan risiko perilaku dan penularan melalui edukasi, serta


dilakukan konseling dan penyediaan kondom. Dianjurkan skrining
laboratorium yang meliputi tes serologis untuk sifilis, terutama perempuan
hamil dan tes HIV untuk semua pasien.
6

Aspek Pencegahan dalam Pengobatan (Treatment as Prevention)


Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam
pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja
mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus
dalam darah. Penurunan jumlah virus ini berhubungan dengan penurunan
kadar virus dalam duh genital dengan catatan tidak terdapat IMS.
Penelitian observasional menunjukkan penurunan HIV pada pasangan
serodiscordant (berbeda status HIV-nya) yangmendapatkan pengobatan
ARV.

Positif Prevention
Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat
terapi ARV harus disertai sengan perubahan perilaku berisiko. Dengan
demikian terapi ARV harus disertai dengan pencegahan lain seperti,
penggunaan kondom, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan
IMS dengan panduanyang tepat.

Kesiapan menerima terapi antiretroviral


ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan
manfaat terapi ARV sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan
HIV dimuali lebih awal sebelum memerlukan terapi ARV maka pasien
mempunyai kesempatan lebih panjang untuk mempersiapkan diri demi

keberhasilan terapi ARV jangka panjang, melalui konseling pra-terapi ARV


yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang
mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis
dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara termasuk pemeriksaan
jumlah CD4.

Gambar 2. Bagan Alur Layanan HIV


2.13.3 Pemeriksaan dan Tata laksanan Setelah Diagnosis HIV Ditegakkan
Setelah ditanyakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke
layanan PDP untuk menjalankan serangkain layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis. Penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal
tersebut dilakukan untuk: 1) menentukan apakah pasien sudah memenuhi
syarat untuk antiretoviral; 2) menilai status supresi imun pasien; 3)

menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; 4)


menentukan panduan obat ARV yang sesuai.
1 Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap
2

kali kunungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
Penilaian Imunologi (Pemeriksaan Jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menetukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV.
Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan
peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 100 sel/mm3/tahun.

Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat mengganti pemeriksaan CD4.


Pemeriksaan Laboratorium Sebelum Memulai Terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan
persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4
dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien
yang mendapat ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi
gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan
toksisitas pafa ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila
sumber daya memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan
viral load ada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.

Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum


memulai ART apabila sumber daya memungkinkan:

Darah lengkap*

Jumlah CD4*

SGOT / SGPT*
Kreatinin Serum*

Urinalisa*
HbsAg*
Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau

dengan riwayat IDU)

VDRL/TPHA/PRP
Ronsen dada (utamanya bila curiga

Profil lipid serum


Gula darah

menyingkirkan adanya Ca Cervix

ada infeksi paru)


Tes Kehamilan (perempuan usia
reprodukstif dan perlu anamnesis
mens terakhir)
PAP smear /

IFA-IMS

untuk

yang pada ODHA bisa bersifat

Jumlah virus / Viral Load RNA

progresif)

HIV** dalam plasma (bila tersedia


dan bila pasien mampu)

Catatan :
* Adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum

terapi ARV karena berkiatan dengan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu
mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
**Pemeriksan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran
untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna
(bila pasien punya data) utamanya utnuk memantau perkembangan dan
4

menetukan suatu keadaan gagal terapi.


Persyaratan Lain Sebelum Memulai Terapi ARV

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus


dipersiapkan sevara matang dengan konseling kepatuhan karena terapi
ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV


dalam keadaan julah DC4 dibawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan
untuk memberikan kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2
minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Untuk
mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat, dan 2. Menyingkirkan
kemungkinan efek samping tumpang tindih abtara kotrimoksasol dan
obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek

samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol,


Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA


dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua
macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan
profilaksis sekunder.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan umtuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditunjukkan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang
pernah diderita sebelumnya.

BAB III

PEMBAHASAN

Pertanyaan dan Jawaban HIV/AIDS

1. Pertanyaan
: Laila Tanoor (Kelompok 4)
Apakah penyakit HIV AIDS dapat disembuhkan?
Bila dapat disembuhkan , kira-kira pengobatannya berapa lama?
Kapan lini kedua digunakan?
Bagaimana dengan pasien yang lupa meminum obat HIV AIDS?

Jawab: Penjawab (Fanny Agusty & ghina & lutvia)


Penyakit HIV AIDS tidak dapat disembuhkan, tetapi ada pengobatan terapi
untuk pengobatannya yaitu menggunakan terapi obat ARV (antiretroviral)
yang mana penggunaan obat ini untuk seumur hidup. lini kedua digunakan
jika lini pertama sudah tidak berefek atau resisten, Pasien boleh lupa minum
obat max 3 kali. Kalo udah lebih dari 3 X harus balik lagi pengobatan lini
pertama dari awal . Kalo sudah tidak bisa lini pertama maka lini kedua . Di
lini kedua gak boleh lupa karna sampai sekarang belum ditemukan obat HIV
lini ketiga. Apabila sewaktu pemeriksaan jumlah CD4 pada pasien berkurang
(daya imun pasien menurun) maka lini pertama diberhentikan dan lanjut ke
pemberian obat lini kedua. Sampai saat ini HIV belum dapat disembuhkan,
pengobatan yang dilakukan baru dapat memperpanjang umur hidup pasien
hingga mencapai maksimal 10 tahun dan juga menekan angka morbiditas
HIV. Untuk pasien yang lupa meminum obatnya akan mengakibatkan
resistensi yang mana jika sebelumnya menggunakan pengobatan lini pertama,
maka tidak dapat lagi digunakan pengobatan tersebut, maka untuk pasien
tersebut harus menggunakan pilihan obat lini kedua, jika lini kedua sudah
resisten, maka konsultasi lagi dengan dokter, pilihan mana yang baik
digunakan, tetapi kalau bisa untuk pasien yang terkena HIV AIDS tidak boleh
sampai lupa meminum obat, maka dari itu sebelum memulai terapi
pengobatan pasien diharuskan untuk konsultasi terapi ARV.

2. Pertanyaan
: Irwin Maulida (Kelompok 3)

Pada kondisi untuk ibu hamil, apakah setelah lahir anaknya harus
dipertahankan atau tidak (kondisi anak terkena HIV AIDS)?

Jawab: Penjawab (Wini Liana & ghina)


Wanita terinfeksi Hiv/aids tidak boleh merencanakan kehamilan. Apabila
kehamilan terjadi, ibu hamil tsb harus mempertahankan bayi nya dengan
syarat bumil harus patuh mengkonsumsi antiretroviral. Kepatuhan tsb
menyebabkan resiko terkena hiv pd bayi sekitar 30%. Selain itu hal yg bisa
menyebabkan penularan dari ibu ke bayi adalah melalui persalinan.
Persalinan yg normal berisiko bayi terpajan virus hiv karena ibu
mengeluarkan banyak pendarahan. Oleh karena itu, lebih baik ibu terinfeksi
hiv aids melahirkan secara caesar dengan SOP yg telah ditentukan. Dan
pencegahan selanjutnya adalah tidak memberikan ASI kepada bayi, karena
dapat menyebabkan penularan hiv. Dan menurut kemanusiaan anaknya harus
dipertahankan. Dan ada cara untuk melahirkan bayi dari ibu penderita HIV
yaitu dengan cara caesar dimana perut ibu dibelah dan bayi dikeluarkan
bersamaan dengan lapisan yang menyelimutinya (plasenta) tidak boleh pecah
dan segera di pindahkan ditempat khusus untuk diambil bayi nya supaya
dijauhkan dari darah ibu agar tidak tertular HIV. sebisa mungkin dihindari
kelahiran normal karna darah yang keluar dari ibu penderita HIV akan banyak
dikhawatirkan menular ke bayi nya.

3. Pertanyaan
: Shafira Husna Rizqan (Kelompok 4)
Terapi ARV itu untuk menghambat virus, apakah selain terapi tadi, adakah
terapi tambahan untuk pengobatan HIV AIDS? Dan apa terapi non
farmakologinya untuk meningkatkan imun?

Jawab: Penjawab ( Rino Mahfuziarudin Noor)


Terapi tambahannya dengan meminum suplemen untuk menjaga
kekebalan tubuh. Terapi non farmaka nya dengan banyak berdoa dan
beribadah

4. Pertanyaan
: Annisa Astika Ratih (Kelompok 8)
Pada slide klasifikasi pathogenesis HIV AIDS, ada disebutkan penduduk
diisolasi karena penularan melalui air mata, urin, dan air liur. Tetapi kenapa
hal tersebut tidak termasuk dalam penularan virus HIV AIDS?

Jawab: Penjawab (Tantri Alfionita)


Air mata dan urin itu bisa untuk isolasi HIV nya tapi dia tidak bisa
menularkan karena kadarnya yang sangat rendah, Dan penularan terbesar nya
yang pasti adalah melalui mani/semen dan darah, jadi bila seorang pasien
HIV menularkan ke orang dengan air liur, air mata, dan urin, itu tidak bisa
dikatakan bahwa yang terkena langsung divonis terkena HIV AIDS, karena
tes tersebut masih lemah untuk bisa dikatakan air mata, urin dan air liur dapat
menularkan virus HIV.

5. Pertanyaan
: Paramitha S. (Kelompok 12)
Penyakit HIV AIDS itu kan tidak dapat disembuhkan, pada kondisi seperti
apa yang dapat memperlambat virus itu dari gejala AIDS, dan bagaimana
penanganan untuk pasien hingga sampai kematian?

Jawab: Penjawab (Windy ana lestiani & Tantri )


Memperlambat HIV nya dengan minum obat ARV. Dan pengobatannyaa
sampai seumur hidup hingga kemtian.
Target
Populasi

ODHA
dewasa

Stadiu
m Klinis

Stadiu
m klinis 1 dan
2

Jumlah sel
CD4
>35
0
sel/mm3

<35
0
sel/mm3

Rekomen
dasi

Belum
mulai
terapi.
Monitor
gejala
klinis dan jumlah
sel CD4 setiap 612 bulan

Mulai
terapi

Stadiu
m klinis 3 dan
4

Apapu
n
Stadium
klinis

Apapu
n
Stadium
klinis

Pasien
dengan
koinfeksi TB

Pasien
dengan
koinfeksi
Hepatitis
B
Kronik aktif

Ibu

Apapu
hamil
n
Stadium
klinis

Berapapun
jumlah sel CD4

Mulai
Terapi

Berapapun
jumlah sel CD4

Mulai
terapi

Berapapun
jumlah sel CD4

Mulai
terapi

Berapapun
jumlah sel CD4

Mulai
terapi

Tahapan Perubahan HIV s/d AIDS

1. Fase 1

2.

3.

4.

Umur infeksi: 1-6 bulan


Belum terdeteksi tes darah
Belum terlihat gejala fisik

Fase 2
Umur infeksi: 2-10 tahun
Sudah terdeteksi, tes darah
Belum terlihat gejala fisik
Sudah dapat menularkan
Fase 3
Umur infeksi: variatif
Sudah terlihat gejala (sakit)
Belum disebut AIDS
Fase 4

Umur infeksi: variatif


Muncul infeksi opurtunistik
Sudah disebut AIDS
Kalau stadium 4 kemungkinan terjadi kematian besar.

6. Pertanyaan
: Ari (Kelompok 10)
Apakah seseorang yang melakukan oral seks itu dapat menularkan virus
HIV AIDS, dan bagaimana dengan korban seksual (pemerkosaan)

Jawab: Penjawab (Rini atmi & fanny & ghina)

Oral seks tergantung subyek dan objeknya. Jika subjek penderita HIV
maka obyek tidak terkena HIV. Tapi kalau objek penderita HIV maka subyek
juga akan terkena HIV karna mani pada penderita bisa saja masuk ke mulut
objek. Dan belum bisa dipastikan juga liur tidak mengandung darah.
Korban pemerkosaan tidak terkena HIV apabila pelaku bukan penderita
HIV. Tapi kalo pelaku itu penderita maka korban pemerkosaan juga terkena
HIV karna penularan adalah melalui mani yang bisa melalui hubungan
seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Princeton, Douglas C. 2003. Current Clinical Strategies: Manual of


HIV/AIDS Therapy. California: Current Clinical Strategies Publishing.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional: Tatalaksana Klinis Infeksi HIV


dan Terapi Antiretroviral, pada Orang Dewasa. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai