Aids
Aids
HIV / AIDS
DISUSUN OLEH:
FANNY AGUSTY
24041315345
GHINA NURKHALIFAH
24041315349
LUTVIA
24041315406
RINY ATMIATI
24041315422
24041315424
TANTRI ALFIONITA
24041315380
24041315383
WINI LIANA
24041315434
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GARUT
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul HIV/AIDS ini.
Kita semua mengetahui bahwa penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu
penyakit yang sangat berbahaya. Jadi, kami mencoba untuk membahasnya dalam
makalah ini. Kami mengangkat masalah tentang AIDS karena ingin mengulas halhal yang berkaitan dengan masalah HIV/AIDS yang kita semua ketahui
merupakan bukan masalah yang sepele.
Kami berharap dengan adanya makalah ini, para pembaca menjadi semakin
tahu apakah HIV/AIDS itu. Dan tahu apa saja gejala-gejala, cara-cara penularan
sampai pencegahan-pencegahan penyakit HIV/AIDS. Selain itu, dalam makalah
ini juga termuat kondisi HIV/AIDS di Indonesia dan usaha-usaha yang dapat
dilakukan apabila terinfeksi virus HIV. Pokoknya semua hal yang berkaitan
tentang AIDS akan kami bahas dalam makalah kami. Jadi, para pembaca akan
menjadi lebih mudah dalam mengenali maupun menghindari hal-hal yang dapat
menyebabkan terinfeksi virus HIV.
Dalam membahas masalah tentang AIDS ini, kami mendapatkan informasi
dari media elektronik khususnya media internet. Untuk itu, semua hal mengenai
HIV/AIDS kami muat dalam makalah ini. Mudah mudahan dengan hadirnya
makalah ini dapat memberikan manfaat dan berkontribusi positif bagi kepentingan
pembaca.
Tiada gading yang tak retak. Atas segala kekurangan makalah ini, kami
mohon koreksi, kritik, dan saran dari pembaca ataupun dari dosen mata kuliah
farmakoterapi. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.
Penulis
Kelompok 2
DAFTAR ISI
JUDUL.. i
KATA PENGANTAR .. ii
DAFTAR ISI. iii
BAB 1
PENDAHULUAN ... 1
TINJAUAN PUSTAKA .. 3
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
2.10
2.11
2.12
2.13
Ditegakkan....54
BAB I
PENDAHULUAN
penyebaran HIV/AIDS ini berlangsung secara cepat dan mungkin sekarang sudah
ada di sekitar kita.
Sejauh ini belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit HIV/AIDS ini,
bahkan penyakit ini belum bias dicegah dengan vaksin. Tetapu kita tidak perlu
takut, dengan membiasakan berperilaku sehat dan bertanggung jawab serta
senantiasa memegang teguh ajaran agama, maka kita akan terbebas dari
HIV/AIDS.
AIDS adalah suatu penyakit yang belum ada obatnya dan belum ada vaksin
yang bisa mencegah serangan virus HIV, sehingga penyakit ini merupakan salah
satu penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia baik sekarang
maupun waktu yang datang. Selain itu AIDS juga dapat menimbulkan
penderitaan, baik dari segi fisik maupun dari segi mental.
Mungkin kita sering mendapat informasi melalui media cetak, elektronik,
ataupun seminar-seminar, tentang betapa menderitanya seseorang yang mengidap
penyakit AIDS. Dari segi fisik, penderitaan itu mungkin, tidak terlihat secara
langsung karena gejalanya baru dapat kita lihat setelah beberapa bulan. Tapi dari
segi mental, orang yang mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS akan
merasakan penderitaan batin yang berkepanjangan. Semua itu menunjukkan
bahwa masalah AIDS adalah suatu masalah besar dari kehidupan kita semua.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dan alasan itulah kami sebagai pelajar,
sebagai bagian dari anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus bangsa,
merasa perlu memperhatikan hal tersebut.
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan
AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yaitu: H = Human
(manusia), I = Immuno deficiency (berkurangnya kekebalan), V = Virus.
Maka dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel
kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah
terserang berbagai penyakit antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan
gejala penyakit yang menyerang tubuh kita itulah yang disebut AIDS.
Maka, selama bertahun-tahun orang dapat terinfeksi HIV sebelum akhirnya
mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling sering ditemukan pada penderita
AIDS adalah sejenis radang paru-paru yang langka, yang dikenal dengan nama
pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu
kaposis sarcoma (KS). Biasanya penyakit ini baru muncul dua sampai tiga tahun
setelah penderita didiagnosis mengidap AIDS. Seseorang yang telah terinfeksi
HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang yang
tidak terinfeksi HIV.
Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka
telah tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa inkubasi penyakit ini termasuk
lama dan itulah sebabnya mengapa penyakit ini sangat cepat tertular dari satu
orang ke orang lain. Masa inkubasi adalah periode atau masa dari saat penyebab
penyakit masuk ke dalam tubuh (saat penularan) sampai timbulnya penyakit.
1.2 TUJUAN
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah ilmu pengetahuan
dan wawasan. Secara terperinci tujuan dari penelitian dan penulisan makalah ini
adalah:
a. Mengetahui penyebab AIDS serta bahaya yang ditimbulkan.
b. Mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SEJARAH HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun
1981 yang dipelajari melalui studi cohort pada pelaku homoseksual yang
mengalami penurunan imunitas. Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para
peneliti di Institut Pasteur Perancis pada tahun 1983 dan NIH yaitu sebuah institut
kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun 1984. Meskipun tim dari
Institute Pasteur Perancis yang dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang pertama
kali mengumumkan penemuan ini di awal tahun 1983 namun penghargaan untuk
penemuan virus ini tetap diberikan kepada para peneliti baik yang berasal dari
Perancis maupun Amerika. Peneliti Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala Limfadenopati, sehingga
pada waktu itu memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy Associated
Virus. Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini
HTLV-3 atau Human T-Cell Lymphotropic Virus Type-3.
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama,
sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of
Viruses
(1986)
WHO,
memutuskan
untuk
menetapkan
nama
Human
and
Prevention Amerika
Serikat
mencatat
adanya
Pneumonia
Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primate. Asal HIV-1 berasal dari Sooty
Mangabey (cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat
kontak dengan primate lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan
daging. Teori yang lebih controversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV
AIDS, menyatakan bahwa epidermik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di
Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski rehadap vaksin
polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umunya berpendapat bahwa scenario
tersebut tida didukung oleh bukti-bukti yang ada.
2.3 PENGERTIAN HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang tergolong
familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang
terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun
(kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya
dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan
daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun (Daili, F.S., 2009).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan
gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi
dibuat
dari
hasil
penularan.
Penyakit
ini
disebabkan
oleh
Human
2.4.1
TIPE HIV
HIV dapat dibagi menjadi dua tipe, yakni tipe 1 dan tipe 2. HIV-1 dapat
GROUP
HIV-1 dapat dibagi lagi menjadi empat grup, yakni M (main atau major), N
(new), O (outlier), dan P. Grup M adalah yang paling sering ditemukan di antara
semua grup yang tergabung dalam HIV-1. Grup O tampaknya hanya ditemukan di
Afrika Tengah-Barat. Grup N ditemukan pada tahun 1998 di Kamerun, sementara
grup P baru ditemukan pada tahun 2009 pada seorang wanita Kamerun.
Infeksi HIV-2 maupun HIV-1 grup O sangat jarang, dan oleh sebab itu
program pendeteksian dini rutin mungkin tidak mencakup tipe tersebut. Meski
begitu, tes EIA generasi keempat sudah mampu mendeteksi baik HIV-1 maupun
HIV-2. Siapapun yang curiga dirinya mendapat HIV-2, HIV-1 grup O, maupun
jenis-jenis lain yang jarang, harus menghubungi seorang dokter yang lebih ahli
(spesialis).
Tidak semua obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV-1 juga
efektif terhadap HIV2. Secara khusus, HIV2 resisten terhadap obat
antiretroviral tipe NNRTI. Lebih banyak penelitian dan pengalaman klinis
diperlukan untuk menentukan pengobatan yang paling efektif untuk HIV2.
2.4.3
SUBTIPE
Pada HIV-1, hingga saat ini dalam grup M telah ditemukan beberapa
rekombinasi,
suatu
proses
yang
menyebabkan
terjadinya
percampuran materi genetik kedua virus untuk menghasilkan suatu virus hybrid.
Biasanya virus hybrid ini tidak bertahan lama, tetapi virus yang berhasil bertahan
dan menginfeksi lebih dari satu orang digolongkan sebagai CRF (Circulating
Recombinant Forms). Setidaknya ada dua puluh CRF berhasil teridentifikasi.
*Satu CRF diberi nama CRF A/E karena dikatakan CRF tersebut berasal
dari rekombinan virus subtipe A dan E. Meski begitu, virus subtipe E
sesungguhnya belum pernah ditemukan dalam bentuk murni. Sekarang, orangorang lebih senang menyatakan CRF A/E sebagai subtipe E meskipun
penggunaan istilah ini juga kurang tepat.
Mengapa tidak ada subtipe I? Awalnya peneliti mengisolasi virus subtipe I
di daerah Cyprus, akan tetapi kemudian diketahui bahwa subtipe I sesungguhnya
adalah CRF yang terbentuk dari subtipe A, G, H, K, dan region tak terklasifikasi.
Sekarang istilah subtipe I tidak lagi digunakan.
2.5 ETIOLOGI
Daili, F.S. (2009) menyatakan bahwa virus masuk ke dalam tubuh manusia
terutama melalui perantara darah, semen dan sekret Vagina. Sebagian besar (75%)
penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh penderita
(sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian
diintregasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen permukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain
limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel
Langerhans pada kulit, sel dendrite folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada
alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel microglia otak. Virus yang
masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi
banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun
pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat
mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancurkan
limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan system kekebalan
tubuh menjadi lumpuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan
timbulnnya infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala AIDS.
2.6 PREVALENSI
2.6.1 HIV/AIDS di Global (Dunia)
Pada gambar dibawah menunjukkan prevalensi di dunia secara
keseluruhan sebesar 36,7 juta dan pada masing-masing negara memiliki
jumlah pengidap hiv yang berbeda berdasarkan Negara. Rata-rata pengidap
hiv global sebesar 5,26143 juta.
(6.203),
tenaga
non-profesional/karyawan
(5.638),
Dalam triwulan Juli s.d. September 2014 dilaporkan tambahan kasus HIV & AIDS
sebagaimana berikut:
HIV: 7335
AIDS: 176
Jumlah kasus HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 September 2014
adalah:
HIV: 22869
AIDS: 1876
Secara kumulatif kasus HIV & AIDS 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2014,
terdiri dari:
HIV: 150296
AIDS: 55799
2.7
PATOGENESIS
besar didalam limfosit CD4+ dan makrofag diseluruh sistem limfoid pada semua
tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel
dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama migrasi
melalui folikel-folikel limfoid.
2.8
KLASIFIKASI
Stadium
I
Gejala Klinis
Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala
II
III
IV
gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat menularkan
kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan menunjukkan
tanda-tanda atau gejala-gejala.
Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Pembagian tingkat
klinis penyakit infeksi HIV. Dibagi sebagai berikut :
I.
II.
III.
IV.
virus structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi
(antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus
diperiksa.
Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat. Untuk memantau
progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4 diperiksa secara
teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum pengobatan
menentukan
kecepatan
penurunan
CD4,
dan
pemeriksaan
jam.
PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :
a Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan
menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan
penyakit tersebut. Zat kekbalan itulah yang diturunkan pada bayi
melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-
olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (catatan: HIV sering
merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIV-nya sendiri).
b Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
c Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas
7
Tablet Nistatis 100.000 IU selama, dihisap setiap 4 jam selama 7 hari atau
Suspensi Nistatin 3-5 cc dikumur 3 kali sehari selama 7 hari
pneumocystis
(PCP)
awalnya
diketahui
dengan
nama
Pneumonia Pneumocystis carinii, jarang dijumpai pada orang yang sehat dan
imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit
ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. PCP biasanya terjadi gejala
demam, batuk kering, dan nafas pendek atau dispnea dan keringat malam subakut
sampai 1-2 bulan. Sebelum adanya diagnosis, perawatan dan tindakan pencegahan
rutin dilakukan di negara-negara Barat. Penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum di tes, walaupun
umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 <200 sel/L.
Diagnosis dilakukan dengan melihat kelainan pada foto toraks dengan infiltrat
intersisial bilateral (Princeton, 2003).
Terapi pilihan
dosis atau,
Kotrimoksasol 480 mg, 2 tablet 4 kali sehari untuk BB < 40 k g dan 3
tablet 4 kali sehari untuk BB > 40 kg selama 21 hari .
Terapi alternatif
mg oral sekali sehari selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa.
Untuk pasien yang parah dianjurkan pemberian Pednisolon 40 mg, 2
kali sehari, dengan penurunan dosis secara bertahap hingga 7 - 10 hari,
tergantung dari respon terhadap terapi (Pedoman ART, 2011).
4. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi terkait HIV
lainnya karena dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute
respirasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi
obat. Namun demikian, kekebalan terhadap berbagai obat adalah masalah serius
pada penyakit ini. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L),
TB muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada infeksi HIV belakangan, TB sering
muncul dengan penyakit ekstrapulmoner (sistemik). Gejala biasanya bersifat
konstitusional dan tidak dibatasi pada satu tempat, sering menyerang sumsum
tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, nodus limfa regional,
dan sistem saraf pusat. Selain itu, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan
dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner. Diagnosis dilakukan dengan
cara pemeriksaan dahak SPS untuk mencari BTA, dan foto toraks. Terapi sesuai
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Princeton, 2003).
5. Esofagitis
klindamisin 4 X 600 mg
Asam folinat 15 mg setiap 2 hari bila tersedia
Terapi selama 6 minggu
Terapi rumatan
9. Meningitis kriptokokal
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini
dapat menyebabkan demam, sakit kepala belakang, lelah, mual, dan muntah.
Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan. Diagnosis dapat dilihat dari peningkatan tekanan
intrakranial pada punksi lumbal, protein di cairan seresbrospinal, dan dapat
ditemukan organisme dalam CSP atau lesi kulit dengan sediaan pengecatan tinta
India di bawah mikroskop (Princeton, 2003).
Terapi pilihan :
Amfoterisin B IV (0,7 mg/ kg/ hari) selama 2 minggu diikuti dengan flukonasol
400 mg perhari selama 8-10 minggu. Hati- hati akan efek samping nefrotoksik.
Terapi alternatif:
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama
AIDS. Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus manusia (HPV).
14. Tumor lainnya
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti
limfoma Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus besar.
Stadium
Klinis
Rekomendasi
ODHA dewasa
Stadium klinis
1 dan 2
>350
sel/mm3
<350
sel/mm3
Stadium klinis
3 dan 4
Apapun
Stadium klinis
Apapun
Stadium klinis
Pasien dengan
ko-infeksi TB
Pasien dengan
ko-infeksi
Hepatitis
B
Kronik aktif
Ibu hamil
Apapun
Stadium klinis
Belum
mulai
terapi.
Monitor
gejala klinis dan
jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
Mulai terapi
Berapapun
sel CD4
Berapapun
sel CD4
Berapapun
sel CD4
jumlah
Mulai Terapi
jumlah
Mulai terapi
jumlah
Mulai terapi
Berapapun
sel CD4
jumlah
Mulai terapi
Rekomendasi
ARV diberikan langsung setelah
diagnosis infeksi ditegakkan
ARV diberikan setidaknya 2
minggu
setelah
pasien
mendapatkan pengobatan infeksi
opportunistik
Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat
(Zidovudine + Lamivudine +
Atau
Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine +
Atau
Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
Atau
Emtricitabine) + Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)
Populasi
Target
Pilihan yang
direkomendasikan
Catatan
Dewasa
anak
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI:
Hentikan NVP atau EFV
Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian
Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko
resistensi NNRTI.
Penggunaan NVP dan EFV
NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara.
Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga.
NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson
dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi.
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3
bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama.
Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4
>250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada
laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui
jumlah CD4-nya.
Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan
satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2
kali sehari.
EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan
baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia
dibandingkan NVP.
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat
(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat
teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester
dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri
tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan
meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut
dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian
obat oleh pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik
berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan
trimester pertama.
EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin.
Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi
TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai
terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.
2. Pilihan Pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah:
AZT+3TC +TDF
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya,
setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama
karena supresi virologisnya kurang kuat.
3. Penggunaan AZT dan TDF
AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal.
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT.
Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu
antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang
lanjut.
3TC + FTC
TDF + 3TC + ABC atau
TDF + 3TC + ddI
TDF + ddI + NNRTI manapun
umumnya adalah berupa inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun
infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan
infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada
ODHA yang berespons baik terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini
merupakan respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap
rangsangan antigen tertentu setelah pemberian ARV.
Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta analisis
adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung
pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan
koinfeksi dengan patogen lain.
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu
sindrom pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun
paradoksikal. Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan
tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung
mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis paradoksikal, pasien telah
mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya. Setelah mendapatkan
ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari
bahan infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak
mudah. Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit
infeksi atau non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS
Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat
konsensus untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut:
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and
successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah
saat memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai
terapi ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus
RNA HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat
diagnosis infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai
terapi infeksi oportunistik dan memulai terapi ARV.
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya
pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari
prednisolon.
Tabel 10. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA
F. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana
pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya
karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan
lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau
kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap
kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan
pasien mengkonsumsi ARV.
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan
terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk
mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua
dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien
sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan
pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan
membantu pasien untuk patuh minum obat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:
1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem
pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah
penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena
hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan
dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan
kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan
membantu pasien.
2. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin,
ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan,
dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks
komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza,
terhadap
kompetensi
tenaga
kesehatan,
komunikasi
yang
pengobatan.
Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik.
Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak
terlewatkan.
Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.
Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau
dll).
Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa
suntik).
Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan
obat ARV yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk
komunikasi dengan dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obat-
Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek
lain diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi
ketidak patuhan pasien.
dari ARV
Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu
yang
membantu
pengobatan.
Konseling
kepatuhan
dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan secara terus menerus dan
berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien merasa bosan.
2.13 PANDUAN TERAPI HIV DAN AIDS
perlu
dilakuakan
secara
terintegritas,
paripurna,
dan
& Testing).
Tes HIV dan Konseling atas inisiti petugas kesehatan (KTIP-PITC =
Provider-intiated Testing Counseling).
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
Tabel 1. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
3
saat
diagnosis,
pemberitahuan
dan
pengobatan
pasangan,
Positif Prevention
Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat
terapi ARV harus disertai sengan perubahan perilaku berisiko. Dengan
demikian terapi ARV harus disertai dengan pencegahan lain seperti,
penggunaan kondom, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan
IMS dengan panduanyang tepat.
kali kunungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
Penilaian Imunologi (Pemeriksaan Jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menetukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV.
Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan
peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 100 sel/mm3/tahun.
Darah lengkap*
Jumlah CD4*
SGOT / SGPT*
Kreatinin Serum*
Urinalisa*
HbsAg*
Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau
VDRL/TPHA/PRP
Ronsen dada (utamanya bila curiga
IFA-IMS
untuk
progresif)
Catatan :
* Adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum
terapi ARV karena berkiatan dengan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu
mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
**Pemeriksan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran
untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna
(bila pasien punya data) utamanya utnuk memantau perkembangan dan
4
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pertanyaan
: Laila Tanoor (Kelompok 4)
Apakah penyakit HIV AIDS dapat disembuhkan?
Bila dapat disembuhkan , kira-kira pengobatannya berapa lama?
Kapan lini kedua digunakan?
Bagaimana dengan pasien yang lupa meminum obat HIV AIDS?
2. Pertanyaan
: Irwin Maulida (Kelompok 3)
Pada kondisi untuk ibu hamil, apakah setelah lahir anaknya harus
dipertahankan atau tidak (kondisi anak terkena HIV AIDS)?
3. Pertanyaan
: Shafira Husna Rizqan (Kelompok 4)
Terapi ARV itu untuk menghambat virus, apakah selain terapi tadi, adakah
terapi tambahan untuk pengobatan HIV AIDS? Dan apa terapi non
farmakologinya untuk meningkatkan imun?
4. Pertanyaan
: Annisa Astika Ratih (Kelompok 8)
Pada slide klasifikasi pathogenesis HIV AIDS, ada disebutkan penduduk
diisolasi karena penularan melalui air mata, urin, dan air liur. Tetapi kenapa
hal tersebut tidak termasuk dalam penularan virus HIV AIDS?
5. Pertanyaan
: Paramitha S. (Kelompok 12)
Penyakit HIV AIDS itu kan tidak dapat disembuhkan, pada kondisi seperti
apa yang dapat memperlambat virus itu dari gejala AIDS, dan bagaimana
penanganan untuk pasien hingga sampai kematian?
ODHA
dewasa
Stadiu
m Klinis
Stadiu
m klinis 1 dan
2
Jumlah sel
CD4
>35
0
sel/mm3
<35
0
sel/mm3
Rekomen
dasi
Belum
mulai
terapi.
Monitor
gejala
klinis dan jumlah
sel CD4 setiap 612 bulan
Mulai
terapi
Stadiu
m klinis 3 dan
4
Apapu
n
Stadium
klinis
Apapu
n
Stadium
klinis
Pasien
dengan
koinfeksi TB
Pasien
dengan
koinfeksi
Hepatitis
B
Kronik aktif
Ibu
Apapu
hamil
n
Stadium
klinis
Berapapun
jumlah sel CD4
Mulai
Terapi
Berapapun
jumlah sel CD4
Mulai
terapi
Berapapun
jumlah sel CD4
Mulai
terapi
Berapapun
jumlah sel CD4
Mulai
terapi
1. Fase 1
2.
3.
4.
Fase 2
Umur infeksi: 2-10 tahun
Sudah terdeteksi, tes darah
Belum terlihat gejala fisik
Sudah dapat menularkan
Fase 3
Umur infeksi: variatif
Sudah terlihat gejala (sakit)
Belum disebut AIDS
Fase 4
6. Pertanyaan
: Ari (Kelompok 10)
Apakah seseorang yang melakukan oral seks itu dapat menularkan virus
HIV AIDS, dan bagaimana dengan korban seksual (pemerkosaan)
Oral seks tergantung subyek dan objeknya. Jika subjek penderita HIV
maka obyek tidak terkena HIV. Tapi kalau objek penderita HIV maka subyek
juga akan terkena HIV karna mani pada penderita bisa saja masuk ke mulut
objek. Dan belum bisa dipastikan juga liur tidak mengandung darah.
Korban pemerkosaan tidak terkena HIV apabila pelaku bukan penderita
HIV. Tapi kalo pelaku itu penderita maka korban pemerkosaan juga terkena
HIV karna penularan adalah melalui mani yang bisa melalui hubungan
seksual.
DAFTAR PUSTAKA