Anda di halaman 1dari 5

Ovulasi adalah proses pemecahan folikel degraaf terjadi sewaktu ovum

dilepaskan dari ovarium. Tingkatan ovarium adalah primer, sekunder, tersier dan
folikel de graaf. Luteinizing Hormon (LH) menyebabkan pengendoran dinding folikel
sehingga lapisan-lapisan pecah dan melepaskan ovum dan cairan folikel. Sesudah
ovulasi terbentuklah Corpus Luteum di dalam folikel yang telah pecah dan mulai
mensekresikan progesteron. Hewan-hewan betina dewasa yang disuntikkan hormon
gonadotropin dapat menghasilkan 20 s/d 100 ova pada satu estrus. Pertumbuhan
folikel yang berkepanjangan akan meningkatkan kadar estrogen dan kadar estrogen
yang tinggi dan berkepanjangan akan mengganggu sekresi LH dan akhirnya akan
meningkatkan persentase folikel yang tidak terovulasi (Chupin et al., 1984).
Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum
lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon
dari luar, untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon
superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Superovulasi
yang telah dilakukan menggunakan 2 metode yaitu metode injeksi dan implan.
Metode injeksi dengan menyuntikkan ternak sapi di bagian subcutan dan metode
implant dengan cara memasukkan sidar yang telah mengandung hormon FSH ke
bagian tuba fallopi ternak sapi tersebut. Superovulasi dapat diinduksi secara buatan
melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya
Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotropine
(PMSG). Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses
pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel
pada ternak sapi.
Preparat hormon yang sudah sering digunakan dan diteliti untuk superovulasi
adalah preparat hormon PMSG. Tetapi memiliki beberapa efek samping yang dapat
menyebabkan gangguan reproduksi seperti terjadinya folikel sistik. Dosis yang terlalu
tinggi pada superovulasi dapat menyebabkan stimulasi ovarium yang berkepanjangan,
hal ini dapat menimbulkan sistik folikel dan dapat pula menimbulkan berkurangnya
kualitas sel telur yang dihasilkan (Hermadi et al., 2005). Maka diperlukan hormon

alternatif seperti hMG (Human Menopause Gonadotropin) yang memiliki fungsi


FSH-LH like dengan proporsi yang lebih seimbang dan diharapkan dapat
memperkecil ataupun meniadakan jumlah folikel yang tidak terovulasikan.
Hormon FSH mempunyai waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2-5 jam.
Pemberian FSH dilakukan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari
dengan dosis 28 - 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan
pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah berahi. Menurut Hunter (1995), FSH
berfungsi merangsang pertumbuhan folikel yang muda menjadi matang, sehingga
dapat diovulasikan dan siap difertilisasi setelah inseminasi. Dhanani et al. (1991)
melakukan penyuntikan FSH terhadap sapi Brahman menghasilkan jumlah CL ratarata sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio koleksi sebanyak 7,2 dan jumlah embrio
layak transfer sebanyak 5,5 embrio per induk.
Parameter keberhasilan suatu usaha superovulasi dapat dilihat dari beberapa
faktor. Salah satu faktor yang diperiksa untuk menentukan faktor keberhasilan
superovulasi adalah penghitungan korpus luteum (CL) yang ada. Penghitungan CL
sering dipakai pada penelitian mengenai superovulasi untuk mengukur keberhasilan
superovulasi. Korpus luteum merupakan kelanjutan dari rongga folikel yang telah
berovulasi yang mengalami proses luteinisasi yang membentuk tenunantenunan dan
mensekresikan hormon progesterone (Hardopranjoto, 1995). Sehingga dengan
menghitung jumlah CL yang ada maka dapat diketahui tingkat keberhasilan hormon
gonadotropin dalam menginduksi folikel-folikel yang berovulasi pada usaha
superovulasi. Faktor lainnya adalah jumlah embrio yang didapat setelah diflushing.
Efisiensi dari usaha superovulasi sendiri terpengaruhi oleh adanya abnormalitas yang
muncul, seperti adanya folikel anovulatorik atau folikel sisa / yang tidak
terovulasikan dari superovulasi (Lopez A. et al., 2005).

Anonim.

2009. Bahan

Ajar

Dasar

Ilmu

Reproduksi

Ternak .

Fakultas

Peternakan.Universitas Hasanuddin. Makassar.

Anonim .2009.http://www.fkhunair/bahanajar/ilmumugidah/alat
reproduksiternak/20.08.09/7.43PM/Anonim

Anonim. 2009.http://www.ilri.org/21.02.09/9.21PM/Anonim

Anonim.

2009.http://www.wordpress.com/proses

reproduksi/26.08.09/00.03AM/Anonim

Anonim.2009.http://www.fkhunair/bahanajar/ilmumugidah/implantasi/20.08.09/7.41P
M/Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak . Airlangga University
Press.Surabaya.
Imron, A. 2008. Biologi Reproduksi . Universitas Brawijaya. Malang.Luqman, M.,
1999.Fisiologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan UniversitasAirlangga.
Surabaya.
Poernomo, B. 1999. Diktat Ilmu Mugidah.Universitas Airlangga. Surabaya.Purwo, H.
2009. Peran Fetus dan Induk dalam Inisiasi Kelahiran. FakultasKedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya.
Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak . Angkasa. Bandung.

Progesteron merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh corpus luteum dan
plasenta dalam jumlah yang banyak pada sapi yang bunting dan sedikit pada sapi
yang tidak bunting. Progesteron timbul setelah ovulasi dan menimbulkan
perkembangan yang meluas dari endometrium, menyiapkan uterus untuk siap
menerima embrio. Secara garis besar fungsi fisiologik progesterone terhadap uterus
diantaranya menghambat pengaruh oksitosin terhadap miometrium, menghambat
kontraksi miometrium dan merangsang pertumbuhan kelenjar susu uterus pada
endometrium. Dengan adanya kadar progesteron yang tinggi pada awal kebuntingan,

dibandingkan dengan periode lain maka hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk
pemeriksaan kebuntingan secara hormonal (Saragih, 1987).

Preparat Teknologi Superovulasi


Preparat yang umum digunakan untuk superovulasi adalah
1)

FSH
Folikel Stimulating Hormon merupakan hormon yang dihasilkan dari

adenohypofise (anterior pituitary). FSH merupakan hormon yang dapat menstimulir


perkembangan folikel. FSH memiliki kandungan asam sialat rendah. Pada aplikasi
untuk superovulasi FSH diberikan dengan dosis ganda (4-5 hari dengan jumlah dosis
28-50 mg).
2)

LH
Luteinizing Hormon juga merupakan hormon yang dihasilkan dari

adenohypofise (anterior pituitary). Adapun fungsi hormon ini adalah untuk membantu
ovulasi dan pembentukan corpus luteum. Pada aplikasinya, LH jarang diberikan
karena LH endogen masih cukup untuk membantu ovulasi.
3)

PMSG
PMSG merupakan hormon yang dihasilkan dari placenta pada kuda bunting.

Hormon ini bersifat FSH-like karena dominan aktivitas hormon PMSG mirip dengan
FSH dan sedikit LH. PMSG memiliki kandungan asam sialat yang lebih tinggi dan
memiliki waktu paruh yang lebih lama sekitar 5-6 hari. Pada aplikasinya, PMSG
diberikan pada dosis tunggal (1500-3000 IU).

4)

HCG
Berbeda dengan PMSG, HCG adalah hormon yang dihasilkan dari plasenta

wanita hamil. Hormon ini lebih bersifat LH-like karena dominan aktivitas hormon
HCG mirip dengan LH dan sedikit FSH. Pada aplikasinya, hormon HCG diberikan
pada awal estrus setelah pemberian PMSG atau FSH untuk induksi estrus dengan
dosis 2500 IU
5)

hMG

hMG merupakan gonadotropin yang dihasilkan dari wanita menopause


sehingga mudah diperoleh. Berbeda dengan PMSG ataupun HCG, hMG lebih bersifat
seimbang antara pengaruh sifat FSH dan LH nya sehingga kemungkinan lebih kecil
terjadinya proses sistik 5empe atau sistik folikel serta dapat dipakai sebagai preparat
hormon dalam menginduksisuperovulasi (Beatrice, 2011). Pada aplikasinya, hMG
diberikan pada awal estrus setelah PMSG atau FSH dengan dosis 2000 IU.
Pada pengaplikasian teknologi superovulasi dengan preparat hormon
umumnya diikuti atau tidak diikuti dengan pemberian PGF 2. Apabila diikuti msks
pemberian PGF 2 dilakukan pada 2 -3 hari setelah pemberian preparat hormon.

Anda mungkin juga menyukai