Anda di halaman 1dari 103

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Fungsi anggota badan (Ekstrernitas) manusia bagian atas yang terdiri atas lengan dan
tangan adalah bagian yang sangat penting bagi kehidpan kita sehari-hari. Kita
mempergunakan anggota badan bagian atas tersebut antara lain untuk membersihkan diri,
mengenakan pakaian, makan, minum, mengendarai kendaraan, menyelesaikan pekerjaan kita
masing-masing serta masih banyak kegiatan sehari-hari yang mempergunakan anggota badan
bagian atas. Agar lengan daan tangan tersebut dapat berfungsi dengan baik, selain otot-otot
dan persyarafannya harus baik, maka persendian harus dapat berfungsi secara baik pula.
Adanya gangguan pada persendian yang berupa terbatasnya gerakan dan kekakuan sendi
akan dapat mengakibatkan terganggunya fungsi anggota badan bagian atas tersebut, sehingga
mengakibatkan terhalangnya sebagian kegiatan kita sehari-hari. Salah satu sendi pada
anggota badan bagian atas yang sering mengalami gangguan adalah sendi bahu.
Gangguan sendi bahu sebagian besar didahului oleh adanya rasa nyeri pada bahu,
terutama rasa nyeri yang timbul sewaktu menggerakkan bahu, sehingga yang bersangkutan
takut menggerakkan bahunya. Akibatnya bahunya menjadi kaku. Mengingat cukup luasnya
penyebab nyeri bahu, Penulis membatasi pokok masalah nyeri bahu pada maskuloskeletal
yang disebabkan proses degenerasi yaitu : tendinitis, bursitis dan kapsulitis adhesiva.
Fisioterapi pada kasus nyeri bahu pada pelaksanaannya menggunakan cara antara lain : terapi
panas, terapi dingin dam modalitas lain yang dianggap cocok. Dari sekian banyak modalitas
fisioterapi yang ada, terapi latihan merupakan pilihan yang tepat untuk mencegah gangguan
fungsi sendi. (David, 2009)
Dengan adanya tugas referat ini dapat diketahui proses terapi latihan dalam mencegah
dan mengobati gangguan fungsi sendi bahu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri Bahu
Nyeri bahu merupakan keluhan yang sering dijumpai sehari-hari yang disebabkan
oleh nyeri lokal atau nyeri saat menggerakkan lengan, misalnya pada waktu memakai baju,
menyisir rambut, mengambil dompet di saku belakang. Keluhan di atas sering menimbulkan
masalah diagnostik karena dapat melibatkan berbagai macam jaringan, seperti persendian,
bursa, otot, syaraf bahkan organ yang jauh dari tempat nyeri.(Pirguna, 2010)
2.2 Anatomi Fisiologis Nyeri (Syaifudin, 2011)

Gambar 2.1Anatomis Fisiologis Sendi Bahu


Secara ringkas dijelaskan sebagai berikut :
1. Sendi Glenohemeralis
Sendi ini termasuk klasifikasi sendi bola dan mangkuk (ball and soket) dimana
kaput humerus yang berberntuk hampir setengah bola dengan diameter tiga sentimeter
berhubungan dengan fossa glenoidalis dari skapula. Segera akan tampak bahwa ada
ketidaksesuaian antara dua bagian tulang yang mengadakan persendian ini, dimana
bola dari caput humeri yang bernilai sudut 153 0 masuk ke dalam mangkuk dari
fossa glenoidalis yang bernilai sudut 75 0. Keadaan ini secara anatomis membuat sendi
2

ini tidak stabil. Adanya labrium glenoidalis, suatu jaringan fibrokarfilaginous di


sepanjang tepi fossa glenoidalis serta menghadapnya fossa glenoidalis agak ke atas
membuat sendi ini lebih stabil. Kapsul sendi ini sangat tipis dan di bagian depan
diperkuat oleh ligamentum glenohumeralis superior, medius dari ligamen ini terdapat
lubang yang disebut foramen weitbrecht. Dengan demikian daerah ini merupakan
daerah locus minoris resistensia yang menyebabkan mudahnya terjadi dislokasi kaput
humerus ke anterior. Terdapat tiga buah busa yang berhubungan dengan kavum
sinovium, yaitu busa subakromialis, subdeltoideus dan subkorakoideus. Fungsinya
adalah memudahkan pergerakan otot-otot deltoideus supraspinatus, infraspinatus,
teres minor dan subskapularis.
2. Sendi Suprahumeral
Merupakan sendi palsu yang bersifat melindungi (protective) persendian antara
kaput humerus dan lengkungan lebar ligamen yang menghubungkan proccesus
korakoideus dan akromion. Lengkungan korakoakromialis melindungi sendi
glenohumeralis terhadap trauma dari atas dan mencegah dislokasi ke atas dari kaput
humerus. Sendi suprahumeral ini dibatasi oleh kavitas glenoidalis dibagian
superiornya, proccesus akromialis dibagian posterior. Sedangkan dibagian anterior
dan medialnya oleh proccesus kcrakoideus dan dia atasnya terdapat ligamen
korakoakromial. Kaput humerus berada di bawah susunan ini. Di dalam sendi ini
didapatkan bursa subakromial, bursa subkorakoid, otot dan tendon supraspinatus,
superior dari kapsul glenohumeral, tendon biseps dan jaringan ikat. Ketika lengan
diabduksikan, tuberositas majus harus melewati dibawah ligamen korakoakromialis
dan tidak mengadakan penekanan pada jaringan yang ada di bawahnya. Pergerakan
ini memerlukan koordinasi kerja otot yang halus, kelenturan (laxity) jaringan lunak
dan gerakan eksorotasi dari humerus yang benar. Gangguan dari faktor tersebut dapat
mengakibatkan pembatasan gerak, nyeri dan distabilitas.
3. Sendi Akromioklavikularis
Adalah persendian antara klavikula dan acromion. Sendi ini termasuk dalam sendi
yang tidak beraturan. Sendi ini diperkuat oleh ligament akromioklavikular yang
berjalan dari bagian atas distal klavikula hingga permukaan atas dari proccesus
akromialis dan di belakang oleh aponeurosis dari otot trapezius dan deltoid. Stabilitas
klavikula oleh ligamen korakoklavikular sebenarnya terdiri dari 2 ligamen, yaitu
ligamen conoid dan ligamen trapezoid) yang mengikat klavikula dengan proccesus
korakoid. Rotasi dari klavikula primer terjadi bila lengan diabduksi lebih dari 900
(waktu skapula berotasi ke atas), maka terjadi rotasi klavikula mengitari sumbu
3

panjangnya. Elevasi pada sudut 30 0 pertama terjadi pada sendi sternoklavikularis dan
300 berikutnya terjadi akibat rotasi klavikula pada sumbu panjangnya.
4. Sendi Skapulokostalis
Merupakan persendian antara skapula dan dinding thoraks, dimana diantaranya
terdapat otot subskapularis dan serratus anterior yang disebut juga a bone muscles
bone articulation. Otot penggerak utamanya yaitu serratus anterior dan trapezius.
Pada sendi ini, skapula bergerak menggelincir pada dinding thoraks.Gerakannya ada
dua tipe, yaitu translasi (gerak dari skapula ke atas, ke bawah, ke depan dan ke
belakang) dan gerak rotasi melalui sumbu tegak lurus. Biasanya gerak skapula adalah
gerak kombinasi daripada kedua gerak ini. Beberapa peneliti mengatakan bahwa
antara sendi glenohumeral dan skapulakostal terdapat perbandingan saat melakukan
gerakan abduksi dan fleksi bahu. Mereka menemukan bahwa dua pertiga dari gerakan
tersebut dilakukan oleh sendi glenohumeral (sekitar 1200) sedangkan sepertiganya
oleh sendi skapulakostalis (sekitar 600). Jadi perbandingannya 2:1, yang merupakan
hasil yang konstan.
5. Sendi Sternoklavikular
Adalah persendian synovial antara manubrium sterni dan klavikula bagian
proksimal. Meniskus menempel pada klavikula bagian superior dan pada kartilago
tulang rusuk pertama, membagi sendi sternoklavikular menjadi dua unitfungsional
untuk gerakan menggelincir. Anteroposteroir gliding (protraksi dan retraksi dari
klavikula) terjadi antara sternum dan meniskus, sedangkan superoinferior gliding
(elevasi dan depresi dari klavikula) terjadi antara klavikula dan meniskus.
Penghubung antara sternum dan klavikula di bentuk oleh ligament sternoklavikular
anterior dan posterior, dan ligamen interklavikular menghubungkan antara dua
klavikula.
6. Sendi Kostosternalis
Merupakan persendian yang menghubungkan tulang iga dengan tulang sternum.
Persendian ini termasuk dalam jenis sendi sinkondrosis.
7. Sendi Kostovertebralis
Merupakan persendian antara tulang iga dengan korpus vertebralis yang terdiri
dari:
o Penghubung kaput kosta dengan kospus vertebra.
o Yang menghubungkan leher dan tuberkel kosta dengan proccesus
transversus.
Gerakan kompleks yang dapat dilakukan oleh bahu selain ditunjang oleh banyaknya
sendi pada bahu ( 7 sendi) juga ditunjang oleh banyaknya otot yang berperan dalam
4

melakukan gerakan bahu. Kumpulan otot-otot ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu
kelompok otot yang menggerakkan dan menstabilkan scapula (shoulder girdle). Otot-otot
tersebut, yaitu :
A. Penggerak Sendi Bahu
1. Deltoid
Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
Pars clavicularis (anterior)
Origo : Akromial sepertiga klavikula
Gerakan : Prime mover fleksi 900 dan adduksi bahu dan sebagai pembantu
gerakan internal rotasi dan abduksi lebih dari 600 dari bahu.
Pars acromialis (middle)
Origo : acromion
Gerakan : Prime mover abduksi bahu sampai 900
Pars spinalis (posterior)
Origo : Spina skapula (ventral bertendon pendek, dorsal bertendo panjang)
Gerakan : Prime mover ekstensi bahu
Insertio : Tuberositas deltoid (bursa subdeltoid antara otot dan tuberkulum
majus)
Persyarafan : N. Axillaris (C5 C6)
2. Supraspinatus
Origo : Fosa supraspinatus
Insertio : Tuberkulum majus humerus
Persyarafan : N. Supraskapularis (C5)
Gerakan : Prime mover abduksi bahu hingga 900
3. Infraspinatus
Origo : Fosa infraspinatus
Insertio : Middle dari tuberkulum majus humerus
Persyarafan : N.Supraskapularis (C5)
Gerakan : Prime mover rotasi ke lateral dan ekstensi horisontal bahu dan
sebagai pembantu gerakan abduksi horisontal bahu.
4. Subskapularis
Origo : Fosa subskapularis
5

Insertio : Tuberculum minus humerus


Persyarafan : N. Subskapularis superior dan inferior (C5 C6)
Gerakan : Prime mover rotasi ke dalam dari humerus
5. Teres minor
Origo : Permukaan belakang lateral skapula
Insertio : Distal dari tuberkulum majus humerus
Persyarafan : N. Axillaris (C5)
Gerakan : Prime mover rotasi kelateral dan ekstensi horisontal bahu dan
sebagai pembantu gerakan abduksi horisontal bahu.
Kelima otot di atas disebut juga sebagai otot intrinsik bahu, sedangkan otot nomor dua
hingga lima disebut sebagai Rotator Cuff.
6. Teres Mayor
Origo : Lateral skapula dan angulus inferior
Insertio : Krista tuberkulum minus humerus
Persyarafan : N. Subskapularis inferior (C5 C6)
Gerakan : Prime mover ekstensi bahu
7. Latissimus Dorsi
Origo : Proccesus spinosus dari thorakal 6 hingga lumbal belakang sakrum,
bagian posterior krista illiaka dan beberapa tulang iga bagian bawah.
Insertio : Medial sulkus bisipitalis
Persyafaran : N. Thorakodorsalis (C7 C8)
Gerakan : Prime mover ekstensi dan rotasi kemedial dari bahu.
8. Korakobrakhialis
Origo : Proccesus korakoid skapula
Insertio : Permukaan anteromedial humerus
Persyarafan : N. Muskulokutaneus (C6 C7)
Gerakan : Prime mover fleksi bahu 900
9. Pektoralis Mayor
Dibagi tiga, yaitu :
6

Pars klavikularis
Origo : dua pertiga bagian media klavikula
Pars manubrialis
Origo : Sternum
Pars Sternokostalis
Origo : Kartilago kostae 1 6
Insertio : Tuberkulum majus humerus
Persyarafan : N. Pektoralis medial dan lateral (C5, C6, C7, C8, T1)
Gerakan : Prime mover adduksi horisontal dan rotasi ke medial bahu.
B. Penggerak Pergelangan Bahu
1. Serratus anterior
Origo : 8 tulang rusuk bagian anterolateralis
Insertio : Permukaan anterior skapula dari sudut atas hingga bawah
Persyarafan : N. Thorakalis longus (C5, C6, C7)
Gerakan : Prime mover adduksi dan rotasi ke atas skapula dansebagai
pembantu gerakan abduksi bahu 900
2. Rhomboideus mayor
Origo : Proccesus spinosus thorakal 2, 3, 4, dan 5
Insertio : Medial skapula hingga bawah skapula
Persyarafan : N. Skapulodorsalis (C5)
Gerakan : Prime mover adduksi dan rotasi ke bawah skapula dan sebagai
pembantu gerakan elevansi skapula.
3. Rhomboideus minor
Origo : Proccesus spinosus cervikal 7 dan thorakal 1
Insertio : Spina skapula
Persyarafan : N. Skapulodorsalis (C5)
Gerakan : Prime mover adduksi dan rotasi ke bawah skapula dan sebagai
pembantu gerakan elevansi skapula
4. Levator skapula
Origo : Proccesus transversus cervikalis 1 4
Insertio : Tepi atas skapula
Persyarafan : N. Skapulodorsalis (C3, C4, C5)
Gerakan : Prime mover elevansi skapula
7

5. Pektoralis minor
Origo : Tulang iga 3, 4, 5
Insertio : Proccesus korakoideus
Persyarafan : N. Pektoralis medialis (C8 Th1)
Gerakan : Adduksi horisontal bahu
6. Subsklavius
Origo : Permukaan atas tulang rusuk
Insertio : Bagian bawah klavikula
Persyarafan : N. Subklavius (C5 C6)
Gerakan : Depresi klavikula
7. Trapezius
Dibagi menjadi 3, yaitu :
Superior
Origo : Sepertiga medial dari tulang occiput
Insertio : Sepertiga lateral dari klavikula bagian posterior
Gerakan : Elevasi skapula
Middle
Origo : Proccesus spinosus thorakalis atas
Insertio : Tepi medial spina skapula
Gerakan : Adduksi skapula
Inferior
Origo : Proccesus spinosus thorakalis bawah
Insertio : Tepi bawah spina skapula
Persyarafan : N. Accessory (C3 C4)
Gerakan : Depresi dan adduksi scapula

2.3 Etiologi
Menurut Cailiet, penyebab nyeri anggota gerak atas termasuk bahu bermacam-macam,
antara lain :
a. Musculoskeletal
8

1. Degeneratif
- Tendinitis, dengan atau tanpa kalsifikasi
- Robekan Cuff sebagian atau total
2. Traumatik
- Fraktur
- Dislokasi
- Separasi akromioklavikular
- Robekan tendon biseps
3. Keradangan
- Radang sendi rematoid
- Gout
- Radang sendi infeksius
4. Tumor
- Tulang
- Jaringan lunak
b. Neurologik
1. Saraf tepi
- Akar saraf
- Spiral Foraminal
o Spondilosys
o Hernia diskus intervertebralis fraktur
o Hernia diskus intervertebralis dislokasi
- Tumor ekstramedullaris
2. Pleksus Brakhialis
- Mekanikal
o Kompresi berkas neurovaskuler
o Sindroma skalenus antikus
o Cervikal rib
o Sindroma kalikulo kostal
o Sindroma pektoralis minor
- Trauma
o Cedera tarikan atau tusukan
- Keradangan
o Radang pleksus brakhialis
- Tumor
o Panevast
o Adenitia
o Sistem saraf pusat
Tumor indramedullar
Syringomeylia
c. Vascular
1. Arterial
- Sumbatan : akut dan kronis
o Emboli
o Vasospatik
o Traumatik
o Atherosklerotik
9

o Aneurisma atau Fistula


2. Vena
- Plebitis
3. Saluran Limfe
- Limfedema
d. Nyeri rujukan dari organ dalam
1. Jantung
- Nyeri angina
- Infark myokard
2. Kandung Empedu
3. Diafragma
4. Ruptured Viscus
e. Persendian
1. Degeneratif
2. Keradangan
3. Infeksi
4. Metabolik (Soeharyono,2008)

2.4 Patofisiologi Disfungsi Bahu


Pada dasarnya suatu restriksi gerak disebabkan oleh :
1. Permukaan sendi yang tidak sesuai
Permukaan sendi Glenokumeral, Acromioclavikular dan Sternoclavikular yang
tidak rata atau tidak sesuai dapat menyebabkan gerak sendi bahu tidak normal.
Permukaan sendi terganggu akibat pembentukan osteofit pasca trauma.
2. Ploriferasi sel-sel synovial
Tebalnya membran synovial menyebabkan rongga sendi bertambah sempit dan
kapsul sendi tidak dapat ditegangkan lagi.
3. Kapsul dan Ligamen
Kapsul dan Ligamen dapat mempengaruhi/menyebabkan gerakan sendi
menjadi terbatas karena pemendekan dan pembentukan jaringan parut. Kapsul dapat
memmendek akibat mobilisasi dan letak kapsul serta Ligamen pada posisi pendek.
4. Otot dan Tendon
Keduanya dapat mempengaruhi jarak gerak sendi. Otot, tendon dan kapsul
mempunyai sifat remodelling artinya kapsul dapat merenggang.
Penulis membatasi pokok masalah nyeri bahu pada muskuloskeletal akibat degenerasi yang
terdiri dari :
a. Tendinitis
b. Bursitis
c. Kapsulitis Adhesiva (Helmi, 2012)

10

2.5 Patogenesis Sendi Bahu


a. Tendinitis
Posisi manusia dalam keadaan tegak beserta aktivitas manusia sehari-hari selalu
mengaktifkan tendon otot supraspinatus dan tendon otot bahu yang lain. Bila kita
dalam posisi menggantung sehingga pengaruh gravitasi akan menyebabkan tarikan
pada kapsul dan tendon-tendon bahu. Aktivitas manusia sehari-hari yang memerlukan
gerakan fleksi dan abduksi bahu menyebabkan gesekan pada tendon yang berada
diantara kaput humeri dan ligamentum koracoakromiale. Bahkan pada derajat
tertentu, abduksi/elevasi, disamping gesekan juga akan menyebabkan penekanan pada
tendon tersebut. Nyeri bahu pada pekerja yang aktivitasnya harus mengangkat beban
yang berat bukan disebabkan oleh proses degenerasi, melainkan terjadi bila lengan
harus diangkat sebatas atas akromion. Posisi yang demikian itu terjadi bila
berlangsung terus menerus akan menyebabkan terjadinya iskemia pada tendon.
Iskemia ini selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya atropi kelemahan otot
daerah pundak sehingga bahu tersebut kelihatan kempis. Degenerasi yang progesif
pada Rotator Cuff biasanya terjadi pada mereka yang kurang atau tidak mewaspadai
adanya rasa nyeri dan gangguanfungsi pada bahu. Kebanyakan otot Rotator Cuff
telah mulai tertarik serta memperlihatkan tanda-tanda penipisan dan fibrotisasi.
Penipisan denegerasi ini terutama terjadi pada daerah Critical Zone.

Gambar 2.2 Rotator Chuff Tendonitis

Gambar 2.3 Rotator Chuff

11

Beberapa tahun kemudian, memungkinkan terjadinya robekan ringan yang


akan bertambah besar. Bila proses degenerasi semakin lanjut akan diikuti oleh adanya
erosi dari tuberkulum humerus. Erosi ini menyebabkan terjadinya penekanan tendon
biseps oleh karena siklus bisipitalis tmenjadi dangkal dan berubah arah (menjadi lebih
miring) dan bahkan tidak jarang seakan-akan menghilang. Bursa subrakromialis
menjadi ikut terjepit di daerah tersebut sehingga dinding bursa menebal.
Bila terjadi ruptur tendon atau kalsifikasi, dinding bursa ini menjadi tegang.
Permukaan bawah akromion oleh adanya gesekan dan tekanan dari humerus akan
mengeras dan menebal. Pertambahan usia harus dipertimbangkan sebagai factor yang
berperan penting dalam proses tendinitis degenerativa, meskipun faktorfaktor yang
lain juga memegang peranan. Pertambahan usia juga mempengaruhi luas gerak sendi
yang disebabkan oleh perubahan posisi skapula ini sebagai akibat dari
berkembangnya lengkung kiposis thorakal karena degenerasi diskus intervertebralis.
(Noor, 2012)
Kalsifikasi pada Tendinitis
Penimbunan kristal kalsium karbonat pada Rotator Cuff sangat sering terjadi.
Garam ini tertimbun dalam tendon, Ligamen, Aponeurosis dan Kapsul sendi serta
dinding pembuluh darah. Penimbunan ini berhubungan dengan perubahan degenerasi.
Umumnya terjadi pada daerah kritis dimana degenerasi ini dapat menyebabkan ruptur
atau nekrosis pada tempat penimbunan kalsium. Secara sederhana proses terjadinya
kalsifikasi pada Tendinitis dapat dilihat dalam gambar.

12

Gambar 2.4 reaktif kalsifikasi tendinitis

Gambar 2.5 kalsifikasi tendinitis pada x-ray


Penimbunan pertama kali didapatkan didalam tendon kemudian menuju ke
permukaan. Selanjutnya Ruptur ke atas menuju ruang di bawah bursa subdeltoid.
Evakuasi kalsium dari timbunan yang ruptur juga sementara saja dan rasa nyeri ini
13

kemudian timbul mlagi. Evakuasi kalsium ke ruang bawah bursa akan menekan ke
atas ke arah bursa dengan iritasi dan penekanan, kemudian timbunan ini dapat ruptur
ke dalam bursa itu sendiri. Raptur ini terjadi secara akut dan menimbulkan nyeri
hebat. Di dalam bursa, timbunan ini dapat meluas ke lateral maupun kedistal (medial),
sehingga

berbentuk seperti dumbbelt dengan pemisahnya adalah ligamentum

korakoakromial. Dalam keadaan ini, baik abduksi maupun adduksi bahu tidak lagi
dapat dilakukan sepenuhnya (akan terganggu). Radang bursa yang terjadi berulang
kali oleh karena adanya tekanan yang terus menerus dapat menyebabkan penebalan
dinding bursa dengan atas bursa sehingga timbul pericapsulitis adhesiva. (Keith,
2010)
1) Tendinitis Supraspinatus
Tendon otot supraspinatus sebelum berinsertio pada tuberkulum majus
humerus akan melewati terowongan pada daerah bahu yang yang dibentuk oleh kaput
humerus (dengan bungkus kapsul sendi glenohumerale) sebagai alasnya, dan
akromiale sebagai penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling
tumpang tindih dengan tendon kaput dari longus biseps. Adanya gesekan dan
penekanan yang berulang-ulang serta dalam jangka waktu yang lama oleh tendon otot
supraspinatus dan berlanjut sebagai tendinitis supraspinatus. Penderita tendinitis yang
biasanya datang dengan keluhan nyeri bahu yang disertai keterbatasan gerak sendi
bahu. Bila ditelusuri daerah rasa nyerinya adalah keseluruh daerah sendi bahu. Rasa
nyeri ini dapat kumat-kumatan, yang timbul pada waktu mengangkat bahu. Pada
malam hari, nyeri ini dirasakan terus menerus dan bertambah nyeri bila lengan
diangkat. Keluhan umum yang biasa disampaikan adalah kesulitan memakai baju,
menyisir rambut, memasang konde atau mengambil bumbu di atas rak.
Gambar 2.6 tendinitis supraspinatus

14

Pemeriksaan fisik pada tendinitis supraspinatus didapatkan adanya :


-

Keterbatasan gerak sendi bahu, terutama abduksi dan eksorotasi


Nyeri tekan pada daerah tendon otot supraspinatus
Nyeri pada abduksi bahu antara 600 750
Tes Apley scratch dan mosley-positif (kedua tes ini bukan merupakan tes
khusus bagi tendinitis supraspinatus)
Gambar 2.7 tendinitis supraspinatus pada x-ray

2) Tendinitis Bisipitalis
Tendon otot biseps dapat mengalami kerusakan secara tersendiri, meskipun
berada bersama-sama tendon otot supraspinatus. Tendinitis ini biasanya merupakan
reaksi terhadap adanya trauma akibat jatuh atau dipukul pada bahu dengan lengan
dalam posisi seperti tersebut diatas secara berulang kali. Tendinitis bisipitalis memberi
rasa nyeri pada bagian depan lengan atas. Penderitanya biasanya datang dengan
keluhan-keluhan kalau mengangkat atau menjinjing benda berat. Pemeriksaan fisik
pada penderita tendinitis bisipitalis didapatkan adanya :
- Adduksi sendi bahu terbatas
- Nyeri tekan pada tendon otot biseps (pada sulkus bisipitalis/sulkus
-

intertuberkularis)
Tes yergason positif. Bila pada tes yergason disamping timbul nyeri juga
didapati penonjolan disamping medial teberculum minus humeri, berarti
tendon bisep tergeser dan berada di luar sulkus bisipitalis. (Soeharyono, 2008)

b. Bursitis
Meskipun peradangan dari bursa, kelainan ini jarang primer, tetapi biasanya
sekunder terhadap kelainan degenerasi dari rotator cuff. Bursitis daerah bahu yang
sering adalah bursitis subacromialis dan bursitis subcleltoideus. Penderita bursitis
subakromialis memiliki keluhan yaitu penerita tidak dapat mengangkat lengan ke
samping (abduksi aktif), tetapi sebelumnya sudah merasa pegal-pegal dibahu. Lokasi
15

nyeri yang dirasakan adalah pada lengan atas. Nyeri ini merupakan nyeri rujukan dari
bursitis subacromialis yang khas. Bursa subdeltoideus merupakan lapisan sebelah
dalam dari otot deltoideus dan akromior serta lapisan bagian luar dari otot rotator
cuff. Bursa ini sedikit cairan. Gerakan abduksi dan fleksi lengan atas akan
menyebabkan dua lapisan dinding bursa tersebut saling bergesekan. Suatu peradangan
pada tendon juga akan menyebabkan saling bergesekan. Suatu peradangan pada
tendon juga akan menyebabkan peradangan pada bursa. Gejala klinis Bursitis adalah :
- Nyeri pada lengan bagian luar
- Nyeri tajam, tetap, berdenyut dan lain-lain. Pada keadaan akut, penderita
menggendong tangannya dengan gendongan. Gerakan ke semua arahgerak
-

akan menimbulkan nyeri


Merupakan kelanjutan dari tendinitis (kadang-kadang) nyeri akut biasanya

12 - 72 jam
Pada gerakan aktif, ditandai adanya pembatasan pada semua bidang
Kadang-kadang nyeri agak berkurang pada saat elevasi lengan
Pada gerakan pasif. Pembatasan gerak karena nyeri tidak pada kapsula

pattern. Tidak terasa adanya gerakan tertahan karena rasa nyeri yang hebat
Gerakan rotasi dengan lengan disisi badan dapat dilakukan, tetapi gerakan
abduksi 600 atau fleksi 900 biasanya tidak dapat dilakukan tertahan karena

timbulnya rasa sakit.


Dapat dilakukan kontraksi kuat-kuat tanpa nyeri bila dilakukan dengan
hati-hati. (Keith, 2010)

Gambar 2.8 Bursitis

c. Kapsulitis Adhesive
Untuk semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan
keterbatasan luas gerak sendi maka istilah yang digunakan adalah frozen shoulder.
16

Kapsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan luas gerak sendi


glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif ini adalah suatu gambaran
teknis yang dapat menyertai tendinitis, intark myokard, diabetes melitus, fraktur,
immobilisasi berkepanjangan atau radikulitis servikalis. Keadaan ini biasanya
multilateral, terjadi pada usia diatas 45-60 tahun dan lebih sering pada perempuan.
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoid. Bila terjadi pada malam hari, sering sampai
mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita
dalam mengangkat lengan (abduksi), sehingga penderita akan melakukan dengan
mengangkat bahunya. Hal ini juga dijumpai adanya atropi otot gelang bahu.
Gejala-gejala klinis antara lain :
-

Nyeri pada lengan bagian luar, mungkin menyebar ke daerah segment C5

dan C6
Nyeri dapat tetap atau nyeri gerakan pada LGS tertentu
Penderita kadang terbangun dari tidur karena timbul nyeri bahu karena

tertindih
Pada gerakan aktif. Pembatasan LGS pada kapsular pattern
Sulit atau tidak dapat menyisir rambut atau merogoh saku celana belakang
Pada gerakan pasif. Pembatasan pada kapsular pattern. External rotasi
tertahan, abduksi setengah tertahan, flexi dan internal rotasi terbatas.
(Kelley, 2013)

Gambar 2.9 Kapsulitis Adhesive

Gambar 2.10 Kapsulitis Adhesive pada x-ray


17

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Rontgen : rontgen menggambarkan ruang antara bola dan soket bahu, yang dapat
menentukan

apakah

ada

pelepasan

sambungan

(dislokasi)

atau

ketidakstabilan.
b. MRI

: Sebuah proses pencitraan resonansi magnetik dapat


menggambarkan rincian yang berkaitan dengan saraf,
tendon, dan ligamen untuk menyelidiki kemungkinan
penyebab lain dari nyeri bahu yang tidak muncul di sinar-

x.
c. Myelography atau CT scan : CT scan bisa mendapatkan apa yang MRI dapat, dan
sering digunakan sebagai pilihan lain untuk memastikan
hasil MRI.
d. Elektromiografi atau EMG : Ini, bersama dengan tes kecepatan pengantaran saraf atau
tes NCV, dapat digunakan untuk mendiagnosa penyebab
nyeri, mati rasa, dan kesemutan di bahu. (Helmi, 2012)
2.7 Diagnosis
Nyeri bahu dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan neurofisiologis
dapat menunjang apabila dilkukan atas indikasi yang ditemukan selama pemeriksaan.
A. Gejala
Nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan. Tetapi nyeri pada daerah bahu
bukan berarti nyeri bahu. Jika pasien menunjuk pada bagian atas bahu pikirkan mungkin
kelainan terletak pada sendi akromioklavikular atau nyeri alih dari leher. Nyeri pada sendi
bahu dan rotator cuff, biasanya pada aspek depan dan luar dari sendi, terkadang sampai
bagian tengah lengan atas.
Hati-hati terhadap kemungkinan nyeri alih. Kelainan pada mediastinum, seperti
cardiac ischemia memiliki gejala nyeri pada bahu.
Kelemahan mungkin dapat timbul sebagai hilangnya kekuatan, pikirkan ke arah
kelainan neurologis, atau pada ketidakmampuan untuk mengabduksikan bahu secara
mendadak mungkin saja terdapat ruptur tendon. Tetapi ada juga kelemahan pada
beberapa gerakan dan kelemahan karena nyeri.
Instabilitas mungkin sangat jelas (bahu saya seperti keluar dari sendinya saat saya
mengangkat tangan saya); atau mungkin bunyi klik saat mengangkat lengan, atau sensasi

18

dead arm seperti pada pemain tenis saat akan melakukan servis. Kekakuan mungkin
bersifat progresif dan berat; frozen shoulder.
Bengkak mungkin melibatkan sendi, otot atau mungkin tulang; pasien tidak akan
mengetahui perbedaannya. Deformitas mungkin melibatkan pengecilan otot, prominensia
sendi akromioklavikular, winging skapula atau posisi lengan menjadi tidak normal.
Kehilangan fungsi biasanya dikaitkan kesulitan saat berpakaian dan berdandan, atau
ketidakmampuan mengangkat benda.
Tabel 2.1. Nyeri pada Daerah Bahu
Nyeri alihan
- Spondilosis servikal
- Kelainan mediastinum
- Cardiac ischemia
Kelainan sendi
- Artritis glenohumeral
- Artritis akromioklavikular
Lesi tulang
- Infeksi
- Tumor

Kelainan rotator cuff


- Tendinitis
- Ruptur
- Frozen shoulder
Instabilitas
- Dislokasi
- Subluksasi
Cedera saraf
- Terjepitnya nervus supraskapula

Sumber: Solomon L, et al. Apley`s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition.
Hodder Arnold: London. 2010: p.337.
B. TANDA
Pasien harus diperiksa secara keseluruhan dari depan dan belakang. Kedua ekstremitas
superior, leher, gambaran skapula dan dada bagian anterior harus terlihat. 5
1. Inspeksi (Look)
Kulit. Lihat apakah terdapat luka, jangan lupa periksa bagian aksila. Bentuk.
Kedua ekstremitas harus dibandingkan. Bahu yang tidak simetris, winging skapula,
pengecilan

otot

deltoid,

supraspinatus

dan

infrapsinatus,

dan

dislokasi

akromioklavikula paling baik dilihat dari belakang; bengkak pada sendi


akromioklavikular atau sternoklavikular atau pengecilan dari otot pectoralis paling
baik dilihat dari depan. Efusi dari sendi menyebabkan bengkak ke bagian anterior dan
biasanya terlihat di aksila. Pengecilan dari otot deltoid mungkin terjadi karena ada lesi
pada nervus dan pengecilan dari otot supraspinatus mungkin terjadi karena ada cedera
yang luas atau lesi pada nervus supraskapula. Tonjolan khas Popeye dari ruptur otot
bisep dapat dilihat dengan mudah bila sendi siku difleksikan. Posisi. Jika lengan
tertahan pada posisi endorotasi, pikirkan dislokasi posterior pada bahu.
2. Palpasi (Feel)
Kulit. Inflamasi dari sendi akan mempengaruhi suhu disekitarnya. Tulang dan
jaringan lunak. Struktur yang dalam dipalpasi dengan hati-hati, mengikuti anatomi
19

permukaan yang ada. Dimulai dari sendi sternoklavikular, menyusuri klavikula ke


arah lateral menuju sendi akromioklavikular, dan meraba bagian anterior dari
akromion serta bagian atasnya. Batas anterior dan posterior dari gleniod harus
dipalpasi. Dengan bahu ditahan dalam posisi ekstensi, tendon dari supraspinatus dapat
diidentifikasi tepat di bawah segmen anterior dari akromion. Krepitasi pada tendon
supraspinatus saat bergerak menunjukkan adanya tendinitis atau robekan.
3. Pergerakan (Move)

Gambar 2.11 Pemeriksaan sendi bahu. Pemeriksaan gerak aktif paling baik dari belakang
pasien, perhatikan baik-baik simetrisitas dan koordinasi dari pergerakan skapulo-thorak dan
gleno-humeral. (a) Abduksi; (b) Batas dari abduksi gleno-humeral; (c) Abduksi penuh dan
elevasi, kombinasi dari pergerakan skapulo-thorak dan gleno-humeral. (d) Batas pergerakan
dari gleno-humeral sesungguhnya didapatkan dengan membatasi pergerakan dari skapula
dengan meletakkan tangan pada bagian atas dari skapula. (e) Eksorotasi. (f,g) Pergerakan yang
lebih rumit meliputi abduksi, rotasi, fleksi atau ekstensi dari bahu. (h) Memeriksa ada atau
tidaknya kelemahan pada otot serratus anterior. (i) Memeriksa ada atau tidaknya nyeri pada
supraspinatus.
Sumber: Solomon L, et al. Apley`s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition.
Hodder Arnold: London. 2010: p.338.

Gerakan aktif. Gerakan diamati pertama dari depan kemudian dari belakang, dengan
posisi pasien berdiri atau duduk. Abduksi bersumbu pada coronal plane dan fleksiekstensi pada sagital plane.

20

Abduksi dimulai dari 00; pada fase awal pergerakan semuanya bertumpu pada sendi
glenohumeral, semakin lengan diangkat skapula mulai berotasi pada toraks dan pada
600 terakhir gerakan murni skapulo-toraks (karenanya gerakan kesamping yang
melebihi 900 lebih sering disebut elevasi daripada abduksi). Transisi dari glenohumeral ke skapulo-toraks dapat terganggu dengan kelainan pada sendi atau disfungsi
dari stabilitas tendon disekitar sendi. Pada keadaan ini abduksi mungkin (1) sulit
dilakukan, (2) lingkup gerak terbatas atau (3) gangguan pada ritmik, skapula bergerak
terlalu awal dan membuat efek seperti mengangkat bahu. Jika gerakan terlalu
menyakitkan, pusat dari sakitnya harus diidentifikasi; nyeri saat ditengah abduksi
pikirkan tendinitis pada rotator cuff minor atau suprapsinatus; nyeri saat akhir abduksi
sering kali karena artritis dari akromioklavikular.

Gambar 2.12 Ritme skapulo-humeral. (a-c) Fase awal abduksi, pusat dari gerakan ada
pada sendi gleno-humeral. Semakin tinggi terangkat, skapula mulai berotasi pada
toraks. (c) Pada fase akhir abduksi, gerakan makin didominasi oleh skapulo-toraks (d)
Sumber: Solomon L, et al. Apley`s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth
Edition. Hodder Arnold: London. 2010: p.339
Fleksi dan ekstensi diperiksa dengan meminta pasien mengangkat lengannya kedepan
kemudian ke belakang. Normalnya adalah 1800 pada fleksi dan 400 pada ekstensi.

21

Gambar 2.13 Lingkup gerak normal bahu. (a) Abduksi dari 0 0 sampai 1600 (atau bahkan
1800), tetapi hanya 900 yang berpusat pada sendi gleno-humeral; sisanya adalah dari
pergerakan skapula. (b) Eksorotasi biasanya 800 dan endorotasi biasanya lebih rendah
karena terhalang oleh tubuh. (c) Dengan lengan pada posisi abduksi yang tepat, endorotasi
dapat dilakukan tanpa terhalang oleh tubuh.
Sumber: Solomon L, et al. Apley`s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition. Hodder
Arnold: London. 2010: p.339

Gerakan pasif. Untuk memeriksa lingkup gerak gleno-humeral skapula harus ditahan;
hal ini dapat dilakukan dengan pemeriksa menekan secara lembut pada bagian atas bahu
dengan satu tangan dan tangan yang lainnya menggerakkan lengan.
Untuk memeriksa serratus anterior (long thoracic nerve, C5, 6, 7) pasien diminta
melakukan gerakan mendorong tembok; jika ototnya lemah maka skapula tidak akan
terfiksir pada toraks dan akan menonjol (winged scapula). Pectoralis mayor diperiksa
dengan menyuruh pasien melakukan gerakan bertolak pinggang. Pemeriksaan sistem
lainnya. Pemeriksaan tulang belakang bagian servikal (sumber paling sering dari nyeri
alih), pemeriksaan untuk mencari adanya kelemahan sendi dan pemeriksaan neurologis.

C. Pemeriksaan Fisik Bahu


Pemeriksaan Saraf Terjepit
a. Pemeriksaan Neer
- Posisi: pasien duduk atau berdiri dan pemeriksa dalam posisi berdiri.
- Fiksasi: skapula ipsilateral untuk mencegah protraksi.
- Pemeriksaan: elevasi secara pasif ke depan dari lengan.
- Perhatian khusus: nyeri pada bahu. Nyeri dapat diatasi dengan injeksi 10 ml
-

lidokain di bawah akromion sapek anterior.


Latar belakang: penjepitan tuberkulum mayor, degenerasi supraspinatus dan
bursa subakromial terhadap akromion.

Gambar 2.14 Pemeriksaan neer

22

b. Pemeriksaan Hawkins-Kennedy
- Posisi: duduk atau berdiri, dengan lengan pada posisi 900 elevasi ke depan
-

pada sumbu skapula.


Fiksasi: stabilisasi skapula untuk meminimalisasi rotasi ke depan saat

melakukan manuver endorotasi.


Pemeriksaan: endorotasi pasif pada bahu sampai nyeri timbul.
Perhatian khusus: nyeri pada endorotasi paksa.
Latar belakang: tuberkulum mayor memaksa tendon supraspinatus terhadap
ligamen korakoakromial.
Gambar 2.15 Pemeriksaan Hawkins-Kennedy

c. Pemeriksaan Empty can


- Posisi: duduk atau berdiri, bahu abduksi 900, adduksi horizontal 300 dan
-

endorotasi penuh.
Fiksasi: pemeriksa meletakkan tangan pada bagian atas lengan atas.

23

Pemeriksaan: pasien mempertahankan posisi ini sambil diberikan tahanan ke

bawah.
Perhatian khusus: kelemahan otot, jangan lupakan nyeri.
Latar belakang: pemeriksaan kekuatan otot supraspinatus. Subskapularis,
infraspinatus dan teres minor tidak bergerak pada posisi ini.
Gambar 2.16 Pemeriksaan Empty can

d. Pemeriksaan rotator cuff


1. External rotation lag sign
- Posisi: duduk dengan memungungi pemeriksa. Bahu pada posisi abduksi 200,
siku pada posisi fleksi 900 dan maksimal eksorotasi -50 untuk mencegah
-

terjadinya elsatik rekoil pada bahu.


Fiksasi: pemeriksa menahan siku dan pergelangan tangan pada posisi di atas.
Pemeriksaan: pasien diminta menahan posisi ini sambil pemeriksa melepas

pergelangan tangan.
Perhatian khusus: kemampuan pasien untuk menahan lengan diposisi yang

sama. Saat tangan terjatuh (lag sign), hasilnya berarti positif.


Latar belakang: lag sign lebih dari 50 menjurus pada (parsial) robekan tendon
infrapsinatus atau supraspinatus.

24

Gambar 2.17 external rotation lag sign


2. Drop arm test
- Posisi: telentang atau duduk dengan lengan direntangkan ke samping.
- Fiksasi: tidak perlu fiksasi.
- Pemeriksaan: pasien diminta mengabduksikan lengan ke samping. Kemudian
-

minta pasien meurunkan lengannya secara perlahan.


Perhatian khusus: saat pasien menurunkan lengan secara perlahan, jika terdapat

kelainan maka lengan pasien akan jatuh dengan cepat.


Latar belakang: pada awalnya pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui
adanya robekan pada tendon supraspinatus. Tetapi belakangan digunakan juga
untuk mengetahui adanya robekan pada tendon infraspinatus.

Gambar 2.18 drop arm test


3. Supine impingement test
- Posisi: pasien telentang dengan lengan berada di atas meja periksa.
- Fiksasi: pemeriksa mengelevasi lengan sampai maksimal.
- Pemeriksaan: tangan pada posisi supinasi dan lengan di adduksikan ke telinga.
-

Maka lengan akan berada pada posisi endorotasi.


Perhatian khusus: hasil positif jika didapatkan rasa nyeri yang bertambah.

25

Latar belakang: pemeriksaan ditujukan untuk mengetahui adanya robekan pada


rotator cuff. Nyeri timbul akibat penyempitan dan penekanan pada celah
subakromial.

Gambar 2.19 Supine Impingement test


4. Belly press test
- Posisi: pasien duduk dengan tangan (yang akan diperiksa) pada perut.
- Fiksasi: tidak perlu fiksasi.
- Pemeriksaan: pasien diminta menekan perut menggunakan tangan sampai
-

terjadi endorotasi maksimal.


Perhatian khusus: pasien merasakan kelemahan dan tidak dapat melakukan
endorotasi maksimal. Siku terjatuh ke belakang dan endorotasi tidak terjadi.
Gerakan menekan tersebut terjadi karena adanya ekstensi dari bahu dan fleksi

pergelangan tangan.
Latar belakang: untuk mengetahui penurunan fungsi dari endorotasi pada bahu.

Gambar 2.20 Belly press test


External rotation lag test merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk otot
infraspinatus dan supraspinatus. Prosedur drop arm test dapat menghasilkan positif palsu
26

untuk pemeriksaan pada otot supraspinatus dan infraspinatus. Supine impingement test dapat
digunakan untuk mengetahui adanya robekan parsial atau komplit pada rotator cuff. Bell
press test merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk robekan subskapular.
e. Pemeriksaan untuk lesi anterior ke posterior pada labrum superior
1. Anterior slide test
- Posisi: berdiri atau duduk, tangan pada pinggang dengan ibu jari ke arah
-

belakang.
Fiksasi: pemeriksa meletakkan satu tangannya pada bahu dari posterior dengan
jari telunjuk di atas aspek anterior dari akromion. Dan tangan yang satu lagi di

belakang siku.
Pemeriksaan: tahanan diberikan ke arah depan dan atas pada siku dan lengan

atas. Pasien diminta untuk menahan tahanan ini.


Perhatian khusus: nyeri atau bunyi klik pada bahu yang diperiksa.
Latar belakang: pergeseran kepala humerus anterior dan superior memberikan
tekanan pada labrum superior. Gerakan ke atas menyebabkan traksi dari tendon
bisep dan meregangkan kompleks labral.

Gambar 2.21 Anterior slide test


2. Biceps load II test
- Posisi: telentang dengan lengan diabduksikan 1200 dan eksorotasi maksimal,
-

siku 900 dan lengan bawah supinasi.


Fiksasi: pemeriksa memegang siku dan pergelangan tangan pasien.
Pemeriksaan: pasien diminta memfleksikan sikunya sambil ditahan oleh

pemeriksa.
Perhatian khusus: nyeri atau nyeri yang bertambah saat dilakukan tahanan pada

fleksi siku.
Latar belakang: labrum superior terlepas dari glenoid dan membuat nyeri
bertambah.

27

Gambar 2.22 Biceps load II test

Pemeriksaan Instabilitas
1. Apprehension test
- Posisi: telentang atau duduk, abduksi 900 dan maksimal eksorotasi.
- Fiksasi: pemeriksa memegan pergelangan tangan pasien dengan satu tangan.
-

Tangan yang satu lagi memegang aspek posterior dari kepala humerus.
Pemeriksaan: maksimal eksorotasi pada aspek posterior dari kepala humerus

sekaligus memberikan dorongan ke depan


Perhatian khusus: tahanan yang mendadak akan terasa pada bahu dan nyeri.
Latar belakang: kombinasi gerakan dan dorongan ke anterior menyebabkan
bahu menjadi subluksasi.

Gambar 2.23 Apprehension test


2. Relocation test
- Posisi: pasien telentang, lengan abduksi 900 dan siku fleksi 900.
- Fiksasi: dengan satu tangan, pemeriksa menahan lengan bawah dan tangan yang
satu lagi pada kepala humerus.
28

Pemeriksaan: pemeriksan menggerakkan bahu secara eksorotasi dan lengan


bawah diayunkan seperti tuas dengan satu tangan. Tangan yang satu lagi

memberikan gaya ke arah posterior pada kepala humerus.


Perhatian khusus: nyeri yang meredan dan pasien dapat melakukan gerakan

eksorotasi.
Latar belakang: pemberian gaya ke arah posterior membuat kepala humerus
kembali ke posisinya.

Gambar 2.24 Relocation test


3. Anterior release test
- Posisi: pasien dalam posisi telentang, lengan abduksi 900 dan siku fleksi 900.
- Fiksasi: dengan satu tangan menahan lengan bawah dan tangan yang lain pada
-

kepala humerus.
Pemeriksaan: pemeriksa memberikan tekanan ke posterior pada kepala humerus
dalam posisi lengan pada eksorotasi maksimal. Kemudian kepala humerus

dilepas.
Perhatian khusus: nyeri yang timbul mendadak, nyeri yang bertambah atau

perasaan seperti terlepas.


Latar belakang: melepaskan tekanan ke arah posterior membuat kepala humerus
subluksasi ke anterior.

29

Gambar 2.25 Anterior release test

Pemeriksaan akromioklavikular
1. O`brien test
- Posisi: pasien berdiri dan pemeriksa berada di belakang pasien. Lengan pasien
-

fleksi 900 ke depan, adduksi 10-150 dan maksimal endorotasi.


Fiksasi: pemeriksa memegang lengan bawah pasien.
Pemeriksaan: pemeriksa memberikan tahanan ke arah bawah dan pasien diminta
untuk menahan tahanan tersebut. Setelahnya telapak tangan pasien dalam posisi

supinasi, dan ulangi pemeriksaan.


Perhatian khusus: nyeri pada sendi akromioklavikular, lebih terlihat pada

endorotasi paksa.
Latar belakang: dengan pemeriksaan ini, akromion didorong ke tuberkulum
mayor dan menekan sendi akromioklavikular.
Gambar 2.26 Obrien test

30

2. Acromioclavicular joint tenderness test (pemeriksaan nyeri pada sendi


akromioklavikular)
- Prosedur: tidak dijelaskan oleh Walton dkk, tetapi tertulis bahwa dilakukan
palpasi pada sendi akromioklavikular. Hasil positif bila saat palpasi pasien
merasa nyeri.
Gambar 2.27 Acromioclavicular joint tenderness test

2.8 Penatalaksanaan
1.Istirahat/terapi dingin
Pada nyeri bahu yang bersifat akut, dimana proses pembengkaan masih bekerja,
diperlukan dimmobilisasi sampai proses pembengkaan berhenti.

Selama bahu tidak

digerakkan utnuk menghentikan pembengkaan, diberikan kompres dingin atau es dan


obat anti bengkak dan nyeri. (Djohan, 2004)
2. Terapi panas
Diberikan beberapa hari sesudah proses pembengkaan berhenti atau pada bahu yang nyeri
tanpa pembengkaan pada jaringan otot yang spasme. Terapi panas bertujuan :

31

a. Memperbaiki sirkulasi darah dan metabolisme setempat


b. Mengurangi rasa nyeri
c. Relaksasi terutama untuk otot yang spasme Terapi panas yang digunakan adalah :
-Terapi panas superficial : HCP,sinar infra merah
-Terapi panas dalam: SWD, MWD, USD
Terapi panas superfisial ; sinar infra merah
- macam sinar infra merah :
a. luminous ( diberikan pada penderitadengan kondisi akut)
b. non luminous ( diberikan pada penderita dengan kondisi kronis )
- dosis :
a. jarak lampu dengan punggung bawah antara 50-75 cm
b. pada kondisi akut durasi dan frekuensinya 10-15 menit/1 x 1/hari.
Terapi panas dalam
a.

MWD ( Micro Wave Diathermy ) Terapi modalitas dimana sumber energinya

menggunakan gelombang elektromagnetik, dengan panjang gelombang 12,25 cm dan


frekuensinya 2.450 mc/detik. Dosis : jarak emitor dengan kulit pada punggung bawah
antara 10 20 cm, intensitas 200 watt, tetapi untuk semua kasus tergantung toleransi
penderita. Durasi dan frekuensinya 10 30 menit/hari ( kondisi akut kurang dari 10
menit ).
b. SWD ( Short Wave Diathermy ) Terapi modalitas dimana sumber energinya
menggunakan arus listrik dengan frekuensi tinggi yaitu 27,33 MHz dan panjang
gelombang 11 meter. Dosis : Elektrode yang digunakan dengan kondensor
( pad ). Kondisi akut intensitasnya kurang dari 40 mA ( dibawah sensasi panas ),
durasi dan frekuensinya 2,5 10 menit/hari. Kondisi kronis intensitasnya antara
40 60 mA ( panas comfortable ) durasi dan frekuensinya 20 menit/hari.
c. USD ( Ultra Sound Diathermy ) Terapi modalitas dimana sumber energinya
berasal dari gelombang suara dengan frekuensi tinggi antara 0,8 1 MHz dan
panjang gelombang 1,5 mm. Dosis : Kondisi akut intensitasnya 0,25 0,5
32

W/cm2 , durasi 2 3 menit. Apabila tidak ada perbaikan intensitasnya dinaikkan


0,8W/cm2 , durasinya 4 5 menit. Kondisi kronis intensitasnya 2W/cm2,
durasinya 5-10 menit, apabila tidak ada perbaikan intensitasnya dinaikkan
maksimal 3 W/cm2, durasi 10 15 menit, jika tidak ada perbaikan sampai 6x
terapi, maka terapi dihentikan mungkin ada penyakit lain. (Donatelli, 2011)

3. Traksi leher
Tujuan traksi ialah relaksasi spasme otot, meluruskan lordosis dari leher, melebarkan
foramen intervertebral,melepaskan permukaan fasetsdan ligamenligamen. Traksi yang
digunakan adalah traksi leher statik dan intermitten dari listrik. Beban traksi diberikan
mulai dari sepertujuh sampai dengan sepersepuluh dari berat badan total atau sesuai
dengan toleransi penderita. Waktu yang diberikan 10 20 menit. Pada kondisi akut,
traksi diberikan 1x/hari/seri (7-10 x). Apabila nyeri bertambah pemberian beban
dikurangi atau traksi ditunda pemberiannya. (Thomson, 2011)
4. Massage sendi bahu
Tujuannya adalah memperbaiki sirkulasi darah dan permukaan metabolisme setempat,
melemaskan otot-otot yang spasme, mengurangi nyeri, melepaskan perlengketan antar
otot dan kapsuler.(Sidharta, 2010)
5. Manipulasi dan mobilisasi
Manipulasi dan mobilisasi digunakan untuk mengembalikan gerakan sendi bahu yang
terganggu. Manipulasi dikerjakan dengan gerakan atau doroangan dengan tiba-tiba
dalam amplitudo kecil. Mobilisasi dikerjakan dengan gerakan pasif bergoyang dua
atau tiga kali perdetik. (Thomson, 2011)
6. Terapi latihan : di rumah sakit (Gymnasium)
latihan LGS dengan menggunakan : over head pulleys shoulderwell, finger ladder,
dan lain-lain. Latihan yang dapat dilakukan di rumah misalnya latihan codman,
latihan tongkat, dan lain-lain.

33

Program Terapi Latihan pada Penderita Nyeri Bahu Terapi


latihan yang dimaksudkan adalah latihan khas (specific exercises). Tujuan pokok terapi
latihan pada nyeri bahu adalah :
a. Mengurangi sakit dan spasme otot
b. Memelihara fungsi sendi bahu
c. Mengilangkan gangguan fungsi sendi bahu yang terjadi atau meningkatkan fungsi
sendi semaksimal mungkin.

1. Terapi latihan pada penderita nyeri bahu stadium akut


Dalam stadium ini gejala peradangan stadium akut yang berupa keluhan nyeri
(nyeri khas, nyeri bahu, nyeri terulur dan nyeri kontraksi), spasme otot dan gangguan
fungsi tampak menonjol. Dalam stadium ini, bahu yang sakit perlu mendapatkan
istirahat/mobilisasi karena penggunaan sendi bahu pasa stadium ini akan
menyebabkan memberatnya gejala dan kerusakan sendi. Untuk mengistirahatkan
sendi bahu yang nyeri baisanya dipakai gendongan.

Tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk mengistirahatkan sendi bahu dengan cara lain, misalnya


pemasangan gips sirkuler dengan pemberian posisi optimum yaitu fleksi 30 0 - 400,
abduksi450 dan internal rotasi 450.
Pemberian istirahat lama pada sendi bahu yang sakit sedapat mungkin
dihindarkan karena pemberian istirahat lama sengan alasan apapun akan
memungkinkan terjadinya gangguan fungsi bahu yang dapat berupa pembatasan jarak
gerak sendi dan atau atropi otot sekitar bahu yang justru akan memperburuk keadaan.
Tujuan terapi latihan pada stadium akut ini adalah :
a. Mengurangi nyeri dan spasme otot
b. Mencegah terjadinya pembatasan jarak gerak sendi dan mencegah atropi
otot Dengan cara memberikan latihan pasif, latihan aktif dengan bantuan (assisted)
dan kontraksi statik/isometrik.
a. Latihan pasif
Sebelum program latihan dimulai perlu diberikan penjelasan kepada penderita
tentang tujuan pelaksanaan latihan agar terjalin kerjasama yang baik antara
penderita dengan fisioterapis.
34

Arah gerakan ke semua arah gerak sendi bahu dan terutama pada arah gerak
yang terhambat karena nyeri atau faktor lain.

Luas gerak sendi disesuaikan

dengan toleransi penderita sampai batas nyeri yang tertahan oleh penderita.
Latihan pasif juga dapat dilakukan dengan latihan anjuran yang sangat populer
(codman pendular exercise). Penderita berdiri didepan meja dan membungkuk ke
depan.

Lengan yang sakit tergantung bebas (rileks) pada sendi bahu

(glenohumeracle) tanpa adanya kontraksi otot. Badan digerakkan sehingga lengan


terayun bebas ke depan dan ke belakang, ke samping dan rotasi lengan yang sakit
terayun pasif.

Pemberat beban harus digantungkan pada pergelangan tangan

seberat 1- 2 kg. Gerakan pasif harus dikerjakan dengan perlahan-lahan, makin


meningkat dan dipertahankan selama mungkin dalam batas toleransi penderita.
(Trisnowiyanto, 2012)
Gerakan dengan kuat kejut dan cepat merupakan kontraindikasi karena dapat
merusak kapsul sendi. Dengan cara tersebut, pengukuran yang berlebihan dapat
dihindarkan dan penambahan luas gerak sendi dapat tercapai sedikit demi sedikit.
Gambar 2.25 Latihan fisik fisioterapi

Gambar 2.28 Latihan pasif


b. Latihan dengan bantuan (active assisted)
Latihan ini biasanya lebih menguntungkan daripada latihan pasif karena
adanya kontraksi secara sadar yang berarti penderita ikut mengontrol gerakan
yang terjadi sampai batas toleransinya, sehingga penderita merasa lebih aman dan
35

memungkinkan timbulnya ketegangan otot karena takut, dapat dihindari serta


gerakan lebih mudah dilakukan. Arah gerakan dan luas gerak sendi serupa dengan
saat latihan pasif.
c. Kontraksi Isometrik
Diberikan pada otot sekitar sendi bahu yang terkena terutama otot-otot yang
bila dikontrkasikan tidak menimbulkan nyeri. Intensitas kontraksi disesuaikan
dengan toleransi penderita. Latihan dapat dikerjakan kira-kira 3 4 menit tiap
jam dan disesuaikan juga dengan keadaan penderita untuk memungkinkan latihan
dapat dikerjakan dengan baik. Setelah diberikan tindakan pengobatan dengan
obat-obatan atau modalitas fisioterapi yang lain untuk mengurangi nyeri dan
apasme otot. Modalitas yang digunakan pada stadium akut ini antara lain adalah :
terapi USD (Ultra Sound Diatermy)yang mengurangi spasmeyang diberikan
dalam waktu 10 30 menit. (Djohan, 2004)
2. Terapi Latihan pada Penderita Nyeri Bahu Stadium Kronis
Pada penderita nyeri bahu stadium kronis sering dijumpai adanya gangguan
fungsi sendi bahu yang berupa pembatasan luas gerak sendi dan atropi otot yang
menyolok, disamping keluhan nyeri yang telah banyak berkurang.
Ini terjadi karena faktor kurang perhatian atau kurangnya keberhasilan dalam
usaha pencegahan. Tujuan terapi latihan pada stadium kronis ini adalah :
Meningkatkan luas gerak sendi bahu Pembatasan luas gerak sendi pada bahu
biasanya disebabkan oleh terjadinya pemendekan dan hilangnya elastisitas jaringan
lunak sendi (kapsul sendi) bahu atau adanya perlengketan antar jariangan akibat
adanya reaksi jaringan fibros. Pada prinsipnya, untuk meningkatkan luas gerak sendi
haruis dilakukan penguluran struktur yang memendek serta mengembalikan jaringan
yang kehilangan elastisitas dan melepaskan perlengketan antar jaringan yang ada
dengan latihan pasif, latihan aktif atau kombinasi keduanya. Pelaksanaan latihan
sebagai berikut :
a. Latihan pasif Sebelum menyusun program latihan pasif pada nyeri stadium
kronis ini, perlu diadakan pemeriksaan secara aktif tentang keadaan sendi bahu,
yaitu :
Sifat nyeri : terus menerus, kadang-kadang, atau hanya saat tertentu
Gangguan fungsi yang ada
Pemeriksaan luas gerak sendi : secara aktif atau pasif
Isometris melawan tahanan
Codman Pendular Exercise pada mulanya adalah latihan ayunan pasif tetapi
bertujuan utnuk menambahkan luas gerak sendi.

Latihan dimodifikasi menjadi


36

active pendular exercise, dengan menambah beban, latihan ini harus benar-benar
diajarkan kepada penderita dan dapat dilakukan dengan benar. Gerakan dimulai dari
amplitudo yang kecil meningkat sampai terasa latihan pada struktur yang memendek
atau lengket. Gerak ayunan diarahkan ke arah gerak yang mengalami pembatasan
gerakan abduksi dan eksternal rotasi.
b. Latihan aktif Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan luas gerak sendi.
Latihan harus dikerjakan dengan teknik yang benar, berulang-ulang teratur dan
berkesinambungan.

Untuk itu perlu penderita diberikan pengertian dan

memahami tujuan dari latihan serta cara melakukannya.

Penderita harus

menyadari pentingnya program latihan yang diprogramkan untuknya.


c. Memperkuat otot-otot bahu Akibat immobilisasi yang lama, otot akan menjadi
lebih kecil (atropi) dan kekuatannya berkurang/menurun. Pada orang sehat,
immobilisasi total selama 3 minggu menyebabkan penurunan kekuatan otot
sebesar 50 % atau rata-rata tiap hari 1, 3 3, 0 %.
Kekuatan otot dapat diperbaiki dengan latihan yang berulang-ulang
mempergunakan kekuatan maksimum lebih dari 35 %, ketahanan otot dapat
diperbaiki dengan kekuatan maksimum 20 40 % dan pengulangan yang relatif
lebih besar. Latihan penguatan lebih ditekankan pada beban yang diberikan,
sedangkan latihan untuk menambah daya tahan lebih ditekankan pada
pengulangan/repetisi. Tahanan yang dipakai dapat berupa pemberat atau secara
manual, sedangkan program latihan di rumah sakit disesuaikan dengan fasilitas
yang ada, seperti stick, finger ladder, over head pulley dan lain-lain, yang
membantu menambah luas gerak sendi bahu. (David, 2009)
1. Latihan dengan tongkat Latihan ini cukup sederhana dan murah. Gerakan yang
dianjurkan adalah :
Pegang tongkat dengan kedua tangan, menggantung di muka/depan.
Dengan siku lurus, gerakan lengan ke atas kepala sejauh limitasi sendi bahu

memungkinkan.
tetapi gerakan tangan ke samping kanan dan kiri. Perlu diingat bahwa gerakan

berpusat di sendi bahu.


Tongkat dipegang kedua tangan, diletakkan di belakang kepala kemudian
digerakkan naik-turun,

37

Gambar 2.29 Rehabilitation Frozen shoulder


Tongkat dipegang kedua tangan, diletakkan di belakang punggung bawah
kemudian lakukan gerakan berikut : - menjauhi tubuh - digerakkan ke atas

dan ke bawah (Donatelli, 2011)


2. Latihan dengan Wall Climbing Exercise
a. ShoulderAbduction
Penderita berdiri dengan bahu sakit disamping shoulder abduction ladder atau
dinding.

Gerakan lengan abduksi dibantu oleh gerakan jari II dan III yang

memanjat dinding.
b. Shoulder Flexion
Penderita menghadap dinding/Wall Climbing Exercise. Gerakan bahu fleksi
dibantu oleh jari II dan jari III yang memanjat dinding.
3. Clinning Bar
Penderita berdiri dengan keduia tangan memegang Clinning Bar (Palng antara dua
bingkai pintu) bar berada di atas dan belakang kepala kemudian kedua lutut ditekuk,
badan turun ke bawah.
4. Overhead Exercise
Dengan katrol ditempatkan di atas kepala, lengan mengalami kelainan secara pasif
dan dielevasi oleh lengan yang sehat atau normal.
5. Passive External Rotasi of Shoulder
Penderita berdiri menghadap sudut dinding, kedua siku ditekuk. Kedua

lengan

masing-masing memang dinding (push-up) anterior kapsuldan pektoralis akanterulur.


Permulaan latihan dengan kedua tangan lurus dengan dada kemudian kedua tangan
naik sampai lengan ekstensi penuh di atas kepala.
38

6. Beberapa latihan untuk penderita nyeri bahu


Latihan A : Penderita tidur terlentang dengan siku di sisi tubuh dan tangan mengarah
ke atas.

Eksternal rotasi secara aktif oleh pasien dan secara pasif oleh terapis.

Tahanan boleh diberikan jika lingkup gerak memungkinkan.

Latihan ini dapat

dilakukan dengan posisi melawan dinding.


Latihan B : Sama dengan latihan A dengan peningkatan abduksi lengan
Latihan C : Lengan di belakang kepala, gerakan siku ke belakang, kearah lantai jika
berbaring terlentang ; ke dinding jika berdiri. (Djohan , 2004)
Gambar 2.30 Frozen Shooulder Excercises

2.9 Prognosis
39

Pasien dengan nyeri bahu bisa sembuh kembali. Tetapi, pada umumnya pemulihan nyeri
bahu kronis lambat. Dua studi prospektif menyebutkan, pasien dengan nyeri bahu kronis telah
menunjukkan pemulihan lengkap pada 1 bulan sekitar 23%, sedangkan 59% pasien sembuh
setelah 18 bulan. (Kelley, 2013)

40

SENDI SIKU

1. Anatomi dan Fisiologi Sendi Siku


Sendi siku dibentuk oleh tiga potong tulang yaitu tulang humerus, ulna dan radius yang
saling berhubungan dalam satu rongga sendi yang bersama-sama.(2)
Pada dasarnya di dalam sendi siku terdapat dua gerakan yakni flexi/extensi dan rotasi
berupa pronasi dan supinasi. Gerakan flexi dan extensi terjadi antara tulang humerus dan
lengan bawah (radius dan ulna), pronasi dan supinasi terjadi karena radius berputar pada
tulang ulna, sementara itu radius juga berputar pada poros bujurnya sendiri. Sendi radioulnar
proksimal dibentuk oleh kepala radius dan incisura radioulna dan merupakan bagian dari
sendi siku. Sendi radioulnar distal terletak dekat pergelangan tangan.(2)

Gambar 3.1 Bagian Sendi Siku yang terkena pada Tennis Elbow.
Sendi siku sangat stabil karena diperkuat oleh simpai sendi yaitu ligamentcollateral
medial dan lateral. Ligamentum annulare radii menstabilkan terutama kepala radius. Otot-otot
yang berfungsi pada gerakan sendi siku ialah brachioradialis, biceps brachii, otot triceps
brachii, pronator teres dan supinator. Selain otot di atas, dari siku juga berasal sejumlah otot
yang berfungsi untuk pergelangan tangan seperti otot extensor carpi radialis longus yang
berfungsi sebagai penggerak utama extensi sendi pergelangan tangan dipersarafi oleh saraf
radialis cabang saraf servikal 6 - 7, otot extensor carpi radialis brevis,berfungsi sebagai

41

penggerak utama extensi dan abduksi sendi pergelangan tangan dipersarafi oleh saraf radialis
akar saraf servikal 6 servikal 7. (2)
Tabel 3.1 Anatomi otot-otot yang menyusun Lateral Compartement of the Elbow (2)
Otot

Fungsi

Origo

Insersio

Aspek distal dari lateral


Extensor
carpi radialis

Extensi dan abduksi

supra-condylar ridge

Aspek dorsal dari basis

humerus

tulang metakarpal kedua

pergelangan tangan
Dan septum intermuscular

longus

lateral

ECRB

Extensor
digitorum
communis

Ektensi pergelangan
tangan
Ektensi pergelangan
tangan, jari kedua-jari
kelima pada sendi
MCP

Tendon extensor communis

Aspek dorsal dari basis

dari epikondilus lateral

tulang metakarpal ketiga

humerus
Tendon extensor communis
dari epikondilus lateral
humerus

Dorsum jari kedua-jari


kelima

Caput humeral: Tendon


Extensor carpi
Ulnaris

Extensi dan adduksi


pergelangan tangan

extensor communis dari


epikondilus lateral humerus,
caput ulnaris: aspek dorsal

Aspek ulnar dari basis


tulang metakarpal kelima

dari mid ulna


Ektensi phalanx
Extensor digiti
Minimi

proximal jari kelima

Tendon extensor communis

pada sendi MCP dan

dari epikondilus lateral

membantu extensi

humerus

Area dorsal jari kelima

pergelangan tangan
Memperkuat kapsul
Anconeus

sendi dan bertindak

Aspek posterior epikondilus

Aspek radial olecranon

sebagai extensor

lateral humerus

dan ulna proksimal

Supinasi lengan

Caput humeri: epikondilus

Aspek lateral dan

bawah

lateral; caput ulnaris: aspek

anterior radius proksimal

lemah pada elbow


Supinator

42

lateral olecranon (krista


supinator)

hingga medial

Gambar 3.2. Otot-otot pada aspek lateral elbow, yang berdekatan dengan origo tendon
epikondilus lateral. CET= common extensor tendon, ECRB= extensor carpi radialis
brevis, ECRL= extensor carpi radialis longus, ECU= extensor carpi ulnaris, EDC=
extensor digitorum communis.

Gambar 3.3. Anatomi ligamentum elbow dari aspek lateral. AL= annular
ligament, LUCL= lateral ulnar collateral ligament, RCL= radial collateral
ligament.
Epikondilitis lateral berhubungan erat dengan cedera kapsuler, penebalan serta
robekan pada lateral ulnar collateral ligament (LUCL) dan radial collateral ligament (RCL).
43

Kompleks lateral collateral ligament terdiri atas RCL, ligamen annular, ligamen accessory
lateral collateral, dan LUCL. RCL berasal dari epikondilus lateral bagian anterior dan
bergabung dengan fiber ligamentum annular dan fascia otot supinator. Ligamentum annular,
stabilisator utama sendi proximal radioulnar, melancip di bagian distal dan mengelilingi caput
radial yang berbentuk corong. Gangguan atau robekan pada ligamentum ini dapat
menyebabkan instabilitas radioulnar. Ligamentum accessory lateral collateral membantu
menstabilkan ligamentum annular namun ligamentum ini tidak selalu bisa ditemukan. Fiber
ligamentum accesory berasal dari krista supinator, di sepanjang aspek lateral ulna. LUCL
berkontribusi dalam memberikan konstrain ligamentum guna melawan stres varus. LUCL
berasal dari epikondilus lateral sebagai persambungan dari RCL, namun LUCL berjalan di
sepanjang aspek lateral dan posterior radius lalu masuk ke tuberkel krista supinator ulna.
Gangguan pada LUCL akan menyebabkan instabilitas rotasi posterolateral elbow.(2)

2. Definisi tennis elbow


Tennis elbow merupakan salah satu jenis overuse syndrome dan kondisi ini timbul sebagai
akibat dari extensi pergelangan tangan yang berlebihan. Nyeri siku dapat berupa sebagai
tennis elbow (lateral epicondylitis) ketika terjadi cedera pada tendon bagian luar.(1)

Gambar 3.4. Group otot yang termasuk adalah otot ektensor pergelangan tangan, terutama
otot ektensor carpi radialis brevis yang menimbulkan gejala pada tennis elbow ini.

44

Gambar 3.5. Robekan ligament


3. Patofisiologi
Selain akibat cedera stres repetitif, tennis elbow juga dapat terjadi karena trauma
langsung. Kondisi ini sering ditemukan pada para pemain tenis, terutama pada mereka yang
tidak profesional, dan belum memiliki teknik bermain tenis yang baik. Epikondilitis lateral
terjadi karena kontraksi repetitif pada otot-otot extensor lengan bawah, terutama pada origo
ECRB, yang mengakibatkan robekan mikro lalu degenerasi tendon, perbaikan yang imatur,
hingga menimbulkan tendinosis.(1)

Gambar 3.6. Gerakan backhand pada tenis yang menimbulkan tarikan pada
epikondilus lateral.

45

Selain gaya mekanik yang mengakibatkan stres varus berlebihan pada ECRB, posisi
anatomi tendon ECRB yang langsung berhimpitan dengan aspek lateral capitellum
menyebabkan tendon tersebut mudah mengalami abrasi berulang selama proses extensi
elbow. Hipovaskularitas permukaan bawah tendon juga berkontribusi dalam proses
degenerasi dan tendinosis.

Gambar 3. 7 : A. Gambaran histologis tendinosis angiofibroplastic ( angiofibroblastic


tendinosis) pada tennis elbow, terjadi disorganisasi kolagen normal akibat invasi fibroblast.
B. Tendon normal.

Pada pemeriksaan umum, tendon yang mengalami tennis elbow akan berwarna abu-abu
dan rapuh. Awalnya, banyak yang menduga bahwa epikondilitis terjadi karena adanya proses
inflamasi yang melibatkan bursa humeral radial, synovium, dan ligamentum annular. Pada
tahun 1979, Nirschl dan Pettrone menemukan adanya disorganisasi arsitektur kolagen normal
akibat invasi fibroblast yang berhubungan erat dengan respon reparatif vaskuler yang imatur,
yang disebut juga dengan istilah hiperplasia angiofibroplastik. Proses itu kemudian dikenal
dengan nama tendinosis angiofibroplastik karena tidak ada satu pun sel radang yang
teridentifikasi. Karena inflamasi bukanlah faktor yang signifikan dalam epikondilitis, maka
istilah tendinosis merupakan istilah yang paling tepat untuk menggambarkan tennis Elbow.

46

4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Dari anamnesis, dapat diketahui bahwa pasien tennis elbow datang ke dokter karena
keluhan utama nyeri di daerah lateral elbow, yang menjalar ke regio extensor. Pada umumnya
mereka berusia antara 20-50 tahun, dan mayoritas berusia di atas 30 tahun. Pasien sering kali
melaporkan bahwa onset timbulnya nyeri sulit diketahui, namun hal itu berhubungan erat
dengan riwayat penggunaan tangan secara berlebihan (pada tangan dominan) tanpa adanya
trauma spesifik. (1,3,4)
Onset gejala biasanya timbul dalam 24-72 jam setelah melakukan aktivitas extensi
pergelangan tangan secara berulang-ulang. Manifestasi gejala terlambat timbul karena adanya
robekan mikroskopik pada tendon.(1,3,4)
Pasien mengeluhkan nyeri pada lateral elbow yang akan semakin memburuk ketika
pasien beraktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat. Pasien juga merasakan kondisi
yang mengganggu saat melakukan aktivitas tertentu seperti ketika pasien melakukan pukulan
backhand tenis atau menggunakan obeng secara berlebihan.(5,6)
Nyeri biasanya bersifat tajam, intermiten, dan menjalar ke bawah melalui aspek
posterior lengan bawah. Terkadang, pasien dapat menentukan lokasi nyerinya di sekitar 1,5
cm dari distal origo ECRB. Nyeri yang dialami oleh pasien bervariasi, mulai dari yang paling
ringan (seperti rasa mengganggu ketika melakukan aktivitas berat seperti bermain tennis atau
menggunakan alat tangan secara berulang-ulang), atau nyeri berat yang terpicu oleh aktivitas
sederhana seperti hendak mengambil dan memegang gelas kopi. Secara umum, pasien tennis
elbow akan mengeluhkan penurunan kekuatan ketika melakukan gerakan menggenggam,
supinasi, dan extensi pergelangan tangan. (1,3,4,5,6)
Sekitar sepertiga kasus tennis elbow berhubungan dengan aktivitas hidup sehari-hari.
Sehingga menanyakan riwayat pekerjaan dan aktivitas sehari-hari merupakan salah satu hal
yang penting dalam menegakkan diagnosis. Selain tennis, aktivitas lain juga dapat
menimbulkan tennis elbow. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3.2. Aktivitas yang berhubungan dengan epikondilitis lateral


Kegiatan
Olahraga

atau

Gerakkan
47

Bermusik

Bermain biola

Bisnis

Mengangkat tas yang berat

Pertukangan

Memalu atau memutar sekrup

Perlistrikan

Memotong kabel

Mekanik

Gerakan repetitif

Bisbol

Pitching

Olahraga raket

Pukulan backhand

Angkat Berat

Mengunci siku ketika dalam posisi

Berlayar

extensi

Politik

Mendayung

Sekretariat

Menjabat tangan
Mengetik

5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada inspeksi, sulit untuk menegakkan diagnosis tennis elbow karena biasanya
tidak ditemukan adanya hematoma maupun edema pada lateral elbow. Namun pada
pasien tennis elbow yang sudah kronik, dapat ditemukan atrofi otot-otot extensor.
Meskipun tidak mungkin menegakkan diagnosis tennis elbow hanya dengan inspeksi,
kita tidak boleh mengabaikan pemeriksaan ini sebab jika kita menemukan adanya
eritema, pembengkakan atau pun lesi lain pada elbow, maka hal tersebut justru akan
menyingkirkan diagnosis tennis elbow.(3)
b. Palpasi
Dari palpasi, ada beberapa jenis pemeriksaan provokatif yang dapat dilakukan
antara lain:

1. Penekanan pada lateral elbow


Nyeri maksimal dapat timbul ketika dilakukan penekanan pada daerah sekitar
1-2 cm dari distal origo ECRB di epikondilus lateral. Apabila tanda ini tidak
ditemukan, maka kita dapat menyingkirkan diagnosis tennis elbow. (3)
48

Gambar 3.8. Tes penekanan pada lateral elbow untuk mendiagnosis tennis elbow. Nyeri akan
timbul apabila penekanan dilakukan pada daerah sekitar 1-2 cm dari distal origo ECRB di
epikondilus lateral.
2. Tes Maudsley
Pasien diminta untuk melakukan extensi jari ketiga (jari tengah) tangan lalu
pemeriksa menahan extensi tersebut sambil mempalpasi epikondilus lateral. Hal
itu akan menimbulkan ketegangan pada otot extensor digitorum dan tendon. Hasil
positif terjadi apabila pasien merasakan nyeri pada epikondilus lateral. Bila
positif, berarti pasien menderita tennis elbow. (1,3)

Gambar 3.9. Tes Maudsley.

3. Tes Mill

49

Pemeriksa meminta pasien agar memflexikan elbow dan pergelangan tangan,


sambil memperhatikan tiap nyeri yang timbul pada epikondilus lateral. Hasil
positif bila pasien merasakan nyeri pada epikondilus lateral. (1,3,4)

Gambar 3.10. Tes Mill


4. Tes Cozen
Pemeriksa menstabilisasi elbow dengan cara meletakkan ibu jari pada
epikondilus lateral. Lalu pasien diminta untuk mengepalkan tangan sambil
mempronasikan lengan bawah secara radial lalu pasien mengextensikan
pergelangan tangan sambil melawan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa. Atau
pemeriksa dapat memflexikan dan mengextensikan lengan bawah pasien secara
pasif. Semua tindakan itu akan menimbulkan nyeri apabila pasien menderita
tennis elbow. (1,3,4)

Gambar 9.11. Tes Cozen.


5. Tes Mengangkat Kursi (Chair Test)
Pasien diminta untuk mengangkat sebuah kursi dengan bahu di-adduksi,
kemudian elbow diextensi, dan pergelangan tangan dipronasi. Tindakan seperti itu
50

akan mempresipitasi nyeri Jika pasien merasakan nyeri pada epikondilus lateral,
berarti chair test positif dan itu salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa
pasien mengalami tennis elbow. (3,4)
Selain tes-tes di atas, kita juga harus melakukan pemeriksaan ROM pada bahu,
siku, dan pergelangan tangan. Pemeriksaan ROM (range of movements) dan uji
krepitus

sendi

radiohumeral

dilakukan

untuk

mengeksklusi

bursitis,

osteokondritis, atau PIN entrapment. (3,4)


Jika ditemukan penurunan ROM, maka kita dapat mempertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan radiologis untuk mengevaluasi sendi yang bermasalah.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis biasanya dijadikan alat diagnostik cadangan untuk kasuskasus yang telah refrakter terhadap terapi non-bedah, untuk mengeksklusi abnormalitas
lain, dan untuk memeriksa luasnya kerusakan tendon. Secara umum, pemeriksaan
radiologis yang dapat dilakukan adalah X-ray, CT-scan, MRI, dan USG.(1,3,4)
a. X-Ray
Pemeriksaan X-ray biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengeksklusi
abnormalitas lain. Gambaran yang dapat ditemukan dari pemeriksaan X-ray pada
tennis elbow adalah deposisi kalsium (kalsifikasi) pada daerah yang berdekatan
dengan epikondilus lateral.
b. USG
Sensitivitas USG untuk mendiagnosis tennis elbow adalah 72-88%, sedangkan
spesifisitasnya adalah 36-62,5%, namun ada juga penelitian yang melaporkan bahwa
spesifisitasnya mencapai 67-100%, terutama untuk pasien-pasien yang simptomatik.
Dari pemeriksaan USG, diagnosis tennis elbow dapat ditegakkan apabila pada tendon
extensor communis ditemukan salah satu gambaran berikut ini:
- Robekan linear intrasubtansi
- Penebalan tendon
- Kalsifikasi intratendinosus
- Iregularitas tulang pada yang berdekatan
- Fokal hipoekoik regional
- Enthesophytes pada insersi tendon
- Cairan peritendinosus

51

Gambar 3.12. Foto posisi elbow dan transducer pada evaluasi US.

Gambar 3.13. USG longitudinal pada tendon extensor communis pasien tennis elbow, tanda
panah menunjukkan fokus hipoekoik linear yang sesuai dengan robekan intrasubstansi.

52

Gambar 3.14. USG longitudinal pada tendon extensor communis pasien tennis elbow, tanda
panah yang atas menunjukkan tendon yang mengalami kalsifikasi, sedangkan tanda panah
yang bawah menunjukkan iregularitas tulang yang dekat dengan tendon extensor communis.

Gambar 3.15. USG longitudinal pada tendon extensor communis pasien tennis elbow, tanda
bintang menunjukkan tendon yang terlepas dari tulang yang disertai dengan cairan
peritendinosus, sedangkan tanda panah menunjukkan enterofit pada tulang.
3. MRI
Posisi pasien dan pemelihan sekuensi yang tepat merupakan hal yang esensial
untuk menegakkan diagnosis tennis elbow dengan menggunakan MRI. Apabila
digunakan dengan tepat, maka MRI memiliki sensitivitas sekitar 90-100% dalam
mendiagnosis tennis elbow.
Pasien yang akan menjalani pemeriksaan MRI sebaiknya berbaring dengan
tangan

terabduksi,

elbow

di-extensi,

dan

pergelangan

tangan

di-supinasi.

Abnormalitas tendon dan ligamen sebaiknya diperiksa dengan menggunakan densitas


proton weighted dan T2-weighted fast SE image (dengan atau tanpa saturasi lemak).
Dengan pemeriksaan MRI, kita dapat melihat penebalan serta robekan fokal pada
tendon.

53

Gambar 3.16. MRI tennis elbow. (a) tanda panah menunjukkan robekan full-thickness dan
retraksi ECRB yang disertai dengan edema. (b) tanda panah menunjukkan cairan
peritendinosus pada origo ECRB.

7. Penatalaksanaan
a. Terapi Fase Akut
Untuk tennis elbow fase akut, maka kita harus memberlakukan regimen R.I.C.E
seperti halnya cedera jaringan lunak lainnya. (1,3,5,6,7)
Hal tersebut melibatkan prosedur:
-

Rest (istirahat)
Ice (es)
Compression (kompres)
Elevation (elevasi)

Gambar 3.17. Prosedur RICE untuk epikondilitis lateral.

54

Bila terapi tersebut tidak berhasil, maka kita dapat melanjutkannya dengan:
b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif yang dapat diberikan pada pasien tennis elbow antara lain:
1. NSAID (Non-steroidal anti-inflammatory drugs)
NSAID dapat digunakan sebagai analgesia untuk pasien tennis elbow. Ada
banyak pilihan NSAID yang dapat digunakan yakni diclofenac, naproxen,
ibuprofen, dan inhibitor siklooksigenase. Obat-obatan tersebut dapat digunakan
secara topikal maupun sistemik. Meskipun memiliki banyak golongan, namun
secara umum, profil khasiat NSAID hampir sama.(5)
NSAID dapat menghambat inflamasi dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin. Meskipun tennis elbow bukanlah suatu proses inflamasi, namun
berbagai penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan NSAID dapat
mengurangi gejala tennis elbow. Namun penggunaan NSAID dalam jangka
panjang tidak dianjurkan karena adanya efek samping pada traktus gastrointestinal
-

dan ginjal.(6)
Kortikosteroid
Jenis kortikosteroid yang digunakan untuk terapi tennis elbow sebaiknya yang
memiliki efek anti-inflamasi yang kuat seperti triamcinolone dan betamethasone.
Dan pemberiannya harus dilakukan secara intra-artrikuler untuk mengurangi efek
sistemik.(6)

Gambar 3.18. Injeksi kortikosteroid pada epikondilus lateral.

55

Triamcinolone dan betametahsone dapat menurunkan inflamasi dengan cara


menekan migrasi leukosit polimorfonuklear dan memperbaiki permeabilitas kapiler.
Banyak dokter yang lebih suka menggunakan betamethasone karena agen ini tidak
mengalami kristalisasi ketika dicampurkan dengan sediaan anestetik yang bebas
paraben. (6)
Terapi ini terkadang juga dikombinasikan dengan anestetik lokal; salah satu
kombinasi yang sering digunakan adalah 0,5 cc Xylocaine 2% dan 0,5 cc
methylprednisolone.

2. Vasodilator
Vasodilator dapat diberikan pada pasien tennis elbow karena agen ini dapat
menstimulasi sintesis kolagen dan membantu proses penyembuhan. Selain itu
vasodilator dapat mengurangi gejala nyeri. Vasodilator yang dianjurkan adalah
nitrogliserin transdermal. Obat ini dapat menyebabkan relaksasi otot pembuluh
-

darah dengan cara menstimulasi produksi guanosine monofosfat intraseluler. (6,7)


Botulinum
Botulinum telah terbukti dapat menurunkan gejala nyeri dengan cara
memblokade pelepasan asetilkolin, sehingga menimbulkan denervasi kimiawi
pada sistem saraf simpatetik dan perifer. Namun penggunaan botulinum harus
dilakukan secara hati-hati karena efek sampingnya dapat menimbulkan
kelumpuhan pada otot-otot pernapasan. (6)

c. Terapi Fisik
Banyak ahli yang menyarankan terapi fisik untuk pasien-pasien tennis elbow
dengan cara memberikan stressing pada insersi ECRB melalui latihan gerakan
eksentrik dan konsentrik. Diharapkan dengan terapi ini maka akan terbentuk jaringan
kolagen yang padat pada area insersi ECRB, sehingga rasa nyeri akan tereliminasi. (7)

56

Gambar 3.19. Latihan flexi elbow 90

(kontraksi konsentrik pada otot-otot extensor

pergelangan tangan).

Gambar 3.20. Latihan extensi elbow 180 (kontraksi eksentrik pada otot-otot pergelangan
tangan).

Terapi fisik seperti ini murah dan cukup efektif dalam mengatasi gejala tennis
elbow. Namun sebelum melakukan gerakan-gerakan seperti itu, kita harus memberikan
memberikan konseling pada pasien mengenai adanya efek eksarsebasi nyeri ketika sedang
melakukan latihan.
d.

Penggunaan Ortosis atau Bebat Counterforce (Counterforce bracing)


Penggunaan bebat counterforce dilakukan untuk mengurangi gaya tension
(tegangan) pada tendon extensor pergelangan tangan, dan ortotik jenis ini lebih
unggul dalam mengatasi tennis elbow jika dibandingkan dengan bebat biasa. Bebat ini
harus diletakan kira-kira 10 cm di arah distal sendi elbow. Penggunaan bebat
counterforce selama tiga minggu pada epikondilitis lateral, dapat menurunkan nyeri
dan meningkatkan kekuatan genggaman. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
terapi ini tidak memberikan manfaat sama sekali dalam mengatasi tennis elbow.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terapi ini masih kurang superior jika
dibandingkan dengan terapi NSAID topikal dan injeksi kortikosteroid. (6,7)
Gambar 3.21. Counterforce bracing.

57

e. Terapi Pembedahan
Jika semua terapi konservatif gagal dalam mengatasi tennis elbow, maka kita
harus melakukan pemeriksaan radiologis guna menyingkirkan kemungkinan adanya
kelainan lain yang menyertai tennis elbow dan mempertimbangkan terapi
pembedahan.(3)
Ada dua jenis pembedahan untuk mengatasi tennis elbow, yakni operasi
terbuka dan operasi dengan bantuan arthroskopi.
- Operasi Terbuka
Operasi terbuka merupakan jenis pendekatan yang paling sering digunakan
untuk mengatasi tennis elbow. Ada beberapa teknik operasi terbuka yang dapat
dilakukan untuk mengatasi tennis elbow yakni:
teknik ablasi origo extensor communis,
teknik melepaskan aponeurosis extensor dari epikondilus lateral

(Hohmann),
reseksi ligamentum orbikularis (Bosworth),
denervasi sendi radiohumeral (Kaplan)
prosedur Nirschl

Prosedur Nirschl
Prosedur Nirschl yang dimodifikasi merupakan salah satu metode yang
paling sering digunakan. Teknik ini memang tidak bisa mengeksplorasi sendi
radiohumeral, namun perdarahan pada teknik ini lebih minimal, prosedurnya lebih
singkat, dan biayanya lebih murah.(3)
Gambar 3.22. Foto intraoperatif prosedur Nirschl. Tanda panah menunjukkan
adanya robekan pada origo ECRB. Diskolorisasi abu-abu keputihan pada tendon
mengindikasikan adanya degenerasi.

58

Prinsip utama prosedur Nirschl adalah memperpanjang origo muskulofascial


pada pergelangan tangan dan extensor jari tangan. Prosedur ini diawali dengan
memisahkan extensor digitorum brevis dan extensor carpi radialis untuk memudahkan
akses ke ECRB. Bagian ECRB yang mengalami degenerasi dan sisi extensor
digitorum brevis yang ada di dekatnya dieksisi. ECRB yang telah dipotong tidak perlu
disambung kembali karena struktur ini didukung oleh perlekatan fascia yang ada di
dekatnya sehingga bisa mencegah retraksi distal. Lalu kita membuat lubang di
epikondilus, dan semua traksi spur disingkirkan. Kemudian extensor carpi radialis
longus dan extensor digitorum communis diperbaiki, setelah itu luka ditutup.(3)

Rehabilitasi
Setelah menjalani pembedahan, terutama operasi terbuka, tangan yang
dioperasi harus diimobilisasi dengan menggunakan bebat. Setelah 1 minggu, bebat
dan jahitan dapat dilepaskan.
Jika bebat telah dilepaskan, maka kita harus segera memulai latihan fisik
dengan melakukan gerakan peregangan siku dan mengembalikan flexibilitas siku.
Latihan penguatan siku dapat dimulai dalam 2 bulan setelah pembedahan.
Sedangkan untuk latihan atletik yang jauh lebih berat, biasanya akan dimulai
dalam 4 hingga 6,minggu setelah operasi.(8)

Alur Penatalaksanaan Tennis Elbow

59

Gambar 3.22. Alur penatalaksanaan tennis elbow menurut American Family Physician.
American

Family

Physician

(AFP)

merekomendasikan

suatu

alur

penatalaksanaan untuk mengatasi tennis elbow. Bila anamnesis dan pemeriksaan fisis
sudah konsisten dengan diagnosis epikondilitis lateral, maka pendekatan terapi yang
pertama kali dianjurkan adalah pengendalian inflamasi dengan memberikan NSAID
topikal atau oral, modifikasi gaya hidup, koreksi biomekanik dan implementasi
latihan fisik. Untuk melakukan hal tersebut, kita dapat mempertimbangkan
penggunaan bebat counterforce.
Jika gejala tennis elbow tidak mengalami perbaikan, maka kita dapat
melanjutkan terapi fisik yang lebih lanjut dan mempertimbangkan injeksi
kortikosteroid selama latihan fisik berlangsung. Selama latihan fisik ini, kita juga
dapat menggunakan strategi terapi kontemporer berupa penggunaan nitrogliserin
60

topikal dan akupuntur. Apabila gejala tennis elbow masih tetap bertahan, maka kita
harus segera merujuk pasien ke dokter ahli bedah ortopedi untuk mendapat
penanganan yang lebih lanjut. (6,7)
8. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini berkaitan erat dengan terapinya, baik itu terapi
konservatif maupun terapi pembedahan. Penggunaan obat-obatan NSAID dan
kortikosteroid dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan hati, ginjal, dan
traktus gastrointestinal. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan
antara lain infeksi, penurunan ROM, serta kekakuan.(1,4)
9. Prognosis
Angka kesembuhan pasien dari penyakit ini cukup tinggi, sekitar 95%, meskipun
tanpa terapi pembedahan. Meskipun begitu, epikondilitis lateral memiliki potensi menjadi
masalah kronik terutama jika tidak tertangani dengan baik. Untuk menurunkan resiko
kronik, maka pasien dianjurkan menjalani modifikasi aktivitas dan koreksi biomekanik.
(8,9)

61

DE QUERVAINS
1. Definisi dequervains
De Quervains syndrome merupakan penyakit dengan nyeri pada daerah prosesus
stiloideus akibat inflamasi kronik pembungkus tendon otot abduktor polisis longus dan
ekstensor polisis brevis setinggi radius distal dan jepitan pada kedua tendon tersebut. 4,5
De Quervains syndrome atau tenosinovitis stenosans ini merupakan tendovaginitis
kronik yang disertai penyempitan sarung tendon. Sering juga ditemukan penebalan
tendon.5
Lokasi de Quervains syndrome ini adalah pada kompartemen dorsal pertama pada
pergelangan tangan. Kompartemen dorsal pertama pada pergelangan tangan termasuk di
dalamnya adalah tendon otot abduktor polisis longus (APL) dan tendon otot ekstensor
polisis brevis (EPB). Pasien dengan kondisi yang seperti ini biasanya datang dengan nyeri
pada aspek dorsolateral dari pergelangan tangannya dengan nyeri yang berasal dari arah
ibu jari dan / atau lengan bawah bagian lateral. Kondisi seperti ini mempunyai respon
yang baik terhadap penanganan non bedah. 3

Gambar 4.1. Kompartemen dorsal pertama pergelangan tangan pada daerah tepi lateral dari
snuffbox.

Gambar 4.2. Tampak kompartemen dorsal pertama pada daerah stiloid radius menonjol.
2. Etiologi
Trauma minor yang berulang-ulang umumnya memberikan kontribusi terhadap
perkembangan penyakit de Quervains syndrome. Aktivitas-aktivitas yang mungkin

62

menyebabkan trauma ulangan pada pergelangan tangan termasuk faktor pekerjaan, tugastugas sekretaris, olahraga golf, atau permainan olahraga yang menggunakan raket. 3

Gambar 4.3. Tugas-tugas dari seorang sekretaris yang dapat menyebabkan trauma
ulangan pada pergelangan tangan
Faktor-faktor lain yang mungkin dapat memberikan kontribusi terjadinya de
Quervains syndrome antara lain : 3,6,7

Trauma akut pada tangan terutama ibu jari.


Berhubungan dengan rheumatoid arthritis.
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi inflamasi tendon yang terjadi berhubungan

dengan gesekan yang berlebihan / berkepanjangan antara tendon dan pembungkusnya, terjadi
misalnya pada wanita yang pekerjaannya memeras kain. 4,7
3. Anatomi dan Fisiologi
Tendon adalah penghubung antara tulang dan otot. Tendon ada yang dibungkus
dengan pembungkus tendon (tendon sheath), ada pula yang tidak dan langsung melekat pada
tulang. 8,9
Gambar 4.4. Tendon dari otot abduktor polisis longus dan otot ekstensor polisis brevis

63

Pergelangan tangan bagian dorsal yang terdiri dari otot-otot ekstensor


dibungkus oleh sebuah retinakulum ekstensor yang berjalan melalui tulang-tulang
karpal. Retinakulum ini terdiri dari jaringan fibrosa. Bagian medial dari retinakulum
ini melekat pada os pisiform dan os hamate sementara bagian lateralnya melekat pada
bagian distal dari os radius. Ada enam kompartemen jaringan fibrosa yang melalui
otot-otot ekstensor ini. Kompartemen ini dipisahkan satu sama lain oleh jaringan
fibrosa. Setiap kompartemen dibungkus oleh tendon sheath yang berisi cairan sinovial
dan semuanya dibungkus oleh retinakulum tadi. 8,9,10

Gambar 4.5. Retinakulum otot-otot ekstensor, tendon sheath, dan potongan transversaltendon
sheath
Struktur kompartemen dari radial ke ulnar adalah kompartemen pertama yang
terdiri dari tendon otot ekstensor polisis brevis dan tendon otot abduktor polisis
64

longus, kompartemen kedua yang terdiri dari tendon otot ekstensor karpi radialis
brevis dan tendon otot ekstensor karpi radialis longus, kompartemen ketiga yaitu
tendon otot ekstensor polisis longus, kompartemen keempat yaitu tendon otot
ekstensor digitorum dan otot ekstensor indicis, kompartemen kelima adalah tendon
otot ekstensor digiti minimi, dan kompartemen keenam adalah tendon otot ekstensor
karpi ulnaris.

8,9,10,18

Gambar 4.6. Kompartemen pertama sampai kompartemen keenam.


De Quervains syndrome adalah stenosis pada tendon sheath kompartemen
dorsal pertama pergelangan tangan. Kompartemen ini terdiri dari tendon otot abduktor
polisis longus dan otot ekstensor polisis brevis. 1,3,10,11,12,13,14

65

Gambar 4. 7. Kompartemen dorsal pertama


Tendon pada otot ekstensor polisis brevis berfungsi pada pergerakan ekstensi
polluks, sedangkan tendon pada otot abduktor polisis longus berfungsi sebagai
pergerakan abduksi pada polluks. 8,9,10
Di antara kedua tendon ini berjalan cabang dari nervus radialis sebagai
sensoriknya sehingga jika terjadi stenosis pada kompartemen ini akan merangsang
terjadinya nyeri oleh iritasi pada nervus radialis. 8,9
4. Patofisiologi
Kompartemen dorsal pertama pada pergelangan tangan termasuk pembungkus
tendon yang menutupi tendon otot abduktor polisis longus dan tendon otot ekstensor
polisis brevis pada tepi lateral. Inflamasi pada daerah ini umumnya terlihat pada pasien
yang menggunakan tangan dan ibu jarinya untuk kegiatan-kegiatan yang repetitif. Karena
itu, de Quervains syndrome dapat terjadi sebagai hasil dari mikrotrauma kumulatif
(repetitif). 3,7
Pada trauma minor yang bersifat repetitif atau penggunaan berlebih pada jari-jari
tangan (overuse) menyebabkan malfungsi dari tendon sheath. Tendon sheath yang
memproduksi cairan sinovial mulai menurun produksi dan kualitas cairannya. Akibatnya,
pada

penggunaan

jari-jari

selanjutnya

terjadi

pergesekan

otot

dengan tendon

sheath karena cairan sinovial yang berkurang tadi berfungsi sebagai lubrikasi. Sehingga
terjadi proliferasi jaringan ikat fibrosa yang tampak sebagai inflamasi dari tendon
sheath. Proliferasi ini menyebabkan pergerakan tendon menjadi terbatas karena jaringan
ikat ini memenuhi hampir seluruh tendon sheath. Terjadilah stenosis atau penyempitan
pada tendon sheathtersebut dan hal ini akan mempengaruhi pergerakan dari kedua otot
tadi. Pada kasus-kasus lanjut akan terjadi perlengketan tendon dengan tendon sheath.
Pergesekan otot-otot ini merangsang nervus yang ada pada kedua otot tadi sehingga
terjadi perangsangan nyeri pada ibu jari bila digerakkan yang sering merupakan keluhan
utama pada penderita penyakit ini.1,3,11,15
Pembungkus fibrosa dari tendon abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis
menebal dan melewati puncak dari prosesus stiloideus radius. 4,6,7
5. Diagnosis

66

Kelainan ini sering ditemukan pada wanita umur pertengahan. Gejala yang timbul
berupa nyeri bila menggunakan tangan dan menggerakkan kedua otot tersebut yaitu bila
menggerakkan ibu jari, khususnya tendon otot abduktor polisis longus dan otot ekstensor
polisis brevis. Perlu ditanyakan juga kepada pasien riwayat terjadinya nyeri. Sebagian
pasien akan mengungkapkan riwayat terjadinya nyeri dengan trauma akut pada ibu jari
mereka dan sebagian lainnya tidak menyadari keluhan ini sampai terjadi nyeri yang
lambat laun makin menghebat. Untuk itu perlu ditanyakan kepada pasien apa pekerjaan
mereka karena hal tersebut akan memberikan kontribusi sebagai onset dari gejala tersebut
khususnya pada pekerjaan yang menggunakan jari-jari tangan. Riwayat penyakit lain
seperti pada rheumatoid arthritis dapat menyebabkan pula deformitas dan kesulitan
menggerakkan ibu jari. Pada kasus-kasus dini, nyeri ini belum disertai edema yang
tampak secara nyata (inspeksi), tapi pada kasus-kasus lanjut tampak edema terutama pada
sisi radial dari polluks. 3,10,11,12,13,14,15
Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri tekan pada daerah prosesus stiloideus radius,
kadang-kadang dapat dilihat atau dapat teraba nodul akibat penebalan pembungkus
fibrosa pada sedikit proksimal prosesus stiloideus radius, serta rasa nyeri pada adduksi
pasif dari pergelangan tangan dan ibu jari. Bila tangan dan seluruh jari-jari dilakukan
deviasi ulnar, penderita merasa nyeri oleh karena jepitan kedua tendo di atas dan disebut
uji Finkelstein positif. 4,5,6,7,16

Gambar 4.8. Tampak inflamasi pada tendon sheath dari kompartemen dorsal pertama
Tanda-tanda klasik yang ditemukan pada de Quervains syndrome adalah tes
Finkelstein positif. Cara melakukannya adalah dengan menyuruh pasien untuk
mengepalkan tanganya di mana ibu jari diletakkan di bagian dalam dari jari-jari lainnya.
67

Si pemeriksa kemudian melakukan deviasi ulnar pasif pada pergelangan tangan si pasien
yang dicurigai di mana dapat menimbulkan keluhan utama berupa nyeri pergelangan
tangan daerah dorsolateral. 3,16
Gambar 4.9. Daerah yang nyeri pada de Quervains syndrome
Lakukan tes Finskelstein secara bilateral untuk membandingkan dengan

bagian yang tidak terkena. Hati-hati memeriksa the first carpometacarpal (CMC)
joint sebab bagian ini dapat menyebabkan tes Finskelstein positif palsu. 6 Selain
dengan tes Finkelstein harus diperhatikan pula sensorik dari ibu jari, refleks otot-otot,
dan epikondilitis lateral padatennis elbow untuk melihat sensasi nyeri apakah primer
atau merupakan referred pain.3,12,13,15

Gambar
pada

4.10. Tes

Finkelstein,

si

pemeriksa

melakukan

deviasi

ulnar

pasif

pergelangan tangan pasien

68

Gambar 4.11. Tes Finkelstein


Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk menunjang diagnosis
penyakit ini. Kadang dilakukan pemeriksaan serum untuk melihat adanya
faktor rheumatoiduntuk mengetahui penyebab penyakit ini, tetapi hal ini juga tidak
spesifik karena beberapa penyakit lain juga menghasilkan faktor rheumatoid di dalam
darahnya. 3,10,14
Pemeriksaan radiologik secara umum juga tidak ada yang secara spesifik
menunjang untuk mendiagnosis penyakit ini. Akan tetapi, penemuan terbaru dalam
delapan orang pasien yang dilakukan ultrasonografi dengan transduser 13 MHz
resolusi tinggi diambil potongan aksial dan koronal didapatkan adanya penebalan dan
edema pada tendon sheath. Pada pemeriksaan dengan MRI terlihat adanya penebalan
pada tendon sheath tendon otot ekstensor polisis brevis dan otot abduktor polisis
longus. Pemeriksaan radiologis lainnya hanya dipakai untuk kasus-kasus trauma akut
atau diduga nyeri oleh karena fraktur atau osteonekrosis. 3,10
6. Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan adalah dengan terapi konservatif dan intervensi bedah.
Pada terapi konservatif kasus-kasus dini, sebaiknya penderita menghindari pekerjaan
yang menggunakan jari-jari mereka. Hal ini dapat membantu penderita dengan
mengistirahatkan (immobilisasi) kompartemen dorsal pertama pada ibu jari (polluks) agar
edema lebih lanjut dapat dicegah. Idealnya, immobilisasi ini dilakukan sekitar 4-6
minggu. Kompres dingin pada daerah edema dapat membantu menurunkan edema
(cryotherapy). Jika gejala terus berlanjut dapat diberikan obat-obat anti inflamasi baik
oral maupun injeksi. Beberapa obat oral dan injeksi yang diberikan sebagai berikut : 3,10,11
a. Nonsteroid anti-inflammatory drug
Salah satu contohnya ibuprofen yang merupakan drug of choice untuk pasien
dengan nyeri sedang. Bekerja sebagai penghambat reaksi inflamasi dan nyeri dengan
69

jalan menghambat sintesa prostaglandin. Dosis dewasa 200-800 mg, sedang dosis
untuk anak-anak usia 6-12 tahun 4-10 mg/kgBB/hari. Untuk anak > 12 tahun sama
dengan dewasa. Adapun kontra indikasi pemberian obat ini adalah adanya riwayat
hipersensitif, ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal atau perforasi, insufisiensi
ginjal, atau resiko tinggi terjadinya perdarahan. Interaksi obat dengan aspirin dapat
meningkatkan efek samping dari obat ini, kombinasi dengan probenesid dapat
meningkatkan konsentrasi obat di dalam darah. Pada pasien-pasien dengan hipertensi,
dapat

diberikan

kombinasi

antara

obat

ini

dengan

obat

anti

hipertensi

seperti captopril, beta blocker, furosemid, dan thiazid. Obat ini tidak aman diberikan
untuk wanita hamil terutama kehamilan pada trimester ketiga (berpotensi untuk
menyebabkan menutupnya duktus arteriosus).
b. Kortikosteroid
Dapat digunakan sebagai anti inflamasi karena dapat mensupresi migrasi dari
sel-sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan permeabilitas kapiler. Pada orang
dewasa dapat diberikan dosis

20-40 mg metilprednisolon atau dapat

diberikan hidrokortison yang

dicampur

misalnya lidokain. Campuran

obat

ini

dengan

sedikit

disuntikkan

obat

anestesi

pada tendon

juga
lokal

sheath dari

kompartemen dorsal pertama yang terkena. Harus diperhatikan agar jangan sampai
menyuntikkan campuran obat ini langsung pada tendonnya karena dapat
menyebabkan kelemahan pada tendon dan potensial untuk terjadinya ruptur.
Penyuntikan campuran obat ini juga hendaknya dicegah jangan sampai terlalu
superfisial dari jaringan subkutan karena dapat menyebabkan depigmentasi pada kulit.
Untuk pasien-pasien yang menderita diabetes melitus sebaiknya dilakukan
pengontrolan

glukosa

darah

karena

pemberian

kortikosteroid

lokal

dapat

menyebabkan peningkatan glukosa darah sementara.


Pada tahap awal diberikan analgetik atau injeksi lokal kortikosteroid serta
mengistirahatkan pergelangan tangan, tetapi kadang-kadang penyembuhan hanya
bersifat sementara. Operasi dilakukan pada penderita yang resisten atau untuk
meredakan nyeri secara permanen dengan membuka bagian sarung tendon yang
sempit. 4,5

70

Intervensi bedah diperlukan jika terapi konservatif tidak efektif lagi terutama
pada kasus-kasus lanjut di mana telah terjadi perlengketan pada tendon sheath.
Prosedur operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : 3,10,14,18
Digunakan anestesi lokal dan turniket. Setelah kulit disterilkan, gunakan
turniket dan infiltrasi kulit pada daerah kompartemen dorsal pertama dengan
menggunakan anestesi lokal secukupnya. Lalu dibuat insisi pada kulit yang mulai dari
dorsal ke volar dalam arah transversal-oblik, sejajar dengan lipatan-lipatan kulit
melewati daerah yang lunak dari kompartemen dorsal pertama. Insisi longitudinal
dianjurkan untuk membuat area yang lebih panjang di mana skar kulit mungkin saja
melekat pada nervus kutaneus dan tendon. Tindakan diseksi tajam hanya sampai pada
lapisan dermis dan tidak sampai ke lapisan lemak subkutaneus, menjauhi cabangcabang nervus radialis superfisialis. Setelah menarik tepi kulit, gunakan diseksi
tumpul pada lemak subkutaneus. Kemudian cari dan lindungi cabang-cabang sensoris
dari nervus radialis superfisialis, biasanya terletak di bagian dalam dari vena-vena
superfisialis. Kenali

tendon

proksimal

sampai

penyempitan

ligamen

dorsal

dan tendon sheath, kemudian buka kompartemen dorsal pertama pada sisi dorsoulnar.
Dengan ibu jari yang abduksi dan pergelangan tangan yang fleksi, angkat tendon otot
abduktor polisis longus dan otot ekstensor polisis brevis dari tempatnya. Jika tendon
otot-otot tersebut sulit untuk dibebaskan, carilah additional aberrant tendons dan
kompartemen-kompartemen

yang

terpisah. Kemudian

tutup

insisi

kulit

dan

menggunakan balutan dengan tekanan yang rendah.

71

Gambar 4.12. Teknik operasi pada de Quervains Syndrome

7. Prognosis
Prognosis penyakit ini umumnya baik. Pada kasus-kasus dini, biasanya berespon
dengan baik pada terapi konservatif. Sedangkan pada kasus-kasus lanjut dan tidak
memberikan respon yang baik dengan terapi konservatif, dilakukan tindakan bedah untuk
dekompresi pada kompartemen dorsal pertama dari pergelangan tangan. Umumnya
berlangsung dengan baik, morbiditas dapat terjadi jika terjadi komplikasi pasca operasi
misalnya adhesi tendo atau subluksasi volar tendon. 3,10,11,12,13,14,15
Pasien dengan de Quervains syndrome perlu untuk menghindari aktivitas-aktivitas
repetitif tertentu dari pergelangan tangan atau dari ibu jari hingga pengobatan yang adekuat
tercapai. 3

72

CARPALTUNNEL SYNDROME

1. Anatomi N. Medianus
Secara anatomis, canalis carpi (carpal tunnel) berada di dalam dasar pergelangan tangan.
Sembilan ruas tendon fleksor dan N. Medianus berjalan di dalam canalis carpi yang
dikelilingi dan dibentuk oleh tiga sisi dari tulang-tulang carpal. Nervus dan tendon
memberikan fungsi, sensibilitas dan pergerakan pada jari-jari tangan. Jari tangan dan otot
-otot fleksor pada pergelangan tangan beserta tendon- tendonnya berorigo pada
epicondilus medial pada regio cubiti dan berinsersi pada tulang- tulang metaphalangeal,
interphalangeal proksimal dan interphalangeal distal yang membentuk jari tangan dan
jempol. Canalis carpi berukuran hampir sebesar ruas jari jempol dan terletak di bagian
distal lekukan dalam pergelangan tangan dan berlanjut ke bagian lengan bawah di regio
cubiti sekitar 3 cm.6
Tertekannya N. Medianus dapat disebabkan oleh berkurangnya ukuran canalis carpi,
membesarnya ukuran alat yang masuk di dalamnya (pembengkakan jaringan lubrikasi
pada tendon tendon fleksor) atau keduanya. Gerakan fleksi dengan sudut 90 derajat
dapat

mengecilkan

ukuran

canalis.

Penekanan

terhadap

N.

Medianus

yang

menyebabkannya semakin masuk di dalam ligamentum carpi transversum dapat


menyebabkan atrofi eminensia thenar, kelemahan pada otot fleksor pollicis brevis, otot
opponens pollicis dan otot abductor pollicis brevis yang diikuti dengan hilangnya
kemampuan sensorik ligametum carpi transversum yang dipersarafi oleh bagian distal N.
Medianus. Cabang sensorik superfisial dari N. Medianus yang mempercabangkan
persarafan proksimal ligamentum carpi transversum yang berlanjut mempersarafi bagian
telapak tangan dan jari jempol (6).
N. Medianus terdiri dari serat sensorik 94% dan hanya 6% serat motorik pada
terowongan karpal. Namun, cabang motorik menyajikan banyak variasi anatomi, yang
menciptakan variabilitas yang besar patologi dalam kasus Capal Tunnel Syndrome (3).

73

Gambar 5.1 struktur anatomi struktur N. medianus


2. Definisi Carpal Tunnel Syndrome
Carpal Tunnel Syndrome merupakan neuropati tekanan atau cerutan terhadap nervus
medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah
tleksor retinakulum . Dulu, sindroma ini juga disebut dengan nama acroparesthesia ,
median thenar neuritis atau partial thenar atrophy Carpal Tunnel Syndrome pertama kali
dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir James Paget pada kasus stadium lanjut
fraktur radius bagian distal. Carpal Tunnel Syndrome spontan pertama kali dilaporkan
oleh Pierre Marie dan C.Foix pada taboo 1913. Istilah Carpal Tunnel Syndrome
diperkenalkan oleh Moersch pada tabun 1938 (7).
Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons Clinical Guideline, Carpal
Tunnel Syndrome adalah gejala neuropati kompresi dari N. medianus di tingkat
pergelangan tangan, ditandai dengan bukti peningkatan tekanan dalam terowongan karpal
dan penurunan fungsi saraf di tingkat itu. Carpal Tunnel Syndrome dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, kondisi dan peristiwa. Hal ini ditandai dengan keluhan mati rasa,
kesemutan, nyeri tangan dan lengan dan disfungsi otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh
usia, jenis kelamin, etnis, atau pekerjaan dan disebabkan karena penyakit sistemik, faktor
mekanis dan penyakit local (8).

74

3. Etiologi Carpal Tunnel Syndrome


Kawasan sensorik N. Medianus bervariasi terutama pada permukaan volar. Dan pola
itu sesuai dengan variasi antara jari ketiga sampai jari keempat sisi radial telapak tangan.
Pada permukaan dorsum manus, kawasan sensorik N. Medianus bervariasi antara dua
sampai tiga palang distal jari kedua, ketiga dan keempat. Di terowongan karpal N.
Medianus sering terjepit. N. Medianus adalah saraf yang paling sering mengalami cedera
oleh trauma langsung, sering disertai dengan luka di pergelangan tangan. Tekanan dari n
median sehingga menghasilkan rasa kesemutan yang menyakiti juga. Itulah parestesia
atau hipestesia dari Carpal Tunnel Sydrome (11).
Terdapat beberapa kunci co-morbiditas atau human factor yang berpotensi
meningkatkan risiko CTS. Pertimbangan utama meliputi usia lanjut, jenis kelamin
perempuan, dan adanya diabetes dan obesitas. Faktor risiko lain termasuk kehamilan,
pekerjaan yang spesifik, cedera karena gerakan berulang dan kumulatif, sejarah keluarga
yang kuat, gangguan medis tertentu seperti hipotiroidisme, penyakit autoimun, penyakit
rematologi, arthritis, penyakit ginjal, trauma, predisposisi anatomi di pergelangan tangan
dan tangan, penyakit menular, dan penyalahgunaan zat. Orang yang terlibat dalam kerja
manual di beberapa pekerjaan memiliki insiden dan tingkat keparahan yang lebih besar
(3). Beberapa penyebab dan factor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian carpal
tunnel syndrome antara lain (6,12):
a. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy, misalnya
HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
b. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan tangan dan
tangan .Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan tangan.
c. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang
berulang-ulang. Seorang sekretaris yang sering mengetik, pekerja kasar yang sering
mengangkat beban berat dan pemain musik terutama pemain piano dan pemain gitar
yang banyak menggunakan tangannya juga merupakan etiologi dari carpal turner
syndrome
d. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e. Metabolik: amiloidosis, gout, hipotiroid - Neuropati fokal tekan, khususnya sindrom
carpal tunnel juga terjadi karena penebalan ligamen, dan tendon dari simpanan zat
yang disebut mukopolisakarida
f. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus, hipotiroidi,
kehamilan.
75

g. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.


h. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika, skleroderma,
lupus eritematosus sistemik.
i. Degeneratif: osteoartritis.
j. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,
hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
k. Faktor stress
l. Inflamasi : Inflamasi dari membrane mukosa yang mengelilingi tendon menyebabkan
nervus medianus tertekan dan menyebabkan carpal tunnel syndrome.
4. Patogenesis
5. Gambaran Klinis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan motorik
hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang
merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan
setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus walaupun
kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari (14).
Komar dan Ford membahas dua bentuk carpal tunnel syndrome: akut dan kronis.
Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan tangan atau
tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh
kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik disfungsi
sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan perubahan trofik. Nyeri
proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel syndrome (6).
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya adalah
nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga

sering

membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila
penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan
tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih
banyak mengistirahatkan tangannya (15).
Apabila tidak segera ditagani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang terampil
misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga sering
dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam.
Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor
pollicis brevis).dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (16).
76

Table 5.1 Gejala dan tanda carpal tunnel syndrome


6. Diagnosis carpal tunnel syndrome
Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di atas dan perkuat
dengan pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan
perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan
dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah (17):
a. Phalen's test
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu
60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis
berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

Gambar 5.2 Phalens test

77

b. Torniquet test
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan
tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1
menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
c. Tinel's sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan
posisi tangan sedikit dorsofleksi.

Gambar 5.2 Tinels sign


d. Flick's sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jarijarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa CTS.
Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.
e. Thenar wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
f. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan
alat dynamometer
g. Wrist extension test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya
dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60
detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS.

78

h. Pressure test
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari.
Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosa.
i.

Luthy's sign (bottle's sign)


Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau
gelas. Bila kulit tangan penderita idak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes
dinyatakan positif dan mendukung diagnose.

j.

Pemeriksaan sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination) pada
jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong
diagnose.

k. Pemeriksaan fungsi otonom


Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering
atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan
mendukung diagnose CTS.
Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel test adalah test yang
patognomonis untuk CTS (5).

2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)


Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang
positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa
kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31%
kasus CTS. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal.
Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)
memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan
tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik (12).
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat
apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna untuk
menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG dilakukan untuk
mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel proksimal yang sensitif
dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome. (15, 18, 19).
79

4. Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa
adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti
kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (15).

7. Penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome


Penatalaksanaan carpal tunnel syndrome tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan
intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk penyakit
endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer harus diobati. Kasus
ringan bisa diobati dengan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan menggunakan
penjepit pergelangan tangan yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama
minimal 2 bulan, terutama pada malam hari atau selama gerakan berulang. Kasus lebih
lanjut dapat diterapi dengan injeksi steroid lokal yang mengurangi peradangan. Jika tidak
efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan untuk meringankan
kompresi. (6,12). Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2 kelompok, yaitu
(17):
a. Terapi langsung terhadap CTS

Terapi konservatif

Istirahatkan pergelangan tangan.

Obat anti inflamasi non steroid.

Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat


dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan (ROM) latihan
dari ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan ketegangan dan gerakan
membujur sepanjang saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihanlatihan ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf perifer
dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan meluncur saraf
mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui perubahan dalam
aliran pembuluh darah dan axoplasmic. Latihan dilakukan sederhana dan
dapat dilakukan oleh pasien setelah instruksi singkat.

80

Gambar 5.3 Nerve Gliding

Injeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau


metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan
karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah
proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus
palmaris longus. Sementara suntikan dapat diulang dalam 7 sampai 10 hari
untuk total tiga atau empat suntikan,. Tindakan operasi dapat
dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali
suntikan. Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien di
bawah usia 30 tahun.

Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu


penyebab

CTS

adalah

defisiensi

piridoksin

sehingga

mereka

menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan.


Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin
tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan
dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi untuk mengurangi
rasa nyeri.

Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.

Terapi operatif

Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan


dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat
atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi
pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat
81

sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa


tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila
ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi
adalah hilangnya sensibilitas yang persisten (15).

Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi


lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara
endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita
secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya
lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi
operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab CTS seperti adanya
massa atau anomaly maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih
baik dioperasi secara terbuka (15)

b. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS


Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus ditanggulangi,
sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS kembali. Pada keadaan di
mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan penyesuaian
ataupun pencegahan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara lain (13):
-

Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif, getaran


peralatan tangan pada saat bekerja.

Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat kerja.

Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.

Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta mengupayakan


rotasi kerja.

Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS sehingga


pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering mendasari

terjadinya CTS seperti : trauma akut maupun kronik pada pergelangan tangan dan
daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering dihemodialisa, myxedema akibat
hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofise, kehamilan atau penggunaan pil
kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan

82

tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau
menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal (13).
8. Prognosis Carpal Tunnel Syndrome

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik. Bila
keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan.
Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada
penderita yang sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap (13).
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini (13):
- Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus
medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
- Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
- Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema,
perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik. Sekalipun
prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi resiko
untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi
baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

83

TRIGGER FINGER
1. Definisi Trigger Finger
Trigger finger atau tenosynovitis stenosing juga dikenal dengan nama jari yang macet.
Dimana pasien bercerita tentang jarinya yang macet. Setelah mengepal jari-jari yang sehat
dapat diluruskan dengan mudah, tetapi jari yang macet itu tetap berada dalam keadaan
fleksi di sendi interphalangeal proksimal. Adakalanya dimacetnya, maka yang nyeri yang
hebat dirasakan dengan terdengarnya klek pada saat jari yang macet diluruskan secara
pasif. 2,6
Trigger finger adalah gangguan umum yang sering terjadi dan ditandai dimana jari
yang dibengkokkan tibe-tiba tidak dapat diluruskan kembali serta berhubungan dengan
disfungsi dan nyeri yang disebabkan penebalan setempat pada suatu tendo fleksor, dalam
kombinasi dengan adanya penebalan di dalam selubung tendon pada tempat yang sama.5

Gambar 6.1 Trigger Finger


2. Patofisiologi
Tendon adalah jaringan ikat yang menghubungkan otot ke tulang. Setiap otot
memiliki dua tendon, yang masing-masing melekat pada tulang. Pertemuan tulang
bersama dengan otot membentuk sendi. Ketika otot berkontraksi, tendon akan menarik

84

tulang, sehingga terjadi gerakan sendi. Tendon pada jari-jari melewati ligamen, yang
bertindak sebagai katrol.1
Pada trigger finger terjadi peradangan dan hipertrofi dari selubung tendon yang
semakin membatasi gerak fleksi dari tendon. Selubung ini biasanya membentuk sistem
katrol yang terdiri dari serangkaian sistem yang berfungsi untuk memaksimal kekuatan
fleksi dari tendon dan efisiensi gerak di metakarpal. Nodul mungkin saja dapat membesar
pada tendon, yang menyebabkan tendon terjebak di tepi proksimal katrol ketika pasien
mencoba untuk meluruskan jari, sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak. Ketika
upaya lebih kuat dibuat untuk meluruskan jari, dengan menggunakan kekuatan lebih dari
ekstensor jari atau dengan menggunakan kekuatan eksternal (dengan mengerahkan
kekuatan pada jari dengan tangan lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan
menimbulkan rasa sakit yang signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek
proksimal digit. Hal yang kurang umum terjadi antara lain nodul tadi bergerak pada distal
katrol, mengakibatkan kesulitan pasien meregangkan jari.2,4,6
Sebuah nodul dapat meradang dan membatasi tendon dari bagian bawah jalur yang
melewati katrol. Jika nodul terdapat pada distal katrol, maka jari dapat macet dalam posisi
yang lurus. Sebaliknya, jika benjolan terdapat pada proksimal dari katrol, maka jari
pasien dapat macet dalam posisi tertekuk.2
Biasanya,

tendon

fleksor pada jari mampu

bergerak bolak-balik

di

bawah

katrol penahan. Penebalan selubung tendon fleksor membatasi mekanisme pergerakan


normal. Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon, yang menyebabkan tendon
terjebak di tepi proksimal katrol A1 ketika pasien mencoba untuk meluruskan jari,
sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak. Ketika upaya lebih kuat dibuat untuk
meluruskan jari, dengan menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau dengan
menggunakan kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan tangan
lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan rasa sakit yang signifikan pada telapak
distal hingga ke dalam aspek proksimal digit.2,3,4
Sebuah nodul dapat meradang dan membatasi tendon dari bagian bawah jalur
yang melewati
ditunjukkan

katrol A-1. Jika nodul terdapat


dalam gambar ini),

pada distal katrol A-1 (seperti

maka jari dapat macet dalam

posisi yang

yang
lurus.

85

Sebaliknya, jika benjolan terdapat pada proksimal dari katrol A-1, maka jari pasien dapat
macet dalam posisi tertekuk. 2,6
3. Manifestasi Klinis
Diagnosa dibuat secara eksklusif dengan anamnesa yang menyeluruh dan
pemeriksaan fisik. Trigger finger dapat mengenai lebih dari satu jari pada satu waktu,
meskipun biasanya lebih sering terjadi pada ibu jari, tengah, atau jari manis. Trigger
finger biasanya lebih menonjol di pagi hari, atau saat memegang obyek dengan kuat.2
Gejala ini muncul biasanya dimulai tanpa adanya cidera. Gejala-gejala ini termasuk
adanya benjolan kecil, nyeri di telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari
dan sendi. Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya saat
anda bangun pagi. Dan kadang kekakuan akan berkurang saat melakukan aktifitas.
Kadang-kadang jika tendon terasa bebas bisa bergerak tegak akan dirasakan sendi seperti
terjadi "dislokasi" / pergeseran sendi.Pada Kasus kasus yang berat jari tidak dapat
diluruskan bahkan dengan bantuan. Pasien dengan diabetes biasanya akan terkena lebih
parah.
Gambar 6.2 Trigger Finger

Pada tingkat sendi palmaris distal, nodul bisa teraba lembut, biasanya di atas sendi
metakarpofalangealis (MCP). Jari yang terkena bisa macet dalam posisi menekuk (lihat
gambar di bawah) atau (kurang biasa) posisi diperpanjang. Ketika pasien berusaha untuk
86

memindahkan angka lebih kuat melampaui pembatasan, angka mungkin cepat atau
memicu melampaui pembatasan. 3
Trigger finger dapat sangat menyakitkan bagi pasien. Dalam kasus yang parah, pasien
tidak mampu untuk menggerakkan jari yang melampaui rentang gerak. Pada ibu jari yang
macet, pada palpasi yang lembut dapat ditemukan nodul pada aspek palmar sendi MCP
pertama dari sendi palmaris distal.2,3

4. Pemeriksaan Fisik
ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan
sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal, dan frontal.
Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi
tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi
dan membagi tubuh menjadi bagian depan ke belakang. Potongan transversal adalah garis
horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah. 5
1)

Finkelstein Test
Test dilakukan unutk mendeteksi adanya dequevein atau Hoffman disease
atau dikenal juga dengan nama styloditis radial. Pada kondisi ini terjadi peradangan
pada tendo EPB dan APL yang berada dalam satu selubung tendon. Finkelstein
dengan cara pasien mengepalkan tangannya, dimana ibu jari diliputi oleh jari-jari
lainnya selanjutnya pemeriksa menggerakkan wrist pasien kearah ulnar deviasi
(Abduksi Ulnar). Positif jika

timbul nyeri

yang hebat

pada kedua tendo otot

tersebut tepatnya pada procesus styloideus radial. Yang memberikan indikasi adanya
tenosynovitis pada ibu jari.
2) Test Phalen
Apabila terdapat penyempiatan pada terowongan carpal dipergelangan tangan
bagian volar yang dilintasi cabang nervus madinus, maka penekukan di wrist joint
akan menimbulkan rasa nyeri atau parestisia dikawasan n. medianus.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara palmar fleksi kedua wrist, lalu saling
tekankan kedua dorsum manus satu dengan lainnya sekuat-kuatnya.
Tangan yang merasakan nyeri atau kesemutan memberi indikasi bahwa
terowongan karpal tersebut menyempit. Selain cara tersebut diatas tes phalen dapat
pula dilakukan dengan cara pergelangan tangan dipertahankan selama kira-kira
87

setengah menit dalam posisi palmar fleksi penuh, Jika posisi ini dierahankan cukup
lama, pada setiap orang akan timbuk rasa kesemutan, akan tetapi pada sindrom
terowongan carpal rasa kesemutan akan timbul dalam waktu yang sangat singkat,
pasti dalam waktu 30 detik, terkadang parestesia baru timbul saat pergelangan
tangan digerakkan kembali dari posisi palmar fleksi maksimal.
3) Tes Tinel Terowongan Carpal
Tes ini dilkukan dengan cara melakukan pengetokan/penekanan pada
ligamentum volare pergelangan tangan atau pada n. medianus akan menimbulkan
nyeri kejut didalam tangan
terowongan

serta arestesia

karpal menyempit seperti halnya

dikawasan n. medianus

apabila

dengan sindrom carpal tunnel ,

meskipun didalam praktek tes ini tidak selalu positif.

4) Tes Elastisitas (Gangguan pengkerutan kulit)


Rendam area yang mengalami sensasi dengan air suam-suam kuku selama 30
menit lalu keluarkan dari dalam air, selanjutnya lipat kulitnya, jika kulit tidak dapat
dilipat indikasi gangguan pengkerutan.
5) Circle Formation
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa fungsi n. medians. Caranya
posisi ibu jari kejari telunjuk

sehingga membentuk

huruf O, jika tidak dapat

dilakukan gerakan tersebut indikasi kelemahan pada otot Interossei anterior, FDP
dan FPL.
6) Froments Sign
Dalam hal ini pasien mencoba untuk memegang selembar kertas diantara ibu
jari dan jari telunjuk, ketika pemeriksa mencoba untuk menarik kertas tersebut
keluar phalangs terminal ibu jari fleksi, hal ini disebabkan karena paralysisi dari otot
adductor pollicis yang memberi indikasi tes positif. Tes ini member indikasi paralysis
nervus ulnaris.
7) Allen Test
Pasien diminta untuk membuka dan menutup tangan beberapa kali secepat
mungkin. Ibu jari dan jari tangan pemeriksa diletakkan diatas arteri radial dan arteri
88

ulnar, selanjutnya pasien diminta untuk membuka tangan sementara penekanan


diatas arteri tetap dilakukan. Satu arteri yang ditest dibebaskan untuk melihat aliran
darahnya. Demikian pula dengam aretri lainnya. Kedua tangan diperiksa dan
bandingkan . test ini untuk mengetahuti paten dari arteri radial dan arteri ulnaris dan
untuk mengetahui pembuluh darah arteri yang banyak mensuplai tangan.
8) Joint Play Movemant (JPM)
a. Distal Radio Ulnar
Translation
Pronasi radius didorong ventral, supinasi radius didorong dorsal.
b. Wrist Traction
Diberikan pd akhir pembatasan ROM palmar flex; dorsal flexi; ulnar deviation; dan
radial deviation.
c. Intercarpal Mobization Test
Lunate, Scapoid, Capitate. Gerak tranlasi kearah palmar dan dorsal.
d. CMC Ireposition Test
Pemeriksaan capsular pattern dengan mendorong ibu jari reposisi.
e. CMC II-V Traction Test
Metacarpal ditarik ke distal, posisi pembatasan ROM.
f. MCP I-V Traction Test
Phalanx proximal ditarik ke distal, posisi pembatasan ROM.
g. PIP & DIP (I)-V Traction Test
Phalax tengah & distal ditarik ke distal, posisi pembatasan ROM.

5. Penatalaksanaan 3,4
a. Terapi Farmakologi
- Pengobatan NSAID
89

Berikan pengobatan non steroid seperti aspirin, ibuprofen, naprosyn, atau


ketoprofen.
-

Injeksi Korstikosteroid
Injeksi kortikosteroid untuk pengobatan trigger finger telah dilakukan sejak 1953.
Tindakan Ini harus dicoba sebelum intervensi bedah karena sangat efektif (hingga
93%), terutama pada pasien non-diabetes dengan onset baru-baru ini terkena
gejala dan satu digit dengan nodul teraba. Hal ini diyakini bahwa injeksi
kortikosteroid kurang berhasil pada pasien dengan penyakit lama (durasi > 6
bulan), diabetes mellitus, dan keterlibatan beberapa digit karena tidak mampu
untuk membalikkan perubahan metaplasia chondroid yang terjadi pada katrol A1.
Injeksi diberikan secara langsung ke dalam selubung tendon, Namun, laporan
menunjukkan bahwa injeksi extra synovial mungkin efektif, sambil mengurangi
risiko tendon rupture(pecah). Pecah Tendon adalah komplikasi yang sangat jarang,
hanya satu kasus yang dilaporkan. Komplikasi lain termasuk atrofi kulit, nekrosis
lemak, hipopigmentasi kulit sementara elevasi glukosa serum pada penderita
diabetes, dan infeksi. Jika gejala tidak hilang setelah injeksi pertama, atau muncul
kembali setelah itu, suntikan kedua biasanya lebih mungkin untuk berhasil sebagai

b.

tindakan awal.
Terapi nonfarmakologi 3,4
Kompreskan es selama lima sampai lima belas menit pada daerah yang bengkak
-

dan nyeri.
Hindari aktifitas yang mengakibatkan tendon mudah teriritasi, seperti latihan jari
yang berulang-ulang.
Splinting
Tujuan splinting adalah untuk mencegah gesekan yang disebabkan oleh
pergerakan tendon fleksor melalui katrol A1 yang sakit sampai hilangnya
peradangan. Secara umum splinting merupakan pilihan pengobatan yang tepat
pada pasien yang menolak atau ingin menghindari injeksi kortikosteroid. Sebuah
studi pekerja manual dengan interfalangealis distal (DIP) di splint dalam ekstensi
penuh selama 6 minggu menunjukkan pengurangan gejala pada lebih dari 50%
pasien.
Dalam studi lain, splint sendi MCP di 15 derajat fleksi (meninggalkan sendi PIP

dan DIP bebas) yang ditampilkan untuk memberikan resolusi gejala di 65% dari
pasien pada 1-tahun tindak lanjut. Untuk pasien yang paling terganggu oleh gejala
mengunci di pagi hari, splinting sendi PIP pada malam hari dapat menjadi efektif.
90

splinting menghasilkan tingkat keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan
gejala trigger finger yang berat atau lama. 1,2,6
Gambar 6.3 Teknik Splint
-

Pembedahan
Tindakan pembedahan dinilai sangat efektif pada trigger finger. Indikasi untuk

perawatan bedah umumnya karena kegagalan perawatan konservatif untuk


mengatasi rasa sakit dan gejala. Waktu operasi agak kontroversial dengan data
yang menunjukkan pertimbangan bedah setelah kegagalan baik tunggal maupun
beberapa suntikan kortikosteroid. 3
Tindakan pembedahan ini pertama kali diperkenalkan oleh Lorthioir pada
tahun 1958. Fungsi operasi biasanya bertujuan melonggarkan jalan bagi tendon
yaitu dengan cara membuka selubungnya. Dalam penyembuhannya, kedua ujung
selubung yang digunting akan menyatu lagi, tetapi akan memberikan ruang yang
lebih longgar, sehingga tendon akan bisa bebas keluar masuk. Dalam prosedur ini,
sendi MCP adalah hyperextensi dengan telapak ke atas, sehingga membentang
keluar katrol A1 dan pergeseran struktur neurovaskular bagian punggung. Setelah
klorida dan etil disemprotkan lidokain disuntikkan untuk manajemen nyeri, jarum
dimasukkan melalui kulit dan ke katrol A1. Tingkat keberhasilan telah dilaporkan
lebih dari 90% dengan prosedur ini, namun penggunaan teknik ini berisiko cedera
saraf atau arteri. 2,3

91

Gambar 6.4. Pembedahan


-

Fisioterapi
Fisioterapi membantu menghilangkan masalah-masalah bengkak, nyeri, dan
kekakuan gerak pada bagian-bagian tangan yang lain, dimana tidak bisa
dihilangkan dengan tindakan operasi. 2

6. Komplikasi
Komplikasi potensial utama jari memicu adalah nyeri dan penurunan penggunaan
fungsional dari tangan yang terkena. Potensi komplikasi injeksi kortikosteroid adalah
sebagai berikut: 3
- Infeksi, penggunaan teknik steril dapat meminimalkan masalah ini.
- Pendarahan, ini dapat diminimalkan dengan menerapkan tekanan langsung segera
setelah prosedur tersebut. Perhatian harus dilakukan sebelum suntik pasien dengan
gangguan perdarahan.
92

Melemahnya tendon, ini meningkatkan risiko ruptur tendon berikutnya,


kemungkinan yang menjadi perhatian khusus jika suntikan dilakukan salah
(khusus, jika injeksi ini dikelola ke tendon itu sendiri bukan hanya dalam
selubung tendon). Risiko dapat meningkat dengan beberapa suntikan, namun
setidaknya beberapa peneliti klinis (misalnya, Anderson dan Kaye) tidak
menemukan episode rupture tendon setelah injeksi kortikosteroid untuk kondisi

ini, bahkan dengan suntikan ulang.


Atrofi lemak yang terjadi secara lokal di tempat suntikan - atrofi semacam itu
dapat terjadi jika kortikosteroid yang disuntikkan ke dalam jaringan subkutan.

komplikasi ini dapat menyebabkan depresi kosmetik di kulit.


infiltrasi saraf dan cedera saraf berikutnya. Komplikasi ini jarang terjadi, bisa
dipantau oleh sensasi menilai seluruh digit.

7. Prognosis
Prognosis pada trigger finger sangat baik, kebanyakan pasien merespon terhadap
injeksi kortikosteroid dengan atau tanpa bebat terkait. Beberapa kasus jari macet mungkin
dapat sembuh secara spontan dan kemudian terulang kembali tanpa korelasi yang
jelas dengan pengobatan atau faktor memperburuk. 2,3

93

GUYON SYNDROME
1. Definis Guyon Syndrome
Sindrom kanal Guyon merupakan suatu kondisi yang relatif jarang ditemukan,
merupakan gangguan muskuloskeletal ekstremitas bagian atas. Gangguan ini, disebabkan
oleh kompresi saraf ulnaris yang melewati kanal Guyon, dapat menyebabkan spektrum
sensorik dan atau gejala motorik, tergantung pada lokasi dari kompresi. Terowongan
karpal ulnaris (Guyons Canal) pertama kali dideskripsikan oleh Felix Guyon pada tahun
1861. Gessler (1896) mendeskripsikan bentuk peculiar dari atrofi otot di tangan pemoles
emas tetapi tidak mengakui lesi sebagai neuropati ulnaris.1
2. Anatomi
Saraf ulnaris bermula pada sisi leher, di mana akar saraf keluar dari tulang belakang
melalui lubang kecil di antara tulang belakang. Akar saraf kemudian bergabung bersama
untuk membentuk tiga saraf utama yang melakukan perjalanan ke lengan sampai tangan,
salah satunya adalah saraf ulnaris.3
Setelah meninggalkan sisi leher, saraf ulnaris bergerak melalui ketiak dan lengan
bawah ke tangan dan jari-jari. Saat melintasi pergelangan tangan, saraf ulnaris dan arteri
ulnaris berjalan melalui terowongan yang dikenal sebagai kanal Guyon. Terowongan ini
dibentuk oleh dua tulang (pisiform dan hamate) dan ligamentum yang menghubungkan
mereka. Setelah melewati kanal, cabang-cabang saraf ulnaris sebagai pemasok sensai ke
jari kelingking dan setengah jari manis. Cabang saraf ini juga memasok otot kecil di
telapak dan otot yang bertindak menarik ibu jari ke arah telapak tangan. Tulang hamate
membentuk satu sisi dari kanal Guyon. Tulang ini memiliki taji berbentuk kait kecil yang
menonjol untuk memberikan lampiran untuk beberapa ligamen pergelangan. Dikenal
sebagai pengait dari bengkok, tulang kecil ini bisa pecah dan menekan saraf ulnaris
dalam kanal Guyon.3
Batas dari kanal guyon adalah bagian bawah berupa ligamen carpal transverse, bagian
atas yaitu ligamen carpal palmar, pada lateral ulnar berupa tulang pisiform, dan lateral
radial berupa hook tulang hamate.3

94

Gambar 7.1

Gambar 7.2

Klasifikasi
Sindrom kanal Guyon mengacu kompresi neuropati saraf ulnaris di
pergelangan tangan. Terowongan ulnaris, atau kanal Guyon, adalah terowongan
oblique fibro-osseous yang terletak dalam bagian proksimal dari hipotenar utama.
Kanal berisi saraf ulnaris, arteri ulnaris dengan comitantes venae dan jaringan
fibrofatty longgar. Dalam kanal, saraf ulnaris terbagi menjadi sensorik superfisial dan
deep motor branches. Saraf ulnaris dapat dikompresi di mana saja sepanjang
perjalanan kanal Guyon menyebabkan sensorimotor, hanya motorik, atau hanya
kelainan sensorik. Shea dan McClain (1969) membagi lesi saraf ulnaris di kanal
Guyon menjadi tiga jenis, tergantung pada situs anatomi di pergelangan tangan di
mana saraf ulnaris terganggu (Gambar 3).4

Gambar 7.3. Tipe Sindrom Kanal Guyon


Pada tipe I, saraf ulnaris yang terlibat hanya proksimal atau dalam kanal Guyon dan
ada kelainan motorik dan sensorik; kelemahan dalam semua otot tangan intrinsik yang
diinervasi oleh saraf ulnaris dan defisit sensorik di hipotenar utama dan setengah ulnar dari
jari manis, baik di permukaan palmar hanya tetapi tidak pada dorsum yang dipersarafi oleh
saraf dorsal cutaneus.
Pada tipe II, lokasi kompresi sepanjang deep branch dan hanya ada kelemahan pada
otot yang diinervasi oleh deep branch; tergantung pada lokasi, mungkin otot hipotenar. Pada
tipe III, lokasi kompresi adalah bagian distal dari kanal guyons dan hanya kelainan sensorik
pada distribusi ulnaris palmar; tidak ada defisit motorik. Ini adalah yang paling langka dari

95

tiga sindrom tersebut diatas. Tipe I dan II selalu dihubungkan dengan atrofi dari otot utama
interosseous.4
3. Gejala
Gejala biasanya dimulai dengan perasaan kesemutan pada jari manis dan jari
kelingking, yang sering terjadi di pagi hari saat bangun tidur. kemudian dapat
berkembang menjadi rasa sakit seperti terbakar di pergelangan dan telapak tangan yang
diikuti oleh penurunan sensasi pada jari manis dan kelingking. Tangan terasa janggal
ketika otot-otot yang dikendalikan oleh saraf ulnaris menjadi lemah. Kelemahan dapat
mempengaruhi otot-otot kecil di telapak tangan dan otot yang menarik ibu jari ke telapak
tangan. Kelemahan bertahap dalam otot-otot ini membuat sulit untuk melebarkan jari-jari
dan mencubit dengan ibu jari. Kompresi saraf ulnaris pada sindrom kanal Guyon biasanya
menyebabkan mati rasa di jari kelingking dan setengah dari jari manis.5

4. Pemeriksaan Klinik
a.
Elektromiogram ( EMG )
Adalah tes untuk mengevaluasi fungsi dari nervus dan otot. Tes ini di lakukan
di otot lengan atas yang di persyarafi oleh nervus ulnaris (musculus flexor carpi
ulnaris, abductor digiti minimi, dan interosseous dorsalis. Jika otot tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, kemungkinan besar nervus ulnaris tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.

Gambar 7.4 Elektromiogram

b. Tes Tinel ( Tinels sign )


Adalah pemeriksaan untuk memeriksa syaraf yang teriritasi. Tes Tinel ini
dilakukan dengan cara perkusi di sepanjang jalur nervus dengan jarum atau jari, yang
akan dirasakan sebagai sensasi tersetrum.Tes ini dilakukan pada siku yang fleksi
pada cubital tunnel syndrome. Tes ini meliputi fleksi dari siku lebih dari 900, supinasi
96

dari lengan atas, dan mengangkat pergelangan tangan. Hasil positif apabila didapatkan
parestesi kurang dari 60 detik. Abduksi bahu juga dapat membantu kapasitas
diagnostik didalam tes ini.
Gambar 7.5 Tes Tinnel

c. Tes Wartenberg ( Wartenberg sign )


Adalah pemeriksaan untuk abduksi dari jari kelingking dengan ekstensi.

Metode ini di gunakan untuk mengetahui adanya abduksi yang persisten jari
kelingking degan menggunakan musculus extensor digitorum communis jari manis.
Teknik ini sebaiknya digunakan pada kasus abduksi persisten dari jari kelingking,
dimana tidak ada kelainan claw hand.

97

Gambar 7.6 Warstenberg


d. Tes Froment ( Froment sign )
Adalah pemeriksaan dengan penderita melakukan gerakan mencubit. Penderita
dengan kelumpuhan nervus ulnaris akan kesulitan memegang dan akan dikompensasi
oleh musculus flexor pollicis longus dari ibu jari. Secara klinik, kompensasi ini adalah
manifestasi dari fleksi dari sendi ibu jari ( daripada ekstensi yang sebetulnya fungsi
dari adduktor pollicis ). Catatan bahwa flexor pollicis longus dipersyarafi oleh ramus
interosseous anterior nervus medianus.

Gambar 7.7 Froment

98

e. Memeriksa kelemahan pada otot intrinsik


f. Memeriksa kemampuan menyentuhkan jari telunjuk dengan jari tengah.
g. Memeriksa sensasi pada daerah dorsum ulnaris ( hipostesia di daerah ini
kemungkinan terdapat adanya lesi di daerah proksimal sampai ke kanal guyon )
5. Penatalaksanaan
a. Terapi Non Bedah
Kegiatan yang bisa menimbulkan gejala perlu diubah atau dihentikan jika
memungkinkan. Hindari gerakan tangan yang berulang, menggenggam erat,
mengistirahatkan telapak tangan terhadap permukaan keras.5
Sebuah wrist brace kadang-kadang akan mengurangi gejala pada tahap awal
dari sindrom kanal Guyon. Wrist brace menjaga pergelangan tangan pada kondisi
istirahat (tidak menekuk kembali atau menekukkuk terlalu jauh). Hal ini membantu
untuk mengurangi rasa kebas dan rasa sakit yang timbul pada malam hari. Wrist brace
juga

bisa

dikenakan

selama

seharian

untuk

meminimalkan

gejala

dan

mengistirahatkan jaringan dalam kanal guyon.5


Obat anti-inflamasi juga dapat membantu mengendalikan gejala sindrom kanal
Guyon. Obat-obat ini termasuk seperti ibuprofen dan aspirin.5
Fokus utama dari pengobatan adalah untuk mengurangi atau menghilangkan
penyebab tekanan pada saraf ulnaris.5

Gambar 7.8. Wrist Brace


b. Terapi Bedah
Jika upaya untuk mengontrol gejala gagal, disarankan tindakan bedah untuk
mengurangi tekanan pada saraf ulnaris.5
99

Operasi dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi umum (yang


menempatkan Anda untuk tidur) atau anestesi regional. Pada operasi dilakukan
sayatan kecil pada telapak tangan di atas tempat di mana saraf melalui kanal guyon.
Sayatan memungkinkan untuk melihat ligamentum yang melintasi dari atas saraf
ulnaris. Ligamentum ini membentuk atap dari atas kanal Guyon. Setelah di lihat,
ligamen ini dirilis dengan menggunakan pisau bedah atau gunting, pengambilan
secara hati-hati untuk memastikan bahwa saraf ulnaris telah bebas dan terlindungi.
Dengan memotong ligamentum, tekanan dari saraf ulnaris dihilangkan.
Setelah dilakukan tindakan pembedahan dilakukan rehabilitasi dengan
melakukan gerakan tangan aktif dan latihan gerakan merentangkan. Terapis juga
menggunakan ice packs, soft tissue massage, dan peregangan tangan untuk membantu
rentang gerak. Ketika jahitan sudah diambil, mulai hati-hati memperkuat tangan
dengan meremas dan peregangan memakai alat khusus.5

Gambar 7.9. Jenis insisi pada Guyons Canal Syndrome2

BAB III
KESIMPULAN

Jenis nyeri muskuloskleletal yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari adalah
nyeri bahu. Adanya nyeri bahu dapat diikuti dengan gangguan fungsi bahu.

Hal ini

100

merupakan hambatan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, misalnya bekerja, berolah


raga, makan dan minum.
Terapi optimal penderita nyeri bahu adalah pencegahan, pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan rasa nyeri dan mempercepat kembalinya fungsi bahu.
Pengobatan terdiri dari :
a. Istirahat dan terapi dingin pada stadium akut
b. Pemberian terapi panas
c. Massage
d. Manipulasi dan mobilisasi
e. Terapi latihan
Terapi latihan dan modalitas merupakan cara yang efektif untuk mencegah terjadinya
gangguan fungsi sendi bahu. Pada fase akut diperlukan istirahat dan terapi dingin. Pada fase
sub akut dan kronis dapat diberikan terapi panas ( Superfisial : HCP, sinar infra merah ;
Dalam: SWD, MWD, USD ) Adapun terapi latihan yang diberikan misalnya : OHP, finger
ladder, shoulder well, codman pendular exercise, latihan dengan tongkat dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
1.David. Ring. 2009. Aprroach to The Patient with Shoulder Pain. In Primary Care
Medicine. Lippincott Williams and Wilkins.p:150.
2.Djohan

Aras.

2004.

Penatalaksanaan

fisioterapi

pada

frozen

shoulder.

Akfis:Ujungpandang.
3. Donatelli, Robert, Wooden, Micheal J.2011. Orthopaedic Physical therapy. Churchil
Livingstone Inc. hal: 160.
4. Helmi Noor, Zairin. 2012 ;Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; Jakarta : Salemba
101

medika
5. Keith, Strange. 2010. Passive Range of Motion and Codmans Exercise. American
Academy of Orthopaedic Surgeons.
6. Kelley, MJ,. et al. 2013. Shoulder Pain and Mobility Deficits: Adhesive Capsulitis. 43.
5: 2013.
7. Priguna, Sidharta. 2010. Sakit neuromuskuloskeletal dal praktek umum. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
8. Soeharyono. 2008. Sinkronisasi gerak persendian daerah gelang bahu pada gerak
abduksi lengan. Maj Fisioterapi 2008: 2(23).
9.Syaifuddin, 2011; Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.
10. Thomson, Ann M. 2011.Tidys physiotherapy, 12th ed, Butterworth-Heinemann, 2011.
hal: 71.
11. Trisnowiyanto B. 2012. Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Luha Medika.
12. Snell Richard S., Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC:2010.
13. Tegner WS. Tennis Elbow. London: The London Hospital; 1959.
14. Geoffroy P, Yaffe MJ, Rohan I. Diagnosis and treating lateral epicondylitis. Canadian
Family Physician. 1994 January; 46.
15. Walz DM, Newman JS, Konin GP, Ross G. Epicondylitis: Patho-genesis, Imaging,
and Treatment. RSNA. 2010 February; 30(1): p. 167-184.
16. Suharto. Fisioterapi pada Tennis Elbow tipe II. CDK. 2000; 129.
17. Connell D, Burke F, Coombes P, McNealy S, Freeman D, Pryde D, et al. Tennis
injuries: occurrence, aetiology, and prevention. AJR. 2001 September; 40(5).
18. Pluim BM, Staal JB, Windler GE, Jayanthi N. Tennis injuries: occurrence, aetiology,
and prevention. Brit J Sports Med. 2006 January; 40: p. 415-423.
19. Rasjad, C, Penyakit de Quervain (Tenovaginitis Stenosans) dalam Pengantar Ilmu
Bedah Ortopedi, Penerbit Bintang Lamumpatue, Ujung Pandang, 1998. halaman :
228-9.
20. Sjamsuhidajat, R. , Tenosinovitis Stenosans dalam Buku-Ajar Ilmu Bedah, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998. halaman : 1246.
21. Duckworth, T. , De Quervains Teno-Vaginitis in Lectura Notes On Orthopaedics And
Fractures, Second Edition, P G Publishing Pte Ltd, Singapore, 1985. page : 249.
22. Bunnel, S. , Stenosing Tenosynovitis at Radiostyloid Process (de Quervains
Disease)in Surgery of The Hand, Third Edition, Pitman Medical Publishing Co., LTD,
London, 1992. page 774-5.
23. Chase, RA, Anatomy in Atlas of Hand Surgery, Stanford University School of
Medicine, W.B. Saunders Company, California, 1973. page : 3-20.

102

24. Weinsten, SL et all, The Wrist and Hand in Tureks Orthopaedics, Fifth Edition, JB
Lippincott Company, Philadelphia, 1992. page : 428-30.
25. Natarajan, M, Wrist and Hand in Text Book of Orthopaedics, MN Orthopaedic
Hospital, Tamil Nadu, India, 1985. page : 163-6.
26. McRae, Ronald, The Wrist in Clinical Orthopaedic Examination, Third Edition,
Churchill Livingstone, Edinburgh London Melbourne and New York, 1990. page : 7186.
27. Schwartz, SI, et all, Tendon Entrapment Syndrome of First Extensor Compartment
(deQuervains Disorder) in Principles of Surgery, Fifth Edition, McGraw-Hill
Information Services Company, USA, 1989. page : 2066-7.
28. Wright, PE, Carpal Tunnel, Ulnar Tunnel, and Stenosing Tenosynovitis in CampbellOperative Orthopaedics, 10th Edition, 2004. Part XVIII, chapter 73.
29. Makkouk AH, Oetgen ME, Swigart CR, Dooed SD. Trigger finger: etiology,
evaluation, and treatment. Curr Rev Musculoskelet Med. 2008 Nov ;10.007(1): 92-6
30. Akhtar S, Bradley MJ, Quinton DN, Burke FD. Management and referral for trigger
finger/thumb. BMJ. 2005 Jul 2;331:30-3
31. Geso LD, Fillippuci E, Meenagh G, Gutierrez M, Ciappeti A. CS injection of
tenosynovitis in patients with chronic inflammatory arthritis: the role of US. 2012
March;1-3.
32. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone; 2007.
33. Brunicardi FC, Andrese DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al.
Schwartzs principles of surgery. 9th ed. United states of America: The MacGraw;
2010.
34. Paulo Henrique Aquiar, et al. Surgical Management of Guyons Canal Syndrome An
Ulnar Nerve Entrapment At Wrist. Arq Neuropsiquiatr 59(1):106-111. 2001
35. Bachoura A, Jacoby SM. Ulnar tunnel syndrome. Orthop Clin North Am 43:46774.
2012.
36. Shea JD, McClain EJ. Ulnar-nerve compression syndromes at and bellow the wrist. J
Bone Joint Surg 51:10951103. 1969.

103

Anda mungkin juga menyukai