Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang
pengertian kenikmatan dalam bantuk natura (seri PPh pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk
natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau
karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Di dalam
Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah natura dapat dilihat di pasal pasal
berikut ini :
a. Pasal 4 (3) huruf d
Yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya adalah penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
b. Pasal 9 ayat 1
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
Huruf e
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang imbalan natura diantaranya adalah
sebagai berikut :
A. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan
Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk
Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja;
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
PMK-83/PMK.03/2009 dapat diambil beberapa intisarinya sebagai berikut :
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Khusus untuk pegawai yang tidak dapat menikmati
makanan dan atau minuman tersebut di tempat kerja maka dapat diberikan dalam bentuk
kupon, meliputi pegawai bagian pemasaran, transportasi, serta pegawai dinas luar lainnya.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. Natura tersebut adalah sarana
dan fasilitas di lokasi kerja untuk :
1. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
2. pelayanan kesehatan;
3. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
4. peribadatan;
5. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
6. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan
kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia,
sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.
Daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit
dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk
mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam
modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang,
termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter
yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya. Natura tersebut meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja,
pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan
untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
B. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 252/PMK.03/2008
Pasal 5 (2) : Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
1. Bukan Wajib pajak;
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
iii. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Dari peraturan peraturan tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut
Natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu natura yang
sifatnya deductible expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta natura yang sifatnya non
deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi biaya). Natura yang sifatnya deductible
expense adalah pemberian makanan dan atau minuman untuk seluruh pegawai , natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam
rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut,
dan natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian
natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi merupakan non deductible expense.
Natura dari sisi penghasilan dapat dikelompokan menjadi natura yang taxable (terutang pajak
penghasilan) dan natura yang non taxable (tidak terutang pajak penghasilan). Natura sebagai
penghasilan yang sifatnya taxable (terutang pajak penghasilan) adalah penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh bukan Wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final; atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
Kelompok Natura
bagi pegawai
Keterangan
Natura (khusus)
Non Taxable
Tunjangan
Di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah tunjangan dapat kita temui di
pasal 4 ayat 1 a, yang menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan
termasuk diantaranya penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk diantaranya gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang PPh. Tunjangan merupakan salah satu bentuk penghasilan yang
diberikan oleh pemberi kerja kepada para pegawai tetap yang bersifat teratur dan tidak
teratur, hal ini dapat dilihat di pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, dinyatakan di nomor 15 bahwa Penghasilan
Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau
upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
Selain itu dinyatakan pula di di pasal 1 nomor 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 bahwa penghasilan pegawai tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah
penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali
dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya
(THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis
lainnya dengan nama
apapun. Dengan demikian daat ditarik kesimpulan bahwa penghasilan dalam bentuk
tunjangan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tunjangan yang sifatnya teratur dan
tunjangan yang sifatnya tidak teratur. Beberapa contoh pemberian tunjangan oleh pemberi
kerja dapat dilihat dalam tabel berikut
Kelompok Tunjangan
Bersifat Teratur
Nama Tunjangan
Tunjangan Kesehatan
Tunjangan PPh 21
Tunjangan Beras
Pada sisi yang lain pemberian tunjangan oleh pemberi kerja merupakan biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, hal ini dapat kita lihat di pasal 6 ayat 1
Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2008, dinyatakan bahwa biaya yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha diantaranya adalah biaya
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
Dari peraturan-peraturan pajak tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa segala
macam tunjangan merupakan penghasilan bagi pegawai tetap dan sifatnya taxable atau
terutang serta wajib dipotong Pajak Penghasilan. Tunjangan yang diberikan oleh pemberi
kerja adalah biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto karena
merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Jenis Tunjangan
bagi pegawai
keterangan
Tunjangan Kesehatan
Deductible Expense
Taxable
Tunjangan Transport
Deductible Expense
Taxable
Tunjangan Jabatan
Deductible Expense
Taxable
Jenis Penghasilan
bagi pegawai
keterangan
Beras
Tunjangan Beras
Deductible Expense
PPh 21 ditanggung
perusahaan
Tunjangan PPh 21
Deductible Expense
Pengobatan Cuma-cuma
Tunjangan Kesehatan
Deductible Expense
Taxable
Taxable
Taxable
Natura yang diberikan dalam bentuk tunjangan jika berpatokan pada pasal 1 nomor 15 dan 16
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi adalah bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan yang diberikan
oleh pemberi kerja kepada pegawai tetap yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Jika
pemberi kerja memberikan penghasilan berupa tunjangan kepada penerima penghasilan yang
merupakan bukan pegawai maka itu tidak dapat dibenarkan.
Jika kita kembali pada cerita fiktif di atas, pemberian hadiah berupa uang kepada pegawai
tetap yang menikah dapat diberi nama tunjangan misalnya tunjangan kesejahteraan maka
sifatnya deductible expense. Jika pemberi kerja memberikan hadiah perkawinan kepada
selain pegawai tetap kemudian diberi nama tunjangan maka pemberian tunjangan tersebut
merupakan biaya yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto atau biaya
yang non deductible expense karena sifatnya merupakan sumbangan.
C. Penutup
Hak Wajib Pajak/pemberi kerja untuk memberikan penghasilan dalam bentuk tunjangan atau
dalam bentuk natura kepada para pegawai tetapnya. Adapun yang perlu diingat adalah :
1. Pemberian penghasilan dalam bentuk tunjangan hanya berlaku untuk pegawai tetap
2. Setiap tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja wajib dimasukan ke dalam unsur
penghasilan bruto sehingga terutang PPh dan wajib dipotong Pajak Penghasilan pasal
21.
3. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit) jika memberikan penghasilan dalam bentuk natura kepada para pegawainya
maka wajib memotong pajak penghasilan pasal 21.
D. Daftar Pustaka
a. Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008
b. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan
Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam
Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi
Kerja
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi
Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads
Search...
Login Register
Details
Category: PPh Umum
Hits: 4903
Seperti diketahui, bahwa untuk menghitung PPh terutang untuk WP Badan (perusahaan/company),
harus terlebih dahulu dicari jumlah penghasilan neto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
PPh. Penghasilan neto adalah hasil dari pengurangan penghasilan bruto dengan biaya-biaya usaha
atau biaya operasional yang dikeluarkan oleh WP badan yang bersangkutan.
Dalam konteks PPh, biaya atau pengeluaran yang dilakukan WP tersebut dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dibiayakan (yang sering disebut dengan istilah Deductible Expenses) dan
pengeluaran yang tidak boleh dibiayakan (Non Deductible Expenses).
Banyak Wajib Pajak (WP) yang tidak tahu persis di mana ketentuan mengenai Non Deductible
Expense (NDE) ini diatur. Umumnya WP hanya tahu satu pasal, yaitu Pasal 9 yang ada di UU PPh.
Padahal selain Pasal 9 UU PPh ada beberapa peraturan lainnya yang menyinggung soal NDE ini.
Dan mulai dari artikel pertama ini, akan diulas biaya-biaya yang oleh ketentuan dan peraturan
perpajakan ditetapkan sebagai biaya yang NDE.
Dalam praktek pemeriksaan pajak, tidak jarang biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham
ini selalu dianggap sebagai dividen terselubung. Itu berarti selain bersifat NDE, biaya tersebut juga
mengakibatkan munculnya kewajiban perusahaan untuk memotong PPh Pasal 23 atau PPh Final
Pasal 4 ayat (2) atas dividen (terselubung).
Terkait dengan istilah sekutu atau anggota, ketentuan ini berlaku bagi WP badan yang sahamnya
tidak berbentuk saham. Misalnya saja bentuk usaha CV, Firma, atau Persekutuan. Bentuk usaha
yang modalnya tidak berbentuk saham ini, biasanya tidak menggunakan istilah dividen melainkan
istilah-istilah seperti pembagian laba, bagi hasil atau istilah lainnya. Meski efek pemotongan PPhnya (withholding tax) berbeda dengan dividen, tetapi istilah pembagian laba atau bagi hasil ini
dianggap sama seperti dividen yaitu bukan sebagai pengurang penghasilan bruto alias bersifat
NDE.
1.
Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi (financial/capital lease), perusahaan pembiayaan
konsumen dan perusahaan anjak piutang (factoring);
2.
Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3.
4.
5.
6.
Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri.
Juklak lebih lanjut mengenai tata cara dan besarnya dana cadangan tersebut, diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.03/2009 stdd PMK Nomor 219/PMK.011/2012.
asuransi jiwa, asuransi kecelakaan dan asuransi kesehatan baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk seluruh pegawainya.
Dalam contoh tersebut, premi asuransi yang dibayar Bambang untuk dan atas namanya sendiri
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Bambang. Dalam hal ini, ada yang berpendapat
bahwa tidak diperbolehkannya premi asuransi tersebut untuk dibebankan sebagai biaya karena
biaya hidup untuk WP orang pribadi sudah ditetapkan hanya sebesar PTKP. Apalagi nantinya pada
saat menerima pembayaran dari perusahaan asuransi, Bambang tidak akan dikenakan PPh lagi
karena sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh pembayaran dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan kelima jenis asuransi tersebut bukan objek PPh atau tidak dikenakan PPh.
Sedangkan premi asuransi yang dibayar Bambang (atau dibayar oleh company) untuk dan atas
nama pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya atau dikurangkan dari penghasilan usaha
Bambang saat penghitungan PPh orang pribadi.
--ooOoo-Artikel terkait
Share
inShare2
seguro de carros
Login to...
User Name
Password
Remember Me
Create an account
seguro de carros
Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads
Search...
Login Register
Details
Category: PPh Umum
Hits: 3036
Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan natura adalah pemberian imbalan dalam bentuk
barang. Sedangkan yang dimaksud dengan kenikmatan adalah pemberian imbalan dalam bentuk
fasilitas seperti fasilitas perumahan, fasilitas pengobatan gratis, atau fasilitas lainnya. Dalam
konteks PPh kedua imbalan ini lebih sering disebut dengan istilah benefit in kind.
Hingga saat ini ada perbedaan pendapat mengenai maksud dan cakupan dari pasal ini. Apakah
ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap imbalan yang diberikan kepada pegawai saja
atau termasuk juga meliputi seluruh imbalan kepada non pegawai?
Sebagian besar praktisi pajak menilai bahwa ketentuan ini hanya berlaku khusus untuk imbalan
kepada orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai, baik pegawai tetap maupun pegawai tidak
tetap. Sedangkan untuk imbalan kepada yang bukan pegawai, termasuk imbalan atas jasa kepada
perusahaan lain, tetap boleh dibiayakan karena dalam konteks itu imbalan dalam bentuk benefit in
kind bisa dianggap sebagai barter (tukar-menukar) antara jasa dengan imbalan barang atau
fasilitas.
Pada pasal ini juga terdapat tiga pengecualian. Pengecualian pertama berupa penyediaan makan
dan minum untuk pegawai yang menurut ketentuan pasal ini tetap boleh dibiayakan meski
diberikan dalam bentuk natura (berupa makanan atau minuman siap santap). Misalnya penyediaan
makan siang saat istirahat, penyediaan air minum, penyediaan kopi, teh, gula dlsb di pantry, atau
penyediaan makan dan minum bagi pegawai yang lembur. Ketentuan ini berlaku meski penyediaan
makanan/minuman itu dilakukan bukan di daerah terpencil.
Pengecualian kedua, berupa penyediaan natura (barang) yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan. Misalnya penyediaan sepatu proyek, helm proyek dlsb untuk pekerja perusahaan
konstruksi, penyediaan pakaian atau seragam petugas mekanik, baju atau perlengkapan bagi
petugas pemadam kebakaran, dan lain sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku umum meski WP
tidak berlokasi di daerah terpencil [lihat penjelasan Dirjen Pajak dalam butir 4.a pada S04/PJ.42/2003 tanggal 2 Januari 2003].
Pengecualian yang ketiga adalah penyediaan natura maupun kenikmatan khusus di daerah
terpencil. Ketentuan ini secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
83/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009.
menginginkan transaksi antara WP dengan afiliasnya dilakukan secara wajar sama seperti saat WP
bertransaksi dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dengan WP.
Apabila nilai atau jumlah biaya yang dikeluarkan WP tersebut dianggap tidak wajar, maka jumlah
yang melebihi kewajaran itu dapat dikoreksi positif (tidak boleh dibiayakan) oleh pemeriksa pajak.
Dan khusus yang terkait dengan pemegang saham, selain tidak boleh dibiayakan, jumlah yang
melebihi kewajaran itu dianggap sebagai dividen terselubung yang menimbulkan adanya
kewajiban withholding tax.
Dalam kaitannya dengan persoalan jumlah wajar ini, Dirjen Pajak telah menerbitkan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 stdd PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan
Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa. Peraturan Dirjen Pajak ini memang bukan juklak dari Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh ini,
melainkan juklak dari Pasal 32A dan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Tapi pada intinya, ketentuan yang
diatur dalam peraturan Dirjen Pajak tersebut harus diperhatikan oleh setiap WP terutama jika WP
seringkali melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
WP.
Hubungan Istimewa dalam konteks pajak dapat terjadi karena salah satu dari 4 (empat) faktor
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Keempat faktor penyebab timbulnya Hubungan Istimewa tersebut dijelaskan dalam Surat Edaran
(SE) Dirjen Pajak Nomor SE-18/PJ.53/1995 tanggal 26 April 1995. SE ini sebenarnya penjelasan
lebih lanjut dari istilah Hubungan Istimewa yang ada dalam UU PPN Nomor 11 Tahun 1994. Akan
tetapi karena pengertian dan definisi hubungan istimewa dalam UU PPh dan UU PPN secara prinsip
memiliki kesamaan, SE ini sering digunakan juga dalam konteks PPh. Dan perlu diingat, meskipun
sudah termasuk lawas, namun SE ini hingga sekarang masih berlaku (belum dinyatakan dicabut
atau dinyatakan tidak berlaku).
1.
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 dan merupakan juklak dari Pasal 9 ayat (1) huruf g UU
PPh; dan
2.
Sumbangan
penanggulangan
bencana
nasional,
sumbangan
penelitian
dan
pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan
pembangunan infrastruktur sosial, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93
Tahun 2010 dan merupakan juklak dari Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU
PPh.
persekutuan, perkumpulan, firma (Fa), merupakan penghasilan yang tidak dikenakan PPh (bukan
objek PPh atau non-taxable income).
Selaras dengan ketentuan tersebut, dalam Pasal 9 ayat (1) huruf j ini pun ditetapkan bahwa gaji
yang dibayarkan kepada orang pribadi yang notabene merupakan member, partner, atau anngota
dari persekutuan, Fa, atau CV tersebut juga tidak boleh dibiayakan. Ketentuan ini didasari pada
prinsip UU PPh yang menyatakan bahwa anggota Fa, CV atau persekutuan diperlakukan sebagai
satu kesatuan (dianggap sebagai bagian dari WP badan Fa, CV itu sendiri) sehingga dianggap tidak
selayaknya menerima gaji. Itulah sebabnya pengeluaran atau pembayaran gaji kepada anggota,
member atau partner dari Fa, CV maupun persekutuan, tidak diperbolehkan dikurangkan dari
penghasilan bruto Fa, CV atau persekutuan tersebut.
Share
inShare
Login to...
User Name
Password
Remember Me
Create an account
seguro
Home
Articles
Treaty
Tax Court
Encyclopedia
Downloads
Search...
Login Register
Details
Category: PPh Umum
Hits: 1497
Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang: a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final; atau b.tidak termasuk objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya. [Pasal 9
ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010].
Melalui Pasal 9 ayat (2), PP Nomor 94 Tahun 2010 menyatakan bahwa kerugian selisih kurs yang
berkaitan langsung dengan kegiatan usaha WP untuk menghasilkan dan memelihara penghasilan
yang dikenakan PPh bersifat final, atau penghasilan yang bukan objek PPh, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan neto.
Contoh riilnya, misalnya PT ABC bergerak di bidang trading alat-alat kosmetik dan mempunyai
gedung kantor sendiri. Sejak beberapa tahun, PT ABC hanya menempati dua dari tiga lantai
gedung yang dimilikinya tersebut sementara lantai ke-3 untuk sementara tidak digunakan.
Kemudian pada tahun ini PT XYZ menyewa lantai ke-3 gedung tersebut dengan harga sewa sesuai
kontrak/perjanjian menggunakan mata uang asing sebesar USD 10,000.00 setahun.
Karena menggunakan mata uang asing, PT ABC mau tidak mau harus mengakui untung atau rugi
selisih kurs. Dan apabila PT ABC mengalami kerugian selisih kurs akibat sewa menyewa gedung
tersebut, maka kerugian selisih kurs itu tidak boleh dibiayakan. Begitu pun dengan keuntungannya,
tidak akan dikenakan PPh lagi sebab penghasilan dari sewa gedung tersebut menurut ketentuan
yang berlaku sudah dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.
Contoh lain misalnya PT ABC mempunyai saham (penyertaan) pada PT DEF yang juga berlokasi di
Indonesia. Penyertaan yang dimiliki PT ABC di PT DEF sebesar 30%. PT DEF membagikan dividen
dalam bentuk mata uang USD sehingga memaksa PT ABC untuk juga mengakui adanya untung
rugi selisih kurs dalam penerimaan dividen. Karena dividen yang diterima PT ABC dari PT DEF
ditetapkan sebagai bukan objek PPh [lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh], maka jika PT ABC
mengalami kerugian selisih kurs dari pembagian dividen tersebut, kerugian selisih kurs itu juga
tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh PT ABC.
1.
2.
3.
Penegasan inikhususnya pada butir 1 dan butir 2sebenarnya senada dengan penegasan yang
ada dalam Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010, yang telah dijelaskan di atas. Sementara
penegasan yang ada di butir 3, berhubungan dengan WP orang pribadi yang penghitungan PPh-nya
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan WP tertentu seperti WP Pelayaran
Luar Negeri maupun WP Pelayaran Dalam Negeri yang penghitungan PPh-nya menggunakan
Norma Penghitungan Khusus.
Kemudian pada huruf b, masih dalam Pasal 13 PP Nomor 94 Tahun 2010, ditegaskan bahwa PPh
yang ditanggung oleh pemberi penghasilan juga tidak boleh dibiayakan. Tentu saja yang dimaksud
di sini adalah PPh yang ditanggung tanpa metode gross up (tanpa memberikan tunjangan). Sebab
jika dilakukan dengan metode gross up, maka pengertiannya bukan lagi WP menanggung PPh
melainkan memberikan Tunjangan PPh. Dan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a.2 UU PPh, tunjangan dalam bentuk uang, termasuk tunjangan PPh, merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya.
1.
2.
Berdasarkan PMK tersebut kedua kelompok PKP itu harus menggunakan pedoman pengkreditan PM
sehingga tidak lagi menghitung berapa jumlah PM yang telah mereka bayar secara nyata. Tidak
hanya itu, dalam Pasal 6 PMK tersebut juga menyatakan bahwa jumlah PM yang nyata-nyata telah
dibayar tersebut juga tidak boleh dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan PPh. Artikel
selengkapnya mengenai pedoman pengkreditan PM bagi PKP ini dapat Anda baca di sini.
Share
inShare
seguro
Login to...
User Name
Password
Remember Me
Create an account
seguro
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi
kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang meliputi:
cadangan piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
yaitu badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang
menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi:
cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu
cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan
barang modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance
Lease);
cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan
berikut pengurusan atas piutang tersebut;
1. 2,5% (dua setengah persen) dari piutang yang digolongkan dalam perhatian
khusus setelah dikurangi nilai agunan;
3. 50% (lima puluh persen) dari piutang yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan; dan
1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah
pokok pinjaman yang diberikan oleh PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Kerugian
yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian , jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah
cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi,
jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia ditetapkan sebagai berikut:
3. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah
dikurangi nilai agunan;
4. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi
nilai agunan; dan
5. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai
agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
paling tinggi adalah:
1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah
pokok pinjaman yang diberikan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Kerugian
yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian , jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah
cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi,
jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan
infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir d) ditetapkan
sebagai berikut:
3. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
4. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
5. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah
pokok pinjaman yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur. Kerugian
yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian , jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.Dalam hal jumlah
cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian s namun tidak
mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk PT Perusahaan Pengelola Aset
ditetapkan sebagai berikut:
1. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
2. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
3. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
spaling tinggi adalah:
1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan
sadalah pokok pinjaman yang diberikan PT Perusahaan Pengelola Aset. Kerugian yang
disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih
seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian jumlah kelebihan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah cadangan
piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian , namun tidak mencukupi, jumlah
kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang
pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja,
maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya
dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan
Objek Pajak.
Pajak Penghasilan;
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan.