Anda di halaman 1dari 72

Natura

Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang
pengertian kenikmatan dalam bantuk natura (seri PPh pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk
natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau
karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Di dalam
Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah natura dapat dilihat di pasal pasal
berikut ini :
a. Pasal 4 (3) huruf d
Yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya adalah penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
b. Pasal 9 ayat 1
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
Huruf e
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang imbalan natura diantaranya adalah
sebagai berikut :
A. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan
Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk
Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja;
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
PMK-83/PMK.03/2009 dapat diambil beberapa intisarinya sebagai berikut :
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Khusus untuk pegawai yang tidak dapat menikmati
makanan dan atau minuman tersebut di tempat kerja maka dapat diberikan dalam bentuk
kupon, meliputi pegawai bagian pemasaran, transportasi, serta pegawai dinas luar lainnya.

b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. Natura tersebut adalah sarana
dan fasilitas di lokasi kerja untuk :
1. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
2. pelayanan kesehatan;
3. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
4. peribadatan;
5. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
6. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan
kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia,
sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.
Daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit
dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk
mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam
modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang,
termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter
yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya. Natura tersebut meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja,
pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan
untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
B. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 252/PMK.03/2008
Pasal 5 (2) : Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
1. Bukan Wajib pajak;
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
iii. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Dari peraturan peraturan tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut

Natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu natura yang
sifatnya deductible expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta natura yang sifatnya non
deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi biaya). Natura yang sifatnya deductible
expense adalah pemberian makanan dan atau minuman untuk seluruh pegawai , natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam
rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut,
dan natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian
natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi merupakan non deductible expense.
Natura dari sisi penghasilan dapat dikelompokan menjadi natura yang taxable (terutang pajak
penghasilan) dan natura yang non taxable (tidak terutang pajak penghasilan). Natura sebagai
penghasilan yang sifatnya taxable (terutang pajak penghasilan) adalah penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh bukan Wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final; atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

Kelompok Natura

bagi pemberi kerja

bagi pegawai

Keterangan

Natura (secara umum) Non Deductible expense Non Taxable

Misalnya beras, sembako dll.

Natura yg dikecualikan Deductible expense

Makan/minum seluruh pegawai,


natura di daerah tertentu, natura
wajib dalam pelaksanaan kerja

Natura (khusus)

Non Taxable

Non Deductible expense Taxable


(PPh pasal 21)

Natura yang diberikan oleh


bukan Wajib Pajak, WP Final,
WP norma khusus/deemed profit

Tunjangan
Di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah tunjangan dapat kita temui di
pasal 4 ayat 1 a, yang menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan
termasuk diantaranya penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk diantaranya gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang PPh. Tunjangan merupakan salah satu bentuk penghasilan yang
diberikan oleh pemberi kerja kepada para pegawai tetap yang bersifat teratur dan tidak
teratur, hal ini dapat dilihat di pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, dinyatakan di nomor 15 bahwa Penghasilan
Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau

upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
Selain itu dinyatakan pula di di pasal 1 nomor 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 bahwa penghasilan pegawai tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah
penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali
dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya
(THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis
lainnya dengan nama
apapun. Dengan demikian daat ditarik kesimpulan bahwa penghasilan dalam bentuk
tunjangan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tunjangan yang sifatnya teratur dan
tunjangan yang sifatnya tidak teratur. Beberapa contoh pemberian tunjangan oleh pemberi
kerja dapat dilihat dalam tabel berikut

Kelompok Tunjangan

Bersifat Teratur

Nama Tunjangan

Tunjangan Kesehatan

Tunjangan PPh 21

Tunjangan Beras

Bersifat Tidak Teratur Tunjangan Hari Raya (THR)

Pada sisi yang lain pemberian tunjangan oleh pemberi kerja merupakan biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, hal ini dapat kita lihat di pasal 6 ayat 1
Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang Undang Nomor 36 tahun 2008, dinyatakan bahwa biaya yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha diantaranya adalah biaya
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
Dari peraturan-peraturan pajak tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa segala
macam tunjangan merupakan penghasilan bagi pegawai tetap dan sifatnya taxable atau
terutang serta wajib dipotong Pajak Penghasilan. Tunjangan yang diberikan oleh pemberi
kerja adalah biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto karena
merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

Jenis Tunjangan

bagi pemberi kerja

bagi pegawai

keterangan

Tunjangan Kesehatan

Deductible Expense

Taxable

Dipotong pph pasal 21

Tunjangan Transport

Deductible Expense

Taxable

Dipotong pph pasal 21

Tunjangan Jabatan

Deductible Expense

Taxable

Dipotong pph pasal 21

Natura Yang Diberikan Dalam Bentuk Tunjangan


Dengan pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, pihak pemberi kerja lebih cenderung
memilih pemberian penghasilan kepada pegawainya dalam bentuk tunjangan dibanding
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Pertimbangan utamanya adalah berkaitan
dengan pengakuan biaya secara aturan pajak. Pemberian dalam bentuk tunjangan kepada
para pegawai dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung pajak
penghasilan, sedangkan jika diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (yang bersifat
umum) maka pengeluaran tersebut tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan
bruto. Beberapa contoh pemberian penghasilan kepada para pegawai dalam bentuk tunjangan
atau natura berikut sifatnya dari sisi biaya dan penghasilan dapat dilihat pada tabel berikut ini
:

Jenis Penghasilan

bagi pemberi kerja

bagi pegawai

keterangan

Beras

Non Deductible Expense Non Taxable

Tidak Dipotong pph pasal 21

Tunjangan Beras

Deductible Expense

Dipotong pph pasal 21

PPh 21 ditanggung
perusahaan

Non Deductible Expense Non Taxable

Tidak Dipotong pph pasal 21

Tunjangan PPh 21

Deductible Expense

Dipotong pph pasal 21

Pengobatan Cuma-cuma

Non Deductible Expense Non Taxable

Tidak Dipotong pph pasal 21

Tunjangan Kesehatan

Deductible Expense

Dipotong pph pasal 21

Taxable

Taxable

Taxable

Natura yang diberikan dalam bentuk tunjangan jika berpatokan pada pasal 1 nomor 15 dan 16
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi adalah bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan yang diberikan
oleh pemberi kerja kepada pegawai tetap yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Jika
pemberi kerja memberikan penghasilan berupa tunjangan kepada penerima penghasilan yang
merupakan bukan pegawai maka itu tidak dapat dibenarkan.
Jika kita kembali pada cerita fiktif di atas, pemberian hadiah berupa uang kepada pegawai
tetap yang menikah dapat diberi nama tunjangan misalnya tunjangan kesejahteraan maka
sifatnya deductible expense. Jika pemberi kerja memberikan hadiah perkawinan kepada
selain pegawai tetap kemudian diberi nama tunjangan maka pemberian tunjangan tersebut
merupakan biaya yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto atau biaya
yang non deductible expense karena sifatnya merupakan sumbangan.

C. Penutup
Hak Wajib Pajak/pemberi kerja untuk memberikan penghasilan dalam bentuk tunjangan atau
dalam bentuk natura kepada para pegawai tetapnya. Adapun yang perlu diingat adalah :
1. Pemberian penghasilan dalam bentuk tunjangan hanya berlaku untuk pegawai tetap
2. Setiap tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja wajib dimasukan ke dalam unsur
penghasilan bruto sehingga terutang PPh dan wajib dipotong Pajak Penghasilan pasal
21.
3. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit) jika memberikan penghasilan dalam bentuk natura kepada para pegawainya
maka wajib memotong pajak penghasilan pasal 21.

D. Daftar Pustaka
a. Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008
b. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan
Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam
Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi
Kerja
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi

d. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan


dalam bantuk natura (seri PPh pasal 21-02)

Home

Articles

Treaty

Tax Court

Encyclopedia

Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browser Mozilla Firefox, untuk dapat Login


klik kata User Name dan kata Password agar dapat mengisi
box User Name dan Password.

Tax News Flash


Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Non Deductible Expense #1

Details
Category: PPh Umum
Hits: 4903

Bagi kita yang mempelajari UU dan ketentuan di


bidang Pajak Penghasilan (PPh) tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah yang dijadikan header
atau judul untuk artikel ini. Bagi Anda yang baru belajar pajak, perlu diinformasikan bahwa yang
dimaksud dengan Non Deductible Expenses dalam konteks PPh adalah biaya-biaya atau
pengeluaran-pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto saat penghitungan
PPh. Baik PPh orang pribadi maupun PPh badan (perusahaan/company).

Seperti diketahui, bahwa untuk menghitung PPh terutang untuk WP Badan (perusahaan/company),
harus terlebih dahulu dicari jumlah penghasilan neto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
PPh. Penghasilan neto adalah hasil dari pengurangan penghasilan bruto dengan biaya-biaya usaha
atau biaya operasional yang dikeluarkan oleh WP badan yang bersangkutan.
Dalam konteks PPh, biaya atau pengeluaran yang dilakukan WP tersebut dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dibiayakan (yang sering disebut dengan istilah Deductible Expenses) dan
pengeluaran yang tidak boleh dibiayakan (Non Deductible Expenses).
Banyak Wajib Pajak (WP) yang tidak tahu persis di mana ketentuan mengenai Non Deductible
Expense (NDE) ini diatur. Umumnya WP hanya tahu satu pasal, yaitu Pasal 9 yang ada di UU PPh.
Padahal selain Pasal 9 UU PPh ada beberapa peraturan lainnya yang menyinggung soal NDE ini.
Dan mulai dari artikel pertama ini, akan diulas biaya-biaya yang oleh ketentuan dan peraturan
perpajakan ditetapkan sebagai biaya yang NDE.

Pasal 9 ayat (1) huruf a UU PPh


pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
Pernyataan dalam Pasal 9 UU PPh ini sebenarnya selaras dengan ketentuan dalam akuntansi
umum. Secara umum, dalam ilmu akuntansi, dividen bukanlah biaya operasional atau biaya usaha.
Dividen merupakan pembagian laba usaha kepada para pemegang saham. Dan itu berarti dividen
merupakan bagian dari penghasilan itu sendiri.
Dalam dunia akuntansi umum, dividen merupakan akun Neraca (Balance Sheet). Dividen biasanya
diletakkan di sisi kredit (atau biasa disebut Passiva) dan dilaporkan sebagai pengurang akun Laba
Ditahan (Retained Earnings).
Di beberapa company, akun Dividen juga dimunculkan di Laporan Laba Rugi (Income Statement)
tetapi bukan pada kelompok akun biaya usaha atau biaya di luar usaha. Akun Dividen, dalam
Laporan Laba Rugi selalu berada di bawah dan ditempatkan pada bagian Laba Setelah Pajak
(Earnings After Tax) serta dilaporkan sebagai pengurang Laba Ditahan.
Dari penjelasan dan ketentuan umum di akuntansi tersebut wajar jika kemudian UU PPh
menetapkan bahwa Dividen bukan sebagai pengurang penghasilan bruto. Artinya saat WP
melakukan penghitungan PPh yang terutang, Dividen yang dibayarkan kepada pemegang
sahamnya tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh


biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota;
Pengeluaran yang diperuntukkan bagi kepentingan pribadi pemegang saham umumnya terjadi
dalam perusahaan keluarga atau perusahaan yang belum go public (belum Tbk). Misalnya
perusahaan menanggung biaya listrik, telepon, dan keperluan rumah tangga lainnya dari si
pemegang saham. Atau perusahaan misalnya menanggung biaya renovasi atau pembangunan
rumah milik pemegang saham.
Ketentuan ini sebetulnya memiliki korelasi dengan Pasal 9 ayat (1) huruf a, yang dijelaskan di atas.
Ketentuan ini dibuat dengan maksud untuk mencegah upaya WP mentransformasikan dividen ke
dalam bentuk biaya yang diperuntukkan bagi keperluan pribadi pemegang saham.

Dalam praktek pemeriksaan pajak, tidak jarang biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham
ini selalu dianggap sebagai dividen terselubung. Itu berarti selain bersifat NDE, biaya tersebut juga
mengakibatkan munculnya kewajiban perusahaan untuk memotong PPh Pasal 23 atau PPh Final
Pasal 4 ayat (2) atas dividen (terselubung).
Terkait dengan istilah sekutu atau anggota, ketentuan ini berlaku bagi WP badan yang sahamnya
tidak berbentuk saham. Misalnya saja bentuk usaha CV, Firma, atau Persekutuan. Bentuk usaha
yang modalnya tidak berbentuk saham ini, biasanya tidak menggunakan istilah dividen melainkan
istilah-istilah seperti pembagian laba, bagi hasil atau istilah lainnya. Meski efek pemotongan PPhnya (withholding tax) berbeda dengan dividen, tetapi istilah pembagian laba atau bagi hasil ini
dianggap sama seperti dividen yaitu bukan sebagai pengurang penghasilan bruto alias bersifat
NDE.

Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh


pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:...;
Dalam soal pengakuan biaya (expenditure/expense recognition), UU PPh menganut prinsip realisasi
yang berarti bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya-biaya yang
sudah benar-benar terjadi. Itu sebabnya, dalam konteks PPh, pembentukan atau pemupukan dana
cadangan biaya, seperti cadangan penghapusan piutang atau cadangan biaya lainnya, tidak
diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto.
Akan tetapi, seperti yang dinyatakan langsung dalam pasal ini, ada beberapa jenis usaha yang
diperkenankan untuk membentuk dana cadangan membebankannya sebagai pengurang
penghasilan bruto WP, yaitu:

1.

Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi (financial/capital lease), perusahaan pembiayaan
konsumen dan perusahaan anjak piutang (factoring);

2.

Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3.

Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan;

4.

Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5.

Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

6.

Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri.

Juklak lebih lanjut mengenai tata cara dan besarnya dana cadangan tersebut, diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.03/2009 stdd PMK Nomor 219/PMK.011/2012.

Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh


premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
Untuk mempermudah penjelasan pasal ini, kita misalkan saja Bambang seorang pengusaha yang
memiliki beberapa orang pegawai atau karyawan. Setiap bulan Bambang membayar premi

asuransi jiwa, asuransi kecelakaan dan asuransi kesehatan baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk seluruh pegawainya.
Dalam contoh tersebut, premi asuransi yang dibayar Bambang untuk dan atas namanya sendiri
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Bambang. Dalam hal ini, ada yang berpendapat
bahwa tidak diperbolehkannya premi asuransi tersebut untuk dibebankan sebagai biaya karena
biaya hidup untuk WP orang pribadi sudah ditetapkan hanya sebesar PTKP. Apalagi nantinya pada
saat menerima pembayaran dari perusahaan asuransi, Bambang tidak akan dikenakan PPh lagi
karena sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh pembayaran dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan kelima jenis asuransi tersebut bukan objek PPh atau tidak dikenakan PPh.
Sedangkan premi asuransi yang dibayar Bambang (atau dibayar oleh company) untuk dan atas
nama pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya atau dikurangkan dari penghasilan usaha
Bambang saat penghitungan PPh orang pribadi.
--ooOoo-Artikel terkait

Non Deductible Expense #2.

Non Deductible Expense #3.

Share
inShare2

seguro de carros

Login to...
User Name

Password

Remember Me

Forgot your password?

Forgot your username?

Create an account

seguro de carros

Most Read Articles

PPh Final - Jasa Konstruksi

Menghitung Angsuran PPh Pasal 25

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap

PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan

PPh Pasal 23 Jasa

Penyusutan Menurut Fiskal

Ketentuan Baru SPT Masa PPh Pasal 21

Kurs Fiskal Minggu Ini


No Iframes

Copyright 2015 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.


Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.

Home

Articles

Treaty

Tax Court

Encyclopedia

Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browser Mozilla Firefox, untuk dapat Login


klik kata User Name dan kata Password agar dapat mengisi
box User Name dan Password.

Tax News Flash


Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Non Deductible Expense #2


Details
Category: PPh Umum
Hits: 3036
Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan natura adalah pemberian imbalan dalam bentuk
barang. Sedangkan yang dimaksud dengan kenikmatan adalah pemberian imbalan dalam bentuk
fasilitas seperti fasilitas perumahan, fasilitas pengobatan gratis, atau fasilitas lainnya. Dalam
konteks PPh kedua imbalan ini lebih sering disebut dengan istilah benefit in kind.
Hingga saat ini ada perbedaan pendapat mengenai maksud dan cakupan dari pasal ini. Apakah
ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap imbalan yang diberikan kepada pegawai saja
atau termasuk juga meliputi seluruh imbalan kepada non pegawai?
Sebagian besar praktisi pajak menilai bahwa ketentuan ini hanya berlaku khusus untuk imbalan
kepada orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai, baik pegawai tetap maupun pegawai tidak
tetap. Sedangkan untuk imbalan kepada yang bukan pegawai, termasuk imbalan atas jasa kepada
perusahaan lain, tetap boleh dibiayakan karena dalam konteks itu imbalan dalam bentuk benefit in
kind bisa dianggap sebagai barter (tukar-menukar) antara jasa dengan imbalan barang atau
fasilitas.
Pada pasal ini juga terdapat tiga pengecualian. Pengecualian pertama berupa penyediaan makan
dan minum untuk pegawai yang menurut ketentuan pasal ini tetap boleh dibiayakan meski
diberikan dalam bentuk natura (berupa makanan atau minuman siap santap). Misalnya penyediaan
makan siang saat istirahat, penyediaan air minum, penyediaan kopi, teh, gula dlsb di pantry, atau
penyediaan makan dan minum bagi pegawai yang lembur. Ketentuan ini berlaku meski penyediaan
makanan/minuman itu dilakukan bukan di daerah terpencil.
Pengecualian kedua, berupa penyediaan natura (barang) yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan. Misalnya penyediaan sepatu proyek, helm proyek dlsb untuk pekerja perusahaan
konstruksi, penyediaan pakaian atau seragam petugas mekanik, baju atau perlengkapan bagi
petugas pemadam kebakaran, dan lain sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku umum meski WP
tidak berlokasi di daerah terpencil [lihat penjelasan Dirjen Pajak dalam butir 4.a pada S04/PJ.42/2003 tanggal 2 Januari 2003].
Pengecualian yang ketiga adalah penyediaan natura maupun kenikmatan khusus di daerah
terpencil. Ketentuan ini secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
83/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009.

Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh


jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan;
Jika WP melakukan transaksi dengan pemegang saham, atau dengan pihak lain yang masih
memiliki hubungan istimewa dengan WP tersebut, maka nilai atau biaya yang dikeluarkan oleh WP
yang dibayarkan kepada merekadapat dipertanyakan kewajarannya. Pada intinya pajak

menginginkan transaksi antara WP dengan afiliasnya dilakukan secara wajar sama seperti saat WP
bertransaksi dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dengan WP.
Apabila nilai atau jumlah biaya yang dikeluarkan WP tersebut dianggap tidak wajar, maka jumlah
yang melebihi kewajaran itu dapat dikoreksi positif (tidak boleh dibiayakan) oleh pemeriksa pajak.
Dan khusus yang terkait dengan pemegang saham, selain tidak boleh dibiayakan, jumlah yang
melebihi kewajaran itu dianggap sebagai dividen terselubung yang menimbulkan adanya
kewajiban withholding tax.
Dalam kaitannya dengan persoalan jumlah wajar ini, Dirjen Pajak telah menerbitkan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 stdd PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan
Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa. Peraturan Dirjen Pajak ini memang bukan juklak dari Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh ini,
melainkan juklak dari Pasal 32A dan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Tapi pada intinya, ketentuan yang
diatur dalam peraturan Dirjen Pajak tersebut harus diperhatikan oleh setiap WP terutama jika WP
seringkali melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
WP.
Hubungan Istimewa dalam konteks pajak dapat terjadi karena salah satu dari 4 (empat) faktor
sebagai berikut:

1.

Faktor kepemilikan atau penyertaan;

2.

Faktor penguasaan manajemen;

3.

Faktor penguasaan teknologi; dan

4.

Faktor hubungan keluarga sedarah maupun semenda.

Keempat faktor penyebab timbulnya Hubungan Istimewa tersebut dijelaskan dalam Surat Edaran
(SE) Dirjen Pajak Nomor SE-18/PJ.53/1995 tanggal 26 April 1995. SE ini sebenarnya penjelasan
lebih lanjut dari istilah Hubungan Istimewa yang ada dalam UU PPN Nomor 11 Tahun 1994. Akan
tetapi karena pengertian dan definisi hubungan istimewa dalam UU PPh dan UU PPN secara prinsip
memiliki kesamaan, SE ini sering digunakan juga dalam konteks PPh. Dan perlu diingat, meskipun
sudah termasuk lawas, namun SE ini hingga sekarang masih berlaku (belum dinyatakan dicabut
atau dinyatakan tidak berlaku).

Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh


harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
Pada intinya harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, yang dikeluarkan oleh WP tidak
boleh dibebankan sebagai biaya saat penghitungan PPh. Ketentuan ini sebenarnya terkait dengan
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, yang menyatakan bahwa harta yang dihibahkan,
bantuan atau sumbangan, dan warisan, bagi penerimanya ditetapkan sebagai bukan objek PPh
(tidak dikenai PPh).
Hingga saat ini hanya ada beberapa jenis sumbangan yang secara fiskal dapat dibebankan sebagai
biaya, yaitu:

1.

Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 dan merupakan juklak dari Pasal 9 ayat (1) huruf g UU
PPh; dan

2.

Sumbangan
penanggulangan
bencana
nasional,
sumbangan
penelitian
dan
pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan
pembangunan infrastruktur sosial, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93
Tahun 2010 dan merupakan juklak dari Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU
PPh.

Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh


Pajak Penghasilan;
Pajak Penghasilan (PPh) yang dimaksud oleh pasal ini adalah PPh yang terutang atas penghasilan
WP yang bersangkutan. Meliputi PPh yang dibayar sendiri seperti PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29,
maupun PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain [uang muka pajak atau kredit PPh seperti PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 19, dan PPh Pasal 15].
Misalnya PT A memperoleh penghasilan dari PT X dan dipotong PPh (misalnya PPh Pasal 23 atau
PPh withholding lainnya) oleh PT X. Dalam hal ini, PPh yang dipotong oleh PT X tidak boleh
dibiayakan oleh PT A. Secara umum, PPh yang dipotong oleh PT X merupakan uang muka atau
kredit PPh bagi PT A.
Kemudian misalnya PT A membayar imbalan sewa kepada Bambang. Dan karena satu hal
Bambang tidak bersedia dipotong PPh oleh PT A, sehingga PT A terpaksa menanggung PPh yang
terutang (yang harus dipotongnya) tersebut, maka dalam hal ini PPh yang ditanggung tadi boleh
dibiayakan oleh PT A sepanjang dilakukan dengan metode gross-up (seolah-olah PT A memberikan
tunjangan PPh kepada Bambang). Dalam konteks ini PPh tersebut bukan PPh-nya PT A melainkan
PPh-nya Bambang.

Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh


biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya;
Ketentuan ini sebenarnya dikhususkan bagi WP orang pribadi khususnya WP orang pribadi
pengusaha (WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas).
Seperti diketahui, dalam konteks PPh, biaya hidup untuk WP orang pribadi sudah ditentukan hanya
sebesar PTKP (Rp 24.300.000,- setahun). Begitupun dengan anggota keluarga yang menjadi
tanggungan WP orang pribadi tersebut, biaya hidupnya ditetapkan hanya sebesar PTKP tambahan
(Rp 2.025.000,- setahun). Dalam kacamata UU PPh tidak ada lagi biaya hidup yang boleh
dikeluarkan oleh WP orang pribadi selain PTKP tersebut.

Pasal 9 ayat (1) huruf j UU PPh


gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham;
Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh, dinyatakan bahwa bagian laba yang diterima oleh anggota
perseroan komanditer (Commanditer Venotschaap/CV) yang modalnya tidak terbagi atas saham,

persekutuan, perkumpulan, firma (Fa), merupakan penghasilan yang tidak dikenakan PPh (bukan
objek PPh atau non-taxable income).
Selaras dengan ketentuan tersebut, dalam Pasal 9 ayat (1) huruf j ini pun ditetapkan bahwa gaji
yang dibayarkan kepada orang pribadi yang notabene merupakan member, partner, atau anngota
dari persekutuan, Fa, atau CV tersebut juga tidak boleh dibiayakan. Ketentuan ini didasari pada
prinsip UU PPh yang menyatakan bahwa anggota Fa, CV atau persekutuan diperlakukan sebagai
satu kesatuan (dianggap sebagai bagian dari WP badan Fa, CV itu sendiri) sehingga dianggap tidak
selayaknya menerima gaji. Itulah sebabnya pengeluaran atau pembayaran gaji kepada anggota,
member atau partner dari Fa, CV maupun persekutuan, tidak diperbolehkan dikurangkan dari
penghasilan bruto Fa, CV atau persekutuan tersebut.

Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh


sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Sebagai WP, kita diberikan tugas untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban perpajakan secara
sendiri (self assessment). Kewajiban perpajakan itu meliputi kewajiban untuk memotong,
memungut, menyetor pajak dan melaporkannya kepada kantor pajak setempat.
Dalam melakoni peran tersebut, sebenarnya adalah lumrah jika seandainya WP kemudian
melakukan suatu kesalahan atau kekhilafan. Tapi dalam hukum pajak, kesalahan atau kekhilafan
tersebutbaik dilakukan sengaja atau tidaktetap akan membuahkan sanksi-sanksi perpajakan.
Sanksi perpajakan itu bisa berupa sanksi bunga keterlambatan setor, sanksi denda (karena
terlambat melaporkan SPT misalnya) atau sanksi kenaikan karena WP tidak menyelenggarakan
pembukuan atau karena hal lainnya. Dan sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini, sanksi-sanksi
perpajakan yang dibayar oleh WP tersebut tidak boleh dibiayakan atau dikurangkan dari
penghasilan bruto WP.
Selain itu perlu diingat bahwa sanksi perpajakan yang dimaksud dalam pasal ini juga meliputi
sanksi-sanksi perpajakan di bidang Pajak Daerah. Misalnya WP dikenai sanksi denda karena
terlambat membayar pajak tahunan kendaraan, sanksi bunga karena WP Perhotelan terlambat
menyetor Pajak Hotel dan Restoran, dan sanksi-sanksi Pajak Daerah lainnya.

Pasal 9 ayat (2) UU PPh


Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal
11A;
Seperti yang bisa kita
manfaat lebih dari satu
pengeluaran seperti ini
pembahasan mengenai

baca dari redaksional kalimatnya, pengeluaran yang mempunyai masa


tahun tidak boleh dibebankan sekaligus. Pembebanan sebagai biaya untuk
harus dilakukan secara bertahap melalui penyusutan atau amortisasi. Dan
penyusutan dapat Anda lihat di artikel berikut.
--ooOoo--

Artikel terkait: Non Deductible Expense #3

Share
inShare

Login to...
User Name

Password

Remember Me

Forgot your password?

Forgot your username?

Create an account

seguro

Most Read Articles

PPh Final - Jasa Konstruksi

Menghitung Angsuran PPh Pasal 25

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap

PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan

PPh Pasal 23 Jasa

Penyusutan Menurut Fiskal

Ketentuan Baru SPT Masa PPh Pasal 21

Kurs Fiskal Minggu Ini


No Iframes

Copyright 2015 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.


Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.

Home

Articles

Treaty

Tax Court

Encyclopedia

Downloads

Search...

Login Register

Bagi Anda pengguna browser Mozilla Firefox, untuk dapat Login


klik kata User Name dan kata Password agar dapat mengisi
box User Name dan Password.

Tax News Flash


Bagaimana membuat dan mempersiapkan SPT Tahunan PPh untuk WP yang tergolong
sebagai WP-UKM..? Baca selengkapnya di sini.

Non Deductible Expense #3

Details
Category: PPh Umum
Hits: 1497

Jenis-jenis biaya atau pengeluaran yang ditetapkan


sebagai Non Deductible Expenses (NDE) tidak hanya diatur dalam Pasal 9 UU PPh seperti yang
sudah dibahas di artikel pertama maupun artikel kedua.
Hingga saat ini, paling tidak, ada tiga peraturan lain di bawah UU PPh yang juga menetapkan
tentang NDE-nya suatu pengeluaran atau biaya. Satu peraturan berupa Peraturan Pemerintah dan
dua peraturan yang berupa Peraturan Menteri Keuangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010


Peraturan Pemerintah (PP) ini berisi ketentuan mengenai PPh secara umum dan merupakan juklak
dari UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. Dalam PP ini ada dua pasal yang secara eksplisit menetapkan
soal NDE-nya suatu pengeluaran atau biaya.

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang: a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final; atau b.tidak termasuk objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya. [Pasal 9
ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010].
Melalui Pasal 9 ayat (2), PP Nomor 94 Tahun 2010 menyatakan bahwa kerugian selisih kurs yang
berkaitan langsung dengan kegiatan usaha WP untuk menghasilkan dan memelihara penghasilan
yang dikenakan PPh bersifat final, atau penghasilan yang bukan objek PPh, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan neto.
Contoh riilnya, misalnya PT ABC bergerak di bidang trading alat-alat kosmetik dan mempunyai
gedung kantor sendiri. Sejak beberapa tahun, PT ABC hanya menempati dua dari tiga lantai
gedung yang dimilikinya tersebut sementara lantai ke-3 untuk sementara tidak digunakan.
Kemudian pada tahun ini PT XYZ menyewa lantai ke-3 gedung tersebut dengan harga sewa sesuai
kontrak/perjanjian menggunakan mata uang asing sebesar USD 10,000.00 setahun.
Karena menggunakan mata uang asing, PT ABC mau tidak mau harus mengakui untung atau rugi
selisih kurs. Dan apabila PT ABC mengalami kerugian selisih kurs akibat sewa menyewa gedung
tersebut, maka kerugian selisih kurs itu tidak boleh dibiayakan. Begitu pun dengan keuntungannya,
tidak akan dikenakan PPh lagi sebab penghasilan dari sewa gedung tersebut menurut ketentuan
yang berlaku sudah dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.
Contoh lain misalnya PT ABC mempunyai saham (penyertaan) pada PT DEF yang juga berlokasi di
Indonesia. Penyertaan yang dimiliki PT ABC di PT DEF sebesar 30%. PT DEF membagikan dividen
dalam bentuk mata uang USD sehingga memaksa PT ABC untuk juga mengakui adanya untung
rugi selisih kurs dalam penerimaan dividen. Karena dividen yang diterima PT ABC dari PT DEF
ditetapkan sebagai bukan objek PPh [lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh], maka jika PT ABC
mengalami kerugian selisih kurs dari pembagian dividen tersebut, kerugian selisih kurs itu juga
tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh PT ABC.

Pasal 13 PP Nomor 94 Tahun 2010


Pasal 13 huruf a PP Nomor 94 Tahun 2010 menegaskan bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak
boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak, termasuk biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang:

1.

bukan merupakan objek PPh;

2.

pengenaan PPh-nya bersifat final; maupun

3.

dikenakan PPh berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 UU PPh.

Penegasan inikhususnya pada butir 1 dan butir 2sebenarnya senada dengan penegasan yang
ada dalam Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010, yang telah dijelaskan di atas. Sementara
penegasan yang ada di butir 3, berhubungan dengan WP orang pribadi yang penghitungan PPh-nya
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan WP tertentu seperti WP Pelayaran
Luar Negeri maupun WP Pelayaran Dalam Negeri yang penghitungan PPh-nya menggunakan
Norma Penghitungan Khusus.

Kemudian pada huruf b, masih dalam Pasal 13 PP Nomor 94 Tahun 2010, ditegaskan bahwa PPh
yang ditanggung oleh pemberi penghasilan juga tidak boleh dibiayakan. Tentu saja yang dimaksud
di sini adalah PPh yang ditanggung tanpa metode gross up (tanpa memberikan tunjangan). Sebab
jika dilakukan dengan metode gross up, maka pengertiannya bukan lagi WP menanggung PPh
melainkan memberikan Tunjangan PPh. Dan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a.2 UU PPh, tunjangan dalam bentuk uang, termasuk tunjangan PPh, merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya.

PMK Nomor 79/PMK.03/2010


PMK (Peraturan Menteri Keuangan) ini pada intinya mengatur mengenai pedoman pengkreditan
Pajak Masukan (PM) bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang kegiatan usahanya:

1.

semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau

2.

semata-mata melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran.

Berdasarkan PMK tersebut kedua kelompok PKP itu harus menggunakan pedoman pengkreditan PM
sehingga tidak lagi menghitung berapa jumlah PM yang telah mereka bayar secara nyata. Tidak
hanya itu, dalam Pasal 6 PMK tersebut juga menyatakan bahwa jumlah PM yang nyata-nyata telah
dibayar tersebut juga tidak boleh dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan PPh. Artikel
selengkapnya mengenai pedoman pengkreditan PM bagi PKP ini dapat Anda baca di sini.

PMK Nomor 74/PMK.03/2010


Senada dengan Pasal 6 PMK Nomor 79/PMK.03/2010, di dalam Pasal 10 PMK Nomor
74/PMK.03/2010 juga dinyatakan bahwa jumlah PM yang nyata-nyata telah dibayar oleh PKP
tertentu juga tidak boleh dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan PPh. PMK Nomor
74/PMK.03/2010 ini adalah PMK yang mengatur mengenai pedoman pengkreditan PM bagi PKP bari
maupun PKP yang omsetnya tidak lebih dari Rp 1,8 milyar, yang memilih menggunakan pedoman
pengkreditan PM. Artikel selengkapnya mengenai pedoman pengkreditan PM bagi PKP ini dapat
Anda baca di sini.
--ooOoo--

Share
inShare

seguro

Login to...
User Name

Password

Remember Me

Forgot your password?

Forgot your username?

Create an account

seguro

Most Read Articles

PPh Final - Jasa Konstruksi

Menghitung Angsuran PPh Pasal 25

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap

PPh Final - Persewaan Tanah dan Bangunan

PPh Pasal 23 Jasa

Penyusutan Menurut Fiskal

Ketentuan Baru SPT Masa PPh Pasal 21

Kurs Fiskal Minggu Ini


No Iframes

Copyright 2015 Pembayar Pajak. All Rights Reserved.


Joomla! is Free Software released under the GNU General Public License.

Biaya Non deduktibel (Non Deductible Cost)


Menurut Undang-Undang Perpajakan tahun 2008, Pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh
dibebankan sebagai biaya disebut biaya deductibel (deductible cost) dan
pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya disebut biaya
nondeduktibel (Non deductible cost). Pada prinsipnya biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan
langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang
pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa
manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian
penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi
kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang

membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari


penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan UndangUndang ini.

biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi


pemegang saham, sekutu, atau anggota

Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya


yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:


1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan
usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha
dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan
sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan;
dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah
industri,

yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan


Menteri Keuangan;Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012 menyatakan
bahwa
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya
yaitu:

cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang meliputi:

cadangan piutang tak tertagih untuk:

1. bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;


2. bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

3. bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;


dan

4. bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip


syariah;

cadangan piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
yaitu badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang
menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi:

1. koperasi simpan pinjam;


2. PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
3. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
4. perusahaan pembiayaan infrastruktur yang melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur; dan

5. PT Perusahaan Pengelola Aset.

cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu
cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan
barang modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance
Lease);

cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu


cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran;

cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan
berikut pengurusan atas piutang tersebut;

cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi:

1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk


perusahaan asuransi kerugian;

2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;

cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan


penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah
penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai
dengan kewenangannya;

cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya


untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang
terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi

dan berdaya guna sesuai peruntukannya;

cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan


biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan
penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait
dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; dan

cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah


industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah industri
yang mencakup kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan
limbah industri.

Besarnya cadangan piutang tak tertagih PT Permodalan Nasional Madani


(Persero) ditetapkan sebagai berikut:

1. 2,5% (dua setengah persen) dari piutang yang digolongkan dalam perhatian
khusus setelah dikurangi nilai agunan;

2. 5% (lima persen) dari piutang yang digolongkan kurang lancar setelah


dikurangi dengan nilai agunan;

3. 50% (lima puluh persen) dari piutang yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan; dan

4. 100% (seratus persen) dari piutang yang digolongkan macet setelah


dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:

1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.

Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah
pokok pinjaman yang diberikan oleh PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Kerugian
yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian , jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah
cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi,
jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia ditetapkan sebagai berikut:

1. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;


2. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah
dikurangi nilai agunan;

3. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah
dikurangi nilai agunan;

4. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi
nilai agunan; dan

5. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai
agunan.

Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
paling tinggi adalah:

1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.

Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah
pokok pinjaman yang diberikan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Kerugian
yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian , jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah
cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi,
jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan
infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir d) ditetapkan
sebagai berikut:

1. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;


2. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian
khusus setelah dikurangi nilai agunan;

3. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

4. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

5. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan

paling tinggi adalah:

1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.

Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah
pokok pinjaman yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur. Kerugian
yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian , jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.Dalam hal jumlah
cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian s namun tidak
mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk PT Perusahaan Pengelola Aset
ditetapkan sebagai berikut:

1. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

2. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

3. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
spaling tinggi adalah:

1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan
sadalah pokok pinjaman yang diberikan PT Perusahaan Pengelola Aset. Kerugian yang
disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih
seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian jumlah kelebihan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah cadangan
piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian , namun tidak mencukupi, jumlah
kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi


dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang
pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja,
maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya
dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan
Objek Pajak.

penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d,


penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan
merupakan objek pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan
dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan
sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan pegawai yang menerimanya:
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka
menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
terpencil;
pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput
karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang


saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan


yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada
dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran


yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan
ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu
badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan
sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara
hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.

harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan , kecuali


sumbangansampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

Pajak Penghasilan;

Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib


Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan


komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak


terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan
merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan
tersebut.

sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi

pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan.

Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan


yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi.
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan
terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai
dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap
penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun
pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama
masa manfaatnya .
Bagikan topik ini ke kolega/ relasi/ teman Anda

Anda mungkin juga menyukai