Anda di halaman 1dari 47

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

RSUD PROF. W.Z. JOHANNES KUPANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

REFERAT
SEPTEMBER 2016

SKLERITIS

OLEH
Adilhara Alcitamesa Akal

PEMBIMBING
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat,
petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat Skleritis.
Referat ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
ternilai kepada:
1. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M selaku dosen pembimbing bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang yang telah
mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Kesehatan
Mata serta dalam penyusunan referat ini.
2. Perawat bagian poliklinik mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
3. Rekan-rekan Co-Assisten atas bantuan dan kerjasamanya.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi
kesempurnaan penyusunan referat di masa yang akan datang. Akhir kata semoga
referat ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian. Kiranya Tuhan
memberkati kita semua.

Kupang, September 2016


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................

Kata Pengantar ......................................................................................

ii

Daftar Isi ...............................................................................................

iii

Bab I. Pendahuluan ...............................................................................

Bab II. Tinjauan Pustaka .......................................................................

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sklera ......................................................

2.1.1 Anatomi Sklera .......................................................................

2.1.2 Fisiologi Sklera .......................................................................

2.2 Skleritis ........................................................................................

2.2.1 Definisi Skleritis .....................................................................

2.2.2 Epidemiologi Skleritis ............................................................

2.2.3 Etiologi Skleritis .....................................................................

2.2.4 Patofisiologi Skleritis .............................................................

11

2.2.5 Klasifikasi Skleritis ................................................................

17

2.2.6 Diagnosis Skleritis ..................................................................

20

2.2.7 Diagnosa Banding ..................................................................

26

2.2.8 Penatalaksanaan Skleritis .......................................................

29

2.2.9 Komplikasi Skleritis ...............................................................

40

2.2.10 Prognosis Skleritis ................................................................

41

Bab III. Kesimpulan .............................................................................

42

Daftar Pustaka ......................................................................................

44

BAB 1
PENDAHULUAN

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini
terjadi karena adanya proses imunologis atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga
dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan
suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun.2
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika
Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang
ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis
posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur
20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral. Dari data
internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis.
Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan
gejala bertambah hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit
primer skleritis itu sendiri dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasio antara
perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1. Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi
pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata orang yang menderita skleritis adalah usia 52
tahun.1,2,3

Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri
berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat
membangunkan penderita dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan
bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperberat rasa nyeri
tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan
yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi
benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan
penurunan tajam penglihatan.3,4
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani
dengan baik. Komplikasinya berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma
subretina,

ablasio

retina

eksudatif,

proptosis,

katarak,

dan

hipermetropia.

Penatalaksanaan skleritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena


itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih
lanjut.1,2
Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa
diberikan Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari.
Kebanyakan kasus menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan
pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi ini tidak menunjukkan respon yang baik
selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral 0,5-1,5 mg/kg/hari. Pada kasus
yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena. Apabila

mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan antibiotik


spesifik sesuai mikroorganisme penyebabnya.3,4,5
Pada makalah ini akan dipaparkan sebuah tinjauan pustaka mengenai
skleritis. Pembahasannya akan meliputi anatomi dan fisiologi sklera, epidemiologi
dan klasifikasi skleritis, patogenesis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan pada skleritis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sklera


2.1.1 Anatomi Sklera
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan jaringan
terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela
membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk
menjaga kelembapan mata. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya,
kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan
dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang
tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai
ketebalan 10-14 mikron. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan
sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena
terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning. Sklera berfungsi
untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola

mata.3
Gambar 1. Anatomi Bola Mata

Gambar 2. Anatomi Bola Mata


Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada
kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke
dalam sklera. Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm.
Pada garis ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 0.5 mm dan pada bagian posterior
mencapai 1 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan
tersobek karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian
tertipisnya, yaitu di belakang insersio otot rektus.6
Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior.
Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari
jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah
sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang
pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang
satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera. 3

Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina
kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada
sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior.

Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian
anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot
rektus.6
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola
mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk
menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan
kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak
saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram
optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya
berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang
yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat
optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub
posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4

Gambar 3. Sklera

Gambar 4. Sklera

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6

Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan


tempat meletaknya kornea pada sklera.

Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar


nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas
foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk
menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-

berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16
m dan lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium.
Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

2.1.2. Fisiologi Sklera


Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra
okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan
bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar
dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik
pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan
kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya
berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal
sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering
terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur
artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3
2.2

Skleritis

2.2.1. Definisi Skleritis


Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai
oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan
adanya vaskulitis.1
2.2.2. Epidemiologi Skleritis
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi
kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang
ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah

skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit
ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan
dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan insiden skleritis tidak
bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria
dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
dengan usia rata-rata 52 tahun.2
2.2.3. Etiologi Skleritis7,8
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skleritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin
terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya
tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak dan operasi
pterigium.1
Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit
sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:
-

Autoimun (48%)
o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:13

Rheumatoid arthritis

Systemic lupus erythematosus

Ankylosing spondylitis

Reactive arthritis

Psoriatic arthritis

Gouty arthritis

Inflammatory bowel diseases

Relapsing polychondritis

Polymyositis

Sjgren syndrome

Mixed connective tissue disease

Progressive systemic sclerosis

o Penyakit vaskulitik, antara lain:14

Polyarteritis nodosa

Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome

Wegeners granulomatosis

Behet disease

Giant cell arteritis

Cogan syndrome

Infeksi dan Granulomatosa (7%)


Tuberkulosis
Sifilis
Sarkoidosis
Toksoplasmosis
Herpes simpleks
Herpes zoster
Infeksi Pseudomonas
Infeksi Streptokokus
Infeksi Stafilokokus
Aspergilosis
Leprosi
Lain-lain (2%)
Atopi
Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan
(pamidronate,
ibandronate).15

- Idiopatik

alendronate,

risedronate,

zoledronic

acid,

2.2.4 Patofisiologi Skleritis

Gambar 5. Skleritis

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50


persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang
menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis,
systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis,
herpes zoster virus, gout dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular,
bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks
imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun
respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).9,10
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal
(reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan
menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG
yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan
juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk
reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara
umum memakan waktu maksimal 4 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan
pembentukan kompleks antigen antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi

utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan


permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui
FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan
isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement
sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam macam lokasi
seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III
adalah komplikasi post infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.11
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan
dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan
peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak
dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut,
membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya,
dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler
yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi
maksimal memakan waktu 48 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe
lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak
yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan
kimia reaktif.11

Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel
T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi
dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan
penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.12
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun
sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun
secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa
disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular
(reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif
dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada
pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula
post kapiler dan respon imun sel perantara.7
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan
skleritis membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan
meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini
melaporkan bahwa untuk pertama kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam
serum pasien dengan tipe skleritis non infeksius. 10
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi

Tabel 2. Sklera spesifik autoantibodi

Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan beberapa


protein dari segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan,
khususnya pada kejadian uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang
melaorkan autoantibodi pada idiopatic skleritis. Akhir-akhir ini diperlihatkan
autoantibodi secara langsung melawan dua polipeptida yang muncul pada ekstraksi
jaringan sklera ini berhubungan dan memunculkan kemungkinan adanya proses
autoimun organ spesifik.10
Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis
memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit T CD-4,
yang mana biasanya tidak ditemukan pada sklera normal.10
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu
deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan
mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar
pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis
akibat dari operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke
dalam mata dibawah proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan
tersensitisasinya kedua imunitas humoral dan seluler.10

2.2.5. Klasifikasi Skleritis


Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior:13,14
1. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior
sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.
Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari
skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun
penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai
varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe
nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
A. Difus anterior scleritis. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid,
herpes zoster oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas
pada seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum
terjadi.

Gambar 6. Diffuse Anterior Scleritis


B. Nodular anterior scleritis. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster
oftalmikus. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem,
tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus
berkembang menjadi skleritis nekrosis.

Gambar 7. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah


resolusi dari nodul
C. Necrotizing anterior scleritis with inflamation. Bentuk ini lebih berat dan
dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau komplikasi okular pada
sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan
skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang
diakibatkan operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak,

trabekulektomi, dan operasi retina. Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada
fokal area akibat insisi sklera atau limbus.11
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti


rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera
terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal
sebagai sklerokeratitis.

Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien


yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh
pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal
sebagai skleromalasia perforans.

2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis
anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan
kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus,
adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid,
massa di retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior
yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan
ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari
bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan

edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina


eksudatif, edema makular, dan papiledema.3

Gambar 8. Skleritis Posterior


2.2.6 Diagnosis Skleritis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat
pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala
dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling
sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari
stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik
nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,

rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri
dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia
pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan
biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat
berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.
Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan
rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi
kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak
akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. 2,3,4,8

Gambar 9. Skleritis
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan
skleritis seperti :2
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular
disorder. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan

terapi kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur.


Proses kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa kasus.10
3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid
dan ibandronate.
6. Post pembedahan pada mata
7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan


tajam penglihatan.11
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o

Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

Pemeriksaan Sklera10

o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan
uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh
peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses
berlanjut,

maka

area

tersebut

akan

menjadi

avaskular

dan

menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi


oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
o

Pemeriksaan slit lamp10,11


Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior
scleritis.
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam
episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial
episklera. Sudut anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke
depan (terdorong maju) karena episklera dan sklera edema. Pada
skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan
superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada
jaringan dalam episklera.2

Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan


menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam
dari jaringan episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area


avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior11


o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan
proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.
Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
o

Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan


koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)


5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.5

Gambar 9. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan


adanya akumulasi cairan pada kapsul tenon

2.2.7. Diagnosa Banding


- Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik,
alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.
Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan
dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis.

Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera,
yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang
lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu
episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

Gambar 10. Episkleritis


Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada
episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna
merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau
ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat
menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,
melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5%
topikal.

Gambar 11. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil


dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 12. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan


pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis

2.2.8. Penatalaksanaan Skleritis

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien


yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang
spesifik juga.10 Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis
yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi
kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat
imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak
mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan,
efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2


jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga
omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
dipertahankan menggunakan NSAIDs.

Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif dapat


digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tetapi dapat juga
digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau
cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegeners granulomatosis atau
polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti


infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada

bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan-lahan.


Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat
memperparah proses nekrosis yang terjadi.

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau


tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan
imunosupresif tidak boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit
penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk
pengawasan terapi imunosupresif.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera
atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi
kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang
menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi
trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan

kornea atau telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata,
periostioum, atau material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat
digunakan pada ulkus kornea yang berat atau keratolisis.7,11,12
Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi
skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga
disertai pemberian kemoterapi.11
Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam
penyakit skleritis ialah:11
A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)
Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs
bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi
perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.
Pemberian:
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk
menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan
cepat diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan
konjugasi glukuronid. Dosis indometasin adalah 75-150 mg PO/hari or dibagi
2 kali sehari, tidak melampaui 150 mg/hari. Pemberian pada lansia harus
diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih mungkin terjadi usia
lanjut. Dosis atau frekuensi terendah disarankan.

2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai
analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti radang tetapi berbeda secara
kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini
adalah penghambat sintesis prostaglandin. Dosisnya 250-1000 mg PO setiap
hari dibagi setiap 12 jam. Dosis maksimum 1500 mg/hari.
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)
Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin. Naproxen diserap dengan
cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam. Dosisnya 250-500 mg
PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai
sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan
nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
yang menghasilkan sintesis prostaglandin.Obat yang berikatan kuat dengan
protein dan siap diserap secara oral. Memiliki paruh waktu yang singkat (1.82.6 jam). Dosisnya 300-800 mg PO 4 kali sehari, 400-800 mg IV selama 30
menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat
sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator
peradangan. Dosisnya 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400

mg/hari. Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu
terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein
plasma.

Menurunkan

aktifitas

siklooksigenase

dan

dengan

begitu,

menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan


mediator radang. Dosisnya 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari,
tidak melebihi 30-40 mg/hari.
B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten
terhadap NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui.
Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala
peradangan (nyeri, bengkak, kaku). Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap
minggu. Dosis dibagi PO sebanyak 2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis,
sebagai pengganti sekali seminggu. Peningkatan sampai respon optimum,
tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg (meningkatkan resiko supresi
sumsum tulang). Awasi fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru,
fungsi hati
2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai
alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin
melibatkan

penyambungan

silang

pertumbuhan sel normal dan neoplastic

DNA,

yang

dapat

mengganggu

Pemberian IV:
-

Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam

interval 2-4 minggu


Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari
Pemberian oral:

Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian:

Berikan dosis pertama sepagi mungkin


Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral
Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.
Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 20003000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)
3. Azathioprine (Imuran)
Menghambat

mitosis

dan

metabolisme

seluler

dengan

mengganggu

metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein. Dosis awal 1 mg/kg
IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat ditingkatkan seperti berikut:
-

Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari

setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.


Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis
efektif terendah tercapai
4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun
yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan
cangkok. Dosisnya 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8
minggu, Dapat ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari. Awasi fungsi

ginjal
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.
Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam
pengobatan skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen
imunosupresif lainnya. Dosisnya 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali
sehari PO. Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu. Jika
diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis
IM setiap harinya sama dengan dosis oral. Untuk efek jangka panjang, berikan
dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu. Hanya metilprednisolon
sodium sukinat dapat diberikan secara IV. Dosisnya 1 g IV selama 1 jam
selama 3 hari.
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan
cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat
menurunkan peradangan. Dosisnya 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2
kali sehari sampai 4 kali sehari.

Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis

Bagan 1. Panduan Penatalaksanaan Pasien dengan Skleritis

2.2.9.Komplikasi Skleritis
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, makular edema, skleromalasia dan
hipermetropia.

Keratitis

bermanifestasi

sebagai

pembentukan

alur

perifer,

vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.
Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini
sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi
galukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.1,8
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti
uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau
skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat
dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat
peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak
dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat
kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam
stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea
yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada
keratitis sklerotikan.3,8
Obat

kortikosteroid

juga

dapat

memicu

terjadinya

perforasi

serta

meningkatkan tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat

glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio
retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30%
kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis
posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior.2 Skleritis
dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.8

2.2.10 Prognosis Skleritis


Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta
permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata.
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular
atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit
sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun.
Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon
terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling
destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami
perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk, mengakibatkan hilangnya
penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.8
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: dubia ad bonam
: dubia ad malam

Quo ad sanationam

: dubia ad malam

BAB III
KESIMPULAN
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai
oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan
adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit
autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat
digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior. Sekitar 94% kasus
skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis posterior. Skleritis
anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse anterior scleritis,
nodular anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation, dan necrotizing
scleritis without inflammation (scleromalacia perforans). Gejala-gejala pada skleritis
dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Untuk mendiagnosa skleritis diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan
fisik dan oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.
Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit
ini dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses
peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh
bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari
rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan
pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3
Terapi skleritis meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan. Obat-obatan
yang biasa dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan
imunomodulator. Apabila terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian

terkait. Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular,
perforasi sklera, glaukoma, uveitis, katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis
seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis
dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.

DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J,
Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2010.169-73
2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o
Congress Catalog. 2008; 111-6
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. 118-20
4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.
Ophthalmology. 2007.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic
vasculitic diseases. Ophthalmology. 2010.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Clinical Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and
Episcleritis. Ophthalmology 2012;119:4350
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Skleritis Theraphy. Ophthalmology 2012;119:5158
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic AntibodyAssociated Active Scleritis. Arch Ophthalmol.
2008;126(5):651-655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and
Scleritis:

Clinical

Features

and

Treatment

Results.

Ophthalmol

2008;130:469476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgnia F.M.T, Hellen F and Lus E.C. A. ScleraSpecific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients

with Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174179


11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol
2009;83:410413
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare sclera
excision of pterygium. Br J Ophthalmol 2010;84:10501052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological
Profile and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a
Tertiary

Eye

Care

Center

of

India.

International

Journal

of

Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis
and scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol .
2011;74(6):405-9

Anda mungkin juga menyukai