REFERAT
SEPTEMBER 2016
SKLERITIS
OLEH
Adilhara Alcitamesa Akal
PEMBIMBING
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat,
petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat Skleritis.
Referat ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
ternilai kepada:
1. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M selaku dosen pembimbing bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang yang telah
mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Kesehatan
Mata serta dalam penyusunan referat ini.
2. Perawat bagian poliklinik mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
3. Rekan-rekan Co-Assisten atas bantuan dan kerjasamanya.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi
kesempurnaan penyusunan referat di masa yang akan datang. Akhir kata semoga
referat ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian. Kiranya Tuhan
memberkati kita semua.
DAFTAR ISI
ii
iii
11
17
20
26
29
40
41
42
44
BAB 1
PENDAHULUAN
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini
terjadi karena adanya proses imunologis atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga
dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan
suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun.2
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika
Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang
ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis
posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur
20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral. Dari data
internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis.
Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan
gejala bertambah hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit
primer skleritis itu sendiri dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasio antara
perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1. Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi
pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata orang yang menderita skleritis adalah usia 52
tahun.1,2,3
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri
berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat
membangunkan penderita dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan
bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperberat rasa nyeri
tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan
yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi
benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan
penurunan tajam penglihatan.3,4
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani
dengan baik. Komplikasinya berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma
subretina,
ablasio
retina
eksudatif,
proptosis,
katarak,
dan
hipermetropia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
mata.3
Gambar 1. Anatomi Bola Mata
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina
kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada
sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior.
Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian
anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot
rektus.6
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola
mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk
menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan
kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak
saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram
optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya
berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang
yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat
optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub
posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4
Gambar 3. Sklera
Gambar 4. Sklera
berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16
m dan lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium.
Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.
Skleritis
skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit
ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan
dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan insiden skleritis tidak
bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria
dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
dengan usia rata-rata 52 tahun.2
2.2.3. Etiologi Skleritis7,8
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skleritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin
terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya
tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak dan operasi
pterigium.1
Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit
sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:
-
Autoimun (48%)
o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:13
Rheumatoid arthritis
Ankylosing spondylitis
Reactive arthritis
Psoriatic arthritis
Gouty arthritis
Relapsing polychondritis
Polymyositis
Sjgren syndrome
Polyarteritis nodosa
Wegeners granulomatosis
Behet disease
Cogan syndrome
- Idiopatik
alendronate,
risedronate,
zoledronic
acid,
Gambar 5. Skleritis
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel
T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi
dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan
penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.12
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun
sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun
secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa
disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular
(reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif
dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada
pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula
post kapiler dan respon imun sel perantara.7
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan
skleritis membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan
meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini
melaporkan bahwa untuk pertama kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam
serum pasien dengan tipe skleritis non infeksius. 10
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi
trabekulektomi, dan operasi retina. Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada
fokal area akibat insisi sklera atau limbus.11
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis
anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan
kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus,
adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid,
massa di retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior
yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan
ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari
bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan
rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri
dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia
pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan
biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat
berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.
Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan
rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi
kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak
akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. 2,3,4,8
Gambar 9. Skleritis
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan
skleritis seperti :2
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular
disorder. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan Sklera10
o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan
uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh
peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses
berlanjut,
maka
area
tersebut
akan
menjadi
avaskular
dan
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera,
yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang
lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu
episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
dipertahankan menggunakan NSAIDs.
o Necrotizing scleritis
kornea atau telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata,
periostioum, atau material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat
digunakan pada ulkus kornea yang berat atau keratolisis.7,11,12
Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi
skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga
disertai pemberian kemoterapi.11
Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam
penyakit skleritis ialah:11
A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)
Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs
bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi
perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.
Pemberian:
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk
menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan
cepat diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan
konjugasi glukuronid. Dosis indometasin adalah 75-150 mg PO/hari or dibagi
2 kali sehari, tidak melampaui 150 mg/hari. Pemberian pada lansia harus
diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih mungkin terjadi usia
lanjut. Dosis atau frekuensi terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai
analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti radang tetapi berbeda secara
kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini
adalah penghambat sintesis prostaglandin. Dosisnya 250-1000 mg PO setiap
hari dibagi setiap 12 jam. Dosis maksimum 1500 mg/hari.
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)
Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin. Naproxen diserap dengan
cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam. Dosisnya 250-500 mg
PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai
sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan
nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
yang menghasilkan sintesis prostaglandin.Obat yang berikatan kuat dengan
protein dan siap diserap secara oral. Memiliki paruh waktu yang singkat (1.82.6 jam). Dosisnya 300-800 mg PO 4 kali sehari, 400-800 mg IV selama 30
menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat
sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator
peradangan. Dosisnya 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400
mg/hari. Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu
terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein
plasma.
Menurunkan
aktifitas
siklooksigenase
dan
dengan
begitu,
penyambungan
silang
DNA,
yang
dapat
mengganggu
Pemberian IV:
-
Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian:
mitosis
dan
metabolisme
seluler
dengan
mengganggu
metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein. Dosis awal 1 mg/kg
IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat ditingkatkan seperti berikut:
-
Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari
ginjal
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.
Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam
pengobatan skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen
imunosupresif lainnya. Dosisnya 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali
sehari PO. Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu. Jika
diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis
IM setiap harinya sama dengan dosis oral. Untuk efek jangka panjang, berikan
dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu. Hanya metilprednisolon
sodium sukinat dapat diberikan secara IV. Dosisnya 1 g IV selama 1 jam
selama 3 hari.
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan
cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat
menurunkan peradangan. Dosisnya 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2
kali sehari sampai 4 kali sehari.
2.2.9.Komplikasi Skleritis
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, makular edema, skleromalasia dan
hipermetropia.
Keratitis
bermanifestasi
sebagai
pembentukan
alur
perifer,
vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.
Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini
sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi
galukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.1,8
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti
uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau
skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat
dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat
peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak
dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat
kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam
stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea
yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada
keratitis sklerotikan.3,8
Obat
kortikosteroid
juga
dapat
memicu
terjadinya
perforasi
serta
glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio
retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30%
kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis
posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior.2 Skleritis
dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.8
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
Quo ad sanationam
: dubia ad malam
BAB III
KESIMPULAN
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai
oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan
adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit
autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat
digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior. Sekitar 94% kasus
skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis posterior. Skleritis
anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse anterior scleritis,
nodular anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation, dan necrotizing
scleritis without inflammation (scleromalacia perforans). Gejala-gejala pada skleritis
dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Untuk mendiagnosa skleritis diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan
fisik dan oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.
Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit
ini dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses
peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh
bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari
rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan
pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3
Terapi skleritis meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan. Obat-obatan
yang biasa dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan
imunomodulator. Apabila terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian
terkait. Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular,
perforasi sklera, glaukoma, uveitis, katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis
seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis
dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J,
Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2010.169-73
2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o
Congress Catalog. 2008; 111-6
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. 118-20
4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.
Ophthalmology. 2007.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic
vasculitic diseases. Ophthalmology. 2010.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Clinical Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and
Episcleritis. Ophthalmology 2012;119:4350
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Skleritis Theraphy. Ophthalmology 2012;119:5158
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic AntibodyAssociated Active Scleritis. Arch Ophthalmol.
2008;126(5):651-655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and
Scleritis:
Clinical
Features
and
Treatment
Results.
Ophthalmol
2008;130:469476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgnia F.M.T, Hellen F and Lus E.C. A. ScleraSpecific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients
Eye
Care
Center
of
India.
International
Journal
of
Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis
and scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol .
2011;74(6):405-9