Anda di halaman 1dari 4

1.

PENGENALAN NIAS

Pulau Nias terletak di Samudera Hindia sebelah Barat Pulau Sumatera.


Pulau indah dan mengagumkan ini dikelilingi sekira 27 pulau-pulau kecil
dimana baru 11 pulau di antaranya yang sudah berpenghuni termasuk Pulau
Nias, Pulau Simeuleu, Pulau Mentawai dan Pulau Enggano. Lokasi persis Pulau
Nias berada sekira 125 km dari pantai barat Sumatera.
Memiliki luas sekira 5.000 km, Pulau Nias merupakan yang terbesar di antara
pulau-pulau di sekitarnya. Gunungsitoli adalah ibu kota Nias dimana di sini
tersedia fasilitas bagi Anda yang ingin menjelajahi kemegahan alam dan
budaya Nias. Di kota ini pula ada Museum Pusaka Nias yang menyimpan sekira
6500 koleksi benda budaya peninggalan Masyarakat Nias.
Pulau sepanjang 130 km dengan lebar 45 km ini seolah terasing
keberadaannya. Hanya sedikit kapal dagang berlabuh di pulau ini karena
memang dilarang. Pihak berwenang akan segera memerintahkan kapal dagang
yang mendekat untuk membelok ke pelabuhan di Padang atau ke Pelabuhan
di Bengkulu. Oleh karena itu, berkunjung ke Nias serasa menelusuri kehidupan
masa lalu, di sana waktu seakan berhenti dengan budaya dan tradisi masih
bertahan lestari.
Penduduk Pulau Nias tersebar di sekira 650 desa tetapi banyak dari desa-desa
tersebut termasuk sulit dapat dijangkau melalui darat karena medannya yang
berat. Upaya pembangunan infrastruktur di kawasan ini harus berhadapan
dengan bentuk permukaan tanah yang labil. Jalanan yang baru dibangun
biasanya hanya akan berumur pendek karena tanah selalu melesak ke bawah.
Pulau Nias dihuni masyarakat yang hidup mandiri sejak berabad-abad yang
lalu. Kebudayaan mereka yang masih terjaga keasliannya dari pengaruh luar
telah memikat wisatawan manapun yang menyambanginya. Dalam bahasa
setempat, orang Nias menamakan diri mereka sebagai "Ono Niha",
kata ono artinya anak atau keturunan, sementara kata nihamemiliki

arti manusia. Pulau Nias kadang disebut juga sebagai Tan Niha , dimana
kata tan bermakna tanah.
Nias terkenal di dunia dengan budaya batu dan selancarnya. Salah satu yang
tersohor dari atraksi budaya batu ini adalahlompat batu, yaitu pemuda lokal
setempat melompati sebuah dinding batu setinggi 2 meter. Sebagai lokasi
selancar dunia, Pulau Nias sebanding dengan Hawaii dengan kepemilikan
ombak besar yang memikat penghobinya. Pulau Nias juga sempat menjadi
tuan rumah Indonesian Open Surfing Championship yang berlokasi di Pantai
Lagundri.
Fahombe atau tradisi lompat batu di Pulau Nias lahir dari kebiasaan berperang
antardesa masyarakat Pulau Nias. Tradisi tersebut dahulu dikhususkan sebagai
persiapan perang dimana setiap desa biasanya membentengi diri dengan pagar
bambu setinggi dua meter sehingga para pria desa dilatih untuk bisa melompati
pagar tersebut melalui latihan melompati batu. Ini juga sekaligus sebagai sarana uji
keberanian dan kedewasaan seorang anak laki-laki di Pulau Nias.
Nias merupakan tanah kuno. Tidak ada yang tahu persis sudah berapa lama
masyarakat aslinya hidup di sini. Menurut legenda setempat, kehidupan di Pulau
Nias berasal dari Sungai Gomo dimana menjadi mula keturunan 6 dewa dan
peradaban manusia. Oleh karena itu, masyarkat Nias menyebut diri mereka ono
niha atau anak masyarakat. Persebaran masyarakat dimulai dari Nias Tengah
kemudian berpindah ke Utara dan Selatan dengan mengembangkan bahasa, adat
istiadat dan seninya masing-masing. Diperkirakan manusia di Pulau Nias saudah
ada sejak 30.000 tahun lampau.

Secara tradisional, desa-desa di Pulau Nias dipimpin kepala


desa yang memimpin dewan sesepuh. Di Nias masih banyak terdapat desa-desa
adat dimana yang menonjol dari desa-desa adat itu adalah penataan arsitekurnya,
baik lanskap maupun bangunannya. Dulunya setiap desa di pimpin oleh seorang
raja. Masyarakat Nias menganut sistem hierarki dengan kasta tertinggi yang
ditempati bangsawan, diikuti masyarakat biasa. Suku Nias menerapkan sistem
marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari
kampung-kampung pemukiman yang ada. Suku Nias mengenal sistem kasta (12
tingkatan Kasta) dimana tingkatan kasta tertinggi adalah balugu. Untuk mencapai
tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang
ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi dalam pesta selama
berhari-hari.
Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat yang diwarisi dari budaya
pejuang perang. Oleh karena itu, masyarakat dan budaya Nias sampai saat ini
mampu bertahan dari serbuan budaya asing. Budaya pejuang Nias telah
berlangsung selama berabad-abad ketika desa-desa di sini mendeklarasikan perang
satu sama lain. Dahulu peperangan antardesa atau antar suku berlangsung karena
terprovokasi oleh rasa dendam atau masalah perbudakan.
Selain lekat dengan budaya pejuang, masyarakat Nias juga sekaligus masyarakat

petani. Mereka menanam ubi, jagung dan talas untuk memenui kebutuhan
hidupnya. Hewan babi selain menjadi hewan ternak juga menunjukan status
seseorang karena semakin banyak seseorang memiliki babi maka semakin tinggi
pula kedudukannya dalam masyarakat desa.
Pulau Nias bukan tanpa catatan sejarah karena sesungguhnya pulau mengagumkan
ini pernah masuk catatan pedagang China, Portugis dan Arab. Dahulu Pulau Nias
dikenal sebagai asal diperolehnya para budak yang kemudian diperjualbelikan oleh
Kerajaan Aceh, pedagang Portugis, dan pedagang Belanda. Bahkan, hingga abad ke19 Nias masih dikenal dunia luar sebagai lokasi perdagangan budak.
Pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulai Nias tahun 1825. Meskipun sebenarnya
sebelum itu pulau ini telah berhubungan dengan dunia luar tetapi kebudayaan
tradisional tetap utuh secara menakjubkan.
http://www.indonesia.travel/id/destination/730/pulau-nias

Anda mungkin juga menyukai