PENDAHULUAN
Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadi pada umur 20-50 tahun. Peluang untuk terjadinya bells palsy pada
laki-laki sama dengan para wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu
pasca persalinan kemungkinan timbulnya bells palsy lebih tinggi dari pada wanita
tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1,2
Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi,
infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab jelas
maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bells palsy.1
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga
atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari
bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu,
rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada
wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk
tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya, apakah
wajahnya bisa kembali secara normal atau tidak.2,3
Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya
masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas
profesi penderita. Sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk mencapai
pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukan
aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
1
4. Serabut somatosensorik
Serabut ini mengatur rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
raba dari bagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus
trigeminus. Daerah overlapping disarafi oleh dari satu saraf ini
terdapat pada lidah, platum, meatus acusticus eksterna dan bagian luar
dari gendang telinga.
2
kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari
otot-otot yang disarafinya.6
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering
dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya
terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal
fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui
saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum.
Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan sel di
ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
decenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan sentralnya identik
dengan saraf trigeminus.6
Inti motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventolateral
tegmentum pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan
mengelilingi inti N.VI dan membentuk genu internal nervus facialis,
kemudian berjalan ke bagian-lateral batas kaudal pons pada sudut ponto
serebelar. 6
Saraf Intermedius terletak pada bagian diantara N.VII dan N.VIII.
Serabut motorik saraf fasialis bersama-sama dengan saraf intermedius dan
saraf vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus internus untuk
meneruskan perjalanannya didalam os petrosus (kanalis facialis). 6
Nervus facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum
timpani. Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar
dari tulang tengkorak melalui foramen stilomatoideus. Pada waktu ia turun
ke bawah dan membelok ke belakang kavum timpani di situ ia tergabung
dengan ganglion genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set induk dari
serabut penghantar impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani.
juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus
intennedius, disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang
4
dari palatum.
Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi rasa 2/3
bagian depan lidah.
III.
EPIDEMIOLOGI
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari
paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori,
Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun
1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23
kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells
palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Bells palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi,
wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada
laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan
trisemester
ketiga
dan
minggu
pasca
persalinan
Kongenital
Kelumpuhan yang di dapat sejak lahir bersifat irreversibel dan
terdapat bersamaan dengan anomali pada telinga dan tulang
pendengaran. Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi
karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali
bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).12
Paralisis fasialis, lebih sering disebabkan trauma persalinan.
Dalam proses persalinan, dapat terjadi fraktur temporal. Pemakaian
forsep telah ditunjuk sebagai penyebab potensial banyak lesi seperti
ini. Setiap neonatus yang dikenali dengan suatu paralisis saraf
ketujuh harus menjalani pemeriksaan sesegera mungkin. Stimulasi
wajah setelah lahir dapat membedakan penyebab kongenital dengan
trauma lahir. Bila cedera terjadi pada proses persalinan, stimulasi
elektris masih dimungkinkan selama beberapa hari. Hal ini
merupakan temuan yang paling baik dalam diagnosis maupun
prognosis paralisis fasialis.11
B.
Infeksi Virus
Banyak kemiripin anatara bells palsy dengan neuropati lainnya
yang disebabkan oleh virus. Polio, mumps, Epstein-barr dan rubella
mempunyai manifestasi neuritik yang progresif.
Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama
terjadinya bells palsy selain virus Epstein-bar. Virus ini dapat
ditemukan pada nasofaring orang yang terkena bells palsy dalam
fase akut. Virus ini predileksinya digangglion sel sensoris dalam fase
laten. Nervus fasialis yang mengandung saraf sensoris terlerak
digangglion genikulatum, dimana apabila terjadi infeksi di nervus
9
akan
pada saraf tersebut. Kemudian hal ini dapat diteruskan ke axon yang
dapat menyebabkan radikulitis. Virus ini kemudian menginfeksi sel
schwan yang menyebabkan terjadi inflamasi dan reaksi imunologik.
Infiltrasi limfositik akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi
pada myelin, demielinisasi dan kromatolisis. Ketika inflamasi dan
reaksi imunologik teratasi, maka terjadilah proses remielinisasi.11
C.
Tumor
Tumor bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara,
paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung
dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun
jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf
fasialis
yang
berdampak
sebagai
bermacam-macam
tingkat
Trauma
Trauma pada tulang temporal merupakan suatu penyebab lazim
paralisis fasialis. Fraktur dapat transversal atau longitudinal.
Sementara fraktur longitudinal lebih umum terjadi, fraktur transversal
lebih sering mencederai saraf. Energy yang dibutuhkan untuk fraktur
tulang temporal harus cukup besar, paralisis seperti ini sering tidak
diketahui sebelum pasien sadar dari koma setelah suatu kecelakaan
bermotor.11
E.
Vaskular Iskemik
10
(distal).
Beberapa
pendapat
mengatakan
bahwa
F.
Idiopatik
11
edema
fasialis
karena
terjepit
di
dalam
foramen
Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit
tertentu, misalnya DM, hipertensi berat, anestesi lokal pada
pencabutan gigi, infeksi telinga tegnah, sindroma Guillian Barre.12
V.
PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara
unilateral.
Patofisiologinya
belum
jelas,
tetapi
salah
satu
teori
12
terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit
di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena
itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells
palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus
ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.13,14
13
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura
palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga
seperti
ageusia
dan
MANIFESTASI KLINIS
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi,
karena itu terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis
sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang
mendapat persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian
bawah dari wajah. Pada gangguan N.VII jenis perifer (gangguan berada di
inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan
mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan
sekresi ludah yang berjalan bersama nervus fasialis.
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat
persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus
wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik
(bilateral). Karenanya kerusakan seisi pada upper motor neuron dari saraf
VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan
mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah,
sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat
alis, mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan bilateral). Tetapi
pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut seperti menyeringai,
14
memperlihatkan gigi geligi pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi
involunter masih dapat terjadi, bila pederita tertawa secara spontan, maka
sudut mulut dapat terangkat.7
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah baik yang
volunter maupun yang involunter lumpuh. Lesi supranuklir (UMN) saraf
VII sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada
strok dan lesi butuh ruang (space occupying lesion) yang mengenai
korteks motorik, kapsula interna, talamus, meensefalon dan pons di atas
inti saraf VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak
terganggu. Kelumpuhan saraf VII supranuklir pada kedua sisi dapat
dijumpai pada paralisis pseudobulber.7
15
mata yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi diluar foramen
stilomastoideus,
ditambah
dengan
hilangnya
ketajaman
16
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan
tanda terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus, dan kadangkadang juga saraf abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglosus.
VII.
DIAGNOSIS
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong,
tidak dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga.
Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara
lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN.16
A. Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir
semua keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu
sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di
regio mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai
17
terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada
hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron
sensoris.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fungsi motorik otot-otot wajah, dapat digunakan
gradasi fungsi saraf fasialis menurut House-Brackmann dan Freys:9
Grade
Karakteristik
I.
Normal
II.
Disfungsi Ringan
III.
Disfungsi sedang
18
Gerakan :
- Dahi: pergerakan tertinggal ringan sampai
sedang.
- Mata: menutup sempurna
dengan usaha maksimal.
- Mulut: kelemahan ringan
sampai sedang, simetris dengan usaha
maksimal
IV.
Disfungsi
Sedang Umum
Berat
Kelemahan otot wajah yang nyata. Saat istirahat
terlihat
asimetris ringan
Gerakan :
- Dahi: tidak ada gerakan
- Mata: tidak menutup sempurna
- Mulut: asimetris walau usaha maksimal
V.
Disfungsi Berat
Umum
Saat istirahat, sudah terlihat
asimetris.
Gerakan
- Dahi: tidak ada gerakan
- Mata: tidak bisa menutup
- Mulut: hanya sedikit gerakan
VI.
Total Paralisis
Tidak ada gerakan
19
1 : sedikit gerakan
2 : diantara 1 dan 3
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai total 30.6
Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot
menentukan
terhadap
kesempurnaan
ekspresi
muka.
Freyss
20
Gustometri
Test Gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda
timpani dengan menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan
rasa manis, asam dan asin. Tes ini sangat subjektif disamping fungsi
pengecapan,khorda timpani juga berperan dalam fungsi salivasi kita
dapat menilai fungsi duktus Whartons dengan mengukur produksi
saliva dalam 5 menit. Bila Produksi saliva berkurang dapat diprediksi
khorda timpani tidak berfungsi baik.menurut Quinn dkk, pada kasus
Bells Palsy sering terdapat kepanjangan topografi saraf fasialis
dimana terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan reflek
stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi
lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan, tetapi fungsi
salvias nya masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya
multipel inflamasi dan demyelinisasi disepanjang perjalanan saraf
fasialis dari batang otak ke cabang perifer.6
Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan
kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyiapkan
tabung polietilen no.50 ke dalam duktus Wharton. Sepotong kapas
yang telah dicelupkan ke dalam jus lemon dataruh di dalam mulut dan
periksa jumlah air liur pada tabung. Volume dapat dibandingkan dalam
1 menit. Berkurangnya air liur 25% dianggap abnormal. Gangguan
yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena
keduanya ditransmisikan oleh saraf korda timpani.11
21
Reflek Stapedius
Pemeriksaan reflex stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan
saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi cabang
stapedius dari saraf fasialis. Terjadinya kekeringan pada kornea karena
kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air
mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari
dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan
kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau
keratitis, maka dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi
kornea seperti partial tarsorrhaphy.11
Uji Audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu
memeriksakan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran
udara, hantaran tulang, timpanometri dan reflek stapes. Uji ini
bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus.11
Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf
fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya
sinkinesis adalah sebagai berikut :6
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuatkemudian
kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas.
Diberi nilai 2 jika pergerakan normal pada kedua sisi. Jika pada sisi
22
Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai
pada penyembuhan kelumpuhan fasialis yang berat. Diperiksa dengan
cara pasien diminta melakukan gerakan bersahaya seperti mengedip
mata berulang kali maka bibir akan jelas tampak gerakan otot pada
sudut bibir bawah atau suduut mata bawah. Jika positif nilai
dikurangi -1.6
C. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula
darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah
pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar
serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat
menentukan dari mana virus tersebut berasal.11
D. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mengetahui kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf.
Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain
Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan uji stimulasi
maksimal.
23
Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan
ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi
pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal,
pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu
EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan
memperlihatkan
potensial
denervasi.
Potensial
fibrilasi
24
Otitis Media
Otitis media akut maupun otitis media kronik dapat
menyebabkan paralisis fasialis. Pada otitis media akut terjadi paresis
25
merupakan
suatu
isyarat
berbahaya
akan
terjadinya
komplikasi intrakranial.17
Tumor
Paralisis fasialis dapat disebabkan oleh karena tumor primer
pada nervus fasialis atau tumor sekunder di batang otak, os
temporalis, dan pada wajah atau leher. Tumor primer pada saraf
terbanyak adalah neuroma. Neuroma dapat tumbuh pada semua
bagian dari nervus fasialis atau cabang-cabangnya mulai dari fossa
posterior sampai glandula parotis. Biasanya gejala-gejala timbul
pelan dan progresif.17
Neoplasma primer pada os temporalis baik benigna maupun
maligna dapat mengenai nervus fasialis oleh karena ekstensi langsung.
Kista epidermoid, tumor glomus, neuroma pada nevus X dan XI,
squamous neoplasma ganas dari os temporalis dapat dijumpai.
Squamous carcinoma metastatik, adenokarsinoma, hypernephroma,
dan melanoma maligna dapat juga menyebabkan paralisis fasialis.
Tumor fossa kranii posterior atau tumor batang otak dapat juga
menyebabkan paralisis fasialis. Neuroma akustik, meningioma, dan
kista epidermoid dari fossa posterior dapat menyebabkan disfungsi
nervus fasialis baik oleh karena tumornya maupun akibat operasi dari
tumor-tumor ini. Tumor parotis dapat juga mengakibatkan gangguan
nervus fasialis.17
Trauma
26
PENATALAKSANAAN
a. Terapi Farmakologi
Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang
sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari
onset. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral
selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal
yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang,
berupa
retensi
cairan,
hipertensi,
diabetes,
ulkus
peptikum,
genom
virus
di
sekitar
saraf
ketujuh
27
disebabkan
karena
alergi
dapat
diberikan
sodium
kromoglikat.20
b. Terapi Non-Farmakologi
Fisioterapi:
Infra Merah
Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot
dan meningkatkan fungsi, tetapi Anda harus memastikan bahwa
mata dilindungi dengan penutup mata. Waktu penerapan selama
10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara 50 dan 75 cm.20
Terapi Ultrasound
Terapi ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve
trunk) di depan tragus telinga dan di daerah antara prosesus
mastoideus dan mandibula.20
Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)
Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus
listrik untuk mengaktifkan saraf penggerak otot dan ekstremitas
yang diakibatkan oleh kelumpuhan akibat cedera tulang belakang
(SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis lainnya.
Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat
menimbulkan kontraksi otot dan membantu memperbaiki perasaan
gerak sehingga diperoleh gerak yang normal serta bertujuan untuk
mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot.20
28
Massage
Suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu
manipulasi yang dilakukan dengan tangan yang ditujukan pada
jaringan lunak tubuh, untuk tujuan mendapatkan efek baik pada
jaringan saraf, otot, maupun sirkulasi. Pada kasus Bells Palsy
teknik massage yang diberikan yaitu stroking, effleurage, finger
kneading dan tapping.20
c. Indikasi untuk operasi
Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi
denervasi total, tindakan operatif segera harus dilakukan dengan tenik
X.
29
XI.
synkinesis.
PROGNOSIS
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.
Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40%
sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang
berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak
sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.21
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang
non DM. Hanya 23% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah.
Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang
kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.21
30