Anda di halaman 1dari 8

PEREKONOMIAN INDONESIA

ANALISA KEBIJAKAN MONETER

Kelompok 8
Oleh :
Dewa Gede Tirtayana Putra
I Made Santi Aryawan

1406305192
1406305197

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
Analisa Kebijakan Moneter Di Indonesia

1. Analisia Mengenai Pilihan Kebijakan Moneter


Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar
dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar
dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar perekonomian menjadi baik, baik disini
maksudnya adalah terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output
keseimbangan perekonomian. Melalui kebijakan moneter, Pemerintah dapat mengatur jumlah
uang yang beredar pada masyarakat, diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah
uang yang beredar dalam upaya untuk mempertahankan ekonomi bertumbuh sekaligus untuk
mengedalikan inflasi.
Indonesia pun tidak luput dari kebijakan moneter tersebut. Di Indonesia, beberapa kali
kebijakan moneter diambil untuk mengantisipasi inflasi yang terjadi di Indonesia. Kebijakan
moneter tersebut hamper setiap tahun dilakukan untuk menekan inflasi yang ada. Kebijakan
moneter tersebut diambil dengan memunculkan berbagai macam kebijakan public yang harus
ditaati oleh seluruh warga Negara Indonesia. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi
dua jenis, yaitu:
a.

Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)


Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan
masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga
kebijakan moneter longgar (easy money policy)

b. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)


Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat
(tight money policy).
Untuk menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama yang
digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Operasi Pasar Terbuka (Open Market
Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), dan Rasio Cadangan Wajib (Reserve
Requirement Ratio). Diluar dari 3 instrument tersebut (yang menrupakan kebijakan moneter
bersifat kuantitatif), pemerintah dapat melakukan himbauan moral (Moral Persuasion.
a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau
membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang
beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang
yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada
masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari
Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
b) Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat
bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang
sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah
menurunkan tingkat bunga bank sentral (tingkat diskonto). Dengan tingkat Bungan pinjaman
yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi
lebih besar, sehingga uang yang beredar bertambah. Sebaliknya bila ingin menahan laju
pertambahan jumlah uang yang beredar, pemerintah menaikkan bunga pinjaman. Hal ini akan
mengurangi minat bank-bank meminjam uang dari bank sentral, sehingga pertambahan jumlah
uang beredar dapat ditekan.
c) Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah
dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang,
pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar,
pemerintah menaikkan rasio.
d) Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan
jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan
agar memberikan kredit secara hati-hati untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dan
menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang
beredar pada perekonomian.
2. Analisa Mengenai Kelembagaan
Kebijakan Moneter di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi
inflasi yang ada di Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument utama
yang memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh
Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter tersebut

adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang ada di
Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank yang mempunyai
hak monopoli untuk mencetakdan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dalam
suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Adapun
fungsi dari Bank Sentral adalah

Bankers bank

Sebagai Bank pemerintah

Mencetak Uang dan Penyediaan Uang bagi perekonomian

Mengatur Pasar Uang dan Pasar Modal

Mengawasi Bank Bank dan lembaga Keuangan

Melaksanakan kebijakan Moneter di Indonesia

Contohnya :
rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima,
perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima perbankan.
Dengan demikian angka multiplier uang dari system perbankan adalah 10. Namun bila
pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%, maka dari setiap deposito yang
diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan pinjaman sebesar 80% dari deposito yang diterima
oleh perbankan. Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1998, Bank Indonesia menggunakan rasio
cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu
dengan menetapkan menetapkan rasio menjadi 3% pada Februai 1996. Sejak April 1997
besarnya rasio cadangan wajib adalah sebesar 5%.

3. Analisa Mengenai Kasus Capital Flight dan Cara Mengatasinya


Capital Flight sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonom. Secara teoritis capital
flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang
dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahunh ini penggunaan kata capital flight sering

dikaitkan pada negara-negara sedang berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar
(capital outflow) yang diiringi oleh adanya peningkatan hutang luar negeri.
Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang
mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara
sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut
dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada
umumnya modal dinegara sedang berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar dapat
berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya
menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi.Sementara Cuddington (1986) mengartikan
capital flight sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik
yang tercatat mauipun yang tidak tercatat.
Hampir tidak mungkin tidak memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama
bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut
devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas
moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya
capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Apapun untuk melakukan
estimasi mengenai capital flight dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a. Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran
b. Pendekatan Residual
c. Pendekatan Deposito Bank
Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh, keadaan yang
sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan estimasi besaran yang
tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah diteliti adalah pada tahun
1996 sampai dengan 2009. Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari dari
Universitas Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009.
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi
pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara.
Kemudian capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan
juga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006
kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada
tahun 2008 karena adanya krisis global yang juga melanda Indonesia.

Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar
capital flight dapat diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka
Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara yang dapat
dilakukan adalah:
1) Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan
modal dan aset milik orang asing.
2) Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi
yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar
yang stabil).
3) Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor
4.

Analisa Mengenai Devaluasi


Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata

uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi
sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi
sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi
dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh
kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan
inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami
penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku
secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah.
Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus
menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Adapun tujuan dari
devaluasi adalah
1. Mendorong ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki posisi balance of
payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi equilibrium atau setidaknya mendekati
equilibrium.
2. Mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat dicapai karena nilai
barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal, atau domestik.

3.

Dengan tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing dapat menjadi
relatif stabil.
Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat mempengaruhi aktivitas
perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.Dalam
jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran atau expenditure switching dari
komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi produk dalam negeri.Pergeseran konsumsi ini
dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan
berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat. Konsumsi masyarakat cenderung turun.
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang dapat mendorong
terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi.Dalam
jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki posisi balance of payment, atau BOP
dan balance of trade, atau BOT melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor
sesuai dengan Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi
BOP melalui mekanisme moneter.
Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada jangka pendek
dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi
diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah. Dampak ini
menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang menyangkut
tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini dapat menyebabkan
terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.
Ada beberapa pengaruh dari devaluasi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Efek terhadap aliran barang (komoditi)


Efek terhadap harga luar negeri
Efek terhadap harga dalam negeri
Efek terhadap kuantitas nilai tukar yg diminta
Efek terhadap kuantitas nilai tukar yang ditawarkan
Efek terhadap Term of Trade (TOT)
Efek terhadap Balance Of Trade (BOT)
Efek terhadap konsumsi domestik dan produksi domestik

Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs itu dipengaruhi oleh permintaan dan
penawaran terhadap mata uang asing yang bersangkutan, pemerintah juga sering mengambil
kebijakan penentuan kurs. Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi maupun revaluasi.

Devaluasi adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada tanggal 15
November 1978). sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan nilai mata uang dalam
negeri atas mata uang asing.
Perlu di cacat bahwa penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter
di Indonesia (sejak 1997) tidaklah termasuk devaluasi, sebab bukan merupakan kebijakan
pemerintah. Penurunan nilai akibat tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap
mata uang rupiah di pasar internasional dan nasional.
Dengan devaluasi, nilai mata uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya, harga
barang-barang impor menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah. Harapan pemerintah,
dengan kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya, barang-barang yang kita ekspor ke luar
negeri menjadi turun nilainya jika mata uang importirnya bukan rupiah (sekalipun dilihat dari
rupiah tidak turun). Karena nilai barang-barang ekpor kita di luar negeri lebih rendah maka
diharapkan volume ekspor bisa naik (bisa bersaing di pasar internasional).
Dengan adanya kenaikan ekspor dan penurunan impor, diharapkan perusahaan-perusahaan di
dalam negeri bisa berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang menganggur
dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Namun, devaluasi juga mempunyai dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga di
dalam negeri mejadi naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai utang luar negeri
dalam bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang tersebut menjadi membengkak jika
dilihat dari Rupiah.
Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli
US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun,
apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp
650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar
Rp250 juta. tambahan utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.

Anda mungkin juga menyukai