Anda di halaman 1dari 8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.

Latar Belakang Masalah


Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A.

Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase

B.

Lembaga Arbitrase

C.

Dasar Hukum Arbitrase

BAB II PENUTUP
A.

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah

Seperti kita ketahui, banyak kritik yang dilontarkan kepada pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di masyarakat dan pencari keadilan, pengadilan
merupakan penyakit yang gawat. Kejadian ini bukan hanya ada di Indonesia,
melainkan sudah mendunia. Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa antara para pihak yang terlibat. Secara
konvensional, penyelesaian dilakukan secara litigasi (melalui pengadilan), di
mana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini membutuhkan
waktu yang lama. Oleh karena itu, model penyelesaian seperti ini tidak diterima
dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya.

Sehubungan dengan hal itu perlu dicari penyelesaian sengketa yang efektif dan
efisien untuk menghadapi kegiatan bisnis yang free market and free competition.
Harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki sistem
penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah.[1]
Mengingat ketidakpuasan masyarakat tersebut semakin penting kiranya untuk
lebih mendayagunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu
sistem penyelesaian sengketa. Salah satu ADR yang banyak digunakan pada
saat sekarang adalah arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata yang bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,
dimana pihak penyelesai sengketa tersebut dipilih oleh pihak yang
bersangkutan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan
perkara yang bersangkutan. [2]
Esensi dari arbitrase adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk
berusaha menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Para pihak sepakat untuk
menunjuk pihak ketiga sebagai yang akan bertindak sebagai wasit. Setelah
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan dokumendokumen dan bukti-bukti yang relevan. Pada umumnya tidak ada aturan tertentu
bagaimana arbitrase dilakukan dan semuanya diserahkan kepada kesepakatan
para pihak. Meskipun demikian, untuk memfasilitasi proses para pihak dapat
sepakat mengenai aturan-aturan yang akan digunakan.[3]

B.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah disebutkan di atas, penulis merumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas selanjutnya, yaitu :
1.

Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase

2.

Lembaga Arbitrase

3.

Dasar Hukum Arbitrase

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
Di dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaiakan sengketanya
kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Arbitrase
adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal, arbitrase mirip
dengan adjudikasi publik dan sama-sama memiliki beberapa keuntungan dan
kelemahan. Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah
dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari
arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi melalui
pengadilan negeri. Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dalam
kaitan ini, dibandingkan dangan adjudikasi publik, arbitrase lebih memberikan
kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan kepada para pihak yang
bersengketa. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka
inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang telah menetapkan hakim
yang akan berperan. Hal ini dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang
mereka anggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih
hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut sehingga akan melindungi
pihak yang merasa takut atau tidak yakin dengan hukum substantive dari
yurisdiksi tertentu. Kerahasiaan arbitrase membantu melindungi para pihak dari
penyingkapan kepada umum yang merugikan mereka atau pengungkapan
informasi dalam proses adjudikasi.[4]
Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandingkan dengan adjudikasi publik
karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Mereka tidak perlu antri
menunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. Pada sebagian besar
yurisdiksi, hal tersebut betul-betul merupakan suatu penantian yang panjang.
Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan adjudikasi publik,
prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan. Karena arbitrase
tidak sering mengalami penundaan dan prosedur pada umumnya lebih
sederhana, arbitrase mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan
adjudikasi publik.[5]
Pada umumnya, lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan, yang menjadi alasan untuk memilih jalur ini. Kelebihan
tersebut antara lain sebagai berikut.
1.

Kerahasiaan dijamin para pihak yang bersengketa

2.
Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan
administrasi
3.
Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang memadai mengenai
masalah yang disengketakan, jujur, dan adil
4.
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalah, proses, dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5.
Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
melalui tata cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat
dilaksanakan[6]

B. Lembaga Arbitrase
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Berdasarkan eksistensi
dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi
antara pihak yang mengadakan perjanjian ada dua jenis arbitrase yaitu:
1.

Arbitrase ad hoc

Arbitrase ad hoc adalah (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk


khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini
bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan
2.

Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat


permanen. Ciri dari lembaga arbitrase institusional ini yang dapat pula dikatakan
sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut:
a.
Arbitrase institusinal sengaja didirikan untuk bersifat
permanen/selamanya, sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan
bubar setelah perselisihan selesai diputus.
b.
Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan
timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh
pihak yang bersangkutan.
c.
Karena bersifat permanen, arbitrase institusional didirikan lengkap dengan
susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan
perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian
lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali
Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang bersifat
internasional. Dikatakan bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk
kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Sementara dikatakan
bersifat internasional karena merupakan pusat penyelesaian persengketaan
antara pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang dikenal
adalah:

1.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

2.

Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

3.

The Internasional Centre for Settlement of Invesmen Disputes (ICSID)

4.
[7]

The Court of Arbitrasetion of The Internasional Chamber of Commerce (ICC)

C.

Dasar Hukum Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dari kata Arbitrare (bahasa Latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa semua peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD
ini. Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal
Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan
pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
b.

Pasal 377 HIR

Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau
Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : Jika orang Indonesia atau orang Timur
Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase
maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang
Eropah. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku
bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan
tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
c.

Pasal 615 s/d 651 RV

Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab


Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
d.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga


arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No.
14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.

e.

Pasal 80 UU NO. 14/1985

Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di


Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase.
Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan
bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk
kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan
Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai
pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase
mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,(Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
f.

Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing

Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: Jikalau di antara
kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara
pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang
putusannya mengikat kedua belah pihak.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang
dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang
ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik
modal.
g.

UU No. 5/1968

yaitu mengenai persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan


Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal atau sebagai
ratifikasi atas International Convention On the Settlement of
Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. Dengan
undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk
memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal
asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes
(ICSD) di Washington.
h.

Kepres. No. 34/1981

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention On the Recognition


and Enforcement of Foreign Arbitral Awards disingkat New York Convention
(1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang
diprakarsaioleh PBB.
i.

Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990

Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No.


34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang
berlaku sejak tanggal di keluarkan.
j.

UU No. 30/1999

Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka


pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk
mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh
karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal
615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah
mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.[8]

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang keuntungan-keuntungan memilih arbitrase maka


kesimpulannya adalah bahwa yang paling ideal bagi pelaku usaha
dalam menyelesaikan sengketa adalah arbitrase. Alasannya adalah bahwa
arbitrase merupakan penyelesaian yang efisien karena dilandasi oleh itikad
baik, kerjasama dan tanpa konfrontasi. Hal ini membuat pemecahan masalah

yang bersifat win - win solution. Berbeda dengan penyelesaian di


pengadilan yang bersifat win - loosedan juga berfilosopi pertentangan
dan pertikaian.

Suenaaa
519aa4e4

DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2010. Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era
Global. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase (Hukum Acara Perdata). Jakarta: Sinar
Grafika.
Hartini, Rahayu. 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia:
Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta:
Prenada Media Group.
Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.
Margono, Suyud. 2000. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase
Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Santiago, Faisal. 2012. Pengantar Hukum Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Simatupang, Richard Burton. 2007. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka
Cipta. Wijaya, Gunawan. 2003. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai