Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman tuberculosis (TB) yang dikenal dengan nama Mycobacterium
tuberculosis, sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi ada juga
yang menyerang tubuh lainnya (Kemenkes, 2015)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun
2009 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta
hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap
tahunnya dan menurun lambat seiring didapati peningkatan per kapita.
Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan,
dari peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini
dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi
dari jumlah penderita TB di Indonesia.
Berdasarkan data di WHO Global Report 2014, angka insiden TB di
Indonessia tahun 2014 mencapai 183/100.000 penduduk Tahun 2015,
tetap memakai prevelensi TB 272 per 100.000 penduduk ( Fajarnews,
2016)
Distribusi menurut Kabupaten/Kota kasus TB paru di Sulawesi
Tenggara tahun 2015 menunjukkan, kasus tertinggi TB paru BTA positif
terjadi di Kabupaten Muna sebanyak 829 kasus dari 279.928 penduduk
dengan prevalensi sebesar 296 per 100.000 penduduk, Kabupaten

Konawe sebanyak 607 kasus dari 223.727 penduduk dengan prevalensi


sebesar 271 per 100.000 penduduk, Kota Kendari sebanyak 551 kasus
dari 335.889 penduduk dengan prevalensi sebesar 164 per 100.000
penduduk dan yang terendah terdapat di Kabupaten Buton Utara
sebanyak 30 kasus dari 58.918 penduduk dengan prevalensi sebesar 51
per 100.000 penduduk. Kasus TB paru BTA positif di Kota Kendari tiap
tahun mengalami peningkatan, hal tersebut dapat dilihat
Berdasarkan Penemuan penderita TB Paru BTA Positif tahun 2013
ditemukan 479 kasus dari 289.966 penduduk dengan prevalensi sebesar
168 per 100.000 penduduk, tahun 2014 ditemukan 497 kasus dari
295.737 penduduk dengan insidensi sebesar 168 per 100.000 penduduk
dan pada tahun 2015 ditemukan 549 kasus dari 335.889 penduduk
dengan prevalensi sebesar 163 per 100.000 penduduk 5 .
Cara penularan TBC adalah melalui Sumber penularan pasien TB
BTA positif, Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman
ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi
dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan
lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan

seseorang

terpajan

kuman

TB

ditentukan

oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut


(Depkes RI, 2008).
2

Orang Yang berisiko terkena TB antara lain : Orang yang kontak erat
dengan pasien TB yang tidak diobati, Orang yang status gizinya rendah,
Orang dengan daya tahan tubuh rendah, Bayi, anak-anak dan lansia yang
kontak erat dengan pasien TB positif, Oleh karena itu, anggota keluarga
yang tinggal serumah dengan pasien TB wajib melakukan pemeriksaan
dahak karena memiliki risiko tinggi terkena TB (Depkes RI, 2008)
Faktor risiko TB paru antara lain : faktor umur, faktor jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok, kepadatan hunian
kamar tidur, pencahayaan, ventilasi, kondisi rumah, kelembaban udara,
status gizi, keadaan sosial ekonomi, perilaku (Irman, 2015).
Infeksi tuberkulosis aktif secara bermakna sesuai dengan umur.
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda
Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena
laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru selain itu orang yang mempunyai
kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru selain
hal tersebut tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru (Irman, 2015).
Jenis pekerjaan juga sebagai faktor risiko terhadap kejadian TB
pada individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan
partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya
gangguan pada saluran pernafasan (Irman, 2015).

Orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk
menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya
cukup atau lebih (Irman, 2015).
Penelitian Made Agus Nurjana (2015) dengan judul Faktor Risiko
Terjadinya Tuberculosis Paru Usia Produktif (15-49 Tahun) Di Indonesia
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor risiko TB paru pada usia
produktif di Indonesia yaitu pendidikan, indeks kepemilikan, bahan bakar
memasak, kondisi ruangan dan perilaku merokok. Faktor risiko yang
paling dominan adalah pendidikan
Menurut Mentri Kesehatan RI dalam Kompas, (2014) TB dapat
dicegah dan diobati, tergantung kepada perilaku seseorang. Menurut dia,
selama seseorang menjalani hidup bersih dan sehat, ada banyak
penyakit yang bisa dicegah, termasuk TB. Selain itu, ia juga menekankan
pada pentingnya berobat sedini mungkin. Jika terjadi batuk, perlu
dicurigai dan diperiksakan. Apabila benar TB, bisa segera diobati.
Semakin cepat diobati, kemungkinan kesembuhannya pun besar.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Abeli jumlah
Penderita TB paru Tahun 2014 berjumlah 29 penderita, suspek TB paru
berjumlah 16 orang, Tahun 2015 berjumlah 32 penderita, suspek TB paru
berjumlah 21 orang dan Tahun 2016 Periode Januari mei 2016
berjumlah 28 penderita, suspek TB paru berjumlah 14 orang, yang
tersebar di 8 kelurahan yang meliputi : Abeli, Talia, Lapulu, Anggalomelai,
Tobimeita, Benuanirai, Puday dan Kelurahan Poasia, Hal ini menunjukkan
jumlah penderita TB di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
terus meningkat (Regiter Puskesmas Abeli, 2016).
4

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis


tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Faktor Risiko
Kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari.
B.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah

pekerjaan merupakan faktor risiko kejadian TB paru

di

Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari


2. Apakah merokok merupakan faktor risiko dengan kejadian TB paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
3. Apakah Status gizi merupakan faktor risiko dengan kejadian TB paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
C.

Tujuan Penelitian
1.

Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari.

2.

Tujuan khusus
a. Mengetahui faktor Kebiasaan merokok terhadap kejadian TB paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
b. Mengetahui faktor jenis pekerjaan terhadap kejadian TB paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
c. Mengetahui faktor status gizi terhadap kejadian TB paru

di

Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari

D.

Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
5

a. Puskesmas
Dapat memberikan masukan pada pihak Puskesmas
mengenai faktor risiko kejadian TB paru.
b. Masyarakat
Sebagai bahan bacaan untuk mendapatkan wawasan
tentang TB paru.
c. Perawat
Dapat memberikan informasi berguna bagi perawat
sehingga dapat meningkatkan proses keperawatan khususnya
pada pasien TB paru, dengan pemberian HE mengenai
pencegahan faktor risiko TB paru.
2. Manfaat Teoritis
a. Peneliti
Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi
peneliti sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang
diperoleh untuk penelitian di masa mendatang.
b. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan atau tambahan referensi pada
perpustakaan

serta

pedoman

terhadap

para

peneliti

mahasiswa utamanya mahasiswa Stikes Mandala Waluya


Kendari selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6

A. Tinjauan Umum Puskesmas


1.

Pengertian Puskesmas
Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) adalah suatu unit
pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan
kesehatan, pusat pembinaan partisipasi masyarakat dalam bidang
kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu

dan

kesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam


suatu wilayah tertentu (Mubarak, Iqbal dan Nurul,2009)
2.

Fungsi Puskesmas
Fungsi pokok puskesmas , antara lain :
a. sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat diwilayahnya;
b. membina peran serta masyarakat diwilayah kerjanya dalam
rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat;
c. memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat wilayah kerjanya.
Sementara proses dalam melaksanakan fungsinya dilakukan dengan
cara:
a. merangsang

masyarakat,

termasuk

pihak

swasta

untuk

melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri;


b. memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagai mana
menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif
dan efisien;

c. memberi bantuan, baik yang bersifat bimbingan teknik materi,


rujukan medis, maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat;
d. memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat;
e. bekerjasama dengan sektor sektor yang bersangkutan dalam
melaksanakan

program

puskesmas

(Mubarak,

iqbal

dan

Nurul,2009).
3.

Visi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia
Sehat
Indikator Kecamatan Sehat:

4.

a.

Lingkungan sehat,

b.

Perilaku sehat,

c.

Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu

d.

Derajat kesehatan penduduk kecamatan (Fina, 2012)


Misi Puskesmas

a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah


kerjanya
b. Mendorong

kemandirian

hidup

sehat

bagi

keluarga

dan

masyarakat di wilayah kerjanya

c. Memelihara

dan

meningkatkan

mutu,

pemerataan

dan

keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan


d. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga
dan masyarakat beserta lingkungannya (Fina, 2012).
5.

Upaya Puskesmas
a. Upaya kesehatan Wajib meliputi upaya berdasarkan komitmen
nasional, regional dan global serta punya daya ungkit tinggi untuk
peningkatan

derajat

kesehatan

masyarakat

serta

wajib

diselenggarakan puskesmas di wilayah Indonesia.


b. Upaya Kesehatan Pengembangan meliputi upaya yang ditetapkan
berdasarkan
masyarakat

permasalahan
serta

yang

kesehatan
disesuaikan

yang
dengan

ditemukan

di

kemampuan

Puskesmas
a.

Upaya Kesehatan Wajib:


1) Upaya Promosi Kesehatan
2) Upaya Kesehatan Lingkungan
3) Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
4) Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

5) Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular


6) Upaya Pengobatan
b.

Upaya Kesehatan Pengembangan


1) Upaya Kesehatan Sekolah,
2) Upaya Kesehatan Olah Raga,
3) Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat,
4) Upaya Kesehatan Kerja,
5) Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut,
6) Upaya Kesehatan Jiwa
7) Upaya Kesehatan Mata,
8) Upaya Kesehatan Usia Lanjut,
9) Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional (Fina, 2012).

B. Tinjauan Tentang TB Paru


1. Pengertian
Tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan
olehmycobacterium tuberculosis, suatu basil aerobik tahan asam,
yang ditularkan melalui udara (airbone) (Asih, 2004)
Menurut (Corwin, 2009) tuberkulosis (TB) merupakan contoh
10

lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini disebabkan oleh


mikroorganisme Mycobacterium

tuberkulosis,

yang

biasanya

ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu individu


ke individu lainnya dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau
alveolus, kuman juga dapat masuk ketubuh melalui saluran cerna,
melalui ingesti susu tercemar yang tidak dipasteurisasi, atau kadangkadang melaui lesi kulit.
TB dapat menyerang siapa saja, terutama usia produktif (usia 15-50
tahun), anak-anak, dan lansia. Secara alamiah pasien TB yang tidak
diobati setelah 5 tahun, akan:
a. 50 % meninggal
b. 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
c. 25 % menjadi kasus kronis yang tetap menular
2. Gejala TB
Gejala utama penyakit TB adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Gejala lainnya:
a. Batuk bercampur darah atau batuk darah
b. Sesak nafas dan nyeri dada
c. Nafsu makan berkurang dan berat badan menurun
d. Lemas
e. Demam/ meriang selama sebulan atau lebih
f. Berkeringat di malam hari meskipun tidak melakukan kegiatan
(Depkes RI. 2009).

11

3. Orang Yang berisiko terkena TB


a. Orang yang kontak erat dengan pasien TB yang tidak diobati
b. Orang yang status gizinya rendah
c. Orang dengan daya tahan tubuh rendah
d. Bayi, anak-anak dan lansia yang kontak erat dengan pasien TB positif
Oleh karena itu, anggota keluarga yang tinggal serumah
dengan pasien TB wajib melakukan pemeriksaan dahak karena
memiliki risiko tinggi terkena TB (Depkes RI. 2009).
4. Pemeriksaan Laboratorium
Bila ada gejala TB, segera ke pusat pelayanan kesehatan
seperti Puskesmas, RS, Klinik. Penderita dengan gejala TB akan
dilaku-kan pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis TB.
Pen-gumpulan dahak dilakukan sebanyak 3 kali yaitu, ketika
penderita gejala TB datang ke pelayanan kesehatan, besok pagi
setelah bangun tidur dan saat datang membawa pot dahak ke
pelayanan kesehatan. Waktu hasil laboratorium pemeriksaan dahak
berlang-sung selama 2-3 hari.
5. Pengobatan TB
Setelah dinyatakan dahak mengandung kuman TB positif.
Selan-jutnya penderita TB akan menjalani pengobatan selama 6-8
bulan. Terbagi menjadi 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Pada tahap awal berlangsung selama 2-3 bulan, obat wajib
dimi-num setiap hari setiap 2 minggu. Dan wajib kontrol bila setiap 2
minggu.
12

Pada tahap lanjutan, obat diminum seminggu 3 kali selama 45 bulan, Dan wajib kontrol setiap sebulan sekali.
6. Cara Minum Obat TB
Cara minum obat TB sebaiknya sebelum makan pada waktu
pagi hari. Apabila muncul gejala mual, dapat diberikan sesudah
makan. Obat TB harus diminum dalam satu dosis. Misalnya 3 tablet
dalam satu kali minum obat. Jika obat diminum terpisah harus habis
dalam waktu kurang dari 2 jam (Depkes RI. 2009).
7. Efek Samping Obat TB (OAT)
Efek samping OAT dapat dipantau namun masih bisa diatasi.
Per-hatikan efek samping yang timbul yaitu :
a. Warna kemerahan pada air seni/kencing. Jelaskan kepada pasien TB
untuk tidak khawatir, warna merah berasal dari salah satu obat yang
diminum
b. Mual, tidak nafsu makan, sakit perut. Jelaskan kepada pasien agar
obat ditelan pada malam hari sebelum tidur.
c. Nyeri sendi
d. Kesemutan atau rasa terbakar di kaki
e. Gatal dan kemerahan pada kulit
f. Gangguan pendengaran
g. Gangguan keseimbangan/ limbung
h. Kuning pada mata atau kulit
i. Gangguan penglihatan (Depkes RI. 2008).
8. Pengawas Menelan Obat (PMO)
13

Pengobatan TB berlangsung selama 6 bulan membutuhkan


dukun-gan semua pihak terutama orang yang dekat dengan pasien.
Untuk mensukseskan pengobatan TB harus ada pengawasan
menelan obat yang berasal dari orang yang dekat dengan pasien TB
yang berperan untuk mengawasi dan mendampingi pengobatan
pasien TB hingga dinyatakan sembuh oleh tenaga kesehatan.
Pengawasan menelan obat sangat penting untuk kesembuhan
pasien TB (Depkes RI. 2008)..
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah seseorang yang
dekat dengan pasien TB dan dengan sukarela mau terlibat dalam
pengobatan pasien TB hingga dinyatakan sembuh oleh tenaga
kesehatan. PMO yang baik memiliki kriteria antara lain :
a Sehat jasmani dan rohani
b Bisa baca tulis
c

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas


kesehatan maupun pasien

d Tinggal dekat dengan pasien TB


e Dihormati dan disegani oleh pasien
f

Bersedia mendampingi pasien dalam pengobatan di Unit Pe-layanan


Kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit)

g Bersedia dilatih dan atau menerima penyuluhan dari petugas


bersama-sama dengan pasien TB
Siapapun bisa menjadi PMO misalnya suami, istri, kakak,
tetangga,

tokoh

masyarakat,

tokoh

agama,

atasan

di
14

kantor/supervisor,

kader

kesehatan,

kader

PKK,

kelompok

masyarakat peduli TB, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat


dan lainnya yang secara suka-rela mau mendukung pengobatan
pasien TB.
PMO memiliki tugas 5 M yang merupakan tugas rutin PMO :
a. Mendampingi
Orang yang memiliki gejala TB untuk memeriksakan diri ke
unit pe-layanan kesehatan
b. Memastikan
Pasien TB meminum obatnya secara tertatur hingga
dinyatakan sem-buh
c. Memantau
Pengobatan pasien TB termasuk efek samping pengobatan
d. Mendorong
Pasien TB untuk melakukan pemeriksaan ulang dahak
e. Menyuluh
Memberikan penyuluhan kepada pasien TB, keluarga dan
masyarakat umum
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban
pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan tetapi
memberikan informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarganya :
a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
15

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara


pencegahannya
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap awal dan lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan
9. Cara Pencegahan Penularan TB
a. Menutup mulut saat batuk dan bersin
Menutup mulut mencegah terperciknya dahak yang
mengandung ku-man TB ke udara. Semua orang wajib menutup
mulut saat batuk atau bersin terutama pasien TB. Pasien TB
wajib menggunakan masker di manapun dan saat kapan pun.
Tujuannya untuk mengurangi risiko pe-nularan TB.
b. Mengobati pasien TB hingga sembuh
Mengobati pasien TB hingga sembuh dapat mengubah
pasien TB tipe menular menjadi pasien TB yang tidak menular
sehinga tidak menyebarkan penyakit TB lebih luas ke
lingkungannya
c. Imunisasi BCG pada bayi
Imunisai BCG dapat mencegah penyakit TB berat sejak
dini
d. Buanglah dahak di tempat yang benar
Membuang

dahak

dengan

benar

dapat

mencegah

penularan dengan mencegah dahak dibuang sembarangan.


16

Dahak yang kering dan mengandung kuman, masih bisa


beterbangan di udara dan menyebabkan penularan TB
e. Menjaga ventilasi udara
Ventilasi udara yang baik dapat meminimalkan penularan
karena kuman yang ada di udara dapat keluar dan terkena
cahaya matahari. Kuman TB dapat mati dengan cahaya
matahari. Kegiatan membuka jendela kamar dan ruang keluarga
merupakan tindakan pencegahan penularan TB yang efektif,
sehingga sirkulasi udara di kamar dan di dalam ruang keluarga
menjadi lebih baik.
10. Cara Memutuskan Rantai Penularan TB Paru
Bagi yang sehat dengan mempertahankan pola hidup sehat, seperti :
a. Berikan Bayi ASI eksklusif sampai 6 bulan
b. Jauhkan balita dari penderita yang batuk
c. Makan dengan gizi seimbang
d. Istirahat yang cukup dan berolahraga (Senam Pernafasan)
e. Jangan tidur larut malam
f. Jangan merokok
g. Menjemur kasur atau tikar dan mengepel secara teratur seminggu
sekali
h. Membuka jendela pada pagi hari agar cahaya matahari dapat masuk
dan mendapat udara yang cukup
Bagi penderita TB Paru :
a. Menutup mulut ketika batuk atau bersin
17

b. Pisahkan alat makan dan minum penderita


c. Berobat sampai tuntas
d. Melakukan olahraga misalnya senam pernafasan
C. Faktor Risiko TB paru
1. Faktor Umur.
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di
Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta
infeksi AIDS.Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York
pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan
bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat
secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis
paru

biasanya

mengenai

usia

dewasa

muda. Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif


yaitu 15-50 tahun (Irman, 2015).
Penelitian Jendra F.J Dotulong (2014) Hubungan Faktor Risiko
Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian
Penyakit Tb Paru Di Desa Wori Kecamatan Wori memperoleh hasil
bahwa

faktor resiko yang di teliti yang berhubungan dengan

kejadian tuberkulosis paru adalah umur dan jenis kelamin


2. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang lakilaki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua
kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu
42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-

18

1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak


2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB
paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Irman, 2015).
Penelitian Elisa S. Korua (2013) Hubungan Antara Umur,
Jenis Kelamin, Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Tb Paru
Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Noongan.
Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru pada
pasien rawat jalan di RSUD Noongan dengan p=0,01.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan

seseorang

diantaranya

mengenai

rumah

yang

memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru,


sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya (Irman, 2015).
Penelitian Made Agus Nurjana (2015) dengan judul Faktor
Risiko Terjadinya Tuberculosis Paru Usia Produktif (15-49 Tahun) Di
Indonesia Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor risiko TB paru
pada

usia

produktif

di

Indonesia

yaitu

pendidikan,

indeks

kepemilikan, bahan bakar memasak, kondisi ruangan dan perilaku


merokok. Faktor risiko yang paling dominan adalah pendidikan
19

4. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu

paparan

partikel

debu

di

daerah

terpapar

akan

mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.


Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama

terjadinya

gejala

penyakit

saluran

pernafasan

dan

umumnya TB Paru (Irman, 2015).


Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola
hidup

sehari-hari

diantara

konsumsi

makanan,

pemeliharaan

kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan


rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai
pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru.
Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan
yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi
syarat

kesehatan

sehingga

akan

mempermudah

terjadinya

penularan penyakit TB Paru.


5. Kebiasaan Merokok
Merokok

diketahui

mempunyai

hubungan

dengan

meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit


20

jantung

koroner,

bronchitis

kronik

dan

kanker

kandung

kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB


paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di
Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih
rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di
Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua
Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,
sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB
Paru.
6. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk
penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut
harus

disesuaikan

dengan

jumlah

penghuninya

agar

tidak

menyebabkan overload.Hal ini tidak sehat, sebab disamping


menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang.Luas minimum per orang sangat relatif
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.Untuk
rumah sederhana luasnya minimum 10 m 2/orang.Untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah
21

penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang


satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak
di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di
syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m (Irman, 2015).
7. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan
luas jendela kaca minimum 20% luas lantai.Jika peletakan jendela
kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng
kaca.Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah
yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin
atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan
cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan
kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman
untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan
melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu
yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan
kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar
matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka
resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang (Irman,
2015).

22

Penelitian Ryana Ayu Setia Kurniasari (2010) Faktor Risiko


Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri memperoleh hasil bahwa faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru adalah pencahayaan ruangan dan
luas ventilasi

8. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar.
Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah

tersebut

tetap

terjaga.

Kurangnya

ventilasi

akan

menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu


kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab
penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan
udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena
di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang
terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah
untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humiditiy) yang optimum.

23

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang


ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen
minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka
tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk
menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan.
Umumnya temperatur kamar 22 30C dari kelembaban udara
optimum kurang lebih 60%.
Penelitian Ryana Ayu Setia Kurniasari (2010) Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri memperoleh hasil bahwa faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru adalah pencahayaan ruangan dan
luas ventilasi
9. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko
penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi
tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit
dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman
Mycrobacterium tuberculosis.
10. Kelembaban udara
Kelembaban

udara

dalam

ruangan

untuk

memperoleh

kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60%


dengan temperatur kamar 22 30C. Kuman TB Paru akan cepat

24

mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan


hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
11. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi
kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat
dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.
Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.
Penelitian Rukmini (2010) Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Tb Paru Dewasa Di Indonesia (Analisis Data
Riset

Kesehatan

Dasar

Tahun

2010)

Analisis

multivariat

menunjukkan bahwa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian TB


Paru dewasa di Indonesia adalah umur, jenis kelamin, energi
penerangan, status gizi dan kontak serumah dengan pasien TB.
Faktor risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian TB
paru dewasa adalah kontak serumah dengan pasien TB.
12. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,
keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan
kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi

25

buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun


sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia
menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut
Enarson TB merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara
dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang
rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi
dan buruknya lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan
rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang layak juga menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi
rendah.
13. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara
penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap
sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi
sumber penular bagi orang disekelilingnya (Irman, 2015).

26

BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

A. Dasar Pemikiran
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman tuberculosis (TB) yang dikenal dengan nama Mycobacterium
tuberculosis, sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi ada juga
yang menyerang tubuh lainnya (Kemenkes, 2015)
Faktor risiko TB paru antara lain : faktor umur, faktor jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok, kepadatan hunian
kamar tidur, pencahayaan, ventilasi, kondisi rumah, kelembaban udara,
status gizi, keadaan sosial ekonomi, perilaku (Irman, 2015).
Infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan
umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa
muda, Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru selain hal tersebut ingkat pendidikan
27

seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang


diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko
apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di
lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan
mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan, orang
dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB
Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau
lebih (Irman, 2015).
B. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Pekerjaan

Variabel Terikat

Pendidikan

Kebiasaan merokok
Status Gizi
Jenis Kelamin

Kejadian TB paru

Perilaku
Kepadatan hunian
Pencahayaan
Ventilasi
Kondisi rumah
Kelembaban udara
Sosial ekonomi

28

Keterangan :
: Variabel yang diteliti (variabel independen)
: Variabel yang tidak diteliti(variabel independen)
: Variabel dependen
Gambar I : Bagan Kerangka Konsep
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen (bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau
dianggap menentukan variabel terikat (Saryono, 2008), adapun
varibel bebas dalam penelitian ini adalah : faktor umur, faktor jenis
kelamin, kebiasaan merokok, status gizi
2. Variabel Dependen (terikat)
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas (Saryono, 2008), adapun varibel terikat dalam penelitian ini
adalah kejadian TB Paru
D. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
1. Kejadian TB yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penderita TB
paru yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
a.

TB paru

: Jika

penderita

di

diagnosa

dokter

b.

Bukan TB paru

menderita TB paru
: Jika penderita di diagnosa dokter tidak
menderita TB paru

29

2. Pekerjaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pekerjaan


penderita TB paru yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli
Kota Kendari.
Dengan kriteria obyektif
a.

Berisiko

: jika melakukan pekerjaan Bila pekerja


bekerja di lingkungan yang berdebu

b.

Kurang berisiko

paparan partikel debu


: jika tidak melakukan pekerjaan Bila
pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu paparan partikel debu (Irman,

2015).
3. Merokok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya riwayat
merokok penderita TB paru yang berada di Wilayah Kerja
Puskesmas Abeli Kota Kendari
Kriteria objektif :
a. Berisiko

: jika penderita memiliki riwayat merokok

b. Kurang berisiko

: jika penderita tidak memiliki riwayat

merokok (Irman, 2015).


4. Status gizi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah status gizi
penderita TB paru yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli
Kota Kendari
Kriteria objektif :
a. Berisiko

: jika status gizi kurang

b. Kurang berisiko

: jika status gizi baik (Irman, 2015).

E. Hipotesis Penelitian
1. Pekerjaan

30

a. Hipotesis Nol (H0) : pekerjaan bukan merupakan faktor risiko


kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota

Kendari.
b. Hipotesis Alternatif (Ha) : pekerjaan merupakan faktor risiko
kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota

Kendari.
2. Merokok
a. Hipotesis Nol (H0) : merokok bukan merupakan faktor risiko
kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota

Kendari.
b. Hipotesis Alternatif (Ha) : merokok merupakan faktor risiko
kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota

Kendari.
3. Status Gizi
a. Hipotesis Nol (H0) : status gizi bukan merupakan faktor risiko
kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota

Kendari.
b. Hipotesis Alternatif (Ha) : status gizi merupakan faktor risiko
kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota

Kendari.

BAB IV
31

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan rancangan penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional

dengan

pendekatan secara casecontrol, yaitu untuk mengetahui faktor risiko


kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari.
dengan Rancangan penelitian
Populasi
(Sampel)
Kasus
Maching :
Umur
Risiko (+)
Risiko (-) Jenis kelamin
Risiko (+)

Kontrol
Risiko (-)

Gambar II: Bagan Rancangan casecontrol (Notoatmodjo, 2010)


B. Waktu dan Lokasi penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada pada Bulan September
Tahun 2016

2. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas
Abeli Kota Kendari.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi

32

Populasi dalam penelitian ini semua keluarga yang memiliki


anggota keluarga yang menderita TB paru periode Januari Mei
Tahun 2016 yang berjumlah 28 orang
2. Sampel
a. Sampel
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 28 orang, diambil
dengan menggunakan teknik Total Populasi.
b. Kontrol
Kontrol penelitian berjumlah 28 orang sama dengan
jumlah sampel penelitian, melalui tahap maching yaitu umur
dan jenis kelamin
D. Sumber data dan cara pengumpulan data
1. Sumber Data
a. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,
tidak

langsung

diperoleh

oleh

peneliti

dari

subyek

penelitiannya. Biasanya berupa data dokumentasi atau data


laporan yang telah tersedia (Suryono, 2008).
Data sekunder ini diperoleh melalui pihak Puskesmas
Abeli Kota Kendari dengan cara mencatat dan mengambil data.
Pengambilan data dilakukan setelah memberikan surat izin
permohonan pengambilan data yang dibawa peneliti dari
institusi pendidikan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala
Waluya Kendari, yang meliputi : jumlah penderita TB di Wilayah
Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari
b. Data Primer
33

Data primer diperoleh langsung oleh peneliti dari subyek


penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data, langsung pada subyek sebagai sumber
informasi yang dicari.
2. Cara pengumpulan data
Pengumpulan

data

secara

formal

dilakukan

dengan

membagikan kuesioner kepada responden untuk menjawab


pertanyaan yang telah disediakan. Tipe pertanyaan yang diajukan
adalah pertanyaan tertutup yang berbentuk dichotomy question
dimana responden memilih satu diantara beberapa alternative
jawaban (skala Guttman), dengan cara menceklist salah satu dari
jawaban pada lembaran kuesioner yang telah disediakan. Untuk
jawaban yang benar, skornya adalah 1 sedangkan untuk jawaban
yang salah, skornya adalah 0 (Nursalam, 2009).
Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan adalah
kuesioner (daftar pertanyaan) yang terdiri dari item A digunakan
untuk mengetahui data demografi responden, item B untuk
petunjuk pengisian kuesioner dan item C untuk daftar pertanyaan
E. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data
1. Pengolahan data
Menurut Arikunto

(2006)

pengolahan

data

dilakukan

melalui empat tahapan yang meliputi editing, coding/scoring, entry,


dan tabulating.
a. Editing adalah proses pengecekan kelengkapan data.

34

b. Coding/scoring

merupakan

tindakan

untuk

melakukan

pemberian kode atau angka untuk memudahkan pengolahan


data.
c. Tabulating (pentabulasian) merupakan tahap ketiga yang
dilakukan

setelah

proses

editing

dan

coding.

Kegiatan

tabulating dalam penelitian meliputi pengelompokan data


sesuai dengan tujuan penelitian kemudian dimasukkan ke
dalam tabel-tabel yang telah Ditentukan.
d. Tahap terakhir yang dilakukan dalam proses pengolahan data
adalah entry data (memasukkan data). Entry data yaitu suatu
proses memasukkan data yang diperoleh menggunakan
fasilitas computer
2. Analisa Data
Untuk memudahkan proses analisis, data yang telah diolah
kemudian dianalisis melalui program SPSS ver.16 Adapun tahapan
analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi
dan presentase dari tiap variabel bebas dengan variabel terikat.

i:1

xi

1)
(

Ket : X : Persentase data


xi : adalah besaran/nilai dari data
n : Jumlah data (Chandra,2010)
b. Bivariat
35

Untuk mengetahui faktor risikomenggunakan Uji Odds


Ratio (OR) untuk melihat besarnya risiko dan menggunakan
variabel yang diteliti antara variabel bebas dengan variabel
terikat (Candra, 2010) :

OR

axd
bxc

Untuk lebih jelasnya prinsip penelitian kasus kontrol


disajikan pada tabel berikut :
Tabel 3. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Katarak
Faktor Risiko Kejadian
Sampel
Total
Kasus
Kontrol
Penyakit TB paru
Positif
a
b
mi
Negatif
c
d
mo
Total
Ni
no
t
(Sumber : Chandra, 2010)
Keterangan :
a = Jumlah kasus dengan risiko positif (+)
b = Jumlah Control dengan risiko positif (+)
c = Jumlah kasus dengan risiko negatif (-)
d = Jumlah control dengan risiko negatif (-)
Interpretasi OR jika:
OR < 1

: Merupakan faktor protektif

OR = 1

: Bukan merupakan faktor risiko

OR > 1

: Merupakan faktor risiko

1. Interval kepercayaan OR

36

Upper = OR(1+z/x)
Lower = OR(1-z/x)
2. Uji chi-square (Mantel and Haenszel)
2
(t 1) ( ad bc)
X 2 MH
ninomimo
3. Nilai Z
Tabel 4. Nilai Z Untuk Perhitungan Odd Rasio
Interval kepercayaan

Nilai Z

90%

1,64

95%

1,96

99%

2,56

(Sumber: Chandra, 2010)

3. Penyajian Data
Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel
distribusi

frekuensi, tabel

chi-square

(X 2)

dinarasikan

dan

persentatif.
F. Etika Penelitian
Setelah

mendapatkan

persetujuan,

kemudian

kuesioner

diajukan kepada responden dengan tetap menekankan pada masalah


etik penelitian yang meliputi :
1. Penelitian menjamin hak hak responden dengan cara menjamin
kerahasiaan identitas responden. Selain itu peneliti memberikan

37

penjelasan tujuan dan manfaat penelitian serta memberikan hak


untuk menolak dijadikan responden penelitian (informed consent).
2. Anonimity
Untuk kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama
responden, tapi peneliti menggunakan kode tertentu untuk masingmasing responden.
3. Confidentialy
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari responden
dijamin oleh peneliti. Data tersebut hanya akan disajikan /
dilaporkan pada pihak yang terkait dengan penelitian.

38

Kompas, 2014. Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di Dunia


http://health.kompas.com/
Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC
Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku dari Brunner dan
Suddart. Jakarta : EGC
Brooker Chris. (2009). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : EGC
Doenges, Marlynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Somantri, Imran. (2007). Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.Jakarta : Selemba Medika
Depkes RI. (2008) Pedoman Nasional Penanggulan Tuberkulosis. Edisi 2 cetakan kedua.

Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi


2. Jakarta:Depkes RIDepkes Ri. 2004. Petunjuk Penanggulangan Obat Anti
Tuberkulosis Fixed Dose Combi-nation (OAT-FDC) untuk Pengobatan
Tuberkulosis di Unit Pelayanan Kesehatan.Jakarta: Depkes RIDirjen P2PL
Depkes RI. 2009. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB.
Jakarta:Depkes RI
Penelian siswanto (2010) dengan judul Hubungan Pengetahuan dan
Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis di
Puskesmas Andalas Kota Padang
39

indra Dewi (2011) dengan judul Hubungan antara pengetahuan, sikap pasien
dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB paru
di BKPM Pati

Penelitian Made Agus Nurjana (2015) dengan judul Faktor Risiko Terjadinya
Tuberculosis Paru Usia Produktif (15-49 Tahun) Di Indonesia Hasil analisis
menunjukkan bahwa faktor risiko TB paru pada usia produktif di Indonesia
yaitu pendidikan, indeks kepemilikan, bahan bakar memasak, kondisi
ruangan dan perilaku merokok. Faktor risiko yang paling dominan adalah
pendidikan
Ryana Ayu Setia Kurniasari (2010) Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru
di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri memperoleh hasil bahwa faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru adalah
pencahayaan ruangan dan luas ventilasi
Elisa S. Korua (2013) Hubungan Antara Umur, Jenis Kelamin, Dan
Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Tb Paru Pada Pasien Rawat Jalan Di
Rumah Sakit Umum Daerah Noongan. Ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian TB Paru pada pasien rawat jalan di RSUD Noongan dengan
p=0,01.
Jendra F.J Dotulong (2014) Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin
Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit Tb Paru Di Desa Wori
Kecamatan Wori memperoleh hasil bahwa faktor resiko yang di teliti yang
berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru adalah umur dan jenis
kelamin
Rukmini (2010) FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KEJADIAN TB PARU DEWASA DI INDONESIA (ANALISIS DATA RISET
KESEHATAN DASAR TAHUN 2010) Analisis multivariat menunjukkan bahwa
faktor risiko yang mempengaruhi kejadian TB Paru dewasa di Indonesia
adalah umur, jenis kelamin, energi penerangan, status gizi dan kontak
serumah dengan pasien TB. Faktor risiko yang paling dominan berpengaruh
terhadap kejadian TB paru dewasa adalah kontak serumah dengan pasien
TB.
Elisa S. Korua. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.
Hubungan Antara Umur, Jenis Kelamin, Dan Kepadatan Hunian Dengan
Kejadian Tb Paru Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah
Noongan.2013
40

Made Agus Nurjana (2015) dengan judul Faktor Risiko Terjadinya


Tuberculosis Paru Usia Produktif (15-49 Tahun) Di Indonesia. Balai Litbang
P2B2 Donggala, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI
Ryana Ayu Setia Kurniasari (2010) Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru
di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Bagian Kesehatan Lingkungan
FKM UNDIP
F.J Dotulong (2014) HUBUNGAN FAKTOR RISIKO UMUR, JENIS KELAMIN
DAN KEPADATAN HUNIAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TB PARU DI
DESA WORI KECAMATAN WORI. Fakultas Kedokteran Unversitas Sam
Ratulangi Manado
Rukmini (2010) FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KEJADIAN TB PARU DEWASA DI INDONESIA (ANALISIS DATA RISET
KESEHATAN DASAR TAHUN 2010) Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga

41

Anda mungkin juga menyukai