2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagian besar kota-kota penting di Indonesia terletak di wilayah pesisir. Kotakota tersebut berkembang pesat sebagaimana kota besar di dunia lainnya seiring
perkembangan zaman. Pada mulanya keberadaan dan perkembangan kota di wilayah
pesisir tidak lepas dari fungsinya sebagai suatu kawasan atau wilayah yang merupakan
akses yang menghubungkan antara wilayah daratan (pedalaman) dengan dunia luar.
Namun pada perkembangannya kota-kota tersebut tidak hanya berkembang sebagai
wilayah akses saja, melainkan sesuai dengan keragaman fungsi, seperti wilayah
administrasi maupun sebagai pusat perdagangan, industri, jasa dan sebagainya (Hantoro,
2008).
Wilayah perairan pesisir Indonesia sangat fungsional dapat digunakan sebagai
wahana tranprotasi dan pelabuhan, pariwisata, sumber penghasil pangan laut, kawasan
pemukiman dan budidaya perikanan (Dahuri., et.,al. 2001 dalam Salamet., B. 2007).
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, kearah darat
wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin,
sedangkan kearah laut masih dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang terjadi di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran serta proses alami yang terjadi seperti
sedimentasi dan aliran air tawar. Wilayah pesisir juga merupakan bagian lingkungan
hidup kita yang berpotensi besar dalam menyediakan ruang hidup dan sumber daya
kehidupan, sejak zaman prasejarah, wilayah pesisir dan perairan pantai telah menjadi
wadah kehidupan bagi sebagian besar penduduk dunia, termasuk Indonesia.
Pesatnya perkembangan kota-kota pesisir selain memberikan keuntungan
ekonomis juga menimbulkan berbagai persoalan seperti adanya dampak lingkungan.
Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang
berkembang secara intensif mengakibatkan terlampauinya daya dukung atau kapasitas
berkelanjutan dari ekosistem pesisir, seperti pencemaran, overfishing, degradasi fisik
habitat dan abrasi pantai terutama pada kawasan pesisir yang padat penduduknya dan
tinggi tingkat pembangunannya.
Salah satu persoalan lingkungan adalah adanya potensi pencemaran pada perairan
pesisir yang ditimbulkan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang. Menurut KP3K-
DKP (2009), masalah pencemaran ini disebabkan aktivitas manusia seperti pembukaan
lahan untuk pertanian, pengembangan perkotaan dan industri, penebangan kayu dan
penambangan di daerah tangkapan air atau daerah aliran sungai (DAS) serta limbah
rumah tangga yang tinggal di daerah pesisir.
Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), pencemaran pada perairan pesisir sebagai
dampak dari adanya aktivitas ekonomi menjadi salah satu hal yang perlu ditangani dalam
pengelolaan wilayah pesisir yang inovatif.
Tujuan
1. Mampu memahami pencemaran di wilayah pesisir
2. Mampu memahami sumber-sumber pencemaran
3. Mampu memahami pencemaran logam berat di air laut
4. Mampu memahami baku mutu lingkungan
BAB II
PEMBAHASAN
Pencemaran Di Wilayah Pesisir
Isu permasalahan pemanfaatan ruang pada kota di wilayah pesisir, antara lain
berkembangnya berbagai kegiatan budidaya pada kawasan konservasi atau pada kawasan
budidaya untuk kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, sebagai
akibat meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan perkotaan. Pemanfaatan ruang
pada kota di wilayah pesisir dimaksudkan sebagai perwujudan rencana tata ruang yang
mencakup berbagai kegiatan pembangunan fisik, sosial ekonomi dan budaya yang secara
visual, historis atau fisik sebagai bagian ruang yang dipengaruhi oleh air laut (Dirjen
Penataan Ruang, 2007).
Menurut (Cicin-Sain dan Knecht, 1998), dari sudut pandang pengelolaan pesisir
dan lautan terpadu, pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang berkembang secara intensif
mengakibatkan terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari)
dari ekosistem pesisir, seperti pencemaran, overfishing, degradasi fisik habitat dan abrasi
pantai terutama pada kawasan pesisir yang padat penduduknya dan tinggi tingkat
pembangunannya.
Menurut Lutfi (2009), pada dasarnya bahan pencemar yang mencemari perairan
dapat dikelompokkan menjadi :
Bahan pencemar organik
Bahan pencemar penyebab terjadinya penyakit
Bahan pencemar senyawa anorganik/mineral
Bahan pencemar organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme
Bahan pencemar berupa zat radioaktif
Bahan pencemar berupa endapan/sedimen
Bahan pencemar berupa kondisi (misalnya panas).
terhadap perikanan, kontaminasi trace element dalam rantai makanan serta keberadaan
spesies asing.
Adanya kegiatan pemanfaatan ruang, baik darat maupun perairan, di satu sisi
menghasilkan keuntungan bagi masyarakat, namun di sisi lain membawa konsekuensi
pada adanya dampak bagi lingkungan, antara lain adanya pencemaran. Menurut Latifah
(2004), dalam perspektif global, pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat
diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan di daratan (land-based pollution), maupun
kegiatan atau aktifitas di lautan (sea-based pollution).
Dalam penataan ruang yang berkaitan dengan wilayah pesisir dan daerah aliran
sungai (DAS), perlu diperhatikan keterkaitan antara pola penggunaan ruang dengan runoff sungai yang berhilir di pantai. Menurut Rais (2004), ketika sungai mengalir melalui
lahan pertanian, sungai akan menampung limpahan air hujan yang jatuh di lahan
pertanian dan mengalir ke sungai yang membawa residu dari pupuk, pestisida serta
senyawa kotoran hewan.
Kemudian apabila sungai mengalir melalui lahan perumahan, perkotaan dan industri, air
sungai menerima limbah cair dan padat yang kadang toksin (beracun) melalui drainase
perkotaan, perumahan dan perindustrian, yang umumnya disebut limbah domestik.Dan
ketika sungai mengalir melalui lahan terbuka, ladang/perkebunan dan penggunaan lahan
yang tidak lestari atau penggundulan hutan, maka air sungai menerima masukan bahan
kikisan hara dan tanah berupa lumpur serta mengalir dan mengendapkannya di suatu titik
dalam perjalanannnya sebagai bahan sedimentasi, sehingga aluran air menjadi
menyempit.
optimal, karena selama ini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola
sumberdaya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas negeri ini.
1.
di dalamnya juga beraneka ragam. Potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton, terdiri
ikan pelagis besar (975,05 ribu ton), ikan pelagis kegil (3.235,50 ribu ton), ikan demersal
(1.786,35 ribu ton), ikan karang konsumsi (63,99 ribu ton), udang peneid (74,00 ribu
ton), lobster (4,80 ribu ton), dan cumi-cumi (28,25 ribu ton). Potensi sumberdaya
perikanan ini tersebar dalam sembilan wilayah pengelolaan. Masing-masing (1) Selat
Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5)
Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia (Aziz, dkk, 1998). Apabila potensi
perikanan laut ini dikelola secara serius diperkirakan akan memberikan sumbangan
devisa sebesar US$ 10 milyar per tahun mulai tahun 2003.
Sampai pada tahun 1998, produksi perikanan laut Indonesia baru mencapai
3.616.140 ton, atau sekitar 58,5 persen dari total potensi lestari sumberdaya perikanan
laut yang kita miliki. Dengan demikian masih terdapat 41 persen potensi yang tidak
termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta ton per tahun. Peluang pengembangan industri
perikanan baik dalam skala kecil (perairan nusantara) maupun skala besar (ZEEI dan
samudera) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang, marlin, tongkol, tenggiri dan cucut
dapat ditangkap di perairan nusantara dan samudera terutama di perairan Laut
Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Arafura dan Samudera Hindia
yang memiliki peluang pengembangan secara lestari sekitar 321.766 ton per
tahun.
b. Ikan pelagis kecil seperti ikan layang, selar, tembang, lemuru, dan kembung dapat
ditangkap di perairan nusantara antara lain di perairan Laut Cina Selatan, Selat
Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Hindia. Peluang
pengembangan perikanan ikan pelagis kecil secara lestari masih sekitar 1.715
ribu ton per tahun.
c. Ikan karang konsumsi seperti kerapu, kakap, lancam, beronang dan ekor kuning
berpeluang dikembangkan di sekitar perairan Selat Makasar dan Laut Flores,
Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini dengan potensi lestari sekitar
31.355 ton per tahun.
d. Kelompok lobster seperti udang karang dan barong berpeluang dikembangkan di
perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini,
dengan potensi sekitar 2.400 ton per tahun.
Kawasan pesisir dan laut Indonesia yang beriklim tropis, banyak ditumbuhi hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass), dan rumput laut (seaweed).
Dengan kondisi pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya
pantai (tambak) sekitar 830.200 ha yang tersebar di seluruh wilayah tanah air dan baru
dimanfaatkan untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar 356.308 ha
(Ditjen Perikanan 1998). Jika kita dapat mengusahakan tambak seluas 500.000 ha
dengan target produksi 4 ton per ha per tahun, maka dapat diproduksi udang sebesar 2
juta ton per tahun. Dengan harga ekspor yang berlaku saat ini (US$ 10 per kilogram)
maka didapatkan devisa sebesar 20 milyar dolar per tahun. Kondisi perairan yang teduh
dan jernih karena terlindung dari pulau-pulau dan teluk juga memiliki potensi
pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan (kerapu, kakap, beronang, dan
lain-lain), kerang-kerang dan rumput laut, yaitu masing-masing 3,1 juta ha, 971.000 ha,
dan 26.700 ha. Sementara itu, potensi produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput
laut adalah 46.000 ton per tahun dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi
produk budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah
direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat
dikembangkan adalah ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti
squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae
(fitoplankton), macroalgae (rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk
keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis
bioteknologi lainnya. Padahal bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki
potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia,
pada tahun 1994 sudah meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar 40
milyar dolar (Bank Dunia dan Cida,1995).
2. Sumberdaya Tidak Dapat Pulih
Sumberdaya alam lainnya yang terkadung dalam laut kita adalah terdapatnya
berbagai jenis bahan mineral, minyak bumi dan gas. Menurut Deputi Bidang
Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam
alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40
cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian,
sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi
menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang
diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan
sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan
minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas
pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam.
Energi non konvensional adalah sumberdaya kelautan non hayati tetapi dapat
diperbaharui juga memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan
Indonesia. Keberadaan potensi ini di masa yang akan datang semakin signifikan
manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menepis.
Jenis energi ini yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion
(OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari
perbedaan salinitas.
Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk
mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat
OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20
C dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan
tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan
bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini
terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki
potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC akan
dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional dari laut
lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang
berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik
untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang
dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, Yogyakarta. Hasil
dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam
upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non
konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di
Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke,
karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter.
baru mencapai 54,5 persen, sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya
dikuasai oleh armada niaga asing.
ANCAMAN TERHADAP SUMBER DAYA LAUT
Ekosistem laut yang terdiri dari ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu
karang akhir-akhir ini mengalami ancaman kerusakan yang sebagian besar akibat ulah
manusia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di
pesisir bagi berbagai kebutuhan seperti pemukiman, perikanan, dan pelabuhan,
menyebabkan besarnya tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumber daya pesisir
semakin meningkat pula.
Terdapat 3 ancaman utama terhadap sumber daya laut, yaitu:
1. Sedimentasi dan pencemaran.
Sedimentasi adalah proses penumpukan zat hara atau proses pelumpuran.
Pencemaran adalah kondisi dimana suatu perairan atau tempat mendapatkan masukan
zat yang berbahaya atau tidak dapat ditolerir oleh lingkungan tersebut dalam jumlah
yang berlebih.
Sedimentasi dan pencemaran bisa terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk
dan adanya kebutuhan akan lahan menyebabkan manusia mulai membuka lahan
bahkan di daerah hulu dan hilir sungai. Penebangan pohon-pohon di sepanjang aliran
sungai membuat lumpur dan kotoran tidak dapat tersaring baik. Pembukaan lahan
untuk pertanian menyebabkan banyaknya zat hara atau limbah pertanian yang
terbawa aliran sungai. Selain lumpur dan zat hara berlebih yang mengandung
nitrogen dan fosfor (eutrofikasi), banyak juga sampah organik dan anorganik dari
kegiatan rumah tangga yang dibuang ke laut dan jumlah sulit dikontrol.
Sumber pencemaran lainnya adalah kegiatan pertambangan. Pertambangan emas
yang menggunakan air raksa dalam proses pengikatan bijih emas dapat menyebabkan
pencemaran air raksa di perairan. Air raksa merupakan sumber pencemaran yang
berbahaya,
karena
kandungannya
terakumulasi
dalam
mengkonsumsi atau memanfaatkan perairan yang tercemar air raksa. Limbah hasil
tambang berupa lumpur, tanah, batuan yang mengandung sianida juga mengandung
timah, nikel, kadmium, dan khrom. Jika limbah-limbah ini dibuang ke laut dalam
jumlah besar, akanlah sangat berbahaya bagi ekosistem pesisir dan lautan
2. Degradasi Habitat
Degradasi adalah proses penurunan kualitas. Jadi degradasi habitat adalah proses
penurunan kualitas habitat/tempat tinggal mahluk hidup tertentu. Erosi pantai
merupakan kondisi dimana suatu habitat telah terdegradasi. Erosi pantai dapat dilihat
dari penurunan garis pantai. Erosi pantai terjadi karena proses alami dan tidak
alami. Proses alami terjadi karena adanya arus, angin, hujan, gelombang. Proses
tidak alami terjadi karena kegiatan manusia untuk membuka lahan hutan mangrove,
dan penambangan terumbu karang untuk kepentingan kontruksi jalan dan bangunan.
Kegiatan tersebut bisa menyebabkan degradasi habitat karena fungsi hutan mangrove
dan terumbu karang sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang dan badai
telah rusak.
Degradasi
terumbu
karang
terjadi
karena
kebutuhan
manusia
untuk
Daftar Pustaka
http://evilprincekyu.wordpress.com/2014/03/11/makalah-stroke/
http://infostroke.wordpress.com/pengertianstroke/http://www.fortunalab.com/artikel/stroke-pengertian-penyebab-gejala-danbagaimana-proses-penyembuhannya.html
http://ridwanaz.com/kesehatan/pengertian-stroke-penyebab-gejala-dan-cara-mencegah/
(http://penyakitstroke.net/faktor-risiko-penyakit-stroke/
http://penyebabstroke.com/faktor-risiko-timbulnya-stroke/
http://infostroke.wordpress.com/faktor-resiko-dan-gejala-klinis/