Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Neuralgia Post Herpetikum

Pembimbing :
Dr. Rini Ismarijanti, Sp.S.

Disusun Oleh :
Sari Prasili Suddin (11.2013.069)

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN


ANTARIKSA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
Periode 21 september 2014 s/d 25 oktober 2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada TUHAN yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun referat ini dengan baik dan
benar serta tepat waktunya. Didalam referat ini, penulis akan membahaskan mengenai
neuralgia post herpetikum.
Referat ini telah dibuat dengan pencarian melalui buku-buku rujukan dan juga
penulusuran situs medikal serta telah mendapatkan beberapa bantuan dari pelbagai
pihak untuk membantu dalam menyelesaikan tantangan dan hambatan selama proses
mengerjakan referat ini. Oleh kerana itu, penulis ingni mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
referat ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran
dan kritik yang dapat membangun nilai kerja penulis ini. Kritikan yang berunsur
konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan referat ini
selanjutnya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan apabila ada
kata-kata yang kurang berkenan penulis memohon maaf sebesar-besarnya.
Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Jakarta, 13 oktober 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri akut atau
nyeri nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri
neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. International Association for
the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri neuropatik adalah nyeri yang
dihasilkan dari penyakit atau kerusakan dari sistem saraf perifer atau sentral, dan
berasal dari kelainan fungsi sistem nervus. Nyeri neuropatik yang didefinisikan
sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan
oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik
(diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca
herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus)
maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.
Dalam referat ini, akan dibahas mengenai neuralgia post herpetikum, dimana
neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat
penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati.
Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1
Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi sistem saraf
dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang
distribusi dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai
neuralgia paska herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai
nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan
penderitanya.2
Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan
imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk
kanker dan penderita HIV.2

BAB II

PEMBAHASAN

a. Definisi
Neuralgia adalah nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang
bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957,
mendefinisikan neuralgia pasca herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah
fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap
satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham
mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama
tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994,
mendefinisikan neuralgia pasca herpetika sebagai nyeri neuropatik yang
menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).
Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap
atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan
setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering
digunakan adalah definisi menurut Dworkin. 3

b. Etiologi
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang
menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur
virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh
selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster
memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Infeksi primernya secara klinis dikenal
dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe Virus
yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga
disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion
posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V
(trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII
(fasialis) pada ganglion genikulatum.1.3

c. Insidens dan prevalensi


Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia pasca
herpertika didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insidensi dari

herpes zoster pada negara-negara tersebut bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000
pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali lebih banyak pada
individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita
imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per
1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000.
Pada penderita imunodefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia
dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama.
Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia
pasca herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien
dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan
penelitian Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia pasca herpetika sekitar
80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus
herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan
Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di
Asia, Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan data
dari Eropa dan Amerika Serikat.
Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan
pada 10-70%nya mengalamia neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1
tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.2

d. Patologi dan pathogenesis


Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar
air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk
ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster
bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan
manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar
14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini
bersarang di ganglion kornu dorsal, hidup secara dorman selama bertahuntahun.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari
virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler
berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster

dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus


dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan
reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson
menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami
denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari
proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion
body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis
hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan
virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus
varisella zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf
spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda
perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis,
yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan
keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal,
kranial dan akar saraf yang terlibat.
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia
pasca herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang
mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia pasca herpetika
tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

Mekanisme nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)
2. Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi
atau inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)

3. Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)
4. Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf (nyeri
fungsional)
Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik dan
sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak
menimbulkan lesi, maka persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu
singkat.
Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase
II, stimuli yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan
menyebabkan fungsi berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.
Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan
fungsiolesa. Rubor dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah,
tumor akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat
aktivasi atau sensitisasi nosiseptor dan berakhir dengan adanya penurunan
fungsi jaringan yang mengalami inflamasi (fungsiolesa).
Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan
yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri
bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya,
yang dapat mengaktivasi atau men-sensitisasi nosiseptor secara langsung
maupun tidak langsung.
Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral
akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf
tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang
dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara
neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan
keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga
aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang
selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4
mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat
lesi, yaitu:
1.
2.
3.
4.

aktivitas ektopik
sensitisasi nosiseptor
interaksi abnormal antar serabut saraf
hipersensitifitas terhadap katekolamin

Fase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih


baru. Bentuk sensitifitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya
abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon atau
fungsi abnormal sistem saraf, dimana sensitifitas apparatus sensorik
memperkuat gejala. Beberapa kondisi umum memiliki gambaran tipe nyeri ini
yaitu fibromyalgia, irritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada nonkardiak, dan nyeri kepala tipe tegang.
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara
normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut
A yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal,
tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia
disebabkan oleh adanya:
1. Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi
sebagai respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang
rangsang sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
2. Perubahan serabut A dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada
nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls
datang dari perifer berupa ectopic discharge.
3. Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau
glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati
potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan
aktivitas inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel
inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi berlebihan.
Nyeri pada neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri neuropatik yang
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses
pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak
memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon
berlebihan

terhadap

stimulus.

Regenerasi

akson

setelah

perlukaan

menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan.


Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan
berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan
respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang masukan/
sensorik. Perubahan ini ada berbagai macam proses sehingga pendekatan
terapeutik neuralgia pasca herpetika ada beberapa macam pendekatan pula.2,4

e. Manifestasi klinis
Komplikasi yang paling sering terjadi pada herpes zoster adalah
timbulnya neuralgia pasca herpetika sehingga neuralgia pasca herpetika bukan
merupakan kelanjutan dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang
berdiri sendiri yang merupakan komplikasi herpes zoster. Neuralgia pasca
herpetika yaitu suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di tempat lesi
walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia pasca
herpetika ke dalam tiga fase:

Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya

berlangsung < 4 minggu


Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi

< 4 bulan
Neuralgia pasca herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset
lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

Onset ruam
Nyeri fase akut

ruam sembuh

nyeri sembuh
Neuralgia pasca herpes

NYERI ZOSTER
Ket: Nyeri zoster, nyeri fase akut dan nyeri pasca herpes 1

Manifestasi klinis neuralgia pasca herpetika adalah nyeri yang sangat


mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat
oleh rangsangan pada kulit berupa hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia.
Nyeri yang dirasakan dapat mengganggu pekerjaan pasien, tidur bahkan
sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka
pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari
atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling
sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat
disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon
nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal

(allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia pasca herpetika adalah
meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya
ruam Herpes Zoster. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari
setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia pasca
herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam
menimbulkan neuralgia pasca herpetika adalah gangguan sistem kekebalan
tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya
ruam.1,2,4
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan histology)
1. Erupsi berupa vesikel yang nyeri sesuai distribusi dermatom.
2. Setelah erupsi sembuh, nyeri berupa alodonia, hiperalgesia, atau
hiperestesi yang berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Nyerinya hebat dan
seakan-akan seperti tersetrum atau tertusuk.
3. Herpes-zoster dapat mengalami reaktivasi subklinis dengan polanyeri
sesuai distribusi dermatom tanpai disertai erupsi.
4. Tampak jaringan parut pada kulit di tempat bekas munculnya lesi.1
g. Penatalaksanaan1,2,4
Pada dasarnya, penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada penderita
neuralgia pasca herpetika terdiri dari terapi farmakologik dan non
farmakologik. Dan penatalaksaan untuk nyeri zoster (nyeri fase akut) dapat
diberikan analgetik non-opioid, antidepresan dan tranquilizer (yang banyak
digunakan adalah kombinasi amitriptilin dan flufenasin), dapat pula diberikan
larutan triamsinolon 0,2% dalam NaCl 0.9% untuk infiltrasi sekitar ruam.
Saat ini terapi NPH difokuskan ada penggunaan psikotropik dan
antikonvulsan. Terapi farmakologis efektif untuk menurunkan kualitas nyeri
dan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk pemakaian antidepresan
trisiklik, antikonvulsan, agen topical, analgesic opioid dan tramadol.1
Anti konvulsan, terutama non-sodium channel blocking agent seperti
gabapentin dan pregabalin tampak cukup efektif. Mekanisme kerja obat
golongan ini diperkirakan melalui penurunan sensitisasi sentral. Misalnya

inhibisi pelepasan asam amino eksitatorik (glutamate) dan mungkin juga


meningkatkan reaksi inhibisi susunan saraf sentral melalui transmisi GABAergik. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat.
Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun
berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat,
substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve
terminals.
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus
neuralgia pasca herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme
memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat
ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat
dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan nyeri tingkat
sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik
norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan
nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor)
seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin
dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin,
sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA
berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok
konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan
berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik.
Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pasca herpetika
adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat
voltage-gated sodium channels . Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap
terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan
pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya
jumlah kanal sodium yang berlebih.
Pilihan terapi beberapa obat untuk Neuralgia Pasca Herpetika
(American Academy of Family Physician, 2004)
Obat
Agen topical

Dosis

Kapsaisin krim (Zostrik)

Oleskan pada lokasi yang terkena 2-5x/hari

Lidokain (Xylocaine) patch

Tempelkan pada lokasi yang terkena setiap 4-12 jam


bila dibutuhkan

Antidepresan trisiklik
Amitriptilin (Elavil)

0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg

Desipramin (Norpramin)

setiap 2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat,


atau dosis maksimum 150 mg/hari.

Imipramine (Tofranil)

25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap


2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 150 mg/hari

Nortriptilin (Pamelor)

0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg


setiap 2-4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 125 mg/hari

Antikonvulsan
Fenitoin (Dilantin)

100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis sampai


respon adekuat atau kadar dalam darah 10 -20 g rel
mL ( 40 to 80 mol per L)

Karbamazepin (Tegretol)

100 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100 mg


setiap 3 hari sampai 200 mg tiga kali sehari, respon
adekuat atau kadar dalam darah 6-12 g rel mL
( 25,4 to 50,8 mol per L)

Gabapentin (Neurontin)

100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100


-300 mg setiap 3 hari sampai dosis 300 900 mg tiga
kali sehari atau respon adekuat (kadar dalam darah
belum ditentukan)

Pregabalin (Lyrica)

75 mg oral sebelum tidur, dapat dinaikkan menjadi


150 300 mg dua kali sehari jika diperlukan atau
dapat ditoleransi.

Terapi non farmakologis:


1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan
nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk
kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut
masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi
tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.

2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)


Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial
hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi
penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/
tambahan disamping terapi farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan

vaksin

untuk

mencegah

timbulnya

Neuralgia

Postherpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas


dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107
orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan
vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5%.

h. Pencegahan
Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah
terinfeksinya virus Zoster itu sendiri. Pencegahan neuralgia pascaherpetika
dapat diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif
mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan
akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus
dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada
tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat menghentikan
replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan
kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah
asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi
nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.
Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster

yang

direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)


bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang
melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi
risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar
67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan
lebih Selain itu, The United States Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia diatasumur 60 tahun
untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan
kesehatan rutin. Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh
Food and Drug Administration untuk mencegah Varicella.1,5

i. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn
lambat. Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik
terhadap obat-obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun
pada sebagian kasus, nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak
berespon terhadap terapi yang diberikan.
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan
perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika
respon terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien
dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi
medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang
sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik
tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam
karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas
baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya
HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama
pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.5

BAB III
KESIMPULAN
Neuralgia pasca herpetika adalah suatu komplikasi dari infeksi Herpes
Zoster, bukan merupakan kelanjutan dari Herpes Zoster akut. Herpes Zoster
sendiri adalah suatu radang kulit akut dan setempat, khas ditandai adanya
nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf
sensorik dari nervus kranialis. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular
lalu terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga.
Tujuh sampai sepuluh hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Keluhan
yang berat biasanya timbul pada penderita usia tua. Frekuensi herpes zoster
menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial
(20%), lumbal (15%), dan sakral (5%). Komplikasi dari Herpes Zoster, selain
Neuralgia Pasca Herpetika, yaitu infeksi sekunder (pada penderita yang

disertai defisiensi imunitas, kelainan pada mata (seperti ptosis paralitik,


akeratitis, skleritis, uveitis, korioranitis dan neuritis optic), sindrom Ramsay
Hunt, dan paralisis motorik.
Neuralgia pasca herpetika dapat didefinisikan sebagai nyeri neuropatik
yang menetap setelah inset ruam setelah fase penyembuhan Herpes Zoster.
Nyeri yang timbul seperti rasa terbakar, parastesi yang dapat disertai rasa sakit
(disestesi), hipertesia, atau sperti tersetrum listrik. Keluhan tersebut dapat
bertahan

selama

berbulan-bulan

hingga

tahunan.Nyeri

sendiri

dapat

diprovokasi dengan stimulus ringan/normal, rasa gatal yang tak tertahankan


dan nyeri terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. Factor
resiko dari NPH ini selain meningkatnya usia, adalah nyeri hebat pada fase
akut, dan beratnya ruam herpes zoster.

Penatalaksanaan untuk NPH

difokuskan pada penggunaan psikotropik dan antikonvulsan yang efektif untuk


menurunkan kualitas nyeri. Anestetik lokal dapat pula digunakan.
Neuralgia pasca herpetika dapat dicegah dengan penggunaan
kortikosteroid dan antiviral seperti asiklovir yang dimulai selambat-lambatnya
72 jam setelah inset ruam zoster dengan dosis 5x800mg perhari selama 7 hari

Daftar pustaka
1. Dewanto G, Suwono W.J, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. 2009. Hal: 118-120
2. Gupta R. Herpes zoster and post herpetic neuralgia. 2012. Diunduh dari
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/12/4/181.full pada tanggal 13 oktober
2014.
3. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu
Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001
4. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan
penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
5. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008. Diunduh dari
http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?
view=article&catid=43%3Apaper&id pada tanggal 13 oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai