Anda di halaman 1dari 17

RAMSAY HUNT SYNDROME

Definisi

Sindrom Ramsay Hunt (SRH) yang sering disebut juga dengan Herpes Zoster Oticus
merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari neuralgia radikuler, erupsi vesikuler yang
mengenai sebagian telinga luar dan kanalis akustikus eksternus disertai kelumpuhan nervus
VII perifer.
Etiologi
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA
untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 150-200 nm. Infeksi primernya
secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe
Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut
dengan varisella zoster virus (VZV).8 Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf
tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri
cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.6

Tabel 1 : Tipe-tipe Virus Herpes pada Manusia


(dikutip dari kepustakaan 8)

Anatomi Nervus Facialis

Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di dalam tulang
temporal, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang ini. Nervus
VII terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris, dan para simpatis. 7 Komponen
motoris mempersarafi otot wajah kecuali musculus levator palpebra superior. Selain itu
nervus facialis juga mempersarafi stapedius dan venter posterior musculus gastricus.
Komponen sensoris mempersarafi 2/3 anterior lidah untuk mengecap melalui meatus corda
timpani. Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula lakrimalis, glandula
submandibular, dan glandula sublingualis. Nervus facialis memliki 2 inti yaitu superior dan
inferior. Inti superior mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral sedangkan inti
inferior hanya mendapat persarafan dari 1 sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengelilingi
inti nervus abducens (N.VI) kemudian meninggalkan pons bersama nervus vestibulococlearis
(N.VIII) dan nervus intermedius masuk ke dalam tulang temporal melalui poros meatus
akustikus internus. Setelah masuk ke dalam tulang temporal N.VII kan berjalan dalam saluran
yang disebut kanal Fallopi. Dalam perjalan di dalam tulang temporal N. VII dibagi dalam 3
segmen yaitu segmen labirin, segmen timpani, dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak
antara akhir kanal akustik internus dan ganglion genikulatom. Panjang nervus ini 23milimeter. Segmen timpani (segmen vertical) terletak diantara bagian distal ganglion
genikolatum dan berkala kea rah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap
lonjong (fenestra ovalis) dan stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar dengan kanal
semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter. Segmen mastoid
(segmen vertical), mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani. Perubahan posisi
dari segmen timpani menjadi segmen mastoid disebut segmen pyramidal atau genu eksterna.
Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari N. VII sehingga mudah terkena trauma
pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah caudal menuju foramen
stylomastoid. Panjang segmen ini 15-20 milimeter. Setelah keluar dari tulang mastoid, N. VII
menuju glandula parotis dan membagi diri untuk mepersarafi otot-otot wajah. DI dalam
tulang temporal N.VII memberikan 3 cabang penting, yaitu nervus petrosus superior mayor,
nervus stapedius, dan corda timpani. Nervus petrosus superior mayor keluar ganglion
genukulatum dan memberi rangsang pada glandula lakrimalis. Nervus stapedius
mempersarafi muskulus stapedius dan berfungsi sebagai peredam suara. Corda timpani
mempersarafi pengecapan pada 2/3anterior lidah. 7
Korteks serebri akan memberikan persaratan bilateral pada nucleus N VII yang
mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian
bawah. Sehingga pada lesi LMN akan menimbulkan paralysis otot wajah ipsilateral bagian

atas bawah, sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi kontta
lateral.
Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks
motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis
UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut
mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat maka
sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat.
Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os petrusus, cavum
tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi di pon
yang terletak disekitar ini nervus abducens bisa merusak akar nevus facialis, inti nervus
abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralysis facialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di
sekitar meatus akuatikus intemus akan melibatkan nervus facialis dan akustikus sehingga
paralysis facialis LMN akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (
tidak bisa rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
A. Patofisiologi
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air. Pajanan
pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem
respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran
darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.
Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus
ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan
pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui.
Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status
imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan
di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah
mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang
dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body.

Gambar 1 : Patologi Herpes Zoster

Komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari
kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik.
Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini
diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan
berhubungan dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi
histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal),
jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi
(dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang)
dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor
berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.9,10
Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara
sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak.
Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.11
Desensitasi dan Deaferenisasi

Sensitisasi
saraf
perifer
terutama
terjadi pada
nosiseptor
serabut
saraf

yang halus
dan

tidak

bermyelin.
Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun, menimbulkan heat
hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari
nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada
keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya sebagian
besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A
yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis
medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf A yang tidak
menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan
nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.11
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan
terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia.
Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas

ektopik dari serabut saraf aferen.

Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang berikatan dengan
reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer
di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor
metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium
sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat
berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang akan
menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal ini
menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya
menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin

progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni
hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada
serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya

remodeling dan

hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan
membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target,
sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan
terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan
reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,
mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan
sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang
diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan
terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.3,4,9,11

Gambar 3 : Mekanisme Sensitisasi Sentral dan Perifer

Mekanisme nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)
2. Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi atau
inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)
3. Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)
4. Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf (nyeri
fungsional)
Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik dan
sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya
persepsi nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi,
maka persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.
Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase II,
stimuli yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan menyebabkan
fungsi berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.
Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsiolesa. Rubor
dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, tumor akibat meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi nosiseptor
dan berakhir dengan adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi
(fungsiolesa).
Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang
mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri bradikinin,
prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya, yang dapat
mengaktivasi atau men-sensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.
Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi
saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal
dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya.
Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik,
melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi
abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif

sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal


sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu:
1.
2.
3.
4.

aktivitas ektopik
sensitisasi nosiseptor
interaksi abnormal antar serabut saraf
hipersensitifitas terhadap katekolamin
Fase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih baru.

Bentuk sensitifitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer
dan defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem
saraf, dimana sensitifitas apparatus sensorik memperkuat gejala. Beberapa kondisi
umum memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu fibromyalgia, irritable bowel syndrome,
beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang.
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut A yang
biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada
allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh
adanya:
1. Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai
respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga
stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
2. Perubahan serabut A dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri
neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari
perifer berupa ectopic discharge.
3. Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin
berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial
istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini
diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi
berlebihan.
Nyeri pada neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri neuropatik yang
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan
sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang
aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap
stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang
juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut
menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada

akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua
rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini ada berbagai macam proses sehingga
pendekatan terapeutik neuralgia pasca herpetika ada beberapa macam pendekatan
pula.2,4

a. Manifestasi klinis
Komplikasi yang paling sering terjadi pada herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia pasca herpetika sehingga neuralgia pasca herpetika bukan merupakan
kelanjutan dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri
yang merupakan komplikasi herpes zoster. Neuralgia pasca herpetika yaitu suatu
kondisi dimana menetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh
lama. Dworkin membagi neuralgia pasca herpetika ke dalam tiga fase:

Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya

berlangsung < 4 minggu


Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4

bulan
Neuralgia pasca herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi
kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

Onset ruam

ruam sembuh
Nyeri fase akut

nyeri sembuh
Neuralgia pasca herpes

NYERI ZOSTER
Ket: Nyeri zoster, nyeri fase akut dan nyeri pasca herpes 1

Manifestasi klinis neuralgia pasca herpetika adalah nyeri yang sangat


mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit berupa hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang
dirasakan dapat mengganggu pekerjaan pasien, tidur bahkan sampai mood sehingga
nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang
pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya
erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang
merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/

tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia pasca herpetika adalah
meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam
Herpes Zoster. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset
herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia pasca herpetika. Faktor resiko
lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan neuralgia pasca herpetika
adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan
(leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.
Manifestasi Klinis
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada
daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase:
1.

Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4

2.

minggu
Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3

3.

bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.


Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit
kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai
dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala
prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan
dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas
bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang
begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan
mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali
normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.1,9,12
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan
hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan
sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun
jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa
terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang
merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum

listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia),
rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi
rangsang yang berulang.1,9,12
Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai
menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri
hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik
ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan
muncul secara tiba tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan serangan kecil
dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak
enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung gelembung herpes timbul,
untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan
neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal
inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat
tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat tempat bekas
herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post
herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia
postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.1,9,12
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa
terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang
terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa
unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5
hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10
hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai bermingguminggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat
dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau
valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan
pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang

paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai
dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan
nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal herpes
zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang timbul
berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post herpetik.
Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau
tersengat listrik.8,13,14,15
b. Pemeriksaan Fisik8,13,14,15
1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus
4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan
maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun
iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai urtikaria
5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu kemudian)
6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang muncul
tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu setelahnya).
7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan ringan
8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area yang
terkena nyeri ini.
c. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 8,13,14,15
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis
lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV
22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk
membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung
diagnosis herpes zoster subklinis.
B. Penatalaksanaan

Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis.1,16,17
a. Terapi farmakologis:1,16,17
1. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul
akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir,
Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 10
hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat
ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare,
pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan
dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat
ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri
perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7
hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala,
pusing, nyeri.
2. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik.
Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti
NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun
efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik
opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam
pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis
tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal
yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada
kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya.
Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri,
allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.
3. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated
sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3)
menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja
pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium,

sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat


menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 18003600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan
memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja
menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin,
pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari
voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan
neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada
primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai
efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati
diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis.
Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika.

Obat

golongan

ini

mempunyai

mekanisme

memblok

reuptake

(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri
melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji
klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami
pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan
reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic
antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini
akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake
inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya
mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun
norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping
TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok
konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat
badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan
yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin,
nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.
5. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated
sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls
ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi

sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.
Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam
mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan
lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik
selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama
bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai
saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika.
Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan
dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai
efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji
klinik ini).
b. Terapi non farmakologis1,16,17
1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat
beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska
herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus
tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit
pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun
dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada orang
lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan
ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian
diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.

Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan
sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap
analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang
menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan
pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak


menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ
masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien
mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.5

Anda mungkin juga menyukai