Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan
sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita
penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium
V atau gagal ginjal kronik (GGK).
Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada
tahun 2009 diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru.
Lebih dari 380000 penderita GGK menjalani hemodialisis reguler
(USRDS, 2011). Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15353 pasien yang
baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang
menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat
19621 pasien yang baru menjalanai HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat
244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013). Tindakan HD saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak
penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD
adalah gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah
umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan
cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang
menjalani HD reguler (Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien
dengan HD reguler yang dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian
hipotensi intradialitik sebesar 19,6% (Agustriadi, 2009).
Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa berupa peningkatan
tekanan darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD
reguler tekanan darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and
Light, 2010; Agarwal et al., 2008). Pada penelitian kohort yang dilakukan
pada pasien HD didapatkan 12,2% pasien HD mengalami HID (Inrig et
al., 2009). Penelitian yang dilakukan di Denpasar mendapatkan hasil yang
berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD mengalami paradoxical post
dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka Widiana dan Suwitra,
2011).
1

Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya


peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah
selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat
memulai HD. Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD,
tetapi kemudian meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan
pada akhir HD. Bisa juga terjadi pada saat memulai HD tekanan darah
pasien sudah tinggi dan meningkat pada saat HD, hingga akhir dari HD.
Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi krisis hipertensi
(Chazot dan Jean, 2010).
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi HD yang saat ini
mendapat perhatian, karena episode HID akan mempengaruhi adekuasi
HD. Beberapa penelitian mandapatkan bahwa HID mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani HD reguler. Mortalitas
meningkat jika tekanan darah pasca HD meningkat yaitu bila sistolik _
180 mmHg dan diastolik _ 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut).
Pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah sebesar 10 mmHg
saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat inap di rumah sakit dan
kematian (Inrig et al., 2009).
Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah
yang rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan
tekanan darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada
pasien yang tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga
meningkatkan risiko kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD,
walaupun tekanan darah sistolik (TDS) pra HD _ 120 mmHg (Inrig et al.,
2009). Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler
sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga
sebagai penyebab HID seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan
ultrafiltrasi (UF), overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+
saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi
eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan cardiac output (COP),
obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan vasokonstriksi yang diinduksi
oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut yang paling

umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh


hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan
variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot dan Jean,
2010).
Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan
di darah,besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat
badan (BB) antara waktu HD dan target BB kering penderita. BB kering
adalah BB di mana penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak
ada tanda-tanda kelebihan cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali
seminggu, kenaikan BB antar waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg
sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson and Fine,
2008). Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan BB
interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB keringm (K/DOQI,
2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg
bahkan mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari
2 L.
Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih, banyak timbul
masalah baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular
(Nissenson and Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia
yang kemudian merangsang aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan
kejadian HID (Chazot and Jean, 2010). Asumsi yang berbeda
dikemukakan oleh Chou et al., yang melakukan penelitian terhadap 30
pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan bahwa
pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari
kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi
vaskular sistemik dan penurunan keseimbangan rasio nitric oxide dan
endothelin-1 (NO/ET-1) (Chou et al., 2006).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap
terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan
rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktorfaktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif
yang terpenting adalah NO suatu vasodilator otot polos, Asymmetric
dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari NO

synthase (NOS) dan ET-1 suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini
mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi
perifer dan kontrol tekanan darah khususnya termasuk kejadian HID
(Locatelli et al., 2010).
Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan terhadap tekanan
darah saat HD, baik hipotensi maupun hipertensi intradialitik. Perubahan
ini berhubungan dengan keterkaitan antara endotel, sistem saraf simpatis
dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj etal., 2002). Terdapat
perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara kontrol dan
penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir pada
penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan
penurunan signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol
(Chou et al., 2006). Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada
individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1
setelah HD (Shafei et al., 2008). Pada penelitian cohort case control 25
pasien HD reguler yang mengalami episode HID, didapatkan hubungan
antara HID dan disfungsi endotel. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian penyebab kejadian HID
(Inrig et al., 2011).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi
antara disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari
terjadinya disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya
dapat dipahami. Banyak hal yang belum dapat diterangkan baik
patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi yang tepat pada HID. Dari
uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF yang berlebih saat
HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan disfungsi endotel.
Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-1, atau
peningkatan kadar ADMA atau penurunan kadar NO serum saat HD.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu hemodialisa ?
2. Bagaimana konsep dasar hemodialisa?
3. Apa saja jurnal yang terkait dengan hemodialisa?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu hemodialisa
2. Untuk mengetahui apa konsep dasar dari hemodialisa
3. Untuk mengetahui jurnal terkait dengan hemodialisa
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hemodialisa
Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di
negara berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan
kemajuan ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) yang menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di
seluruh dunia saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani
tindakan HD untuk memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan


biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal,
dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis
merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi
ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada
pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi
pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan
HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses
dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu
membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya.
Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang
digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa
didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermeabel (dializer) kedalam dialisat. Dializer
juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume
cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan
hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar
jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang
dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika
Serikat. (Tisher & Wilcox, 1997)
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter
khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang
digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa
memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan

buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.


2.2

(NKF, 2006)
Indikasi Hemodialisa
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk
yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan
pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan
berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai
penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita
sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer
atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4
mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4
ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring
ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan
lagi.
Menurut

konsensus

Perhimpunan

Nefrologi

Indonesia

(PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal
(LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan
gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa
gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan
adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti
oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik
diabetik.
Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa
hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah
10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 810 mg/dL.
Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat
membahayakan

dirinya

juga

dianjurkan

dilakukan

hemodialisa.

Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi


relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati,
dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah
7

perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif


dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan
HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2.

Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran


dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15
ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al.,
2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan

muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
2.3 Kontraindikasi Hemodialisa

Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa


adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium
terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada
hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit
alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut
dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.
2.4

Tujuan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan
hemodialisa antara lain :
1.

Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang


sisa-sisa

metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan

sisa metabolisme yang lain.


2.

Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang


seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

3.

Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi


ginjal.

4.

Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan


yang lain.

2.5 Proses Hemodialisa


Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut :
1.

Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan


kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakian tinggi

perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang


dipindahkan ke dalam dialisat.
2.

Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut


karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.

3.

Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia,


yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat ( Lumenta, 1996 ).
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan

hemodialisa

berfungsi

mempersiapkan

cairan

dialisa

(dialisat),

mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran


semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit
darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik.
Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh
efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat,
karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran
darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan. (Tisher & Wilcox,
1997)
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan
suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan
untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zatzat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk
melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat
suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa.

(NKF,

2006)
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan
bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan
dengan arah dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran
darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang
terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah

10

mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat


membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena
memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler. (Price
& Wilson, 1995)
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan
di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui
sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan
sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan.
Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat,
sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan
pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui
arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa
suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi
dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur
dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk
dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam
dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum
keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses
difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Kemudian menurut Price dan Wilson (1995) komposisi dialisat
diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal,
dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum
terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea,
kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke

11

dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat.


Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan
berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk
mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh
pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah
ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam
dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia.
Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi,
karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan
tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik
dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen
darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena,
atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan
memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik
diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut.
Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau
NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa
darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200
sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin
secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat
untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau
gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan
darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan
pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor
yang memiliki alarm untuk berbagai parameter. (Price & Wilson, 1995)
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa
disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 45

12

jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan


1015 jam/minggu dengan QB 200300 mL/menit. Sedangkan menurut
Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 35 jam dan dilakukan 3
kali seminggu. Pada akhir interval 23 hari diantara hemodialisa,
keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa
ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak
dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson (1995) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu
tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi
menyebabkan hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan
pasien meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan
kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar
dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan
lama pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem
dialisa yang digunakan dan keadaan pasien.
Gambar 2.1 Skema Proses Hemodialisa

(National Kidney Foundation, 2001)


Mekanisme proses pada mesin hemodialisis, darah pompa dari
tubuh masuk kedalam mesin dialisis lalu dibersihkan pada dializer(ginjal
buatan), lalu darah pasien yang sudah bersih dipompakan kembali ketubuh
pasien. Mesin dialisis yang paling baru dipasaran telah dilengkapi oleh

13

sistim koputerisasis dan secara terus menerus memonitor array saftycritical parameter, mencangkup laju alir darah dan dialysate, tekanan
darah, tingkat detak jantung, daya konduksi, pH dll. Bila ada yang tidak
normal, alarem akan berbunyi. dua diantara mesin dialisis yang paling
besar adalah fresenius dan gambro.
Dalam hemodialisis memerlukan akses vaskular(pembulu darah)
hemodalisis (AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah
yang cukup besar, yaitu diperlukan kecepatan darah sebesar 200 300
ml/menit secara kontinu selama hemodialis 4-5 jam. AVH dapat berupa
kateter yang dipasang dipembulu darah vena di leher atau paha yang
bersifat temporer. Untuk yang permanen dibuat hubungan antara arteri dan
vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula, lebih populer
bila disebut(brescia) cimino fistula. kemudian darah dari tubuh pasien
masuk kedalam sirkulasi darah mesin hemodialisis yang terdiri dari selang
inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ketubuh).
kedua ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk kepembulu
darah pasien.
Darah setelah melalui selang inlet masuk kedialisar. Jumlah darah
yang menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200ml. Dalam dialiser
darah dibersihkan, sampah-sampah secara kontinu menembus membran
dan menyebrang ke kompartemen dialisat. di pihak lain cairan dialisat
mengalir dalam mesin hemodialisis dengan kecepatan 500ml/menit masuk
kedalam dialiser pada kompartemen dialisat. Cairan dialidat merupakan
cairan yang pekat dengan bahan utama elektr;it dan glukosa , cairan ini
dipompa masuk kemesin sambil dicampur dengan air bersih yang telah
mengalami proses pembersihan yang rumit (water treatment). Selama
proses hamodialisis, darah pasien diberi heparin agar tidak membeku bila
berada diluar tubuh yaitu dalam sirkulasi darah mesin.
Prinsip hemodialisis sama seperti metoda dialisis. Melibatkan
difusi zat terlarut ke sembrang suatu selaput semi permiabel. Prinsip
pemisahan menggunakan membran ini terjadi pada dializer. Darah yang
mengandung sisa-sisa meabolisme dengan konsentrasi yang tinggi

14

dilewatkan pada membran semipermiabel yang terdapat dalam dializer,


dimana dalam dilizer tersebut dialirkan dialisate dengan arah yang
berlawanan(counter current).
Driving force yang digunakan adalah pebedaan konsentrasi zat
yang terlarut berupa racun seperti partikel-partikel kecil, seperti urea,
kalium, asam urea, fosfat dan kelebihan klorida pada darah dan dialysate.
Semakin besar konsentrasi racuntersebut didalam darah dan dialysate
maka proses difusi semakin cepat. berlawanan dengan peritoneal dialysis,
dimana pengankutan adalah antar kompartemen cairan yang statis,
hemodialisis bersandar apda pengangkutan konvektif dan menggunakan
konter mengalir, dimana bila diasylate mengalir kedalam berlawanan arah
dengan mengalir extracorporeal sirkuit. metoda ini dapat meningkatkan
efektivitas dialisis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah
disterilkan. urea dan sisa metabolisme lainya, seperti kalium dan fosfat,
berdifusi ke dalam dialysate.
Selain itu untuk memisahkan yang terlarut adalam darah digunakan
prinsip ultrafiltrasi. driving force yang digunakan pada ultrafiltrasi ini
adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan dialyzer. Tekanan
darah yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air melewati membran. Jika
tekanan dari dialyzer di turunkan maka kecepatan ultrafiltrasi air dan darah
akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akn didapatkan darah
yang bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang
digunakan pada mesin hemodialisis modern, sehingga keefektifitasannya
dalam menggantikan peran ginjal sangat tinggi.
2.6 Prinsip dan Cara Kerja Hemodialisa
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah,
2) kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser).
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran
tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan.
Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke

15

pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis


(pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut)
suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan
larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran
semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut
sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF.
Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara
acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi,
artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara
bebas bersama m olekul air melewati porus membran.
Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat
perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme osmotik
akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,2007). Pada
mekanisme

UF

gerakanncairan

konveksi
disebabkan

merupakan
oleh

proses

gradient

yang

tekanan

memerlukan
transmembran

(Daurgirdas et al., 2007).


Cara kerja hemodialisa adalah sebagai berikut :
A. Menyiapkan Mesin HD
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

2.

Mesin Hemodialisa
Listrik
Air yang diolah / dimurnikan dengan cara :
filtrasi
softening
deionisai
reverense osmosis
Saluran pembuangan cairan (drainage)
rinse
desinfeksi & pemanasan
dialyse.

Sirkulat Dialisat
Pencampuran Dialisat :
1. Yaitu dialisat pekat (concetrate) dan air yang sudah di olah
dengan perbandingan 1 : 34.

16

2. Batch system : Dialisis sudah di campur lebih dahulu sebelum


HD dimulai.
3. Propotionong system : Asetat , bikarbonat
4. Yaitu dialysat yang pekat dan air yang sudah di olah, di campur
secara otomatis konstan selama HD oleh pompa proportioning
dengan perbandingan campuran : Dialisat pekat : Air = 1 : 34.
5. Campuran ini di pompakan sekali saja kompartemen dialisit,
kemudian di buang.
6. Komposisi dialisat
1. Natrium
2. Kalium
3. Calsium
4. Magnesium
5. Khlorida
6. Asetat atau bikarbonat
7. Dextrose

= 135 145 meg / 1


= 0 4,0 meg / 1
= 2,5 3,5 meg / 1
= 0,5 2,0 meg / 1
= 98 112 meg / 1
= 33 25 meg / 1.
= 2500 mg / 1

Catatan : dialisat tanpa kalium (potassium Free) = kalium = 0.


B. Sirkulasi
1. Dialiser ( ginjal buatan)
a.
b.
c.

Kapiler (Hollow Fiber)


Paralel Plate
Coil.

Sediaan dialiser : Pemakaian baru atau pertama, basah, kering.


2. Selang darah : Artei dan vena (AVBL)
Priming
Pengisian pertama sirkulasi Ekstrakorporeal
Tujuan :
1. Mengisi = Filing
2. Membilas = Rinsing
3. Membashi atau melembabkan = Soaking
Perlengkapan :
1. Dialiser ( ginjal buatan)
2. AVBL
3. Set Infus
4. NaCl (cairan fisiologis) 500 cc ( 2-3 Kolf)
5. Spuit 1 cc
6. Heparin injeksi ( + 2000 Unit)
17

7. Klem
8. Penapung cairan ( Wadah)
9. Kapas Alkohol
Prosedur :
1. Keluarkan alat dari pembungkusnya ( Dialiser, AVBL, slang
infus, Nacl )
2. Tempatkan dialiser pada tempatnya (Holder) dengan posisi
inlet diatas (merah) dan outlet dibawah (Biru)
3. Hubungkan slang dialisat ke dialiser :
a.
b.
c.
d.
e.

Inlet dari bawah (to Kidney)


Uotlet dari atas (from kidney)
Kecepatan dialisat (QD) + 500 cc/menit)
Berikan tekanan negatif + 100 mmHg
Biarkan proses ini berlangsung 10 menit. (soaking)

C. Prosedur
1. Keluarkan

peralatan

dari

pembungkusnya

(dialiser,AVHL,selang infus, Naci)


2. Tempatkan dialiser pada tempatnya (Holder) dengan posisi
inlet di atas (merah) outlet di bawah (biru).
3. Hubungkan selang dialisat ke dialiser
a.
b.
c.
d.
e.

Inlet dari bawah (to kidney)


Outlet dari atas (from kidney)
Kecepatan dialiasat (qd) = 500cc / menit
Berikan tekanan negativ (negative pressure) + 100 mmhg.
Biarkan proses ini berlangsung
selama 10 menit
(soaking)

4.

Pasang ABL, tempatkan segmen pumb pada pompa darah


(blood pump) dengan baik.

5. Pasang VBL dan bubble trap (perangkap udara) dengan posisi


tegak (vertical).
6. dengan teknik aseptic, buka penutup ( pelindung yang terdapat
di ujung ABL dan tempatkan pada dialiser) (inlet) . Demikian
juga dengan VBL.
7. Hubungkan selang monitor tekanan arteri (arterial Pressure)
dan selang monitor tekanan vena (venous pressure).

18

8. Setiap 1000 cc NaCL, masukan 2000 Heparin kedalam kolf


(2000/11).Cairan ini gunasny untuk membilas dan mengisi
sirkulasi ekstrakorporeal. Siapkan NaCL 1 kolf lagi (500 cc)
untuk di gunakan selama HD bilamana di perlukan, dan
sebagai pembilas pada waktu pengakiran HD.
9. Hubungkan NaCL melalui set infus ke ABL, yakinkan bahwa
set infus bebas dari udara dengan cara mengisinya terlebih
dahulu.
10. Tempatkan ujung

VBL ke dalam penampung. Hindarkan

kontaminasi dengan penampung dan jangan sampai terendam


cairan yang keluar.
11. Putar dialiser dan peralatannya sehingga inlet di bawah,outlet
di atas (posisi terbalik)
12. Buka semua klem termasuk klem infus.
13. Lkukan pengisian dan pembilasan sirkulasi ekstrakorporeal
dengan cara :
a.

Jalankan

pompa

b.
c.

100cc/Mnt
Perangkap udara (bubble tra[) di isi bagian
Untuk mengeluarkan udara lakukan tekanan secara
intermiten

darah

dengan

kecepatan

(qb)

dengan menggunakan klem pada VBL

(tekanan tidak boleh lebih dari 200 mmHg).


14. Teruskan priming sampai NaCL habis 1 liter dan sirkulasi
bebas dari udara yang sudah kolf yang baru (500 cc).
15. Ganti kolf NaCL yang sudah kosong dengan kolf yang baru
(500cc).
16. Matikan pompa darah, klem kedua ujung AVBL, kemudian
hubungkan kedua ujung dengan konektor,semua klemdi buka.
17. Lakukan sirkulasi selama 5 menit dengan qb + 200 cc / mnt
18. Matikan pompa darah, kembalikan dialiser ke posisi semula.
19. Periksa fungsi peralatan yang lain sebelum HD di mulai,
seperti misalnya:
a.

Temperatur dialisat
19

b.
c.
d.
e.

Konduktifitas
Aliran (flow)
Monitor tekanan
Detector udara dan kebocoran darah.

D. Memulai Hd
1. Persiapan pasien
a. Timbang berat bada pasien (bila memungkinkan)
b. Tidur terlentang dan berikan posisi yang nyaman.
c. Ukur tekanan darah atau, nadi, suhu, pernafasan.
d. Observasi kesadaran dan keluhan pasien dan berikan
e.

perawatan mental.
Terangkan secara gratis besar prosedur yang akan di lakukan.

1.

Menyiapkan sarana hubungan sirkulasi

Perlengkapan
1.

Jarum punksi :
a.
b.

jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 1 inch.


Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16,15,14) 1
1 inchi.

2.

NaCL (untuk pengenceran)

3.

Heparin injeksi

4.

Anestesi local (lidocain, procain)

5.

Spuit 1 cc,5 cc, 20 cc, 30 cc.

6.

Kassa

7.

Desinfektan (alcohol bethadin)

8.

Klem arteri (mosquito) 2 buah.

9.

Klem desimfektam

10.

Bak kecil + mangkuk kecil

11.

Duk (biasa,split, bolong)

12.

Sarung tangan

13.

Plester

14.

pengalas karet atau plastik

15.

Wadah pengukur cairan

16.

botol pemeriksa darah

Persiapan
1. Tentukan tempat punksi atau periksa tempat shut atau

20

2.
3.
4.
5.

katheter di pasang dan di buka balutan.


Alas dengan pengalas karet / plastik.
Atur posisi
Kumpulkan peralatan dan dekatkan ke pasien
Siapkan heparin injeksi

Prosedur
1. Punksi Fistula (Cimino)

a.

Pakai sarung tangan

b.

Desinfeksi daerah daerah yang akan di punksi


dengan bethadin dan alcohol

c.

Letakan duk sebagai pengalas dan penutup

d.

Punksi outlet (vena), yaitu jalan masuknya darah ke


dalam tubuh K/P lakukan anesteshi local

e.

Ambil

darah

untuk

pemeriksaan

lab

(bila

diperlukan)
f.

Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan


NaCL (dosis awal)

g.

Fiksasi dan tempat punksi di tutup kasa.


2. Shunt (Scribner)
a. Desinfeksi kanula, konektor dan daerah dimana
b.
c.

shunt terpasang.
Letakan duk sebagai pengalas dan penutup
Klem kedua kanula (arteri dan vena),sebelumnya di

d.
e.
f.

alas dengan kassa


Lepaskan /buka konektor
Cek kedua kanula apakan alirannya lancar
Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila

g.

di perlukan).
Bolus Heparin injeksi yang sudah di encerkan

h.
i.

dengan NaCL (dosis awal).


Fiksasi dan tutup daeah exit site.
Konektor di bersihkan dengan NaCL dan di simpan

dalam bak.
3. Punksi femoral
a. Desinfeksi daerah lipatan paha dan daerah outle
b.
c.

akan di puksi.
Letakan duk sebagai pengalas dan penutup.
Punksi outlet (vena) yaitu jalan masuknya darah ke
dalam tubuh, k/p lakukan anesteshi local.
21

d.

Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila

e.

di perlukan)
Bolus heparin injeksi yang sudah di encerkan

f.
g.

dengan NaCL (dosis awal).


Fiksasi dan tempat punksi di tutup dengan kassa
Punksi inlet (vena femoralis), yaitu tempat jalan
kelurnya darah dari tubuh, dengan cara lakukan

2.

h.

anesteshi infiltrasi sambil mencari vena femoralis.


Vena femoralis di punksi secara perkutaneous

i.

dengan jarum punksi (AV Fistula).


Fiksasi.

Mengalirkan darah kedalam sirkulasi ekstrakorporeal


1. Hubungkan ABL dengan inlet (Punksi Inlet atau
canula arteri). Ujung ABL disuci hamakan terlebih
dahulu.
2. Tempat ujung VBL didalam wadah pengukur.
Perhatikan jangan sampai terkontaminasi.
3. Buka klem AVBL, canula arteri, klem slang infus
ditutup, klem canula vena tetap tertutup.
4. Darah dialirkan kedalam sirkulasi

dengan

menggunakan pompa darah (QB + 100 cc / menit)


dan cairan priming terdorong keluar.
5. Cairan priming ditampung diwadah pengukur.
6. Biarkan darah memasuki sirkulasi sampai cairan
buble trap VBL berwarna merah mudah.
7. Pompa darah dimatikan, VBL di klem.
8. Ujung VBL disuci hamakan, kemudian dihubungkan
dengan canula vena (perhatikan : Harus bebas udara)
. Klem VBL dan canula vena dibuka.
9. Pompa darah dihidupkan kembali dengan QB + 150
cc/menit .
10. Fiksasi canula arteri dan vena, AVBL tidak
mengganggu pergeraan.
11. Hisupkan pompa heparin ( dosis maintenance.)
12. Buka klem Slang monitor tekanan (AVP)
13. Hidupkan detector udara, kebocoran (Air dan Blood
Leak detector)
14. Ukur tekanan darah, Nadi dan pernapasan.
15. Observasi Kesadaran dan keluhan pasien
22

16. Cek mesin dan sirkulasi dialisa.


17. Programkan HD.
18. Lakukan pencatatan (Isi formulir HD)
19. Rapikan peralatan.
2.7 Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan
sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada
penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal
kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang
sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan
hemodinamik.

Tekanan

darah

umumnya

menurun

dengan

dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi


intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD
reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya
justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic
hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010). Komplikasi HD dapat
dibedakan

menjadi

komplikasi

akut

dan

komplikasi

kronik

(Daurgirdas et al., 2007).


Komplikasi

Penyebab
Bakteri atau zat penyebab demam

Demam

(pirogen) di dalam darah


Dialisat terlalu panas

Reaksi anafilaksis yg
berakibat fatal
(anafilaksis)
Tekanan darah rendah
Gangguan irama jantung
Emboli udara

Alergi terhadap zat di dalam mesin


Tekanan darah rendah
Terlalu banyak cairan yg dibuang
Kadar kalium & zat lainnya yg
abnormal dalam darah
Udara memasuki darah di dalam mesin

23

Perdarahan usus, otak,

Penggunaan heparin di dalam mesin

mata atau perut

untuk mencegah pembekuan

1.

Komplikasi Akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:
hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007;
Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering
terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun
hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi
adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,

2.

2007).
Komplikasi Kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik.
1. Penyakit jantung
2. Malnutrisi
3. Hipertensi / volume excess
4. Anemia
5. Renal osteodystrophy
6. Neurophaty
7. Disfungsi reproduksi
8. Komplikasi pada akses
9. Gangguan perdarahan
10. Infeksi
11. Amiloidosis
12. Acquired cystic kidney disease

2.8 Tekhnik Hemodialisa


1. Persiapan Mesin dan Perangkat HD
a. Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
b. Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak

24

c. Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit


d. Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke
jaringan tempat dialisat yang telah disiiapkan.
e. Tunggu sampai lampu hijau
f. Tes conductivity dan temperatur
g. Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan
heparin sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
h. Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pasien
i. Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak banyaknya
j. Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (priming)
k. Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
l. Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan
lalu jalankan blood pump (sirkulasi tertutup)
2.

Persiapan Penderita
Indikasi hemodialisa :
a.

Segera/indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi,


oliguri berat atau anuria, asidosis, hipertensi maligna.

b.

Dini/profilaksi : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental,


penyakit tulang, gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan
kualitas hidup. Bila penderita baru yang datang di ruang HD,
sebelum kita melakukan HD terlebih dahulu periksa kembali hasilhasil pemeriksaan yang penting (Hb, hematokrit, ureum, kreatinin,
dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD :
1.

Timbang dan catat berat badan

2.

Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk


menginterpretasikan kelebihan cairan)

3.

Tentukan akses darah yang akan ditusuk

4.

Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine


10% lalu alcohol 70% kemudian ditutup pakai duk steril

25

5.

Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :


spuit 2,5 cc sebanyak 1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi
saline 0,9% dan kasa steril

6.

Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonest dan


heparin

7.

Pakai masker dan sarung tangan steril

8.

Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan


ditusuk

9.

Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak


2000 unit pada inlet sedangkan outlet sebanyak 1000 unit

10.

Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah


disediakan

11.

Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menit


kemudian dinaikkan perlahan sampai 200 ml/menit

12.

Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan

13. Segera ukur kembali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah
yang digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
3. Perawatan Pasien Hemodialisa
1. Perawatan sebelum hemodialisa
a. Mempersiapkan perangkat HD
b. Mempersiapkan mesin HD
c. Mempersiapkan cara pemberian heparin
d. Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor bio
psiko sosial, agar penderita dapat bekerja sama dalam hal
e.
f.

2.

program HD
Mempersiapkan akses darah
Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi,

pernapasan
g. Menentukan berat badan kering
h. Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
Perawatan Selama Hemodialisa
Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu
penderita dan mesin HD
1.

Observasi terhadap pasien HD


a. Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dicatat dalam
status

26

b.
c.

Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status


Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat

jumlahnya dalam status


d. Akses darah dihentikan
2. Observasi terhadap mesin HD
a. Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd
b.
c.
d.
e.

dicatat setiap 1 jam


Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1

jam.
Perawatan Sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara

3.

menghentikan HD pada pasien dan mesin HD.


a.

Cara mengakhiri HD pada pasien


1.

Ukur tekanan darah dan nadi sebelum slang inlet

2.
3.
4.

dicabut
Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai
saline normal sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara
hingga semua darah dalam sirkulasi ekstrakorporeal

b.

5.

kembali ke sirkulasi sistemik


Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10

6.

menit, hingga darah berhenti dari luka tusukan


Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu

7.
8.

catat
Timbang berat badan lalu dicatat
Kirimkan darah ke laboratorium

Cara mengakhiri mesin HD

1. Kembalikan tekanan negative, tekanan positif, ke posisi nol


2. Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat lalu
kembalikan ke Hansen connector
3. Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
4. Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride pekat)
sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
5. Bila formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan
kembali.

27

Gambar 2.2 Proses Hemodialisa

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HEMODIALISA
3.1 Pengkajian
A. Identitas
Nama pasien, umur, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, suku, agama,
nama orang tua, alamat rumah, nomor telepon.
B.

Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pada pasien GGK yang akan dilakukan hemodialisa biasanya
mengeluh mual, muntah, anorexia, akibat peningkatan ureum darah
dan edema akibat retensi natrium dan cairan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu

28

Perlu ditanya penyakit-penyakit yang pernah diderita klien sebagai


penyebab terjadinya GGK, seperti DM, glomerulonefritis kronis,
pielonefritis. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penggunakan
analgesik yang lama atau menerus.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu ditanyakan apakah orang tua atau keluarga lain ada yang
menderita GGK erat kaitannya dengan penyakit keturunannya
seperti GGK akibat DM.
C.

Data Biologis
a. Makan & minum
Biasanya terjadi penurunan nafsu makan sehubungan dengan
keluhan mual muntah akibat peningkatan ureum dalam darah.
b. Eliminasi
Biasanya terjadi gangguan pengeluaran urine seperti oliguri,
anuria, disuria, dan sebagainya akibat kegagalan ginjal melakukan
fungsi filtrasi, reabsorsi dan sekresi.
c. Aktivitas
Pasien mengalami kelemahan otot, kehilangan tonus dan
penurunan gerak sebagai akibat dari penimbunan ureum dan zat-zat
toksik lainnya dalam jaringan.
d. Istrahat/tidur
Pasien biasanya mengalami gangguan pola istrahat tidur akibat
keluhan-keluhan sehubungan dengan peningkatan ureum dan zatzat toksik seperti mual, muntah, sakit kepala, kram otot dan
sebagainya.

D.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum

lemah dan penurunan tingkat kesadaran


akibat terjadinya uremia

Vital sign

biasanya terjadi hipertensi akibat retensi


cairan dan natrium dari aktivitas sistim renin

BB

Biasanya meningkat akibat oedema

1. Inspeksi

29

a. Tingkat kesadaran pasien biasanya menurun


b. Biasanya timbul pruritus akibat penimbunan zat-zat toksik pada kulit
c. Oedema pada tungkai, acites, sebagai akibat retensi cairan dan natrium
2. Auskultasi
Perlu dilakukan untuk mengetahui

edema pulmonary akibat

penumpukan cairan dirongga pleura dan kemungkinan gangguan


jantung (perikarditis) akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh
toksik uremik serta pada tingkat yang lebih tinggi dapat terjadi
gagal jantung kongestif.
3. Palpasi
Untuk memastikan oedema pada tungkai dan acietas.
4. Perkusi
Untuk memastikan hasil auskultasi apakah terjadi oedema
pulmonar yang apabila terjadi oedema pulmonary maka akan
terdengar redup pada perkusi.
E.

Data Psikologis
Pasien biasanya mengalami kecemasan akibat perubahan body
image, perubahan peran baik dikeluarga maupun dimasyarakat. Pasien
juga biasanya merasa sudah tidak berharga lagi karena perubahan
peran dan ketergantungan pada orang lain.

F.

Data Sosial
Pasien biasanya mengalami penurunan aktivitas sosial akibat
penurunan kondisi kesehatan dan larangan untuk melakukan aktivitas
yang berat.

G. Data Penunjang
1. Rontgen foto dan USG yang akan memperlihatkan ginjal yang kecil
dan atropik
Laboratorium :

2.
1

BUN dan kreatinin, terjadi peningkatan ureum dan kreatinin


dalam darah.

Elektrolit dalam darah : terjadi peningkatan kadar kalium dan


penurunan kalium.

3.2 Diagnosa Keperawatan

30

1.

Pola nafas tidak efektif b.d: Edema paru ,Asidosis metabolic Hb 7

2.

gr/dl Pneumonitis perikarditis


Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap

3.

penusukan & pemeliharaan akses vaskuler


Kelebihan volume cairan b.d: penurunan haluaran urine diet cairan

4.

berlebih retensi cairan & natrium


Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d: anoreksia,

5.

mual & muntah pembatasan diet perubahan membrane mukosa oral


Harga diri rendah b.d: Ketergantungan Perubahan peran , Perubahan

6.

citra tubuh dan fungsi seksual


Resiko infeksi b.d prosedur infasif berulang

3.3 Intervensi
Diagnosa kep./
No
1

masalah kolaborasi
Pola

nafas

tidak

efektif b.d:

Rencana keperawatan
Intervensi

Tujuan & criteria hasil


Pola

nafas

setelah

efektif

1.

dilakukan

Edema paru

tindakan HD 4-5 jam,

Asidosis metabolic

dengan criteria:

Hb 7 gr/dl

nafas 16-28 x/m

Pneumonitis

edema paru hilang

perikarditis

tidak sianosis

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kaji penyebab nafas tidak

Rasional

1.

efektif
Kaji respirasi & nadi
cara

nafas

yang

2.
3.

efektif
Berikan O2

dilakukan
Menentukan tindakan
Melapangkan dada klien
sehingga

Lakukan SU pada saat HD


Kolaborasi pemberian tranfusi
darah
Kolaborasi

menentukan

tindakan yang harus segera

Berikan posisi semi fowler


Ajarkan

Untuk

4.

sehingga

Hb rendah, edema, paru


pneumonitis,

antibiotic
Kolaborasi foto torak

berikutnya
kondisi klien pada

longgar
Hemat energi

lebih

nafas tidak semakin berat

pemberian

9.
10. valuasi kondisi klien pada HD

nafas

perikarditis

5.

menyebabkan

suplai O2 ke jaringan <


SU adalah penarikan secara
cepat

11. Evaluasi

asidosis,

pada

HD,

mempercepat pengurangan

HD berikutnya

6.

edema paru
Untuk Hb, sehingga suplai

7.

O2 ke jaringan cukup
Untuk mengatasi infeksi

31

8.

paru & perikard


Follou up penyebab nafas

9.

tidak efektif
Mengukur

keberhasilan

tindakan
follou up kondisi

10. Untuk
klien

Resiko
akses

cedera

b.d

vaskuler

&

Pasien tidak mengalami

komplikasi sekunder kulit pada sekitar AV


terhadap
&

penusukan

Kaji kepatenan AV shunt

2.

sebelum HD
Monitor kepatenan kateter

3.

sedikitnya setiap 2 jam


Kaji warna kulit, keutuhan

shunt utuh/tidak rusak

pemeliharaan Pasien

akses vaskuler

1.

cedera dg kriteria:

tidak

mengalami komplikasi
HD

4.
5.
6.

kulit, sensasi sekitar shunt


Monitor TD setelah HD
Lakukan

heparinisasi

1.

AV yg sudah tidak baik bila


dipaksakan

2.

terjadi

rupture vaskuler
Posisi kateter yg berubah
dapat

3.

bisa

terjadi

rupture

vaskuler/emboli
Kerusakan jaringan dapat

pada

didahului tanda kelemahan

shunt/kateter pasca HD
Cegah terjadinya infeksi pd

pada kulit, lecet bengkak,

area shunt/penusukan kateter

4.

sensasi
Posisi baring lama stlh HD
dpt

5.

menyebabkan

orthostatik hipotensi
Shunt dapat mengalami
sumbatan

6.

&

dapat

dihilangkan dg heparin
Infeksi
dpt
mempermudahkerusakan
jaringan

Kelebihan

volume

Keseimbangan volume

cairan b.d:

cairan tercapai setelah

penurunan

dilakukan HD 4-5 jam

haluaran

dengan kriteria:

urine

diet cairan berlebih BB post HD sesuai dry


retensi
natrium

1.
2.

cairan

&

weight

Udema hilang

Retensi 16-28 x/m

kadar

3.
4.
5.
6.
7.

natrium darah

132-145 mEq/l

8.

1.

Kaji status cairan

Pengkajian

merupakan

Timbang bb pre dan post hd

dasar untuk memperoleh

Keseimbangan masukan dan

data,

haluaran
Turgor kulit dan edema

evaluasi dari intervensi


Pembatasan cairan akan

2.

Distensi vena leher

menetukan

Monitor vital siign


Pada saat priming & wash out
hd
Lakukan hd dengan uf & tmp
dg

kenaikan

dry

weight,

haluaran urine & respon

Batasi masukan cairan

sesuai

pemantauan

3.

terhadap terapi.
UF & TMP yang sesuai
akan kelebihan volume
cairan sesuai dg target BB

bb

9.

interdialisis
Identifikasi sumber masukan

4.

edeal/dry weight
Sumber kelebihan cairan

10.

cairan masa interdialisis


Jelaskan pada keluarga &

5.

dapat diketahui
Pemahaman
kerjasama

32

klien

11.

rasional

cairan
Motivasi

pembatasan

klien

untuk

klien & keluarga dalam

6.

kebersihan mulut

pembatasan cairan
Kebersihan
mengurangi
mulut,

mulut

kekeringan
sehingga

keinginan

klien

untuk

minum
4

Ketidakseimbangan

Keseimbangan

nutrisi

nutrisi, kurang dari

tercapai

setelah

kebutuhan tubuh b.d:

dilakukan

anoreksia, mual &

HD

yang

sdekuat (10-12 jam/mg)

1.
a.
b.
c.

protein

pembatasan diet

terpenuhi,

dengan kriteria:

perubahan membrane
tidak
mukosa oral

terjadi

turgor

kulit

normal

2.
3.

diet

nilai

memantau

perubahan

Pengukuran antropometri

intervensi yang sesuai


Pola diet dahulu

kaji faktor yang berperan


dalam

merubah

nutrisi
kolaborasi

4.

2.

sekarang

3.

menentukan

4.

5.

minggu
kolaborasi pemberian infus

6.

albunin 1 jam terakhir HD


Tingkatkan masukan protein
dengan nilai biologi tinggi:

protein tinggi

telur, daging, produk susu


Anjurkan camilan rendah

7.

protein,

rendah

mana

&

untuk

yang

dimodifikasi.
Tindakan
HD
muntah

5.

bisa
yang

&

anoreksia,

sehingga nafsu makan


Pemberian albumin lewat
infus iv akan albumin

6.

serum
Protein lengkap akan

7.

keseimbangan nitrogen
Kalori akan energi,

natrium,

memberikan

kesempatan

makan
elaskan rasional pembatasan

8.

protein untuk pertumbuhan


pemahaman klien sehingga

diet,

9.

mudah menerima masukan


untuk menentukan status

hubungan

dengan

penyakit ginjal dan urea dan

9.

kreatinin
Anjurkan timbang BB tiap

10.

hari
Kaji adanya masukan protein

11.

berguna

&

adekuat, kejadian mual-

tinggi kalori diantara waktu

8.

untuk

menentukan menu
Memberikan
informasi,
faktor

masukan

tindakan HD 4-5 jam 2-3

3,5-5,0 gr/dl
konsumsi

Perubahan BB

protein
kaji pola diet

tanpa udema
kadar albumin plasma

dasar

kreatinin, kadar albumin,

penambahan atau BB
yang cepat

Sebagai

Nilai lab. (elektrolit, BUN,

selama 3 bulan, diet

muntah

1.

Kaji status nutrisi:

yang tidak adekuat


Edema
Penyembuhan

cairan & nutrisi

10. penurunan protein


albumin,
udema

dapat

pembentukan
&

perlambatan

penyembuhan

yang

lama, Albumin serum turun


5

Intoleransi
b.d.:
Keletihan

aktivitas

Setelah
tindakan

dilakukan
keperawatan

& HD, klien mampu

1.

Kaji

faktor

menimbulkan keletihan:
Anemia

yang

1.

Menyediakan
tentang

a.

33

indikasi

informasi
tingkat

Anemia

berpartisipasi

Retensi

produk

aktivitas

dalam

yang

ditoleransi,

sampah

b.

dapat

berpartisipasi
aktivitas

dalam

2.

perawatan

mandiri yang dipilih


berpartisipasi dalam
aktivitas dan latihan
istirahat

&

aktivitas

seimbang/bergantian

cairan & elektrolit


Retensi produk sampah

c.
d.

dengan

kriteria:

Prosedur dialisis

Ketidakseimbangan

depresi

Tingkatkan

kemandirian

2.

3.

keletihan
Meningkatkan

aktifitas

ringan/sedang

&

memperbaiki harga diri


Mendorong
latihan

&

dalam aktifitas perawatan diri

aktifitas

yang dapat ditoleransi, bantu

ditoleransi & istirahat yang

3.

jika keletihan terjadi


Anjurkan aktivitas alternatif

4.

sambil istirahat
Anjurkan untuk

4.

yang

adekuat
Istirahat

dapat

yang

adekuat

dianjurkan setelah dialisis,


istirahat

karena adanya perubahan

setelah dialisis

keseimbangan

cairan

&

elektrolit yang cepat pada


proses

dialisis

sangat

melelahkan
5

Harga diri rendah b.d:

Memperbaiki

konsep

Ketergantungan

diri, dengan criteria:

Perubahan peran

Pola koping klien dan

Perubahan
tubuh

dan

keluarga efektif

citra
fungsi Klien & keluarga bisa
mengungkapkan

seksual

perasaan & reaksinya


terhadap

perubahan

1.

Kaji respon & reaksi klien &


keluarganya

1.

terhadap

Menyediakan data klien &


keluarga

dalam

2.

penyakit & penanganannya.


Kaji hubungan klien dan

2.

hidup
Penguatan

3.

keluarga terdekat
Kaji pola koping klien dan

3.

terhadap klien diidentifikasi


Pola koping yang efektif

4.

keluarganya
Ciptakan diskusi yang terbuka
tentang

hidup yang diperlukan

perubahan

menghadapi

6.

Perubahan gaya hidup

seksual

lain

menerima

ditetapkan sekarang
Klien

dapat

masalah

5.

harus dihadapi
Bentuk alternatif aktifitas

6.

seksual dapat diterima.


Seksualitas mempunyai arti
yang berbeda bagi tiap

selain hubungan seks


Diskusikan peran memberi
dan

yang

dan langkah-langkah yang

Perubahan seksual
dialisis
Gali cara alternatif untuk

penanganan

mengidentifikasi

Perubahan dalam pekerjaan

ekspresikan

7.

&

4.

Ketergantungan dg center

dukungan

jika menghadapi penyakit

terjadi akibat penyakit &

5.
a.
b.
c.
d.

&

dimasa lalu bisa berubah

yang

penangannya
Perubahan peran

perubahan

individu, tergantung dari


maturitasnya.

cinta,

kehangatan dan kemesraan

Resiko
prosedur
berulang

infeksi

b.d

infasif

Pasien tidak mengalami

1.

pertahankan area steril selama

2.

penusukan kateter
Pertahankan teknik

steril

selama

akses

infeskis dg criteria:

Duhu dbn
Al dbn
Tak

ada

kemerahan

vaskuler:

kontak

dg

1.

Mikroorganisme
dicegah

penusukan,

2.

masuk

dapat
kedalam

tubuh saat insersi kateter


Kuman
tidak
masuk
kedalam area insersi

34

sekitar shunt
Area

shunt

tidak

3.

pelepasan kateter
Monitor area akses
terhadap

nyeri/bengkak

HD

3.

Inflamasi/infeksi
dg

kemerahan,

kemerahan,

ditandai
nyeri,

4.

bengkak, nyeri
Beri pernjelasan pd pasien

4.

bengkak
Gizi yang baik daya tahan

5.

pentingnya satus gizi


Kolaborasi
pemberian

5.

tubuh
Pasien HD mengalami sakit
khonis, imunitas

antibiotik

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal,
dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis
merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi
ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada
pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi
pengganti ginjal.
Tujuan hemodialisis adalah untuk membuang produk sisa
metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat, membuang
kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian
cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam
kompartemen dialisat, mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer
tubuh serta mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Meskipun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin
hemodialisis, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting
sebagai dampak dari penyakit dan hemodialisis. Oleh karena diperlukan
suatu asuhan keperawatan yang komprehensif untuk meminimalkan
terjadinya komplikasi dari tindakan ini.
4.2 Saran

35

Adanya makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi


khususnya bagi mahasiswa keperawatan, serta dapat memberikan masukan
bagi tenaga medis khususnya kepada perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan yang komperhensif pada pasien dengan hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA
Abedini, S., Meinitzer, A., Holme, I., Marz, M., Weihrauch, G., Fellstrm,
B., Jardine, A., and Holdaas, H. 2010. Asymmetrical Dimethylarginine is
Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of
Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an
Effort to Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control
in Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol.
Aird, W.C., 2007. Phenotypic Heterogeneity of the Endothelium : I. Structure,
Function, and Mechanisms.
Associated with Renal and Cardiovascular Outcomes and All-cause Mortality
Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Editor: Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001
in Renal Transplant Recipients. Kid Int,
Price dan Wilson. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi
2. Jakarta : EGC, 1991.
Supriyadi, Wagiyo, Widowati, S.R.. Tingkat Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal Kronik Terapi Hemodialisis. 2011. Journal Kemas 6 (2) pp 107-112
UNPAD Bandung. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Perkemihan
Bagi Dosen Dan Instruktur Klinik Keperawatan. Bandung : UNPAD
Bandung, 2000.
Volume Excess. Nephrol Dial Transplant,

36

Anda mungkin juga menyukai