Anda di halaman 1dari 15

TOXOPLASMA GONDII

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu pada Mata Kuliah Protista Semester Tiga
yang Diampu oleh Dr. Jumari, S.Si, M.Si.
Disusun oleh:
EKO PURNOMO (24020115130098)

BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................ii
TOXOPLASMA GONDII...............................................................................................................1
1.

Pengertian.............................................................................................................................1

2.

Morfologi..............................................................................................................................1

3.

Siklus Hidup.........................................................................................................................2

4.

Adaptasi Lingkungan............................................................................................................3

5.

Cara Penularan.....................................................................................................................4

6.

Gejala Penyakit.....................................................................................................................5

7.

Virulensi dan Infektivitas......................................................................................................7

8.

Pencegahan...........................................................................................................................8

9.

Penelitian Toxoplasma Gondii..............................................................................................9

KESIMPULAN..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................12

TOXOPLASMA GONDII
1. Pengertian
Toxoplasma berasal dari kata toxon (lengkung) dan gondii yang merupakan sejenis binatang
pengerat, Cytenodactylus gondii . Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada tahun 1908.

Toxoplasma gondii termasuk genus Toxoplasma; Subfamili Toxoplasmatinae; Famili


Sarcocystidae; Subkelas Coccide; Kelas Sporozoa; Filum Apicomplexa. Toxoplasma gondii
dibedakan menjadi lima tipe, masing-masing tipe terdiri atas berbagai galur, dapat diisolasi di
tempat-tempat di berbagai belahan dunia. Setiap tipe memiliki karakteristik biologic dan
pathogenesis yang berbeda (Chandra, 2005).
2. Morfologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk yaitu
takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk
takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat.
Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak
di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Sasmita,
2006). Bentuk ini terdapat

di dalamtubuh hospes perantara seperti burung dan mammalia

termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitive. Takizoit ditemukan pada infeksi akut
dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memsuki tiap sel yang berinti. Kista dibentuk
di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista
berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi satu bradizoit dan ada yang berukuran 200
mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan sumur hidup
terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Toxoplasma gondii pada bagian otak berbentuk
lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada,
2003).
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai didnding,
berisi sati sporoblas yang menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua
sporoblas membentuk didnding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut
berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu. Toxoplasma gondii
dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida., berkembang biak secara seksual dan aseksual
yang terjadi secara bergantian.

Gambar : a. takizoit: b. ookista; c. ookista dalam jaringan

3. Siklus Hidup
Daur hidup Toxoplasma gondii melalui dua siklus enteroepitel dan siklus ekstraintestinal. Siklus
enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitive seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di
dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal,
ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi,
ookista akan berisi sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara
lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut. Kemudian di dalam ileum, dinding
sporokista akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa
ileum dan mengikuti aliran daran dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati,
dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada di dalam sel organorgan tersebut. Psudokista tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit.
Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian
terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada
infeksi menahun (infeksi laten).

4. Adaptasi Lingkungan
Toxoplasma gondii bergantung pada kondisi lingkungan, jangka waktu perubahan oosit untuk
sporulasi dan bentik infektif memerlukan waktu satu hingga beberapa minggu. Kondisi seperti
aerasi dan temperature mempengaruhi lamanya proses sporulasi terjadi, temperature yang lebih
rendah akan memperlambat proses ini. Lindsay (2002) melaukan sebuah studi, menunjukkan
bahwa ookista nonsporulasi, dapat bertahan pada lingkungan dengan suhu 4C dan
mempertahankan kemampuan untuk melakukan sporulasi setidaknya selama tiga bulan. Ookista
sporulatif lebih kuat dibanding ookista non sporulatf. Ketika sporulasi, ookista mempertahankan
bentuk infektif di tanah lembab selama 18 bulan dan selama bebarapa tahun di air tawar dan laut
dengan suhu 4C. Durasi infektif, bagimanapun, akan hancur siring dengan peningkatan suhu.
Bentuk infektif dapat bertahan selama 200 hari pada suhu antara 10-25C, selama 1 bulan dengan

suhu 35C, selama satu hari dengan suhu 45C dan ookista sporulatif menjadi bentuk non infektif
setelah 1 menit pada suhu 60C. Ookista nonsporulatif akan mati dalam waktu 24 jam saat
disimpan pada suhu 37C, sedangkan ookista sporulatif dapat bertahan selama 1 bulan pada suhu
35C dan 9 hari pada suhu 40C (Lindsay, Blagburn, & Dubey, 2002). Proses pembekuan pada
suhu -21C mampu membunuh ookista nonsporulatif dan sporulatif selama 1 dan 28 hari, pada
masing-masingnya (ESR, 2010).
Kista jaringan Toxoplasma gondii tetap dalam bentuk infektif pada daging yang disimpan
pada suhu 4C selama 19 hari. Memasak daging infektif pada temperature internal 67C atau
lebih tinggi akan meng-inaktifkan kista. Membekukan daging pada suhu -10C selama 3 hari
atau -20C selama 2 hari atau pada uji dengan sinar gamma dengan dosis 75 krad juga mampu
membunuh kista jaringan (El-Nawawi, Tawfik, & Shaapan, 2008). Takizoit bias ditemukan
dalam susu hospes intermediet yang non-aktif dengan perlakuan pasteurisasi (Tenter, Heckeroth,
& Weiss, 2000).
Bradizoit yang ditemukan dalam kista jaringan, resisten pada pencernaan lambung,
sedangkan takizoit biasanya hancur oleh suasana asam dan enzim proteolitik di dalam lambung.
Bukti eksperimen mengindikasikan bahwa takizoit dapat bertahan dalam kondisi larutan pepsinasam sampai 2 jam dan tipe daging yang dimakan mungkin meningkatkan pH lambung dan
memungkinkn takizoit melewati lambung ke dalam usus halus dalam bentuk infektif (Tenter,
2009).
5. Cara Penularan
Manusia dapat terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dengan berbagai cara. Toxoplasmosis
kongenital, berupa tranmisi toxoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya
mendapat infeksi primer waktu hamil. Toxoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan
daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista atau trofozoit
Toxoplasma gondii. Tercemaranya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit
ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran Toxoplasma
gondii.
Orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yeng dikeluarkan
dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau

dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antar dokter
hewan, mahasiswa kedohteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang
menangani daging mentah seperti juru masak . Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi
oragan tubuh dari donor penderita Toxoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah
terinfeksi Toxoplasma gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja
dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan Toxoplasma gondii yang hidup. Infeksi
dengan Toxoplasma gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi.

6. Gejala Penyakit
Kasus infeksi Toxoplasma gondii pada kebanyakan manusia tidak menunjukkan gejala, tapi
infeksi akan mengakibatkan beberapa kerusakan klinis dan kerusakan fatal. Infeksi pada manusia
terdapat pada postnatal atau dalam Rahim dan mengakibatkan kematian janin, toxoplasmik

kongenital, toxoplasmik ensefalitis, toxoplasmosis okuler atau penyakit self-limiting akut


(Montoya & Liesenfeld, 2004).
Orang dewasa dan anak-anak yang sehat, kebanyakan infeksi postnatal yang diperoleh
tidak menunjukkan gejala pada 10-20% perkembangan suatu self-limiting individual dan
penyakit yang tidak spesifik. Gejala penyakit mungkin termasuk ringan, seperti flu disertai
demam rendah, nyeri otot, pembengkakan kelenjar getah bening, lesu dan sakit kepala.
Pembesaran kelenjar getah bening pengamatan secara umum manifestasi dari toxoplasmosis
manusia. Sakit dimulai 3-25 hari (artinya 11 hari).
Retinochoroiditis toxoplasmik (peradangan pada retina dan koroid) dapat berasosiasi
dengan kongenital dan posnatal yang diperoleh dari penyakit akibat infeksi akut atau pengaktifan
kembali infeksi laten. Perkembangan parasit di retina manusia diakibatkan peradangan koroid;
parasit tidak berkembang biak di dalam koroid (Dubey, Lunney, Shen, Kwok, Ashford, &
Thulliez, 1996). Temuan khas yang diperoleh dari retinochroiditis postnatal dan kongenital
termasuk munculnya lesi putih dengan peadangan yang parah dari cairan kental di belakang
mata. Gejala ini terjadi akbat lesi retina yang aktif, yang mengarah ke jaringan parut retia.
Retinochroditis toxoplasmik secara signifikan mengakibatkan hilangnya daya penglihatan.
Kursus alami okuler toxoplasmois dan dampak jangka panjang pada penglihatan yang
bergantung pada frekuensi kambuhnya, denga meminimalakan kerusakan retina jika penyakit
aktif diobati lebih awal. Rekurensi (daya kambuh) retinokrodoitis dapat terjadi baik pada
toxoplasmosis kongenital dan postanatal. Komplikasi berat terkait dengan toxoplasmosis okuler
berupa berkas serat, pelepasan (ablasi) retina, katarak, peradangan dan kerusakan saraf optic.
Penyakit okuler merupakan satu diantara manifestasi klinis penting yang akut (parah; berat),
toxoplasmosis postnatal, terutama di Negara Brazil. Sebagian besar kasus toxoplasmosis okuler
adalah infeksi postnatal.
Toxoplasmosis kongenital terjadi ketika seorang wanita terinfeksi T. gondii saat hamil.
Takizoit tersirkulasi di dalam aliran darah yang bias menginvasi dan berkembang biak di plasenta
lalu peda gilirannya menginfeksi janin. Masuknya parasit ke dalam Rahim dapat mengakibatkan
kecacatan atau keguguran seketika. Kecacatan kongenital ini dapat termasuk toxoplasmosis
okuler, hidrosepalus (big head), keterbelakangan mental dan pengapuran intra kranial. Meskipun
resiko penularan kurang umum pada trisemester pertama, infeksi bawaan (kongenital) yang

diperoleh selama trisemester pertama lebih berat dibanding yang diperoleh di trisemester kedua
atau ketiga saat kehamilan.
Infeksi akan merusak imunitas individu, parasit yang terbebas tidak terkontrol karena
pecahnya jeringan kista otak. Hal ini mengarah pada gejala yang mempengaruhi system saraf,
termasuk pusing, ganguan mental, kejang, hemiparesis (kelemahan otot pada salah satu bagian
tubuh), ataxia dan/ atau wajah kaku. Jika tidak diobati, infeksi dapat berkembang mnjadi
ensepalitis toxoplasmic yang fatal. Daya tahan tubuh individual rentan terhadap ensepalitis
toxoplasmik

dari infeksi yang diperoleh atau reaktivasi infeksi laten, diyakini bahwa

kebanyakan kasus ensepalitis toxoplasmik karena yang kedua (Montoya dan Liensefield, 2004).
Reaktivasi terjadi jika bradizoit keluar dari kista dan menjadi takizoit kibat tertekannya respon
kekebalan inang yang sebelumya dihambat oleh aktivitas parasit. Pecahnya kista pada kekebalan
tubuh individual umumnya terjadi di otak (Feustel, Meissner, & Lisenfeld, 2012). Kasus di
Australia, dimana tingkat rawat inap akibat ensepalitis menurun secara substansial dari
puncaknya tahin 1993 karena pengobatan profilaksis pada pasien HIV (Huppatz, et al., 2009).

7. Virulensi dan Infektivitas


Virulensi dan infektivitas Toxoplasma Gondii tergantung pada faktor pengendalian interaksi sel
parasit-inang dan/ atau respon imun inang yang cukup. Struktur populasi T. gondii terdiri dari
tiga garis keturunan yang sangat melimpah dan berlebihan, secara umum disebut sebagai genotif
I, II dan III, daiantara yang terkait. Tiga garis keturunan klonal sangat erat kaitannya tapi
perbedaan kecil genetis menghasilkan perbedaan fenotof dalam infektivitas dan virulensi (Sibley
& Ajioka, 2008).
Kebanyakan studi virulensi memiliki genotif I, II dan III yang terlibat dan virulensi
memiliki tipe yang telah di ukur pada seekor model tikus patogenik, dengan pengetahuan yang
relatif sedikit tentang infeksi manusia. Dalam model tikus, strain virulen yang kuat memiliki tipe
genotif I dimana kebanyakan dari strain non virulen adalah genotif II dan III. Sedikit diketahui
tentang genotif recombinan atau tidak lazim (Dubremetz & Lebrun, 2012). Pada manusia, bukti
untuk virulensi spesifik strain adalah kurang baik dipelajari dan terutama bergantung pada bukti
epidemologi. Sebagaian besar kasus manusia dikaitkan pada genotif II yang memungkinkan

untuk menjadi sebuah bukti over presentasi dari genotif ini pada kelompok hewan di Eropa dan
Amerika yang telah di dokumentasikan. Strain genotif I virulen secara alami terdapat pada tikus,
namun, meluas pada manusia berupa penyakit okuler berat dalam bentuk kekebalan tubuh orang
dewasa yang diakitkan dengan strain genotif I. Lalu, strain non-genotif II berkaitan dengan
beberapa penyakit pernafasan pada bayi yang terkena infeksi kongenital di US (McLeod, et al.,
2012). Baru-baru ini, virulen tinggi dengan genotif tidak biasa di Guyana Perancis dan Brazil
telah menyebabkan kerusakan parah pada system imun manusia, janin dan kesahatan manusia.
Negara Australia, strain genotif II didapatkan dari isolate manusia dan anjing (Al-Qassab, et al.,
2009) dan tidak biasa dan tipe strain II telah diisolasi dari satwa endemic Australia
(Parameswaran, et al., 2010). Hasil isolasi di Australia yang dinyatakan sejauh ini, semuanya non
virulen pada uji hewan tikus.

8. Pencegahan
Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu factor yang mempengaruhi
timbulnya Toxoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam tinjanya, yang
dapat bertahan sampai satau tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Upaya mencegahnya
dengan menjaga terjadi infeksi pada kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang
sehingga kucing tidak berburu tikus. Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi
dan ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 C.
Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65 C selama empat sampai lima
menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga
hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat . Setelah memegang daging
mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun
sampai bersih.
Hal yang paling penting dicegah adalah terjadinya Toxoplasmosis kongenital, yaitu anak
yang lahir dengan cacat retardasi mental dan ganguan motorik. Pencegahan dengan tindakan
abortus artefisial (pengguguran kandungan) dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24
minggu, mengurangi kejadian Toxoplasmosis kongenital kurang dari 50% karena lebih dari 50%
Toxoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir kehamilan .
Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer

dengan Toxoplasma gondii, dapat dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi
Toxoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini.

9. Penelitian Toxoplasma Gondii


1. Faktor Resiko Terjadinya Infeksi Toxoplasma Gondii pada anjing pemburu, peliharaan
dan anjing penjaga di Spanyol Selatan dan Afrika Utara
Proporsi makan turut mempengaruhi infeksi T. gondii, semakin tinggi ookista T. gondii
yang tertelan maka resika infeksi akan semakin besar. Hasil studi membuktikan,
seroprevalensi T. gondii pada hewan peliharaan dapat terjadi, dimana terdapat 15,5% dari
103 binatang peliharaan Luanda, Angola dan 21,6 % di Cina. Selain itu seroprevalensi
juga terjadi pada anjing rumahan dan anjing yang bebas berkeliaran. Sebanyak 31,6%
dari 610 anjing perkotaan dan 34,3% dari 134 anjing kampung. Hewan yang berkeliaran
lebih rentan terjangkit infeksi dibandingkan dengan hewan rumahan. Anjing berburu juga
sangat rentan terkana infeksi T. gondii ketika memakan sebagian atau keseluruhan tubuh
mangsanya. Hasil studi ini dapat digunakan untuk memonitor kondisi parasit ini di
lingkungan. Pengelolaan yang baik saat pemberian makan anjing dengan pakan kering
atau daging yang dimasak sempurna dan mencegah kontak dengan hospes definitig dapat
mencegah atau membatasi infeksi T. gondii pada anjing. Sebaiknya setelah melakukan
kontak dengan anjing, tangan dicuci sampai bersih untuk mencegah penularannya ke
manusia (David, et al., 2016).
2. Identifikasi dan Karakterisasi Antigen Imunogenik, Enolase 2, antara Antigen Eksretori/
Sekretori (ESA) dari Toxoplasma Gondii
T. gondii merupakan parasit intraseluler obligat yang menyerang sel inang untuk
bereplikasi dan bertahan hidup. Proses ini berlangsung cepat dan dinamis yang
bergantung pada jumlah sekresi protein sekretori, diekenal dengan ESA. Tiga
immunogenik spesifik yang telah diidentifikasi yakni, protein membrane, protein
disulfide isomerase dan enolase 2. Enolase 2 (enzim glikolitik) memiliki peran penting
dalam metabolisme parasit. Hasil studi menunjukkan bahwa over ekspresi Tg-Enolase 2
berhasil menkatalisis 2-PGE menjadi PEP, yang dapat mempertahankan aktivitas

enzimatik. Tg-enolase 2 bekerja maksimal pada suhu 37C dan beraktivitas dengan baik
pada rentang suhu 45-25C, pH optimumnya adalah 7,5, hancur ketika pH <5,0 dan
meningkat >9,0. Mg2+ memiliki peran yang esensial dalam aktivitas enzimatik T. gondii.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas T. gondii terhambat oleh penggantian 10
mM Mg2+, dengan Na+, Cu2+ dan Cr3+ dalam reaksi buffer dan benar-benar berkurang saat
ditambahkan K+, Ni2+ atau Al3+. Studi lain menunjukkan bahwa logam divalent seperti
Co2+, Mn2+ dan Cu2+, menghambat semua reaksi enzim pada uji enolase. Hasil uji ini
mengindikasikan bahwa enolase 2 bergantung pada ion, sehingga, penghambatan
aktivitas enzim dengan penambahan logam divalent sperti Na+, Cu2+ dan Cr3+ dapat
digunakan sebagai strategi untuk mencegah infeksi T. gondii pada inang. Hasil studi juga
menunjukkan bahwa enolase 2 dalam sebuah infeksi yang berasosiai dengan antigen dan
1D6 mAb, dengan spesifitas dan sensivitas yang tinggi, dapat mendetsi infeksi akut T.
gondii dan berpotensi menghambat infeksi (Jiang, et al., 2016).

KESIMPULAN

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk yaitu
takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit). Toxoplasma
gondii adalah parasit yang membutuhkan tubuh inang untuk bereplikasi dan bertahan hidup.
Toxoplasma gondii pada awal perkambangannya pertama kali berada dalam tubuh inang
definitive seperti kucing dan tikus. Daur hidup Toxoplasma gondii melalui dua siklus enteroepitel
dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitive seperti kucing.
Kemudian ookista yang dikeluarkan bersama kotoran kucing akan berada dilingkungan dan
menjadi sporo kista dan jika tertelan manusia akan menginfeksi dengan segera. Toxoplasma
gondii merupakan mikroorganisme berbahaya karena dapat menyebabkan beberapa penyakit

akut hingga kelainan dan kematian pada janin. Pencegahan dini dan pengobatan untuk
toxoplasmosis (infeksi akibat T. gondii) terus dikembangkan hingga saat ini. Pencegahan dini
yang harus dilakukan terutama pada ibu hamil adalah menjauhi hospes definif seperti kucing dan
tikus dan memasak makanan secara matang sempurna. Pengambangan vaksin terus
dikembangkan untuk menghindari infeksi akut oleh parasit Toxoplasma gondii.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qassab, S., Reichel, M., Su, C., Jenkins, D., Hall, C., Windsor, P., et al. (2009). Isolation of
Toxoplasma Gondii from The Brain of A Dog in Australia and Its Biological and
Molecular Characterization. Veterinary Parasitology, 164(2-4), 335339.
Chandra, G. (2005). Toxoplasma Gondii: Aspek Biologi, Epidomologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaannya. Jakarta: Avetis Pharma Indonesia.
David, C., Mara, P., Sal, J., scar, C., Sonia, A., ngela, G., et al. (2016). Risk Factors of
Toxoplasma Gondii Infection in Hunting, Pet and Watchdogs from Southern Spain and
Northern Africa. Parasitology International, 65, 363-366.
Dubey, J., Lunney, J., Shen, S., Kwok, O., Ashford, D., & Thulliez, P. (1996). Infectivity of Low
Numbers of Toxoplasma Gondii Oocysts to Pigs. Journal of Parasitology, 82(3), 438
443.
Dubremetz, J., & Lebrun, M. (2012). Virulence Factors of Toxoplasma Gondii. Microbes and
Infection, 14(15), 14031410.
El-Nawawi, E., Tawfik, M., & Shaapan, R. (2008). Methods for Inactivation of Toxoplasma
Gondii Cysts in Meat and Tissues of Experimentally Infected Sheep. Foodborne
Pathogens and Disease, 5(5), 687-690.
ESR. (2010). Toxoplasma Gondii. New Zealand: Ministry for Primary Industries.

Feustel, S., Meissner, M., & Lisenfeld, O. (2012). Toxoplasma Gondii and The Blood-Brain
Barrier. Virulence, 3(2), 182192.
Gandahusada, S. I. (2003). Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia.
Huppatz, C., Durrheim, D., Levi, C., C., D., Williams, D., Clements, M., et al. (2009). Etiology
of Encephalitis in Australia, 1990-2007. Emerging Infectious Diseases, 15(9), 1359
1365.
Jiang, W., Jun-Xin, X., Ying-Chun, L., Tao, L., Xian-Gan, H., Shao-Hui, W., et al. (2016).
Identification and Characterization of an Immunogenic Antigen, Enolase 2, Among
Excretory/ Secretory Antigens (ESA) of Toxoplasma Gondii. Protein Expression and
Purification, 127, 88-97.
Lindsay, D., Blagburn, & Dubey, J. (2002). Survival of Nonsporulated Toxoplasma Gondii
Oocysts under Refrigerator Conditions. Veterinary Parasitology, 103(4), 309-313.
McLeod, R., Boyer, K., Lee, D., Mui, E., Wroblewski, K., Karrison, T., et al. (2012). Prematurity
and Severity Are Associated with Toxoplasma Gondii Alleles (NCCCTS, 1981-2009).
Clinical Infectious Diseases, 54(11), 15951605.
Montoya, J., & Liesenfeld, O. (2004). Toxoplasmosis. Lancet, 363(9425), 19651976.
Parameswaran, N., Thompson, R., Sundar, N., Pan, S., Johnson, M., Smith, N., et al. (2010).
Non-Archetypal Type II-Like and Atypical Strains of Toxoplasma Gondii Infecting
Marsupials of Australia. International Journal for Parasitology, 40(6), 635640.
Sasmita, R. (2006). Toksoplasmosis: Penyebab Penyebab Keguguran dan Kelainan Bayi.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Sibley, L., & Ajioka, J. (2008). Population Structure of Toxoplasma Gondii: Clonal Expansion
Driven by Infrequent Recombination and Selective Sweeps. Annual Review of
Microbiology, 62, 329351.
Tenter. (2009). Toxoplasma Gondii in Animals Used for Human Consumption. Memrias do
Instituto Oswaldo Cruz, 104(2), 363-369.

Tenter, A., Heckeroth, A., & Weiss, L. (2000). Toxoplasma Gondii: from Animals to Humans.
International Journal for Parasitology, 30(12-13), 1217-1258.

Anda mungkin juga menyukai