Kelompok 4:
Brillyan Rahman
1407122188
Silvany Mutiara Praja
1407120869
Vera Fitriani
1407111681
Wan Dea Vianda
1407112189
Dosen Pengampu:
Elvi Yenie ST, M.Eng
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati yang tertinggi di dunia, sehingga mendapat julukan sebagai biodiversity
country. Keanekaragaman hayati ini mencakup ekosistem, spesies yang berada di
darat dan laut, padahal luas daratan Indonesiia hanya 1,5 % dari luas di dunia.
Selain geologi pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia,
variasi iklim dari bagian barat yang lembab sampai bagian timur yang kering
sangat mempengaruhi pembentukan ekosistem dan distribusi binatang maupun
tumbuhan yang ada di dalamnya (Susmianto, 2004).
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat
di daerah pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan
laut. Panjang garis pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan
daerah teritorial suatu negara.
Konservasi wilayah pesisir yang dimaksud adalah upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan
kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2007: 3).
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan,
perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan.
Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem
memiliki kegunaan dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Kualitas dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir harus terus
dikonservasi sehingga keanekaragaman hayatinya terus meningkat dan kondisi
ekosistem dalam keadaan homeostatis. Sebaliknya, jika suatu ekosistem pesisir
menunjukkan keanekaan hayatinya mengalami penurunan harus diwaspadai
sebagai tanda perlunya upaya untuk pemulihan kembali. Sebab jika tidak
dilakukan konservasi bukan saja ekosistem pesisir yang rusak, tetapi juga nasib
manusia (masyarakat pesisir) yang terancam.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda
penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal
dari wilayah pesisir dan sekitarnya.
Wilayah Kota Dumai terletak pada posisi koordinat 101o2337
101o2813 BT dan 01o2300 01o2423 LU. Wilayahnya terdiri dari tanah
rawa bergambut dengan kedalaman 00,5 m dan beberapa kilometer ke arah
Selatan terdapat daratan rendah dengan kemiringan 05 %. Memiliki luas
1.772,38 km2 terdiri dari 5 kecamatan dan 32 kelurahan. Kelima kecamatan
tersebut yaitu Kecamatan Dumai Barat dengan luas 120 km 2, Kecamatan Dumai
Timur dengan luas 59 km2 dan Kecamatan Bukit Kapur dengan luas 250 km2,
Kecamatan Medang Kampai 373 dan Kecamatan Sungai Sembilan 970,38 km 2
(Hanif, 2011).
Perairan pantai Purnama Dumai termasuk vvilayah Kelurahan Purnama
Kecamatan Dumai Barat Kota Dumai. Secara geogratis Kota Dumai berada pada.
posisi 134'25" LU dan 10129'05" BT, Di hadapan perairan pantai Purnama
Dumai terdapat Pulau Rupat yang rnelindungi perairan ini dari hemp as an
gelombang besar yang disebabkan oleh angin kencang terutamapadawaktu musim
utara. Perairan pantai Purnama Dumai dikelilingi oleh beberapa pulau. Selain
Pulau Rupat juga adal Pulau Payung, Pulau Rempang, Pulau Baru, Pulau Mantek.
Pulau Mampu dan Pulau Ketam. Dengan demikian perairan ini memiliki ombalc
yang relatif kecil karena angin yang bertiup terhalang oleh pulau-pulau tersebut
sehingga kondisi perairan ini relatif tenang. Wilayah perairan Pantai Dumai
dimanfaatkan oleh penduduk setempat dalam menjalankan aktivitas kehidupan
sehari-hari sebagai transportasi dan kapai-kapal nelayan, sebagai daerah
penangkapan ikan (fishing ground) clan sebagai tempat pembuangan limbah
ruinah tangga, Aktivitas ini baik secara iangsung maupun tidak langsung akan
dapat mempengaruhi kondisi perairan pantai, misaJnya seperti pencemaran yang
disebabkan oleh barbagai aktivitas di sekitar pantai.
Sebagai suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang
khas yang semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam
konteks ekologi wilayah pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda
dinamika komponen sistem yang lain yang ada dalam wilayah pesisir (Abrahamsz
et al, 2005).
Sebagai salah satu kawasan berkembang, kota Dumai dalam beberapa
dekade terakhir ini memang sangat marak terlihat pembangunan-pembangunan
yang terfokus pada kawasan pesisir. Mulai dari pembangunan pabrik-pabrik
industri, perusahaan, pelabuhan, dan lain-lain. Dalam era otonimi daerah,
penerapan otonomi daerah harus memenuhi asas otonomi luas (misalnya, daerah
dapat menafsirkan urusannya di bidang perikanan secaraluas sesuai kebutuhan
daerah), otonomi nyata (urusan yang ditafsirkannya tersebut betul-betul nyata ada
dan benar-benar diperlukan oleh masyarakat daerah tersebut dan otonomi
bertanggung jawab (pelaksanaan otonomi harus menjaga keserasian antara daerah,
antara pusat dan daerah dalam kerangka NKRI). Ketiga asas otonomi ini dapat
dipandang sebagai acuan harmonisasi hukum (Rusyadi et al, 2008).
Sumadhiharga (1995) memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara
lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran
sel biota laut, mengakibatkna keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan
tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau
minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan
kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida,
dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air
laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari
kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul. Akibat jangka panjang dari
pencemaran minyak adalah terutama bagi biota laut yang masih muda. Minyak di
dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat
dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi
dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari
organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak
Adapun tipe sedimen yang terdapat di pantai Purnama Dumai yang dilihat
secara visual adalall lumpur. Dominasi Lumpur disebabkan antara lain oleh
perairan pantai Purnama Dumai yang secara geografis terkurung pulau-pulau,
serta kawasan ini juga rerletak tidak jauh dari muara Sungai Mesjid sehingga
terbawanya bahan bahan organic dan fraksi halus menyebabkan sedimen dari
darat terurai daJam bentuk berbagai partikel.
Setelah mengetahui berbagai dampak yang ditimbulkan dari polutanpolutan lingkungan laut, maka sangatlah perlu dilakukan upaya pengendalian
bahkan pencegahan terhadap pencemaran laut mengingat akibatnya yang tidak
saja dirasakan oleh biota-biota laut tetapi juga oleh manusia. Upaya pengendalian
pencemaran laut perlu dilaksanakan sejak awal, dalam arti limbah-limbah yang
dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut, haruslah
diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut.
Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola,
sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung
dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Konservasi memang merupakan usaha yang kompleks dan juga
BAB II
METODE
Berbagai metoda pengolahan limbah telah digunakan dan dikembangkan pada
berbagai industri. Pada proses penanggulangan atau pemulihan tumpahan minyak
pada pantai dilakukan penelitian yang melalui kegiatan uji coba di laboratorium.
Bakteri yang digunakan dalam perlakuan degradasi minyak adalah Alcanivorax
sp. TE-9. Perlakuan bakteri yang diuji cobakan untuk mendegradasi minyak
adalah dalam skala tabung (50 ml) dengan sistem sekali unduh atau batch culture.
Penggunaan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 sebagai inokulan dalam uji coba
degradasi minyak. Bakteri Alcanivorax sp. TE-9 sudah diketahui kemampuannya
dalam mendegradasi minyak dari Pantai Balongan, Indramayu. Berdasarkan hal
tersebut, diharapkan selain mampu mendegradasi minyak di Pantai Balongan,
Indramayu juga mampu mendegradasi pencemaran minyak dengan kondisi
berbeda, seperti sedimen di Pantai purnama, Dumai.
Waktu Penelitian: Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - April 2010,
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Laut, Puslit Oseanografi LIPI-Ancol,
Jakarta.
Bahan dan Alat: Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah berupa sampel
sedimen dan air dari perairan Purnama, Dumai yang diambil pada bulan Maret
2010 dan dicampur dengan koleksi sedimen Pertamina UP VI Purnama yang
diambil sejak bulan September 2008 dari Perairan Pantai Purnama saat terjadi
tumpahan minyak di Pantai Purnama, Dumai. Bahan lain yang akan digunakan
dalam penelitian adalah isolat bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dari koleksi isolat
laboratorium mikrobiologi, Puslit Oseanografi LIPI-Ancol dan bahan media
pertumbuhan bakteri menggunakan marine agar.
Periode Pengamatan: Periode pengukuran biodegradasi minyak seiring dengan
pengukuran laju pertumbuhan bakteri dan parameter lingkungan yaitu pada hari
ke-0, ke-7, ke-14 dan 28. Waktu pengukuran biodegradasi minyak dilakukan pada
hari ke-0, ke-7, ke-14 dan 28 karena disesuaikan dengan pola peningkatan
pertumbuhan sel bakteri dan pola penurunan konsentrasi minyak pada penelitian
sebelumnya (Darmayati et al. 2008; Darmayati, 2009a).
Prosedur Penelitian: Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap persiapan dan
pelaksanaan penelitian.
Persiapan Penelitian Sterilisasi Alat: Sterilisasi alat-alat seperti tabung, pipet
volumetric, cawan porselen dan cawan petri dicuci dengan air typol dan
selanjutnya dibilas dengan akuades. Peralatan dikeringkan terlebih dahulu,
kemudian dibungkus dengan kertas, sedangkan tabung reaksi ditutup dengan
kapas dan aluminium foil. Semua alat-alat gelas yang siap, dimasukan kedalam
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
Persiapan Sedimen dan Air:
Pelaksanaan Penelitian
Pengukuran Konsentrasi Minyak.
metode EPA (1996) dimodifikasi Darmayati (2010) yaitu seluruh sampel dalam
tabung falcon setelah diinkubasi, kemudian ditambahkan larutan DCM:Hexane =
1:1 sebanyak 5 ml. Selanjutnya sampel dikocok selama 30 menit secara manual
untuk melarutkan minyak yang terdapat di dalam sampel sedimen dan air
(Penambahan DCM: Hexane dan pengocokan diulang sebanyak 4 kali tahapan
dan disentrifuse untuk memisahkan minyak dan DCM:Hexane. Setelah
disentrifuse 5 menit, maka terjadi pemisahan larutan, yang terdapat pada lapisan
atas (hasil dari pemisahan) yaitu minyak dan larutan DCM:Hexane diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 3 gram Na2SO4. Larutan yang ada di
dalam tabung berisi Na2SO4 kemudian didiamkan selama 24 jam untuk
menghilangkan kandungan air yang terbawa dalam larutan dan minyak.
Selanjutnya larutan diambil menggunakan pipet pasteur dan dituang kedalam
cawan porselen untuk selanjutnya diuapkan 1x48 jam. Cawan porselen
sebelumnya sudah diketahui berat kosongnya. Kemudian cawan porselen
ditimbang dengan timbangan analitik (Sartorius BP 210S) untuk mengetahui berat
.. . . . . . . . . . . . . . . . . . (1)
Persentase
. . . . . . . . . . . . . . . .(2)
Keterangan :
S0 = konsentrasi awal
St = konsentrasi setelah waktu tertentu
Laju Degradasi Minyak.
degradasi minyak oleh aktivitas bakteri yang diplotkan terhadap waktu inkubasi.
Setelah memperoleh nilai konstanta, kemudian digunakan untuk mengetahui
konsentrasi minyak pada saat pengukuran. Laju degradasi minyak dihitung
berdasarkan rumus Horan (1990) dalam Notodarmojo (2005) :
Nt = No. e-kt
.(3)
atau
Ln Nt = - kt + Ln No
Keterangan :
(4)
No
= konsentrasi awal
Nt
= konstanta
= waktu
Pertumbuhan Bakteri . Penghitungan total sel bakteri dengan metode direct count
berdasarkan Hobbie et al. (1977) yaitu pengamatan menggunakan mikroskop
epifluoroscense dan pengecatan bakteri dengan larutan Acridine Orange. Sampel
dari tabung percobaan diambil 0.1 ml dan dimasukan ke dalam 0.9 ml air laut
steril, kemudian dikocok. Selanjutnya sebanyak 0.1 ml dimasukan ke dalam 1.145
ml Acridin Orange dan dikocok. Setelah homogen, campuran sampel dengan
larutan Acridine Orange disaring dengan filter polikarbonat yang sudah direndam
larutan sudan black semalam dan sudah dibilas akuades steril. Filter diletakkan di
gelas benda yang sudah ditetesi minyak imersi, kemudian ditutup dengan cover
glass. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop epifluoroscence perbesaran 1000
kali. Perhitungan sel dilakukan pada 10 bidang pandang. Sel yang hidup tampak
hijau dan sel yang mati berwarna orange. Total sel bakteri dihitung berdasarkan
rumus Hobbie et al. (1977) sebagai berikut:
Total Sel =
n
V3 x A
Keterangan:
n
V1
V2
V3
Periode
et al. 2008;
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Degradasi Minyak. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium menunjukkan
bahwa uji kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 selama 28 hari ternyata
mampu menurunkan konsentrasi minyak lebih tinggi daripada kontrolnya. Data
pengaruh penambahan bakteri terhadap degradasi minyak ditunjukkan pada Tabel
1.
mendegradasi
hidrokarbon
karena
bakteri
tersebut
mampu
Gambar 4 Grafik Pertumbuhan Sel Bakteri pada Semua Perlakuan Selama Proses
Biodegradasi
Oleh karena itu, jika penelitian bioremediasi ini diperpanjang, maka sebaiknya
diberikan penambahan pupuk secara berkala, sehingga menjaga ketersediaan N
dan P. Penambahan nitrogen pada media dapat meningkatkan biodegradasi
minyak sebesar 25% (Udiharto, 1992). Secara teoritis, mikroba membutuhkan
minimal 150 mg nitrogen dan 30 mg fosfor untuk mendegradasi 1000 mg karbon
menjadi sel baru (Rosenberg dan Ron, 1996).
Secara umum, antara pertumbuhan bakteri dan degradasi minyak menghasilkan
kecenderungan seiring. Bakteri yang memiliki pertumbuhan tertinggi, juga akan
menghasilkan kadar minyak yang terdegradasi tinggi. Hal ini menunjukkan telah
dimanfaatkannya minyak sebagai sumber karbon untuk menghasilkan energi dan
pertumbuhan bakteri.
Hubungan pertumbuhan bakteri dan penurunan konsentrasi minyak sudah terlihat
pada hari ke-7. Penurunan minyak pada semua perlakuan ditunjang dengan
adanya pertumbuhan sel bakteri setelah mengalami adaptasi pada awal inokulan
bakteri. Pertumbuhan bakteri yang cepat setelah bakteri mengalami masa adaptasi
dikarenakan bakteri sudah dapat memanfaatkan substrat minyak sebagai sumber
karbon sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Selanjutnya
pertumbuhan bakteri yang meningkat berbanding terbalik dengan penurunan
konsentrasi minyak (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bakteri
Alcanivorax sp. TE-9 yang diuji cobakan pada penelitian, merupakan faktor yang
menyebabkan penurunan konsentrasi minyak di dalam sampel sedimen.
Selama proses biodegradasi, menunjukkan penurunan minyak seiring dengan
peningkatan pertumbuhan bakteri dan mencapai maksimum pada hari ke-14. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Hozumi et al. (2000) bahwa semakin banyak
biomassa bakteri, semakin cepat minyak yang dikonsumsi oleh bakteri sebagai
sumber karbon, sehingga berat residu minyak yang terukur juga semakin
berkurang. Adanya penurunan minyak ini menunjukkan bahwa minyak digunakan
sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri sebagai sumber karbon.
Teknik bioremediasi ini sangat aman karena menggunakan mikroba yang secara
alamiah sudah ada dilingkungan. untuk kawasan pesisir dumai, karena di daerah
pesisir dumai tepatnya pantai purnama dimanfaatkan oleh penduduk setempat
dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari, pencemaran yang disebabkan
oleh barbagai aktivitas di sekitar pantai.
Faktor yang mempengaruhi Bioremediasi ini diantaranya pengaruh suhu, kondisi
tanah, dan lain sebagainya. Di daerah pantai purnama yang mengalami tumpahan
minyak dapat dilakukan perbaikan dengan bioremediasi juga faktor suhu di pantai
purnama 24-30oC dan teknik bioremediasi untuk mendegradasi tumpahan minyak
memerlukan suhu 30-40oC. Dan kondisi tanah di pantai purnama dapat diketahui
derajat keasamaannya 6,5-7,5 dan dapat masuk dalam kategori kondisi teknik
bioremediasi dimana pH yang berkisar antara 6,5 7,5 (tyanagbio,2012).
Untuk kasus di pantai purnama, dumai. Dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik bioremediasi dalam upaya konservasi pantai yang mengalami perusakan
akibat tumpahan minyak.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan. Konsentrasi minyak mengalami degradasi, hal ini ditandai dengan
konsentrasi yang cenderung menurun dari waktu ke waktu. Perubahan ini
disebabkan oleh kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam menggunakan
minyak sebagai sumber karbon untuk mensintesis enzim oksigenase yang
digunakan dalam mendegradasi minyak.
Saran. Bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dapat digunakan sebagai agen bioremediasi
minyak dalam penelitian lanjutan. Untuk meningkatkan proses degradasi, dalam
penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menggunakan gabungan metode
bioaugmentasi (penambahan bakteri) dan metode biostimulasi (penambahan
nutrient).
DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1994. Biodegradation and Bioremediation. Academic Press. New
York.
Baker KH, Herson DS. 1994. Bioremediation. Mc. Graw-Hill Inc, New York.
Darmayati Y, Harayama S, Yamazoe A, Hatmanti A, Sulistianti, Nuchsin R,
Kunarso DH. 2008. Hydrocarbonoclastic bacteria from Jakarta Bay and
Seribu Islands. Marine Research Indonesia 1: 55-64.
Darmayati Y. 2009a. Pemanfaatan bakteri laut dalam bioremediasi ekosistem
pantai berpasir tercemar minyak: Uji coba biostimulasi, bioaugmentasi,
dan kombinasinya dalam skala laboratorium dan demplot. Laporan Akhir.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta.
Darmayati Y. 2009b. Seleksi bakteri laut pendegradasi minyak dari Perairan
Teluk Jakarta. Di dalam: Seminar Nasional Perikanan Indonesia. Jakarta,
3-4 Desember 2009.
Darmayati Y. 2010. Bioremediation of crude oil contaminated sediment using
slow release fertilizer Hydrcarbonoclastic bacteria population dinamics.
Ilmu Kelautan 2: 462 476.
Dragun J. 1998. The Soil Chemistry of Hazardous Materials. 2nd Edition.
Amherst Scientific Publishers, Amherst, MA.
Harayama S, Kishira Y, Kasai Y, Shutsubo K. 1999. Petroleum Biodegradation
in Marine Environments. Journal Molecular Microbiology Biotechnology
1: 63-70.