Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KONSERVASI LINGKUNGAN

TEKNIK KONSERVASI PANTAI (studi kasus: Tumpahan


minyak di Pantai Purnama, Dumai dengan Perbandingan di
Pantai Balongan, Indramayu)

Kelompok 4:
Brillyan Rahman
1407122188
Silvany Mutiara Praja
1407120869
Vera Fitriani
1407111681
Wan Dea Vianda
1407112189
Dosen Pengampu:
Elvi Yenie ST, M.Eng

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN S1


JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2016

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati yang tertinggi di dunia, sehingga mendapat julukan sebagai biodiversity
country. Keanekaragaman hayati ini mencakup ekosistem, spesies yang berada di
darat dan laut, padahal luas daratan Indonesiia hanya 1,5 % dari luas di dunia.
Selain geologi pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia,
variasi iklim dari bagian barat yang lembab sampai bagian timur yang kering
sangat mempengaruhi pembentukan ekosistem dan distribusi binatang maupun
tumbuhan yang ada di dalamnya (Susmianto, 2004).
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat
di daerah pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan
laut. Panjang garis pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan
daerah teritorial suatu negara.
Konservasi wilayah pesisir yang dimaksud adalah upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan
kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2007: 3).
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan,
perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan.
Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem
memiliki kegunaan dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Kualitas dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir harus terus
dikonservasi sehingga keanekaragaman hayatinya terus meningkat dan kondisi
ekosistem dalam keadaan homeostatis. Sebaliknya, jika suatu ekosistem pesisir
menunjukkan keanekaan hayatinya mengalami penurunan harus diwaspadai
sebagai tanda perlunya upaya untuk pemulihan kembali. Sebab jika tidak

dilakukan konservasi bukan saja ekosistem pesisir yang rusak, tetapi juga nasib
manusia (masyarakat pesisir) yang terancam.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda
penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal
dari wilayah pesisir dan sekitarnya.
Wilayah Kota Dumai terletak pada posisi koordinat 101o2337
101o2813 BT dan 01o2300 01o2423 LU. Wilayahnya terdiri dari tanah
rawa bergambut dengan kedalaman 00,5 m dan beberapa kilometer ke arah
Selatan terdapat daratan rendah dengan kemiringan 05 %. Memiliki luas
1.772,38 km2 terdiri dari 5 kecamatan dan 32 kelurahan. Kelima kecamatan
tersebut yaitu Kecamatan Dumai Barat dengan luas 120 km 2, Kecamatan Dumai
Timur dengan luas 59 km2 dan Kecamatan Bukit Kapur dengan luas 250 km2,
Kecamatan Medang Kampai 373 dan Kecamatan Sungai Sembilan 970,38 km 2
(Hanif, 2011).
Perairan pantai Purnama Dumai termasuk vvilayah Kelurahan Purnama
Kecamatan Dumai Barat Kota Dumai. Secara geogratis Kota Dumai berada pada.
posisi 134'25" LU dan 10129'05" BT, Di hadapan perairan pantai Purnama
Dumai terdapat Pulau Rupat yang rnelindungi perairan ini dari hemp as an
gelombang besar yang disebabkan oleh angin kencang terutamapadawaktu musim
utara. Perairan pantai Purnama Dumai dikelilingi oleh beberapa pulau. Selain
Pulau Rupat juga adal Pulau Payung, Pulau Rempang, Pulau Baru, Pulau Mantek.
Pulau Mampu dan Pulau Ketam. Dengan demikian perairan ini memiliki ombalc
yang relatif kecil karena angin yang bertiup terhalang oleh pulau-pulau tersebut
sehingga kondisi perairan ini relatif tenang. Wilayah perairan Pantai Dumai
dimanfaatkan oleh penduduk setempat dalam menjalankan aktivitas kehidupan
sehari-hari sebagai transportasi dan kapai-kapal nelayan, sebagai daerah
penangkapan ikan (fishing ground) clan sebagai tempat pembuangan limbah
ruinah tangga, Aktivitas ini baik secara iangsung maupun tidak langsung akan
dapat mempengaruhi kondisi perairan pantai, misaJnya seperti pencemaran yang
disebabkan oleh barbagai aktivitas di sekitar pantai.

Sebagai suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang
khas yang semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam
konteks ekologi wilayah pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda
dinamika komponen sistem yang lain yang ada dalam wilayah pesisir (Abrahamsz
et al, 2005).
Sebagai salah satu kawasan berkembang, kota Dumai dalam beberapa
dekade terakhir ini memang sangat marak terlihat pembangunan-pembangunan
yang terfokus pada kawasan pesisir. Mulai dari pembangunan pabrik-pabrik
industri, perusahaan, pelabuhan, dan lain-lain. Dalam era otonimi daerah,
penerapan otonomi daerah harus memenuhi asas otonomi luas (misalnya, daerah
dapat menafsirkan urusannya di bidang perikanan secaraluas sesuai kebutuhan
daerah), otonomi nyata (urusan yang ditafsirkannya tersebut betul-betul nyata ada
dan benar-benar diperlukan oleh masyarakat daerah tersebut dan otonomi
bertanggung jawab (pelaksanaan otonomi harus menjaga keserasian antara daerah,
antara pusat dan daerah dalam kerangka NKRI). Ketiga asas otonomi ini dapat
dipandang sebagai acuan harmonisasi hukum (Rusyadi et al, 2008).
Sumadhiharga (1995) memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara
lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran
sel biota laut, mengakibatkna keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan
tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau
minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan
kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida,
dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air
laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari
kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul. Akibat jangka panjang dari
pencemaran minyak adalah terutama bagi biota laut yang masih muda. Minyak di
dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat
dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi
dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari
organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak

di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian


seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut
lainnya, dan bahkan manusia.

Aktivitas lalu lintas tanker di lautan menjadi

potensi penting bagi pencemaran ekologi maritim. Khususnya insiden-insiden


kebocoran yang kerap memuntahkan kandungan minyak dari tanker sehingga
terbuang ke laut, baik akibat kecelakaan karena tabrakan antara sesama kapal
maupun karena terbentur karang atau gunung es. Di antara kecelakaan besar yang
terjadi adalah yang menimpa kapal Torrey Canyon (di daerah Cornwall-Inggris,
1976, menumpahkan 117.000 ton), Amoco Cadiz (Inggris, 1978, menumpahkan
223.000 ton), Exxon Valdez (Alaska, 1989, menumpahkan 11.2x106 ton
sepanjang 3800 km dari garis pantai), dan Mega Borg (Texas, 1990,
menumpahkan 500.000 gallon).

Pencemaran minyak, secara langsung dapat

mengganggu keadaan lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga


dapat mengganggu pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu
peternakan/binatang piaraan penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung,
pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat
membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar
laut.Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula
yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut
akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan
berdiam. Pohon-pohon mangrove yang masih muda (berumur 4-5 tahun) juga
musnah akibat pencemaran minyak ini.

Ketika terjadi pencemaran akibat kapal

tanki Witwater di daerah laut Atlantik menuju Terusan Panama yang


menumpahkan 20.000 barrel diesel dan bunker C, banyak pohon-pohon mangrove
yang masih muda musnah, demikian pula banyak tumbuhan alga dan hewan
invertebrata. Peristiwa yang lebih menghebohkan adalah peristiwa pecahnya kapal
tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar
10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi
oleh genangan minyak. Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret
1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit
100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989b).

Adapun tipe sedimen yang terdapat di pantai Purnama Dumai yang dilihat
secara visual adalall lumpur. Dominasi Lumpur disebabkan antara lain oleh
perairan pantai Purnama Dumai yang secara geografis terkurung pulau-pulau,
serta kawasan ini juga rerletak tidak jauh dari muara Sungai Mesjid sehingga
terbawanya bahan bahan organic dan fraksi halus menyebabkan sedimen dari
darat terurai daJam bentuk berbagai partikel.
Setelah mengetahui berbagai dampak yang ditimbulkan dari polutanpolutan lingkungan laut, maka sangatlah perlu dilakukan upaya pengendalian
bahkan pencegahan terhadap pencemaran laut mengingat akibatnya yang tidak
saja dirasakan oleh biota-biota laut tetapi juga oleh manusia. Upaya pengendalian
pencemaran laut perlu dilaksanakan sejak awal, dalam arti limbah-limbah yang
dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut, haruslah
diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut.

Banyak sekali sumber polutan

yang menyebabkan terjadinya pencemaran di laut. Karena cakupannya sangat


luas, maka pada paper ini pengendalian pencemaran laut lebih ditekankan pada
masalah pencemaran oleh minyak yang meliputi masalah eksplorasi, pengilangan,
dan tumpahan minyak.
Sebagaimana upaya untuk mengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan,
maka telah banyak dirumuskan dan dilakukan langkah-langkah antisipatif, salah
satunya ialah dengan menerapkan konsep konservasi yang dilakukan, tidak bisa
tidak, harus mengakomodasi aspek keruangan yang menjadi karakteristik
sumberdaya alam, dalam hal ini sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut.
(Abrahamsz, 2005).
Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau
melindungi alam Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah,
konservasi berasal dari bahasa Inggris, Conservation yang artinya pelestarian atau
perlindungan. Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah:

Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau


distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak
menyediakan jasa yang sama tingkatannya.

Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan


dan sumber daya alam

(fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi


kiamia atau transformasi fisik.

Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan

Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola,
sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung
dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Konservasi memang merupakan usaha yang kompleks dan juga

membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pelaksanaannya. Dan memang


dalam pelaksanaannya membutuhkan tenaga dari banyak orang. Oleh sebab itu
penulis tertarik melakukan penelitian konservasi ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari Latar belakang yang ada dapat diangkat rumusan masalah:
1. Bagaimana teknik atau upaya konservasi pantai yang tercemar oleh
tumpahan minyak di wilayah pesisir, tepatnya Pantai purnama,
Dumai yang mengalami penurunan akibat oleh adanya kegiatan
industri atau kerusakan kapal tangker, kebocoran kilang minyak
dan lain sebagainya?

BAB II
METODE
Berbagai metoda pengolahan limbah telah digunakan dan dikembangkan pada
berbagai industri. Pada proses penanggulangan atau pemulihan tumpahan minyak
pada pantai dilakukan penelitian yang melalui kegiatan uji coba di laboratorium.
Bakteri yang digunakan dalam perlakuan degradasi minyak adalah Alcanivorax
sp. TE-9. Perlakuan bakteri yang diuji cobakan untuk mendegradasi minyak
adalah dalam skala tabung (50 ml) dengan sistem sekali unduh atau batch culture.
Penggunaan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 sebagai inokulan dalam uji coba
degradasi minyak. Bakteri Alcanivorax sp. TE-9 sudah diketahui kemampuannya
dalam mendegradasi minyak dari Pantai Balongan, Indramayu. Berdasarkan hal
tersebut, diharapkan selain mampu mendegradasi minyak di Pantai Balongan,
Indramayu juga mampu mendegradasi pencemaran minyak dengan kondisi
berbeda, seperti sedimen di Pantai purnama, Dumai.
Waktu Penelitian: Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - April 2010,
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Laut, Puslit Oseanografi LIPI-Ancol,
Jakarta.
Bahan dan Alat: Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah berupa sampel
sedimen dan air dari perairan Purnama, Dumai yang diambil pada bulan Maret
2010 dan dicampur dengan koleksi sedimen Pertamina UP VI Purnama yang
diambil sejak bulan September 2008 dari Perairan Pantai Purnama saat terjadi
tumpahan minyak di Pantai Purnama, Dumai. Bahan lain yang akan digunakan
dalam penelitian adalah isolat bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dari koleksi isolat
laboratorium mikrobiologi, Puslit Oseanografi LIPI-Ancol dan bahan media
pertumbuhan bakteri menggunakan marine agar.
Periode Pengamatan: Periode pengukuran biodegradasi minyak seiring dengan
pengukuran laju pertumbuhan bakteri dan parameter lingkungan yaitu pada hari
ke-0, ke-7, ke-14 dan 28. Waktu pengukuran biodegradasi minyak dilakukan pada

hari ke-0, ke-7, ke-14 dan 28 karena disesuaikan dengan pola peningkatan
pertumbuhan sel bakteri dan pola penurunan konsentrasi minyak pada penelitian
sebelumnya (Darmayati et al. 2008; Darmayati, 2009a).
Prosedur Penelitian: Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap persiapan dan
pelaksanaan penelitian.
Persiapan Penelitian Sterilisasi Alat: Sterilisasi alat-alat seperti tabung, pipet
volumetric, cawan porselen dan cawan petri dicuci dengan air typol dan
selanjutnya dibilas dengan akuades. Peralatan dikeringkan terlebih dahulu,
kemudian dibungkus dengan kertas, sedangkan tabung reaksi ditutup dengan
kapas dan aluminium foil. Semua alat-alat gelas yang siap, dimasukan kedalam
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
Persiapan Sedimen dan Air:

Titik pengambilan sampel dilakukan secara

random dengan mengambil 5 titik. Sedimen diambil menggunakan push core,


selanjutnya sampel sedimen disimpan dalam tabung plastik (nalgen) yang telah
disterilisasi. Sampel air diambil secara manual dengan menggunakan botol kaca.
Sampel sedimen dan air dimasukan dalam cool box selama perjalanan dari
lapangan menuju laboratorium. Sampel sedimen dari Pantai Purnama dibersihkan
dari kotoran dan serasah. Selanjutnya sedimen dicampur dengan koleksi sedimen
dari Pertamina UP VI Purnama dan dihomogenkan untuk memperoleh konsentrasi
minyak yang tinggi.
Persiapan Isolat: Isolat bakteri Alcanivorax sp. TE-9 diambil dari koleksi
laboratorium mikrobiologi, P2O-LIPI-Ancol. Isolat bakteri diperbanyak (kultur)
dengan metode goresan (streak) pada medium marine agar yang terdapat dalam
cawan petri kemudian diinkubasi selama 3 hari dalam inkubator pada suhu 300 C
untuk mendapatkan inokulum bakteri. Selanjutnya bakteri dipanen menggunakan
larutan salin (NaCl) sebanyak 5-8 ml diteteskan secara bertahap di atas medium
marine agar yang telah ditumbuhi bakteri, diratakan menggunakan batang
driglasky untuk mempermudah lepasnya sel dari medium. Larutan salin yang
mengandung sel bakteri dipisahkan dari medium menggunakan pipet mikro dan
ditampung dalam tabung baru, seperti pada Gambar 1. Selanjutnya dilakukan

pengukuran kerapatan sel bakteri menggunakan spektofotometer Amersham


Ultrospec 3100 pro. Pengukuran Optical density (OD) dilakukan dengan panjang
gelombang () optimum pada tiap strain. Optical density (OD) 0.8 atau kepadatan
108 sel bakteri per ml digunakan sebagai patokan karena berdasarkan uji coba
pendahuluan, jumlah sel bakteri optimum yang untuk mendegradasi minyak
adalah 108 sel/ml (Darmayati et al. 2008).

Pelaksanaan Penelitian
Pengukuran Konsentrasi Minyak.

Pengukuran konsentrasi minyak dengan

metode EPA (1996) dimodifikasi Darmayati (2010) yaitu seluruh sampel dalam
tabung falcon setelah diinkubasi, kemudian ditambahkan larutan DCM:Hexane =
1:1 sebanyak 5 ml. Selanjutnya sampel dikocok selama 30 menit secara manual
untuk melarutkan minyak yang terdapat di dalam sampel sedimen dan air
(Penambahan DCM: Hexane dan pengocokan diulang sebanyak 4 kali tahapan
dan disentrifuse untuk memisahkan minyak dan DCM:Hexane. Setelah
disentrifuse 5 menit, maka terjadi pemisahan larutan, yang terdapat pada lapisan
atas (hasil dari pemisahan) yaitu minyak dan larutan DCM:Hexane diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 3 gram Na2SO4. Larutan yang ada di
dalam tabung berisi Na2SO4 kemudian didiamkan selama 24 jam untuk
menghilangkan kandungan air yang terbawa dalam larutan dan minyak.
Selanjutnya larutan diambil menggunakan pipet pasteur dan dituang kedalam
cawan porselen untuk selanjutnya diuapkan 1x48 jam. Cawan porselen
sebelumnya sudah diketahui berat kosongnya. Kemudian cawan porselen
ditimbang dengan timbangan analitik (Sartorius BP 210S) untuk mengetahui berat

minyak mentah. Konsentrasi minyak dihitung dengan menggunakan rumus


berdasarkan Pagoray (2009):
Konsentrasi minyak (ppm) =
(x y )
gram

.. . . . . . . . . . . . . . . . . . (1)

(1) Keterangan : x = berat cawan + minyak (g)


y = berat cawan kosong (gr)
Persentase Degradasi minyak. Residu minyak pada waktu pengukuran hari ke0, 7, 14 dan 28 tersebut digunakan untuk menentukan kemampuan bakteri dalam
mendegradasi minyak yang ada dalam sampel sedimen + air.

Persentase

degradasi minyak ditentukan dengan menggunakan rumus berdasarkan Bishnoi et


al. (2008) :
% Degradasi minyak =
(SoSt)
x 100
So

. . . . . . . . . . . . . . . .(2)

Keterangan :
S0 = konsentrasi awal
St = konsentrasi setelah waktu tertentu
Laju Degradasi Minyak.

Laju degradasi diperoleh dari nilai konstanta hasil

degradasi minyak oleh aktivitas bakteri yang diplotkan terhadap waktu inkubasi.
Setelah memperoleh nilai konstanta, kemudian digunakan untuk mengetahui
konsentrasi minyak pada saat pengukuran. Laju degradasi minyak dihitung
berdasarkan rumus Horan (1990) dalam Notodarmojo (2005) :
Nt = No. e-kt

.(3)

atau
Ln Nt = - kt + Ln No
Keterangan :

(4)

No

= konsentrasi awal

Nt

= konsentrasi pada saat pengukuran

= konstanta

= waktu

Pertumbuhan Bakteri . Penghitungan total sel bakteri dengan metode direct count
berdasarkan Hobbie et al. (1977) yaitu pengamatan menggunakan mikroskop
epifluoroscense dan pengecatan bakteri dengan larutan Acridine Orange. Sampel
dari tabung percobaan diambil 0.1 ml dan dimasukan ke dalam 0.9 ml air laut
steril, kemudian dikocok. Selanjutnya sebanyak 0.1 ml dimasukan ke dalam 1.145
ml Acridin Orange dan dikocok. Setelah homogen, campuran sampel dengan
larutan Acridine Orange disaring dengan filter polikarbonat yang sudah direndam
larutan sudan black semalam dan sudah dibilas akuades steril. Filter diletakkan di
gelas benda yang sudah ditetesi minyak imersi, kemudian ditutup dengan cover
glass. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop epifluoroscence perbesaran 1000
kali. Perhitungan sel dilakukan pada 10 bidang pandang. Sel yang hidup tampak
hijau dan sel yang mati berwarna orange. Total sel bakteri dihitung berdasarkan
rumus Hobbie et al. (1977) sebagai berikut:

Total sel bakteri dihitung dengan rumus sebagai berikut:


V 1V 2

Total Sel =

n
V3 x A
Keterangan:
n

= rata-rata penghitungan sel bakteri

V1

= volume larutan AODC (ml)

V2

= volume sampel dalam larutan AODC (ml)

V3

= volume larutan sampel yang disaring (ml)

= diameter filter polikarbonat (20 mm)

A = luas bidang pandang mikroskop (0.015386 mm2)

Parameter Lingkungan. Waktu pengukuran parameter lingkungan dilakukan


seiring dengan pengukuran konsentrasi minyak dan pertumbuhan bakteri yaitu
pada hari ke-0, ke-7, ke-14 dan ke-28. Parameter lingkungan yang diukur yaitu
pH, suhu, salinitas dan oksigen terlarut. Pengukuran pH dilakukan dengan alat
pHmeter, sedangkan pengukuran salinitas dengan refraktometer.

Periode

pengukuran biodegradasi minyak seiring dengan pengukuran laju pertumbuhan


bakteri dan parameter lingkungan yaitu pada hari ke-0, ke-7, ke-14 dan 28. Waktu
pengukuran biodegradasi minyak pada hari ke0, ke-7, ke-14 dan 28 karena
disesuaikan dengan pola peningkatan pertumbuhan sel bakteri dan pola penurunan
konsentrasi minyak pada penelitian sebelumnya (Darmayati

et al. 2008;

Darmayati, 2009a). Pengukuran oksigen terlarut dan suhu dilakukan dengan


menggunakan alat DO meter dan sebelum pemakaian, alat sudah terlebih dahulu
dikalibrasi.

Semua alat direndam ke dalam akuades kemudian dikeringkan

sebelum dimasukkan ke dalam tabung falcon berisi media dan bakteri.

Analisis Data. Analisis data dilakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi


kuantitatif dan kualitatif dari kemampuan Alcanivorax sp. TE-9 dalam
mendegradasi minyak.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Degradasi Minyak. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium menunjukkan
bahwa uji kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 selama 28 hari ternyata
mampu menurunkan konsentrasi minyak lebih tinggi daripada kontrolnya. Data
pengaruh penambahan bakteri terhadap degradasi minyak ditunjukkan pada Tabel
1.

Perlakuan penambahan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam percobaan degradasi


minyak menunjukkan respon yang berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa penambahan bakteri Alcanivorax sp. TE9 memberikan pengaruh terhadap
degradasi minyak. Perbedaan yang nyata antara perlakuan penambahan bakteri
Alcanivorax sp. TE-9 dengan kontrol dapat dikatakan bahwa bakteri Alcanivorax
sp. TE-9 tersebut mampu dalam memanfaatkan minyak sebagai sumber karbon
untuk mensintesis enzim-enzim yang digunakan dalam mendegradasi senyawasenyawa yang terkandung di dalamnya. Menurut Harayama et al. (1999), enzim
yang dimiliki oleh bakteri pendegradasi minyak adalah oksigenase, dimana enzim
tersebut berperan dalam reaksi masuknya oksigen ke dalam senyawa kim ia
melalui proses oksidasi, karena sebelum hidrokarbon minyak yang digunakan
sebagai Alcanivorax sp. TE-9 dalam percobaan degradasi minyak menunjukkan
respon yang berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan
bakteri Alcanivorax sp. TE9 memberikan pengaruh terhadap degradasi minyak.
Perbedaan yang nyata antara perlakuan penambahan bakteri Alcanivorax sp. TE-9
dengan kontrol dapat dikatakan bahwa bakteri Alcanivorax sp. TE-9 tersebut
mampu dalam memanfaatkan minyak sebagai sumber karbon untuk mensintesis

enzim-enzim yang digunakan dalam mendegradasi senyawa-senyawa yang


terkandung di dalamnya. Menurut Harayama et al. (1999), enzim yang dimiliki
oleh bakteri pendegradasi minyak adalah oksigenase, dimana enzim tersebut
berperan dalam reaksi masuknya oksigen ke dalam senyawa kim ia melalui proses
oksidasi, karena sebelum hidrokarbon minyak yang digunakan sebagai sumber
karbon, bakteri harus memecahnya melalui proses oksidasi.
Kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam mendegradasi minyak juga
diduga karena bakteri tersebut merupakan bakteri yang terbiasa di lingkungan
tercemar minyak sehingga mampu beradaptasi dan tumbuh di sampel sedimen
yang tercemar minyak. Hasil penelitian Darmayati (2009a); Kasai et al. (2002)
menunjukkan bahwa Bacillus sp., Alcanivorax sp. dan Bordetella sp. merupakan
bakteri yang ditemui di perairan ketika terjadi pencemaran minyak.
Kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam mendegradasi minyak diperjelas
dengan kurva laju degradasi minyak (Gambar 2 dan 3).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase degradasi minyak dan laju


degradasi minyak dari bakteri Alcanivorax sp. TE-9. Pada perlakuan penambahan
bakteri Alcanivorax sp. TE-9 menunjukkan pertumbuhan sel sebesar 3.34 x 108
sel/ml dan mampu mendegradasi minyak sebesar 44.76%, dengan laju 0.035/hari.
Kemampuan degradasi minyak oleh Alcanivorax sp. TE-9 didukung oleh karakter
Alcanivorax sp. TE-9 yang dapat menghasilkan biosurfaktan sehingga
meningkatkan kelarutan minyak dalam air. Hasil degradasi minyak dari sedimen
Pantai Balongan, berbeda dengan hasil penelitian Darmayati (2009a), dimana
Alcanivorax sp. TE-9 dapat mendegradasi minyak dari sampel sedimen Pantai
Purnama yaitu sebesar 88.97% selama 28 hari.
Pada kontrol juga terjadi degradasi minyak walaupun sangat kecil, yaitu sebesar
20.04% dengan laju 0.004/hari. Terjadinya degradasi pada kontrol dikarenakan
sampel media yang digunakan pada penelitian adalah sedimen dan air laut yang
tidak disterilisasi sehingga memungkinkan bakteri indigenous tetap hidup. Bakteri
indigenous

mendegradasi

hidrokarbon

karena

bakteri

tersebut

mampu

mengahasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon. Enzim tersebut berfungsi


sebagai biokatalisator pada proses biodegradasi (Bartha and Atlas, 1987 dalam
Pagoray, 2009). Penurunan konsentrasi minyak yang terjadi pada kontrol secara
alami dengan laju yang lebih rendah dibandingkan perlakuan dengan penambahan
bakteri.
Selain itu, proses biodegradasi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
diantaranya suhu, oksigen dan pH (Udiharto, 1996). Pada penelitian ini, selama
proses biodegradasi berlangsung menunjukkan nilai pH antara 7.24 - 7.85 dan
pada semua perlakuan adanya sedikit penurunan pH. Penurunan pH selama
biodegradasi berlangsung dikatakan masih dalam batas normal sehingga proses
biodegradasi dapat bekerja dengan baik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Alexander (1994) dimana pH optimum untuk proses biodegradasi hidrokarbon
antara 6.0 8.0. Penurunan pH selama proses biodegradasi menunjukkan adanya
akumulasi asam-asam organik sebagai hasil akhir metabolisme meningkat seiring
dengan bertambahnya waktu inkubasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh

Rosenberg dan Ron (1992) bahwa penurunan pH selama biodegradasi merupakan


terbentuknya produk sampingan yang bersifat asam seperti asam asetat, asam
propionat sehingga menurunkan nilai pH medium.
Biomassa Bakteri.

Hasil pengamatan bakteri menggunakan mikroskop

epiflouresens dan metode pengecatan Acridine Orange, menunjukkan sel bakteri


nampak terang dan berpendar. Bakteri yang hidup atau aktif nampak berpendar
berwarna hijau dan yang mati berwarna orange. Bentuk sel yang teramati
umumnya berbentuk coccus atau bulat dan batang pendek. Sel bakteri yang aktif
akan menentukan kemampuan untuk dapat mendegradasi minyak. Berdasarkan
total sel bakteri dapat dikonstruksikan ke dalam kurva yang menunjukkan pola
pertumbuhan dari bakteri Alcanivorax sp. TE-9. Total Sel dari bakteri merupakan
jumlah keseluruhan dari bakteri, baik bakteri inokulan maupun bakteri indigenous
yang ada di dalam sampel. Pada perlakuan penambahan bakteri Alcanivorax sp.
TE-9 menunjukkan kecenderungan peningkatan biomassa bakteri sampai hari ke14. Peningkatan total sel tersebut terjadi karena sumber karbon masih mencukupi
dan faktor lingkungan masih mendukung bagi pertumbuhan bakteri, dimana nilai
pH antara 7.24 -7.85, oksigen terlarut antara 0.16 2.79 mg/l, salinitas 33.5o/oo
dan suhu antara 27.10 - 27.60oC.

Gambar 4 Grafik Pertumbuhan Sel Bakteri pada Semua Perlakuan Selama Proses
Biodegradasi

Pada awal penelitian, inokulasi bakteri pada masing-masing tabung perlakuan


sebanyak 1 x 108 sel/ml. Selanjutnya setelah dilakukan pengukuran pada hari
yang sama terjadi penurunan sel bakteri, yaitu pada perlakuan penambahan bakteri
Alcanivorax sp. TE-9 menjadi 4.60x107 sel/ml, hal ini merupakan indikasi telah
terjadi kematian sel bakteri. Kematian sel bakteri pada saat awal ini merupakan
fase permulaan dimana semua bakteri melakukan adaptasi dengan lingkungan.
Bakteri tersebut melakukan adaptasi dengan lingkungan barunya sebelum dapat
memanfaatkan minyak yang terkandung dalam sedimen sebagai sumber karbon.
Pada hari ke-7 hingga hari ke-14, perlakuan penambahan Alcanivorax sp. TE-9
mengalami kenaikan yang menandakan adanya pertumbuhan sel. Pertumbuhan ini
dikarenakan bakteri telah beradaptasi dan dapat memanfaatkan hidrokarbon
sebagai sumber karbon untuk energi dan pembelahan sel bakteri. Pembelahan sel
selama proses biodegradasi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pH,
oksigen dan nutrien. Pada perlakuan Alcanivorax sp. TE-9, pH masih dalam
kondisi normal yaitu antara 7.24 7.85. Dragun (1998) mengatakan bahwa
kondisi pH yang dapat mendukung bagi pertumbuhan bakteri antara 6 8.
Pagoray (2009) menambahkan bahwa bakteri dapat tumbuh dan berkembang baik
pada kondisi pH netral. Pada pH netral menyebabkan kerja enzim yang dihasilkan
oleh bakteri menjadi maksimal dalam mendegradasi minyak.
Pada hari ke-28 semua perlakuan mengalami penurunan jumlah sel bakteri.
Penurunan jumlah sel bakteri tersebut menyebabkan terhambatnya dalam
degradasi minyak. Hubungan pertumbuhan bakteri dan degradasi minyak
ditunjukkan pada Gambar 5. Penurunan sel bakteri disebabkan oleh faktor
kematian yang diduga karena berkurangnya kandungan nutrien N dan P di dalam
sampel. Nitrogen merupakan unsur pokok protein yang berperan dalam
pertumbuhan, perbanyakan sel dan pembentukan dinding sel. Phosfor merupakan
komponen utama asam nukleat dan lemak sel membran yang berperan dalam
proses pemindahan energi secara biologi, pembentukan asam amino. Unsur N dan
P kebanyakan terdapat dalam pupuk (Baker and Herson, 1994).

Oleh karena itu, jika penelitian bioremediasi ini diperpanjang, maka sebaiknya
diberikan penambahan pupuk secara berkala, sehingga menjaga ketersediaan N
dan P. Penambahan nitrogen pada media dapat meningkatkan biodegradasi
minyak sebesar 25% (Udiharto, 1992). Secara teoritis, mikroba membutuhkan
minimal 150 mg nitrogen dan 30 mg fosfor untuk mendegradasi 1000 mg karbon
menjadi sel baru (Rosenberg dan Ron, 1996).
Secara umum, antara pertumbuhan bakteri dan degradasi minyak menghasilkan
kecenderungan seiring. Bakteri yang memiliki pertumbuhan tertinggi, juga akan
menghasilkan kadar minyak yang terdegradasi tinggi. Hal ini menunjukkan telah
dimanfaatkannya minyak sebagai sumber karbon untuk menghasilkan energi dan
pertumbuhan bakteri.
Hubungan pertumbuhan bakteri dan penurunan konsentrasi minyak sudah terlihat
pada hari ke-7. Penurunan minyak pada semua perlakuan ditunjang dengan
adanya pertumbuhan sel bakteri setelah mengalami adaptasi pada awal inokulan
bakteri. Pertumbuhan bakteri yang cepat setelah bakteri mengalami masa adaptasi
dikarenakan bakteri sudah dapat memanfaatkan substrat minyak sebagai sumber
karbon sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Selanjutnya
pertumbuhan bakteri yang meningkat berbanding terbalik dengan penurunan
konsentrasi minyak (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bakteri
Alcanivorax sp. TE-9 yang diuji cobakan pada penelitian, merupakan faktor yang
menyebabkan penurunan konsentrasi minyak di dalam sampel sedimen.
Selama proses biodegradasi, menunjukkan penurunan minyak seiring dengan
peningkatan pertumbuhan bakteri dan mencapai maksimum pada hari ke-14. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Hozumi et al. (2000) bahwa semakin banyak
biomassa bakteri, semakin cepat minyak yang dikonsumsi oleh bakteri sebagai
sumber karbon, sehingga berat residu minyak yang terukur juga semakin
berkurang. Adanya penurunan minyak ini menunjukkan bahwa minyak digunakan
sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri sebagai sumber karbon.

Penurunan konsentrasi minyak akibat penambahan bakteri merupakan indikasi


bahwa bakteri pada percobaan dapat hidup dalam minyak terkait dengan
kemampuannya mensintesis enzim oksigenase. Enzim ini berfungsi untuk
mengoptimalkan kontak antara minyak dengan bakteri yang akan mempercepat
disimilasi senyawa aromatik dan alkana sehingga mendukung proses biodegradasi
minyak (Watkinson 1980 dalam Yugiarti 1999). Proses biodegradasi terjadi ketika
mikroorganisme menempel pada permukaan butiran-butiran minyak dengan
mengeluarkan enzim oksidase yang dibutuhkan untuk memecah rantai karbon
yang terikat pada membran sel.
Aplikasi Bioremediasi di Pantai Purnama, Dumai berdasarkan penelitian di
Pantai Balongan, Indramayu.
Pada kasus yang terjadi di Pantai Purnama Dumai, sama hal nya yang terjadi di
Pantai Balongan, Indramayu. Dimana di Pantai Purnama,Dumai telah mengalami
kerusakan lingkungan oleh tumpahan minyak, dari metodelogi yang mana
menggunakan teknik Bioremediasi dengan menggunakan Bakteri Alcanivorax sp.

Bakteri Alcanivorax sp selama 28 hari ternyata mampu menurunkan konsentrasi


minyak lebih tinggi dari pada kontrolnya. Bakteri Alcanivorax sp. TE-9 sudah
diketahui kemampuannya dalam mendegradasi minyak dari sedimen Pulau Pari.
Berdasarkan hal tersebut, diharapkan selain mampu mendegradasi minyak di
Pantai Balongan

Indramayu, juga mampu mendegradasi pencemaran minyak

dengan kondisi berbeda, seperti tumpahan minyak di Pantai Purnama, Dumai.


Kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam mendegradasi minyak juga
diduga karena bakteri tersebut merupakan bakteri yang terbiasa di lingkungan
tercemar minyak sehingga mampu beradaptasi dan tumbuh di sampel sedimen
yang tercemar minyak, sehingga bakteri tersebut mampu meningkatkan kelarutan
minyak didalam air. Hasil penelitian Darmayati (2009a); Kasai et al. (2002)
menunjukkan bahwa Bacillus sp., Alcanivorax sp. dan Bordetella sp. merupakan
bakteri yang ditemui di perairan ketika terjadi pencemaran minyak.
Kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam mendegradasi minyak diperjelas
dengan kurva laju degradasi minyak (Gambar 2 dan 3).

Teknik bioremediasi ini sangat aman karena menggunakan mikroba yang secara
alamiah sudah ada dilingkungan. untuk kawasan pesisir dumai, karena di daerah
pesisir dumai tepatnya pantai purnama dimanfaatkan oleh penduduk setempat
dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari, pencemaran yang disebabkan
oleh barbagai aktivitas di sekitar pantai.
Faktor yang mempengaruhi Bioremediasi ini diantaranya pengaruh suhu, kondisi
tanah, dan lain sebagainya. Di daerah pantai purnama yang mengalami tumpahan
minyak dapat dilakukan perbaikan dengan bioremediasi juga faktor suhu di pantai
purnama 24-30oC dan teknik bioremediasi untuk mendegradasi tumpahan minyak
memerlukan suhu 30-40oC. Dan kondisi tanah di pantai purnama dapat diketahui
derajat keasamaannya 6,5-7,5 dan dapat masuk dalam kategori kondisi teknik
bioremediasi dimana pH yang berkisar antara 6,5 7,5 (tyanagbio,2012).
Untuk kasus di pantai purnama, dumai. Dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik bioremediasi dalam upaya konservasi pantai yang mengalami perusakan
akibat tumpahan minyak.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan. Konsentrasi minyak mengalami degradasi, hal ini ditandai dengan
konsentrasi yang cenderung menurun dari waktu ke waktu. Perubahan ini
disebabkan oleh kemampuan bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dalam menggunakan
minyak sebagai sumber karbon untuk mensintesis enzim oksigenase yang
digunakan dalam mendegradasi minyak.
Saran. Bakteri Alcanivorax sp. TE-9 dapat digunakan sebagai agen bioremediasi
minyak dalam penelitian lanjutan. Untuk meningkatkan proses degradasi, dalam
penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menggunakan gabungan metode
bioaugmentasi (penambahan bakteri) dan metode biostimulasi (penambahan
nutrient).

DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1994. Biodegradation and Bioremediation. Academic Press. New
York.
Baker KH, Herson DS. 1994. Bioremediation. Mc. Graw-Hill Inc, New York.
Darmayati Y, Harayama S, Yamazoe A, Hatmanti A, Sulistianti, Nuchsin R,
Kunarso DH. 2008. Hydrocarbonoclastic bacteria from Jakarta Bay and
Seribu Islands. Marine Research Indonesia 1: 55-64.
Darmayati Y. 2009a. Pemanfaatan bakteri laut dalam bioremediasi ekosistem
pantai berpasir tercemar minyak: Uji coba biostimulasi, bioaugmentasi,
dan kombinasinya dalam skala laboratorium dan demplot. Laporan Akhir.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta.
Darmayati Y. 2009b. Seleksi bakteri laut pendegradasi minyak dari Perairan
Teluk Jakarta. Di dalam: Seminar Nasional Perikanan Indonesia. Jakarta,
3-4 Desember 2009.
Darmayati Y. 2010. Bioremediation of crude oil contaminated sediment using
slow release fertilizer Hydrcarbonoclastic bacteria population dinamics.
Ilmu Kelautan 2: 462 476.
Dragun J. 1998. The Soil Chemistry of Hazardous Materials. 2nd Edition.
Amherst Scientific Publishers, Amherst, MA.
Harayama S, Kishira Y, Kasai Y, Shutsubo K. 1999. Petroleum Biodegradation
in Marine Environments. Journal Molecular Microbiology Biotechnology
1: 63-70.

Hatmanti A, Darmayati Y. 2009. Karakterisasi dan analisis kekerabatan bakteri


potensial pendegradasi minyak dan poly-aromatics hydrocarbon (PAH)
dari Perairan Teluk Jakarta. Seminar Biologi Nasional. Purwokerto, 12-13
Desember 2009.
Hobbie JE, Daley RJ, Jasper S. 1977. Use of nucleopore filters for counting
bacteria by fluorescence microscopy. Applied And Environmental
Microbiology 3: 1225-1228.
Hozumi T, Tsutsumi H, Kono M. 2000. Bioremediation on the shore after an oil
spill from the Nakhodka in the sea of Japan I. Chemistry and
characteristics of heavy oil loaded on the Nakhodka and biodegradation
tests by a bioremediation agent with microbiological cultures in the
Laboratory. Marine Pollution Bulletin 4: 308314.
Kasai Y, Kishara H, Harayama S. 2002. Bacteria belonging to the genus
Cycloclasticus play primary role in the degradation of aromatic
hydrocarbons released in a marine environment. Applied and
Environmental Microbiology 69: 5625-5633.
Notodarmojo S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Penerbit ITB.
Bandung.
Pagoray H. 2009. Biostimulasi dan bioaugmentation untuk bioremediasi limbah
hidrokarbon serta analisis keberlanjutan. Disertasi. Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Rosenberg E, Ron EZ. 1998. Bioremediation of Petroleum Contaminant. In


Crawford RL and Crawford DL (Eds). Bioremediation: Principles and
Applications. Cambridge University Press, Cambridge.
Tyanagbio.2012.Bioremediasi Tumpahan Minyak di
Laut.http://tyanagbio.blogspot.co.id/2011/12/bioremediasi-tumpahanminyak-di-laut.html (diakses pada tanggal 30 September 2016)
Udiharto M. 1992. Aktivitas mikroba dalam mendegradasi minyak bumi.
Di dalam: Diskusi Ilmiah VII Hasil Penelitian LEMIGAS. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Tahunan; Jakarta, 4 Februari 1992.
PPPTMGBLEMIGAS.
Udiharto M. 1996. Bioremidiasi minyak bumi. Di dalam: Pelatihan dan
Lokakarya Penerapan Bioremidiasi dalam Pengelolaan Lingkungan.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan; Cibinong, 24 28 Juni 1996.
LIPI/BPPT/HSF.
Yugiarti. 1999. Pengaruh nutrisi dan logam berat terhadap degradasi
minyak bumi oleh biakan campuran bakteri: Pseudomonas aeruginosa dan
Arthrobacter simplex. Tesis. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai