Anda di halaman 1dari 35

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

KONVENSI BASEL 1989

Disusun oleh :
Jeremia Humolong Prasetya Nainggolan (1306412294)
Tengku Muhamad Derizal (1306380393)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2016

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................. 1
BAB

PENDAHULUAN............................................................................. 2
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 2
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Metode Penelitian ....................................................................... 4

BAB II

KONVENSI BASEL 1989................................................................. 5


2.1 Sejarah ......................................................................................... 5
2.2 Tujuan, Ruang Lingkup, dan Kerangka Pengaturan ............. 8
2.3 Kewajiban Negara yang Terikat ............................................. 11
2.4 Protokol Basel 1999 ................................................................... 13
2.5 Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan dalam
Konvensi Basel 1989 ................................................................. 16

BAB III

STUDI KASUS PERGERAKAN LINTAS BATAS


LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN ................................ 23
3.1 Kasus Ekspor Used Lead Batteries oleh
Amerika Serikat ke Meksiko .................................................. 23
3.2 Kasus Impor Besi Bekas Mengandung
Bahan Beracun dan Berbahaya di Indonesia ........................ 27

BAB IV

PENUTUP ....................................................................................... 32
Kesimpulan ..................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 33

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan setiap tahun di dunia meningkat
dari sekitar lima juta ton pada tahun 1947 hingga melewati angka 300 juta ton pada
tahun 1988, yang mana sekitar 265 juta ton dihasilkan oleh Amerika Serikat, dan 35
juta ton lainnya dihasilkan oleh negara-negara di Eropa Barat. Di saat yang sama,
biaya pembuangan limbah berbahaya ini juga meningkat pesat, di beberapa kasus
mencapai harga $2000 setiap ton dan space yang tersedia untuk pembuangan tersebut
juga semakin sedikit sehingga terdapat ketentuan yang sangat ketat, khususnya di
Amerika Serikat1. Fakta ini menarik perhatian internasional sehingga pengaturan
mengenai limbah berbahaya telah ada di dalam agenda lingkungan internasional
sejak awal 1980, yang mana ditetapkan sebagai satu dari tiga prioritas di Program
Montevideo tentang Hukum Lingkungan pertama yang diselenggarakan oleh United
Nations Environmental Programme (UNEP) pada tahun 1981.
Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
Berbahaya dan Pembuangannya (Basel Convention 1989) diadopsi pada tahun 1989
sebagai respons terhadap teriakan publik atas penemuan sejumlah besar limbah
beracun impor di Afrika dan bagian Dunia Ketiga lainnya pada tahun 1980-an.
Negotiating parties pada Konvensi Basel memercayai bahwa cara paling efektif
untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahaya yang dihasilkan
oleh limbah-limbah tersebut adalah pengurangan produksi limbah tersebut kepada
kuantitas yang terendah dan atau potensi yang berbahaya.2 Kasus kecelakaan dari
toxic ships seperti Katrin B dan Pelicano, yang berlayar dari pelabuhan ke
pelabuhan dengan mengangkut kargo beracun mereka telah menjadi perhatian utama
dunia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, seiring biaya pembuangan limbah yang
1

Hackett, David.P An Assessment of the Basel Convention on the Control of The Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, American University International Law Review
Vol.5 no 2 (1990), hal. 291-323
2
Alifia Qonita. Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes
and Their Disposal dalam Jurnal Hukum Internasional Indonesian Journal of International Law, Vol. 8
No. 4, 11 Juli 2011, hal. 751.

meroket, toxic traders mencari solusi yang lebih murah dengan memulai pengiriman
ke Afrika, Eropa Timur, dan kawasan lain. Saat di pantai, limbah-limbah ini terbuang
dimana-mana, baik itu dari kebocoran yang disengaja atau pengelolaan yang tidak
baik, dan hal ini menyebabkan masalah kesehatan yang kronis bahkan hingga
kematian dan meracuni tanah, laut, dan udara dalam waktu yang lama3.
Negara-negara berkembang kesusahan untuk menolak transaksi pengiriminan
ini karena pendapatannya cukup signifikan bagi perkembangan bangsa sedangkan
biaya ini dianggap murah oleh negara-negara maju tersebut. Kita melihat contoh
Guinea Bissau yang membuat kontrak-kontrak untuk menerima limbah Amerika dan
Eropa dalam periode lima tahun seharga $600 juta, atau sebesar pendapatan domestik
bruto (PDB) tiap tahunnya. Pengiriman-pengiriman ke negara berkembang tersebut
berbahaya karena beberapa alasan. Pertama, banyak eksportir menyesatkan dan
menipu Negara Penerima mengenai isi limbah. Kedua, banyak negara tidak memiliki
teknologi atau keahlian untuk membuang limbah tersebu dengan baik dan ketiga,
moda transportasi dan alat pembuangan tersebut juga memiliki masalah-masalah
teknis. Langkah signifikan pertama akhirnya dilakukan pada Juni 1987, dimana
Dewan UNEP menyetujui Cairo Guidelines, sebuah instrumen yang bersifat tidak
mengikat, yang pada dasarnya bertujuan untuk membantu pemerintah dalam
perkembangan dan implementasi daripada kebijakan pengaturan nasional masingmasing tentang limbah berbahaya.4
Di waktu yang sama, atas proposal yang diajukan Swiss dan Hungaria,
Dewan UNEP memberikan mandat kepada Direktur Eksekutif untuk membuat suatu
working group yang bertugas untuk menghasilkan sebuah konvensi tentang
pengawasan terhadap perpindahan lintas batas limbah berbahaya, dengan
memanfaatkan Cairo Guidelines dan organ nasional, regional, dan internasional yang
terkait. Working Group yang bersifat ad-hoc tersebut memantapkan langkahnya pada
sebuah pertemuan internasional pada Oktober 1987 dan menyelenggarakan lima sesi
negoisasi secara total di antara Februari 1988 dan Maret 1989.
Akhirnya pada tanggal 20-22 Maret 1989, Konferensi Plenipotentiaries
tentang Konvensi Global tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
3

The Basel Convention At A Glance, Basel Convention Secretariat, hal.1


Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgwell. International Law and The Environment, 3rd ed.
New York: Oxford University Press. 2009, hal. 30
4

Berbahaya diselenggarakan atas undangan dari Pemerintah Swiss dan pada tanggal
22 Maret, Konvensi Basel diadopsi, juga beserta delapan resolusi terkait dengan
perkembangan lebih lanjut dan implementasi daripada Konvensi Basel5. Indonesia
adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 sebelum pada tahun 2005,
dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2005 untuk
mengesahkan amandemen terhadap Konvensi Basel 1989.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
makalah ini didasarkan atas empat rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana tujuan dan ruang lingkup pengaturan daripada Konvensi Basel 1989?
2. Bagaimana pengaturan mengenai kewajiban negara yang terikat dengan Konvensi
Basel 1989?
3. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip hukum lingkungan dalam Konvensi Basel
1989?
4. Bagaimana penerapan Konvensi Basel 1989 dalam Indonesia dan kasus

1.3 Metode Penelitian


Makalah ini disusun dengan penelitian hukum normatif dan metode penelitian
studi kepustakaan, yaitu dengan meneliti bahan bacaan, seperti buku-buku, makalah,
jurnal, literatur dari internet, dan peraturan perundang-undangan.
Untuk melakukan penelitian, sumber atau bahan hukum yang digunakan adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang
digunakan adalah Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of
Hazardous Wastes and Their Disposal 1989 dan The Basel Protocol on Liability and
Compensation for Damage Resulting from Transboundary Movements of Hazardous
Wastes and Their Disposal. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan
adalah buku, jurnal ilmiah, artikel, dan bahan-bahan lainnya yang memuat penjelasan
mengenai bahan hukum primer.

http://www.basel.int/TheConvention/Overview/History/Overview/tabid/3405/Default.aspx,
diunduh pada tanggal 20 Maret 2016

BAB II
KONVENSI BASEL 1989

2.1 Sejarah
Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
Berbahaya diadopsi pada tahun 1989 dan mulai berlaku pada tahun 1992. Perjanjian
itu berusaha untuk membangun kerangka kerja untuk mengatur transportasi
internasional dan pembuangan limbah berbahaya. Pada 1980-an, negara semakin
menetapkan peraturan lingkungan yang lebih ketat, dan sebagai hasilnya, biaya
pembuangan limbah berbahaya meningkat secara substansial. Tingginya biaya
pembuangan limbah berbahaya menyebabkan terciptanya pasar gelap jaringan
limbah beracun, atau "pedagang beracun," yang diangkut limbah ke negara-negara
berkembang untuk pembuangan murah. pedagang beracun membuang limbah tanpa
kepedulian terhadap lingkungan atau kesehatan masyarakat. wahyu media pada
praktek memicu kemarahan internasional, dan dengan itu, diproduksi momentum
untuk negosiasi Konvensi Basel.6
Konvensi Basel mengatur "generasi, manajemen, gerakan lintas batas dan
pembuangan berbahaya dan limbah lainnya."7 Pihak pada Konvensi Basel
diharapkan untuk lulus undang-undang domestik yang menghukum transportasi
ilegal limbah berbahaya. Transportasi limbah berbahaya ke dan dari non-partai
adalah ilegal, kecuali izin khusus diberikan. Selain itu, perjanjian membutuhkan
pihak untuk mendorong praktik pembuangan limbah yang aman, khusus untuk
"untuk meminimalkan jumlah yang bergerak melintasi perbatasan, untuk mengobati
dan membuang limbah sedekat mungkin ke tempat mereka generasi dan untuk
mencegah atau meminimalkan timbulnya limbah pada sumbernya."8
Yang penting, Konvensi Basel tidak membangun definisi yang seragam dari
"limbah berbahaya." Sebaliknya, ia mendefinisikan limbah sebagai "zat atau benda
yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh
6

("Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes." Council on


Foreign Relations.
http://www.cfr.org/publication/20588/basel_convention_on_the_control_of_transboundary_move
ments_of_hazardous_wastes.html diakses pada tanggal 25 Maret 2016.
7
"The Basel Convention at a Glance..." United Nations Environmental Program.
http://www.basel.int/convention/bc_glance.pdf diakses pada tanggal 25 Maret 2016.
8
ibid

ketentuan hukum nasional."9Dalam prakteknya, definisi ini termasuk biomedis dan


kesehatan limbah, digunakan baterai asam timbal, gigih limbah pencemar organik,
Polychlorinated bifenil (PCB), dan limbah lainnya.10 Keputusan yang berkaitan
dengan implementasi perjanjian yang dibuat oleh Konferensi Para Pihak (COP), yang
terdiri dari semua pihak untuk konvensi.
Konvensi Basel memiliki 170 pihak. Amerika Serikat menandatangani
konvensi tersebut pada tahun 1989, dan Senat memberi saran untuk meratifikasi pada
tahun 1992. Meskipun demikian, AS gagal meratifikasi konvensi tersebut, dan tetap
yang paling signifikan non-partai untuk perjanjian.
Sejak tahun 1992, Konvensi Basel terus mengembangkan di antara pihak-nya.
Penting, pada tahun 1995 pada pertemuan ketiga Konferensi Pihak Konvensi Basel,
pihak mengadopsi amandemen disebut "Ban Amandemen." Perubahan tersebut
melarang perpindahan lintas batas limbah berbahaya yang ditunjuk untuk
pembuangan dari setiap OECD (Konvensi Organisasi for Economic Co-operation)
negara, ke negara non-OECD.11
Transportasi lintas batas limbah berbahaya merupakan daerah berpotensi
menonjol untuk debat. Setiap tahun, diperkirakan 8,5 juta ton bahan berbahaya
perjalanan internasional. Dari jumlah ini, AS bertanggung jawab untuk sekitar tiga
juta ton, atau 35%. Perkiraan ini, bagaimanapun, adalah sulit untuk memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi di karena sifat yang tidak diatur dari perdagangan limbah
berbahaya ilegal. Pemerintah federal AS mengklaim bahwa AS hanya ekspor
sepersepuluh dari satu persen dari bahan berbahaya yang, sisanya dari yang dibuang
di dalam negeri. Namun, klaim ini mungkin tidak akurat karena tidak
memperhitungkan ekspor limbah terdeteksi, dan mendefinisikan bahan berbahaya
sempit.12
Perdagangan limbah berbahaya cenderung meningkat secara substansial di
masa depan karena peningkatan limbah elektronik. F. H. Faleomavaega, Amerika
Samoa Perwakilan Kongres, menjelaskan tren ini, Perhatikan juga bahwa banyak
9

ibid
ibid
11
"Ratification of the Convention on the OECD." Organisation for Economic Co-operation and
Development. Web. 10 Apr. 2010.
http://www.oecd.org/document/1/0,3343,en_2649_201185_1889402_1_1_1_1,00.html.
12
ibid
10

laptop, monitor layar datar, dan televisi mengandung lampu neon yang mengandung
merkuri, racun saraf yang berbahaya. Juga mencatat bahwa banyak produk elektronik
mengandung bahan kimia beracun seperti timbal, merkuri, berilium, kadmium,
kromium, dan brominated flame. Perhatikan juga bahwa sekitar 2.630.000 ton
digunakan atau elektronik yang tidak diinginkan dibuang di Amerika Serikat 3 tahun
yang lalu, menurut EPA. Perhatikan juga bahwa sekitar 330.000 ton limbah
elektronik dikumpulkan dan dialihkan dari tempat pembuangan sampah untuk
digunakan kembali atau daur ulang 3 tahun yang lalu, lagi menurut EPA. Perhatikan
juga bahwa sekitar 50 persen menjadi 80 persen dari limbah elektronik dikumpulkan
untuk digunakan kembali atau daur ulang diekspor ke negara-negara seperti China,
India, Ghana, Nigeria, Pakistan, dan Thailand, menurut Departemen Perdagangan.13
Sebagai konsumen menanggapi teknologi baru, seperti televisi definisi tinggi,
jumlah sampah yang dihasilkan oleh tua, barang elektronik yang tidak diinginkan
kemungkinan akan meningkat. Hal ini mungkin mengakibatkan, "lebih banyak
perusahaan ingin memanfaatkan peluang dengan membawa negara e-waste to-kurang
berkembang di masa depan."14
Pemerintahan Obama belum mendukung ratifikasi Konvensi Basel. Obama,
sebagai calon presiden, mengumumkan dukungannya untuk meningkatkan regulasi
limbah berbahaya. Namun, pemerintahan Obama baru-baru ini gagal untuk
memperbaharui moratorium EPA mengenai pengiriman kapal AS untuk Asia Selatan
untuk pembongkaran. Larangan itu dimulai karena "neraka lingkungan pekarangan
shipbreaking Asia Selatan."15 Selain itu, Lawrence Summers, Direktur Dewan
Ekonomi Nasional Obama, dikabarkan menulis dalam memo, "Saya pikir logika
ekonomi di balik pembuangan beban limbah beracun di negara upah terendah
sempurna dan kami harus menghadapi itu."16Mengingat tren ini dan pernyataan,
13

United States. Cong. House. Committee on Foreign Affairs. Exporting Toxic Trash: Are We Dumping
Our Electronic Waste on Poorer Countries? : Hearing before the Subcommittee on Asia, the Pacific,
and the Global Environment of the Committee on Foreign Affairs, House of Representatives, One
Hundred Tenth Congress, Second Session, September 17, 2008. By F. H. Faleomavaega. H. Bill.
Washington: U.S. G.P.O., 2008.
14
Faleomavaega, supra note 11.
15
Obamas EPA Allows Toxic Navy Ships to be Dumped in Bangladesh. " Basel Action Network (BAN).
27 Aug. 2009.
http://www.ban.org/BAN_NEWS/2009/090827_toxic_navy_ships_to_be_dumped.html diakses pada
tanggal 25 Maret 2016.
16
Ogunseitan, Oladele. "The Wild West of Electronic Waste." Business Day [Nigeria] 8 Mar. 2010.

tampaknya tidak mungkin bahwa pemerintahan Obama akan mendorong baik Basel
Convention ratifikasi, atau peraturan yang lebih kuat dari transportasi limbah
berbahaya dan dumping.
2.2 Tujuan, Ruang Lingkup, dan Kerangka Pengaturan
Berdasarkan kesadaran akan ancaman limbah berbahaya kepada kesehatan
manusia dan lingkungan, Konvensi ini menetapkan tiga tujuan, yaitu:17 Pertama,
pengurangan terhadap jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan; Kedua,
pengurangan terhadap jumlah perpindahan lintas wilayah limbah berbahaya; dan
Ketiga, mempromosikan atau mengenalkan environmentally sound management of
hazardous waste (ESM). ESM sendiri di dalam Pasal 2 ayat 8 Konvensi Basel
didefinisikan sebagai mengambil semua langkah praktis untuk memastikan limbah
berbahaya atau limbah lainnya dikelola dengan cara yang akan melindungi kesehatan
manusia dan lingkungan dari efek yang akan dihasilkan oleh dari limbah-limbah tadi.
Tadi disebutkan sebelumnya bahwa salah satu faktor atau kondisi yang
melatarbelakangi kehadiran Konvensi ini adalah adanya ketakutan akan pelimpahan
limbah-limbah berbahaya dari negara-negara industry ke negara-negara Dunia Ketiga
atau negara berkembang. Namun, pada awalnya Konvensi ini tidak melarang
pemindahan limbah berbahaya dari negara-negara OECD ke negara-negara
berkembang. Hingga pada tahun 1994, saat pertemuan antar anggota barulah
Konvensi ini diamandemen dan mengatur tentang larangan tersebut, meskipun belum
berlaku hukum hingga sekarang.
Konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berkaitan atau berhubungan
dengan limbah berbahaya dan pesticides, yang diikuti oleh pembentukan Konvensi
Roterdam mengenai Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous
Chemicals and Pesticides in International Trade dan Konvensi Stockholm tentang
Persistent Organic Pollutants.Ketiga Konvensi ini memiliki tujuan bersama untuk
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahan-bahan kimia dan limbah
yang berbahaya. Kooperasi dan koordinasi dalam implementasi praktis ketiga rezim
tersebut memberikan contoh kepada rezim perjanjian internasional lainnya,
membuktikan bahwa sinergi dapat dilakukan di antara rezim perjanjian internasional
17

Alan Andrews, Beyond The Ban Can The Basel Convention Adequately Safeguard The Interests Of
The Worlds Poor In The International Trade Of Hazardous Waste vol.5/2, Law Environment and
Development Journal (2009), hal.167

yang fungsi pengaturannya tumpang tindih (overlapping).Secara umum, Konvensi


ini melarang pengangkutan limbah berbahaya ke wilayah Antartika, setiap negara
yang bukan anggota, dan negara yang telah melarang masuknya limbah berbahaya ke
wilayahnya. Konvensi ini juga mendirikan sebuah mekanisme pengaturan terhadap
pengangkutan limbah berbahaya ke negara lain ketika hal ini diperbolehkan menurut
Konvensi. Pihak yang berwenang di negara Pengirim harus memberitahu negara
Penerima dan setiap negara transit secara tertulis yang berisi tentang rencana
pengangkutan secara detil. Pengiriman limbah berbahaya hanya diperbolehkan ketika
negara-negara transit dan negara Penerima menyatakan persetujuannya secara
tertulis18.
Untuk menghindari benturan pengaturan dengan Konvensi lain, maka dalam
Konvensi ini daitur mengenai ruang lingkup pengaturannya, meskipun tadi sudah
dijelaskan bahwa masih terdapat tumpang tindih antara ketiga Konvensi. Ruang
lingkup pengaturan daripada Basel Convention diatur di dalam Pasal 1, yang isinya
adalah:
1. Limbah berpindah lintas batas yang digolongkan sebagai limbah berbahaya di dalam
Basel Convention adalah
(a) limbahyang termasuk di dalam Annex I, kecuali mereka tidak memiliki
karakteristik yang diatur di dalam Annex III; dan
(b) limbahyang tidak dimaksud dalam paragraf (a) tetapi didefinisikan sebagai, atau
dipertimbangkan sebagai limbah yang berbahaya oleh peraturan perundangundangan domestik dari pihak yang melakukan ekspor, impor, atau transit.
2. Limbahyang termasuk dalam setiap kategori di dalam Annex II yang juga dilihat
sebagai per wilayah disebut sebagai limbah lain demi kepentingan Konvensi ini;
3. Limbah, yang merupakan hasil radioaktif, merupakan subjek daripada sistem
pengawasan internasional lainnya, termasuk instrumen internasional, berlaku spesifik
kepada material radioaktif, yang dikecualikan dari Konvensi ini; dan
4. Limbah hasil kegiatan sehari-hari atau operasional kapal, yang diatur oleh instrumen
internasional lainnya, tidak termasuk dalam ruang lingkup Konvensi ini.

18

Timo Koivurova, Introduction to International Environmental Law,(London: Routledge,


2014),hal.198

Sedangkan menurut Article 2 Basel Convention, yang dimaksud dengan


transboundary movement adalah setiap perpindahan limbah yang berbahaya atau
limbah lain dari sebuah kawasan di jurisdiksi nasional sebuah negara keatau melalui
sebuah kawasan di jurisdiksi negara lain atau ke atau melalui sebuah wilayah yang
bukan berada di jurisdiksi suatu negara, perpindahannya setidaknya melibatkan dua
negara.
Konvensi Basel merupakan usaha pertama dalam menggunakan mekanisme
global untuk mengatur perdagangan limbah berbahaya. Harus diingat bahwa
Konvensi ini pada esensinya tidak melarang atau membatasi perdagangan tersebut,
melainkan hanya mengatur mengenai lalu lintas perdagangannya. Hal ini namun
disanggah melalui amandemen terhadap Konvensi Basel, dengan adanya pengaturan
mengenai larangan yang akan dijelaskan di sub-bab berikutnya. Pengaturan di dalam
Konvensi ini bersifat fleksibel, karena kita dapat melihat bahwa definisi limbah
berbahaya juga dapat diambil dari peraturan perundang-undangan domestik suatu
negara dan juga adanya penyerahan teknis atau sistem pembuangan yang memenuhi
kriteria environmentally sound management (ESM) kepada negara-negara. Technical
Guidelines untuk menerapkan pengaturan dalam Konvensi ini dibuat pada
pertemuan-pertemuan antar negara19.Konvensi ini membuka pintu bagi Negaranegara Pihak untuk melakukan perjanjian bilateral, multilateral, atau regional dengan
Negara Pihak lainnya atau Non-Pihak mengenai perpindahan lintas batas limbah
berbahaya atau limbah lain selama tidak menderogasi ketentuan Konvensi ini dan
dengan memberitahu Sekretariat mengenai perjanjian yang dibuat.
Di dalam Konvensi ini, juga didirikan sebuah organ, yaitu Sekretariat dan
pengaturan mengenai Conference of The Parties (COP). Konferensi ini
diselenggarakan secara regular oleh Direktur Eksekutif UNEP, atau dapat
dilaksanakan di waktu lain atas permintaan dari setiap Pihak dan disetujui oleh
setidaknya 1/3 total Pihak. Konferensi ini bertujuan untuk memantau dan
mengevaluasi implementasi daripada Konvensi Basel, mengadopsi Protokol, dan
juga membentuk badan subsider untuk pelaksanaan Konvensi ini. Salah satu hasil
daripada Konferensi (COP) adalah pembentukan BC 10/2: Strategic Framework
19

Bradford, Mark, The United States, China & the Basel Convention on The Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Fordham Environmental Law ReviewVol.8 no 3
(2011), hal. 317

10

for the implementation of the Basel Convention for 2012-2021.Di dalam kerangka
ini, diatur mengenai tujuan dan langkah implementasi Konvensi Basel secara lebih
lanjut, yang akan menjadi dasar daripada pengaturan specific technical guidelines.

2.3 Kewajiban Negara yang Terikat


Negara-negara yang terikat memiliki kewajiban sebagaimana tertulis dalam
Pasal 4 Konvensi Basel, yaitu:
1. (a) Pihak yang melaksanakan hak untuk melarang masuknya (import) limbah
berbahaya atau limbah lainnya untuk pembuangan harus memberitahukan pihak
lainnya terkait keputusan mereka sesuai dengan Pasal 13.
(b) Pihak harus melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (export) limbah
berbahaya atau limbah lainnya ke pihak yang telah melarang masuknya (import)
limbah-limbah tersebut melalui notifikasi atau pemberitahuan yang dijelaskan di sub
paragraf a.
(c) Pihak harus melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (export) limbah
berbahaya dan limbah lainnya apabila Negara Penerima (import) tidak menyatakan
persetujuannya terhadap penerimaan (import) tertentu/spesifik secara tertulis, ini
berlaku ketika Negara Penerima belum melarang penerimaan limbah-limbah
tersebut.
2. Setiap pihak harus mengambil langkah yang tepat untuk:
(a) Memastikan perkembangan dari limbah berbahaya dan limbah lain yang termasuk
di dalamnya dikurangi hingga jumlah minimum, dengan juga mempertimbangkan
aspek sosial, teknologi, dan ekonomi;
(b) Memastikan persediaan fasilitas pembuangan yang mumpuni, untuk pengelolaan
dengan cara environmentally sound management (ESM) limbah berbahaya dan
limbah lainnya, yang harus ditempatkan, sedapat mungkin, di dalamnya, apapun
tempat dari pembuangannya;
(c) Memastikan orang-orang yang terlibat di pengelolaan limbah berbahaya atau
limbah lainnya yang termasuk di dalamnya mengambil langkah-langkah tertentu
yang diperlukan untuk mencegah polusi yang dihasilkan dari pengelolaan limbah
berbahaya atau limbah lain dan apabila telah ada polusi, untuk meminimalisirkan
konsekuensi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan;

11

(d) Memastikan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain dikurangi
hingga ke kondisi minimum sesuai dengan environmentally sound dan pengelolaan
yang efisien terhadap limbah-limbag tersebut, dan dilakukan dengan cara yang akan
memproteksi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek merugikan yang mungkin
timbul akibat perpindahan tersebut;
(e) Tidak memperbolehkan pengiriman (export) limbah berbahaya atau limbah lain
ke sebuah Negara atau sebuah kumpulan Negara yang termasuk dalam sebuah
organisasi integrasi ekonomi dan/atau politik yang merupakan pihak, khususnya
Negara Berkembang, yang telah melarang segala jenis penerimaan (import) melalui
peraturan perundang-undangannya, atau apabila telah ada alasan untuk memercayai
bahwa limbah-limbah tidak akan dikelola dengan cara yang environmentally sound,
sesuai dengan kriteria yang telah diputuskan oleh Pihak-pihak dalam pertemuan
pertama;
(f) Memberi informasi tentang permintaan perpindahan lintas batas limbah berbahaya
dan limbah lainnya kepada Negara terkait, sesuai dengan Annex V A, ke Negara
yang jelas-jelas terkena efek dari perpindahan tersebut terhadap kesehatan manusia
dan lingkungan;
(g) Mencegah penerimaan (import) limbah berbahaya dan limbah lain apabila telah
ada alasan untuk percaya bahwa limbah tersebut dipertanyakan tidak akan dikelola
dengan cara yang environmentally sound.
(h) Bekerjasama dalam kegiatan dengan pihak lain dan organisasi-organisasi yang
tertarik, secara langsung atau melalui Sekretariat, termasuk penyebaran informasi
tentang perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain, dengan maksud
untuk meningkatkan pengelolaan yang berbasis lingkungan (Environmentally Sound
Management) terhadap limbah-limbah tersebut dan mencegah daripada lalu lintas
yang illegal.
3. Pihak menganggap lalu lintas atau perdagangan ilegal dalam limbah berbahaya atau
limbah lain sebagai tindak kriminal atau kejahatan.
4. Setiap pihak harus mengambil langkah hukum, administratif, dan lainnya yang tepat
untuk mengimplememtasi dan memberlakukan ketentuan-ketentuan di dalam
Konvensi ini, termasuk langkah untuk menghalangi dan menghukum tindakan yang
bertentangan dengan Konvensi ini.

12

5. Pihak tidak boleh mengijinkan limbah berbahaya atau limbah lain dikirim (export) ke
non-Pihak atau menerima (import) dari non-Pihak.
6. Pihak-pihak setuju untuk tidak memperbolehkan pengiriman limbah berbahaya atau
limbah lain untuk dibuang di dalam area 60 Lintang Selatan, meskipun limbah
tersebut termasuk dalam perpindahan lintas batas atau tidak.
2.4Protokol Basel 1999
Protokol ini bertujuan untuk menyediakan sebuah rezim yang komprehensif
untuk kewajiban dan kompensasi yang cukup dan cepat terhadap kerusakan yang
dihasilkan dari perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain dan
pembuangannya termasuk lalu lintas ilegal limbah20. Dalam pasal 3 dijelaskan
mengenai ruang lingkup Protokol ini, yakni sebagai berikut.
1. Protokol ini berlaku kepada kerusakan yang diakibatkan oleh insiden yang
terjadi sewaktu perpindahan batas lintas limbah berbahaya atau limbah lain
dan pembuangannya, termasuk lalu lintas ilegal, dari poin dimana limbah
diangkut ke moda transportasi di sebuah kawasan dibawah jurisdiksi
nasional dari negara Pengirim. Setiap Pihak yang Mengadakan Perjanjian
boleh dengan cara memberitahu ke Depositary mengecualikan aplikasi
daripada Protokol, berkaitan dengan semua perpindahan lintas batas yang
mana dia merupakan Negara Pengirim, untuk insiden-insiden tersebut yang
terjadi di sebuah area yang berada di bawa jurisdiksi nasional, dan
menghasilkan kerusakan di area tersebut. Sekretariat harus menginformasikan
semua Pihak Yang Mengadakan Perjanjian tentang notifikasi yang diterima
sesuai dengan Pasal ini.
2. Protokol ini harus berlaku:
(a) berhubungan dengan perpindahan yang ditujukan untuk salah satu operasi yang
disebut di Annex IV ke Konvensi kecuali D13, D14, D15, R12 atau R13, hingga
waktu notifikasi penyelesaian pembuangan yang diatur di Pasal 6 para.9
Dalam menentukan pihak yang bertanggung jawab, Protokol ini menerapkan
prinsip Strict Liability (SL). Implementasi Strict Liabilty atau Pertanggungjawaban
Mutlak yang diatur dalam Protokol ini adalah sebagai berikut.

20

Article 1 1999 Basel Protocol on Liability and Compensation for Damage Resulting from
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.

13

1. Orang yang memberitahu sesuai dengan Pasal 6 Konvensi harus bertanggung


jawab atas kerusakan hingga pembuang mengambil kepemilikan daripada
limbah berbahaya dan limbah lain. Setelah itu pembuang (disposer) yang
bertanggung jawab. Apabila Negara Pengirim yang memberitahu atau jika
tidak ada pemberitahuan, maka Pengirim harus bertanggung jawab atas
kerusakan hingga disposer mengambil kepemilikan limbah berbahaya dan
limbah lain. Mempertimbangkan Pasal 3 subparagraf 6 (b) Protokol, Pasal 6
paragraf 5 Konvensi akan berlaku secara mutatis mutandis. Maka dari itu
disposer yang akan bertanggung jawab atas kerusakan.
2. Tanpa melihat ketentuan paragraph 1, dengan mempertimbangkan limbah
yang diatur Pasal 1, subparagraph 1 (b) Konvensi apabila telah dinotifikasi
sebagai limbah yang berbahaya oleh Negara Penerima sesuai dengan Pasal 3
Konvensi tetapi tidak oleh Negara Pengirim, Penerima harus bertanggung
jawab hingga disposer mengambil kepemilikan dari limbah-limbah, apabila
Negara Penerima yang memberitahu atau apabila tidak ada pemberitahuan,
maka disposer yang harus bertanggung jawab atas kerusakan.
3. Limbah berbahaya dan limbah lain dikirim dua kali harus sesuai dengan Pasal
8 Konvensi, orang yang memberitahu harus bertanggung jawab atas
kerusakan sejak limbah berbahaya meninggalkan situs pembuangan hingga
limbah diambil alih oleh Pengirim atau oleh alternate disposer.
4. Limbah berbahaya dan limbah lain yang akan dikirim dua kali berdasarkan
Pasal 9 subparagraf 2 (a), atau Pasal 9 paragraf 4 Konvensi yang memenuhi
ruang lingkup Pasal 3 Protokol, orang yang melakukan penerimaan ulang
harus bertanggung jawab atas kerusakan hingga limbah diambil alih oleh
Pengirim atau oleh alternate disposer.
5. Tidak ada tanggung jawab sesuai dengan Pasal ini yang harus melekat kepada
orang yang dirujuk oleh paragraph 1 dan 2 Pasal ini, apabila orang itu
membuktikan bahwa kerusakan merupakan:
(a) hasil dari tindakan konflik bersenjata, pertempuran, perang saudara atau
pemberontakan;
(b) hasil dari fenomena alam yang bersifat luar bisa, tidak dapat dihindarkan, tidak
ditebak, dan tidak dapat dilawan.

14

(c) keseluruhan hasil dari ketaatan dengan langkah yang wajib dari otoritas Negara
dimana kerusakan terjadi; atau
(d) keseluruhan hasil dari kesengajaan kesalahan tindakan dari pihak ketiga,
termasuk orang yang menderita kerusakan.
6. Apabila dua atau lebih orang bertanggung jawab sesuai Pasal ini, Penggugat
memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi penuh atas kerusakan dari
tanggung jawab setiap atau semua orang.
Selain itu, dalam Pasal 5 dituliskan bahwa setiap orang juga harus
bertanggung jawab atas kerusakan yang dihasilkan atau dikontribusikan oleh
kurangnya ketaatan terhadap ketentuan implementasi Konvensi atau dengan
maksud yang salah, ketidakhati-hatian, atau pembiaran. Dengan adanya
pengaturan mengenai tanggung jawab tersebut, setiap orang khususnya yang
bekerja di bagian operasional pengawasan limbah berbahaya dan limbah lain
harus mengambil langkah yang terbaik ketika ada suatu insiden untuk dapat
mengurangi kerusakan yang timbul karenanya.
Ketika ada kerusakan yang disebabkan oleh limbah yang diatur di dalam
Protokol dan yang tidak diatur di dalam Protokol, maka orang tersebut hanya
bertanggung jawab sebesar kontribusi yang dimiliki oleh limbah yang diatur
di dalam Protokol. Proporsi kontribusi kerusakan sebagaimana dimaksud
ditentukan dengan volume dan sifat limbah terkait, dan tipe dari kerusakan
yang terjadi. Ketika memang tidak dimungkinkan untuk dibuat pembedaan
kontribusi, maka semua kerusakan dianggap diatur oleh Protokol. Dalam hal
orang yang menderita kerusakan atau orang yang bertanggung jawab atasnya
melalui hukum domestik ternyata mengakibatkan atau memberi kontribusi
terhadap kerusakan tersebut, maka kompensasi mungkin dikurangi atau
dibatalkan.
Keberlakuan Protokol ini dikesampingkan ketika ada perjanjian bilateral,
multilateral, regional yang juga mengatur mengenai tanggung jawab dan
kompensasi terhadap insiden yang timbul akibat perpindahan batas lintas.
Untuk mengklaim kompensasi, maka Pengadilan yang berwenang adalah
Pengadilan Contracting Parties yang merupakan tempat kerusakan, atau
tempat insidennya terjadi; atau tempat defendant atau Tergugat berdomisili

15

atau domisili place of business. Setiap Pihak Yang Mengadakan Perjanjian


harus memastikan bahwa Pengadilannya memiliki kompetensi yang
diperlukan untuk menangani klaim untuk kompensasi tersebut. Setiap
prosedur atau substansi mengenai klaim yang tidak diatur secara spesifik oleh
Protokol harus tunduk terhadap ketentuan hukum Pengadilan tersebut,
termasuk hukum yang terkait dengan hukum antar tata hukum (conflict of
laws).

2.5 Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan dalam Konvensi Basel 1989


a. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Pengertian dari sustainable development adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.21 Definisi diberikan oleh World
Commision on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan sebagaimana tersaji dalam laporan komisi yang
terkenal dengan komisi Brutland22 yang terumuskan berupa:
if it meets the needs of the present without compromising the ability of future
generation to meet their own needs23
(pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka).

21

Imelda Kamil. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum
lingkungan Internasional. Jakarta: Diadit Media. 2007, Hal. 54
22
Pada tahun 1983 Majelis Umum PBB membentuk sebuah badan, yaitu The World Commission on
Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem
Brutland. Komisi ini juga dikenal dengan sebutan Komisi Brutland. WCED diserahi tugas sebagai
berikut:
a. Reexamine the ctirical issue of the environment and development, and formulate innovative
concrete, and realistic action proposals to deal with them;
b. Strengthen international cooperation on environment and development, and asses and propose
new forms of cooperation that can break out of existing patterns and influence policies and events in
direction of needed changes, and;
c. Rise the level of understanding and commitment to action on the part of individuals, voluntary
organizations, business, institutes and governments.
23
Walaupun terdapat penerjemahan yang berbeda-beda (susceptible) dari konsep sustainable
development ini, namun kutipan dari Komisi Brutland inilah yang diterima secara umum. Kemudian
parameter dari sustainable development ini dijelaskan ke dalam Agenda 21 dan Deklarasi Rio, juga
diadopsi dalam UNCED dan selanjutnya diletakkan dalam instrumen-instrumen nasional, regional
dan internasional.

16

Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam inilah WCED24 pada tahun
1987 merumuskan konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). WCED dalam laporannya yang berjudul
Our Common Future. Kemudian definisi ini dijadikan sebagai prinsip pada Deklarasi
Rio pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992.
Susan Smith25 mengartikan sustainable development26sebagai meningkatkan
mutu hidup generasi kini dan mencadangkan modal / sumber alam bagi generasi
mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat (4) hal:
i. pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang
dapat diperbaharui,
ii. melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible
resources),
iii. pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis,
iv. pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.
b. Intergenerational Equity and Intragenerational Equity
Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity)
negara dalam hal ini harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber
daya alam bagi kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan
antargenerasi ini terumuskan dalam Prinsip 3 yang menyatakan hak untuk melakukan
24

WCED pada tahun 1987, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dengan anggota
mencakup pemuka-pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Amerika
Serikat, Republik Rakyat Cina, India, Kanada, Kolumbia, Saudia Arabia, Italia, Meksico, Brasil, Aljazair,
Nigeria, Yugoslavia, dan Indonesia (yang diwakili oleh Prof. Emil Salim) mengeluarkan suatu laporan
yang diberi nama Our Common Future yang memerikan banyak rekomendasi khusus untuk
perubahan institusional dan perubahan hukum. WCED juga mengajukan usulan untuk melaksanakan
suatu konferensi tingkat dunia guna membicarakan masalah-masalah lingkungan global dalam
kaitannya dengan upaya pembangunan berkelanjuatan. Rekomendasi dan usulan ini diterima oleh
sidang Majelis Umum PBB dengan Resolusi No. 44/228. Implementasi dari resolusi ini adalah
diselenggarakannya United Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro,
Brasil.
25
N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Erlangga) h. 147.
26
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukakan secara
lebih rinci dalam deklarasi dan perjanjian internasional yang dihasilkan melalui Konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pembangunan UNCED di Rio de Janeiro 1992. Dari berbagai dokumen yang
dihasilkan pada konferensi itu, secara formal terdapat 5 (lima) prinsip utama (pokok) dari
pembangunan berkelanjutan yaitu: Prinsip Keadilan Antargenerasi (Intergenerational Equity
Principle), Prinsip Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity Principle), Prinsip
Pencegahan Dini (Precautionary Principle), Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Conservation of
Biological Principle), Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan.

17

pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa


mengurangi kemanpuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. (the
right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and
environmental needs of present and future generations).27
Beberapa elemen kunci dari intergenerational principle ini terurai dalam
rumn yang dibuat oleh suatu konferensi internasional di Canberra pada 13-16
November 1994 yang lazim disebut Fenner Coference on the Environment. Prinsip
ini dirumuskan dalam konferensi tersebut:
i. Setiap masyarakat di dunia ini antara satu generasi dengan generasi lainnya berada
dalam kemitraan (global partnership),
ii. Generasi kini tidak semestinya memberikan beban eksternalitas pembangunan
bagi generasi berikutnya,
iii. Setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang berkualitas dan
mewariskannya pula pada generasi selanjutnya dengan mana generasi ini memiliki
kesempatan yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi, dan sosial,
iv. Generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-sumber alam
yang tidak dapat dibarui secara pasti (eksak).
c. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter-Pay Principle)
Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum karena
mengatur

mengenai

kebijaksanaan

atas

perhitungan

nilai

kerusakan

dan

pembedaannya. Menurut Simons dalam bukunya Het beginsel de vervuiler betaalt


en de Nota Milieuheffingen, prinsip ini semula diajukan oleh ahli ekonomi E. J.
Mishan dalam The Cost of Economic Growth pada tahun 1960-an. Dikatakan bahwa
prinsip pencemar membayar yang bersumber pada ilmu ekonomi berpangkal tolak
pada pemikiran bahwa pencemar28semata-mata merupakan seseorang yang berbuat
27

N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, h. 148.


Sehubungan dengan masalah siapakah si pencemar, laporan OECD mengenai the Polluter-pays
Principle (1975 mengemukakan pemikiran tentang: Who Pays For What? Dalam laporan tersebut,
dibahas mengenai hubungan pencemaran dan pertanggungjawaban: pencemar tidak selalu
bertanggung jawab terhadap pencemaran ditimbulkannya. Misalnya: seorang pengendara motor
mencemarkan dan berbuat bising tidak bertanggung jawab sendiri, tetapi secara kolektif bersama
produsennya. Jelaslah, bahwa menentukan pencemar mungkin tidak sulit, tetapi kadangkala keliru
untuk membebankan biaya semata-mata kepada the physical polluters. Selanjutnya, laporan OECD
menghubungkan pencemaran dan kekuasaan, dalam arti menemukan siapa pihak yang menemukan

28

18

pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma hukum dalam
bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran
yang sebenarnya dielakkan.29
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya
lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini
mengandung

makna

bahwa

pencemar

wajib

bertanggung

jawab

untuk

menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib membayar biayabiaya untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi dasar pengenaan
pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan demikian menggunakan
instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran (pollution charges) terhadap air
dan udara serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees).30
d. Principle of Preventive Action
Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini
mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan paling
baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada penanggulangan atau
pemberian ganti kerugian.31 Dalam Deklarasi Rio, prinsip pencegahan dirumuskan
dalam Prinsip 11 yang antara lain, berbunyi:
States shall enact effective environmental legislation .
ekonomis dan teknis mempunyai daya kekuasaan menanggulangi pencemaran. Pengusaha
mempunyai kemampuan membuat produksinya bebas pencemaran dengan cara memasang alat
pencegahan pencemaran, sehingga tidak layak untuk membebani Korban semata-mata. Dengan
lain perkataan, the polluter-pays principle berbeda hasilnya, tergantung pada penerapan terhadap
produsen atau konsumen. Laporan, OECD di atas membahas pula mengenai actual polluters.
Pencemar yang secara potensial menimbulkan risiko pencemaran dibebani pajak yang di
peruntukkan bagi dana pembayaran ganti kerugian terhadap korban pencemaran, apabila pihak yang
bertanggung jawab tidak dapat ditemukan. Misalnya: kasus pencemaran laut, dibiayai dari pajak atas
minyak yang diimpor atau diangkut melalui laut. (Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (h. 256)
29
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga Univ.
Press, 2005) h 244.
30
Muhammad Akib, h. 122. lihat juga Siti Sundari Rangkuti h. 261, Ketentuan tentang larangan dan
denda terhadap sanksi terhadap pencemar, merupakan salah satu kemungkinan sarana fisik. Inggris
dapat dijadikan sebagai contoh negara yang memberlakukan larangan dengan denda kepada barang
siapa yang membuang sampah dengan sembarangan di jalan. Larangan tersebut berbunyi: Littering
is an offence. Liability to a 100.00 fine. Begitu pula di Singapura terdapat larangan membuang
sampah seenaknya dengan sanksi denda S.$1.000.00 bagi yang melanggarnya; juga larangan
membiarkan air tergenang di halaman rumah, got dan dalam talang-talang yang sewaktu-waktu
dikontrol sebagai usaha untuk mencegah malaria, dengan sanksi S.$1.000.00.
31
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan (Raja Grafindo Persada), h. 20.

19

Prinsip ini juga dipandang sangat berhubungan erat dengan prinsip keberhatihatian yang akan diuraikan pada bagian berikut. Kedua prinsip menekankan
pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya masalah-masalah
lingkungan.
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan pembiaran
terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berasal dari kejadian di dalam negerinya
dan kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.32 Terdapat juga
prinsip pengelolaan lingkungan tanpa merugikan. Deklarasi Rio juga merumuskan
prinsip mengenai kedaulatan negara untuk mengelola atau memanfaatkan sumber
daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit resources but responsible do
not to cause damage to the environment of other states) (Prinsip 2). Prinsip ini
diadopsi dari Deklarasi Stockholm (Prinsip 21; state have, in accordance with the
Chapter of the United nations and Principle of International law, the sovereign right
to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the
responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not
course damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of
national jurisdiction.), di mana prinsip ini merupakan asas hukum Romawi yang
dikenal dengan Prinsip Sic utere tuo ut alienum non laedas33(use your own so as not
to injure another), sebuah prinsip bahwa negara harus menjamin tidak akan
menggunakan atau mengelola sumber alam di wilayah yurisdiksinya yang dapat
merugikan negara lainnya.34
Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan
hukum internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan sistem
tanggung jawab dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau perkan lingkungan di
negara sebagai akibat kegiatan di wilayah yurisdiksinya (Prinsip 22).
e. Prinsip Pencegahan Dini (The Precautionary Principle)
32

FX , Samekto, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional (Citra Aditya Bakti, 2004), h. 120.
Prinsip ini diklasifikasikan ke dalam prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pencemaran lintas batas
dan perusakan ligkungan, khususnya mengenai a duty to prevent, reduce and control environmental
harm. Dalam kasus Trial Smelter. prinsip Sic Utere ini disebutkan dan digunakan oleh Dewan
Arbitrase yang memutuskan bahwa Canadian Smelter harus memberikan ganti rugi kepada Amerika
Serikat atas pencemaran yang ditimbulkannya.
34
N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan (Pancuran Alam) h. 145.
33

20

Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah
yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya
mencegah kerusakan lingkungan. Dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio
dinyatakan sebagai berikut:
In order to protect the environment, the precautionary approach shall be
widely applied by States according to their capabilities. Where are threats of
serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be
used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent
environment degradation
Prinsip ini merupakan jawaban atas kebijakan pengelolaan lingkungan yang
didasarkan kepada satu hal yang perlu dalam melakukan prevensi atau
penanggulangan hanya akan dapat dilakukan jika telah benar-benar dapat diketahui
dan dibuktikan. Sungguh sangat merugikan sekali jika sesuatu yang sudah berpotensi
atau sudah terjadi kerusakan lingkungan, baru dapat diambil sebuah keputusan
setelah diketahui atau dibuktikan lebih dahulu secara pasti.
Pendasaran pada pembuktian lebih dahulu menjadi penghalang bagi
pengambilan keputusan yang bersifat segera, sementara dampak dan risiko (threats)
sudah sangat nyata sekali dirasakan. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk
mengaplikasikan prinsip pencegahan dini. Acuan tersebut adalah:35
a. ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan
(irreversible). Misalnya memiliki akibat yang sifatnya membahayakan yang bersifat
antargenerasi, atau keadaan tidak terdapat subsitusi dari sumber daya yang
digunakan,
b. bersifat ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Terdapat keadaan di mana
akibat yang akan timbul dari suatu aktivitas tidak dapat diperkirakan secara pasti
berhubung karakter dari masalahnya sendiri, penyebab maupun dampak potensial
dari kegiatan tersebut,
c. ikhtiar prevensional mencakup ikhtiar pencegahan hingga biaya-biaya yang
bersifat efektif (cost effectiveness).

35

Santosa dikutip dalam N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan (Pancuran Alam) h. 61.

21

BAB III
STUDI KASUS PERGERAKAN LINTAS BATAS LIMBAH BERBAHAYA
DAN BERACUN
Untuk memahami lebih lanjut mengenai Basel Convention on The Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal akan dibahas
dua kasus dan bagaimana konvensi ini berperan dalam masing-masing kasus.

3.1 Kasus Ekspor Used Lead Batteries oleh Amerika Serikat ke Meksiko
a. Kasus Posisi
Lead batteries (baterai timbal) banyak digunakan di kendaraan, penyimpanan
energi untuk sistem surya, tenaga angin, telekomunikasi, dan pusat data. Karena
perluasan saat ini segmen pasar, industri ini berkembang pesat di seluruh dunia.
Misalnya Republik Rakyat Tiongkok mengalami peningkatan 133% dalam produksi
baterai timbal antara 2004 dan 2010, sehingga menjadi produsen terbesar di dunia.
Sekitar 80% dari timah yang diproduksi di seluruh dunia masuk ke dalam baterai.
Tidak seperti kebanyakan limbah berbahaya, baterai timbal bekas hampir selalu
didaur ulang karena ini merupakan usaha yang menguntungkan di seluruh dunia.
Sayangnya, banyak dari hal ini dilakukan secara primitif oleh orang-perorangan
dengan cara meleburkan baterai pada api yang terbuka. Bahkan dalam pabrik daur
ulang yang resmi, efisiensi dan pengendalian pencemaran sangat bervariasi dan ada
ribuan pengolah-pengolah yang sangat kecil yang sangat mencemari.
Industri daur ulang baterai timbal merupakan sumber signifikan dari paparan
timbal di seluruh negara-negara berkembang. Sebuah artikel yang merangkum
penelitian yang diterbitkan dari 37 negara menemukan paparan timbal yang tinggi
dalam pabrik daur ulang limbah berbahaya ini juga dalam masyarakat sekitar. Telah
dilaporkan rata-rata kandungan timbal dalam darah para pekerja di pabrik daur ulang
baterai di negara-negara berkembang adalah 64 mikrogram per desiliter (g/dL) dan
konsentrasi udara yang melebihi batas paparan yang diperbolehkan dalam Lembaga
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat. Rata-rata kandungan timbal
dalam darah pada anak-anak yang berada di dekat fasilitas ini adalah 19 g/dL, atau

22

sekitar 13 kali lebih tinggi dari kandungan rata-rata pada anak-anak di Amerika
Serikat.
Konvensi Basel membatasi pengiriman lintas batas timbal baterai yang
digunakan, tapi ada perdagangan legal dan ilegal yang cukup timbal baterai yang
digunakan di seluruh dunia. Digunakan baterai asam timbal (ULABs) ekspor dari AS
ke Meksiko telah meningkat secara dramatis sejak 2008 menyusul perubahan
peraturan lebih lanjut membatasi emisi timbal udara di AS lintas batas pengiriman
timah baterai yang digunakan antara negara-negara ini diatur oleh Organisasi untuk
Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan ( OECD), konvensi Basel dan Perjanjian La
Paz.
Berdasarkan semua perjanjian ini, laboratorium dianggap limbah berbahaya
dan negara penerima harus memberikan persetujuan sebelum mereka dapat diimpor.
Konvensi Basel melarang negara dari ekspor limbah berbahaya dengan beberapa
pengecualian. Demikian pula, 1986 OECD Keputusan Ekspor Limbah Berbahaya
membatasi

ekspor

limbah

berbahaya

ke

non-OECD

negara kecuali ketentuan khusus berada di tempat termasuk persyaratan bahwa


eksportir menunjukkan kecukupan fasilitas pembuangan.
Meskipun AS belum meratifikasi Konvensi Basel, sebagian besar mitra
dagangnya tidak diperbolehkan untuk mengimpor limbah berbahaya dari AS dalam
ketiadaan yang sesuai Pasal 11 Perjanjian di bawah Konvensi 1. Sejak tahun 2001
Diubah Keputusan OECD 2 memenuhi syarat sebagai Pasal 11 Perjanjian di bawah
konvensi Basel, itu menuntun tindakan AS dalam hal ekspor limbah berbahaya.
Perjanjian La Paz juga memenuhi syarat sebagai langsung Pasal 11 Perjanjian antara
AS dan Meksiko.
Pada tahun 2010, AS EPA revisi peraturan limbah berbahaya mereka untuk
memasukkan persyaratan 2001 Keputusan OECD. Namun, karena ULABs
ditakdirkan untuk pemulihan, mereka tidak ditangani sebagai ketat di bawah
peraturan EPA sebagai limbah berbahaya lainnya ditakdirkan untuk pembuangan
sehubungan dengan manifestasi, kemasan dan transportasi. Berdasarkan peraturan
ini, perusahaan AS mengekspor baterai timbal digunakan untuk reklamasi
dikecualikan dari persyaratan manifest limbah yang biasanya akan melacak limbah
berbahaya ke tujuan akhirnya. OECD Keputusan mencakup persyaratan untuk

23

pemberitahuan dan persetujuan, dokumen

gerakan (mirip dengan

limbah

memanifestasikan), dan sertifikat pemulihan dari fasilitas daur ulang. Namun, di


bawah 2.010 peraturan AS EPA, ada lima negara OECD, termasuk Meksiko, yang
AS eksportir dapat mengirim pengiriman baterai untuk reklamasi tanpa memberikan
dokumen gerakan atau pelacakan informasi.
Karena kelemahan dalam sistem notifikasi dan lemahnya penegakan, banyak
pengiriman yang tidak sah dari laboratorium yang membuat jalan mereka ke
Meksiko untuk kedua fasilitas daur ulang yang berwenang dan tidak sah. Misalnya,
pada tahun 2011, pihak berwenang Meksiko berhenti truk AS di Chihuahua yang
membawa 1.800 baterai timbal longgar yang bocor asam sulfat di dalam trailer. Sopir
truk memiliki salinan manifest yang mengatakan baterai akan menjadi pendaur ulang
baterai resmi di Puebla, tetapi menyatakan bahwa ia mengantarkan mereka ke
fasilitas industri di Guanajuato.
Seperti tahun 2011, ada dua puluh satu berwenang daur ulang baterai di
Meksiko dengan kapasitas lebih dari 800.000 metrik ton. Industri daur ulang baterai
di Meksiko, bagaimanapun, tidak diatur dengan baik dan penegakan hukum yang
lemah. emisi dilaporkan dari tanaman daur ulang baterai timbal di Meksiko sekitar
20 kali lebih tinggi dari dari tanaman sebanding dalam eksposur AS Kerja di
tanaman ini tiga kali lebih tinggi daripada di AS. Selain itu, yang lebih kecil,
tanaman tidak sah mengandalkan kerja manual untuk membongkar baterai dan
memiliki lebih sedikit teknologi pengendalian pencemaran di tempat.
b. Analisis Kasus
Konvensi Basel menyatakan bahwa perpindahan limbah lintas negara
dianggap sebagai perpindahan yang ilegal jika:36
- dilakukan tanpa adanya notifikasi sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
- tanpa adanya persetujuan tertulis sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
- dengan persetujuan tertulis yang diperoleh melalui cara pemalsuan,
kesalahpahaman, dan penipuan (falcification, misinterpretation, and fraud),
36

Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 1.

24

- adanya ketidakcocokan antara limbah dan dokumen yang menyertainya,


- menghasilkan pembuangan limbah yang bertentangan dengan Konvensi
Basel dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.
Konvensi Basel juga meminta agar negara anggota mengadopsi peraturan
nasional yang mampu mencegah perpindahan limbah ilegal (illegal traffic) dan
menyediakan hukuman bagi praktek illegal traffic tersebut.37 Dalam hal ini,
Konvensi juga menyatakan bahwa illegal traffic merupakan tindak pidana.38
Apabila limbah telah dianggap sebagai hasil dari illegal traffic, maka
Konvensi Basel menyatakan:
- jika illegal traffic merupakan hasil dari tindakan eksportir atau penghasil limbah,
maka negara pengekspor memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa limbah
diambil kembali oleh eksportir atau penghasil limbah, atau jika perlu oleh negara
pengekspor sendiri;39
- jika illegal traffic merupakan hasil perbuatan dari importer atau pembuang
(disposer) limbah, maka negara pengimpor harus memastikan bahwa limbah akan
dikelola secara ramah lingkungan. Untuk ini, maka negara anggota yang terlibat
harus bekerja sama terkait pembuangan limbah yang ramah lingkungan;40
- jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat ditentukan, negara
anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa limbah sesegera
mungkin akan dibuang di negara pengekspor atau negara pengimpor atau tempat
lain, sesuai dengan pembuangan limbah yang ramah lingkungan.41
Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal
traffic memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah
yang diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah yang layak, untuk
perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut Kitt, ketentuan ini

37

Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 5.


Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 4 Ayat 3.
39
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 2a. Akan tetapi, jika pengambilan kembali
limbah tidak dimungkinkan, maka negara pengeskpor memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa
limbah akan dibuang sesuai dengan persyaratan dari Konvensi Basel. Pembuangan ini merupakan
kesepakatan dari negara yang terlibat. Meski demikian, Konvensi Basel juga menyatakan bahwa
negara anggota yang terlibat tidak boleh menghalangi pengembalian limbah ke negara pengekspor.
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 2b.
40
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 3.
41
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 4.
38

25

menujukkan adanya tanggung jawab negara secara langsung (direct state


responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh warganya.42

3.2 Kasus Impor Besi Bekas Mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya di
Indonesia
a. Kasus Posisi43
Ribuan kontainer limbah impor tertahan di sejumlah pelabuhan besar
di Indonesia. Kontainer yang tertahan itu berisi ribuan ton besi bekas untuk
bahan industri logam. Sebagian di antara besi bekas itu terindikasi
terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya.
Impor limbah untuk bahan industri memang diizinkan. Namun, jelasjelas ditegaskan, limbah impor itu tidak membahayakan lingkungan dan
kesehatan (nonbahan beracun dan berbahaya/B3). Kalau mengandung B3,
ketentuan hukum sudah jelas tidak mengizinkan, kata Deputi V Bidang
Penaatan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),
Sudariyono di Jakarta, Sabtu (28/4/2012).
KLH bersama penyidik dari kejaksaan dan kepolisian membuka 11
kontainer berisi besi bekas impor dari Afrika Selatan yang masuk melalui
Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Hari Sabtu, giliran 102 kontainer
serupa dibuka di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sisanya menunggu
pemeriksaan di Pelabuhan Belawan, Medan, dan Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya.
Sebelumnya, awal April lalu, ratusan kontainer dibuka di Tanjung
Priok. Kontainer ternyata tidak hanya berisi bongkahan besi-besi bekas, tetapi
juga tercampur tanah, oli bekas, aspal, dan plastik. Bau bahan kimia menguar
ketika pintu kontainer dibuka.
Semua kontainer tersebut merupakan bagian dari sekitar 7.000
kontainer berisi besi bekas impor dari sejumlah negara yang masuk Indonesia
42

Jennifer R. Kitt, Waste Exports to the Developing World: A Global Response, Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 7, 1995, hal. 490-491
43
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/30/09354944/Limbah.Impor.Banjiri.Pelabuhan,
diakses pada tanggal 23 Maret 2016

26

sejak Januari 2012. Sebagian di antaranya sudah diizinkan keluar pelabuhan


untuk diolah di pabrik besi karena dinilai memenuhi syarat.
Menurut Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Bea dan
Cukai Tanjung Priok Agus Yulianto, ribuan kontainer itu sebelumnya masuk
fasilitas jalur hijau, yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan fisik. Sejak
ada nota hasil intelijen, (kontainer tersebut) masuk jalur yang harus
diperiksa, kata Agus. Nota muncul setelah tercium adanya kejanggalan.
Berawal dari munculnya nota itu, ribuan kontainer impor berisi besi
bekas yang masuk di semua pelabuhan di Indonesia, sejak awal tahun 2012,
masuk jalur merah yang harus diperiksa ketat. Pemeriksaan melibatkan
pengawas dan penyidik KLH, Bea dan Cukai, kejaksaan, dan kepolisian.
Di Tanjung Perak, pada periode Februari-April, ditahan 113 kontainer
yang diduga memuat barang mengandung limbah B3. Sebagian besar impor
dari Inggris dan Belanda. Semua kontainer disimpan di lokasi khusus seluas
500 meter persegi sehingga tidak mencemari kontainer lain.
Begitu ada indikasi memuat limbah berbahaya, barang langsung kami
amankan, ujar Kepala Sub-Seksi Penindakan Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Wahyudhi
Arief.
Di Pelabuhan Belawan, 85 kontainer berisi besi bekas tertahan untuk
penanganan lebih lanjut. Kontainer yang tersebar di beberapa tempat itu
diimpor dari Bahrain, Rusia, Perancis, Irlandia, dan Afrika Selatan.
Kontainer-kontainer itu menunggu pemeriksaan bersama.
Hasil laboratorium
Sejauh ini, hasil pemeriksaan laboratorium Pusat Sarana Pengendalian
Dampak Lingkungan (Pusarpedal) di bawah KLH terhadap 113 kontainer di
Tanjung Priok menunjukkan, mayoritas material sampel uji menunjukkan
sifat korosif dan beracun. Adapun jenis limbah B3 yang terkandung adalah
timbal, arsenik, seng, dan krom yang melampaui ambang batas toleransi.
Karena melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan LH dan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan
Sampah, kasus itu dilanjutkan ke proses hukum. Sebanyak 89 kontainer

27

sudah direekspor ke Inggris, sedangkan 24 kontainer dalam proses reekspor


ke Belanda. Reekspor tidak menutup proses tuntutan hukum.
Secara bertahap, penyidik pegawai negeri sipil juga mengirimkan
sampel-sampel yang sudah diambil dan ditandai ke Pusarpedal. Pemeriksaan
juga dilanjutkan dengan pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) yang,
sesuai ketentuan, harus dihadiri wakil perusahaan. Di Semarang, Giyanto,
pemilik 11 kontainer impor, kooperatif ketika dibuatkan BAP, Jumat.
Ia sempat mempertanyakan pemeriksaan yang dinilainya merugikan.
Ia memiliki semua dokumen yang dibutuhkan, termasuk keterangan dari
penyurvei.

Sebelumnya,

ratusan

kontainer

serupa

miliknya

lolos

pemeriksaan.
Penahanan kontainer-kontainer itu sempat memunculkan protes dari
Asosiasi Industri Besi dan Baja. Mereka menyatakan bahwa importasi besi
bekas untuk bahan baku industri sudah berlangsung 30 tahun dengan
pemahaman pentingnya menjaga keselamatan lingkungan. Mereka menilai
penahanan kontainer tersebut hanya akan menghambat pertumbuhan industri
baja, bahkan mengancam keberlanjutannya.
Menurut Sudariyono, KLH tidak mempersulit industri besi baja yang
sedang

tumbuh,

tetapi

justru

melindungi

keberlanjutannya

dengan

penggunaan bahan baku yang bersih.


Adapun serangkaian pemeriksaan dilakukan karena ada laporan yang
patut dibuktikan kebenarannya. Kalau benar-benar bersih, Bea dan Cukai bisa
mengizinkan keluarnya kontainer, bahkan sebagian di antaranya sudah
diizinkan keluar.
Di tengah berbagai tarik ulur, termasuk keterbatasan tenaga pemeriksa
di lapangan, pemeriksaan masih akan terus dijalankan. Kami serius dengan
pemeriksaan yang kami lakukan. Di mana pun diperlukan, kata Sudariyono.
b. Analisis Kasus
Konvensi Basel menyatakan bahwa perpindahan limbah lintas negara
dianggap sebagai perpindahan yang ilegal jika:44
44

Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 1.

28

- dilakukan tanpa adanya notifikasi sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
- tanpa adanya persetujuan tertulis sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
- dengan persetujuan tertulis yang diperoleh melalui cara pemalsuan,
kesalahpahaman, dan penipuan (falcification, misinterpretation, and fraud),
- adanya ketidakcocokan antara limbah dan dokumen yang menyertainya,
- menghasilkan pembuangan limbah yang bertentangan dengan Konvensi
Basel dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.
Konvensi Basel juga meminta agar negara anggota mengadopsi peraturan
nasional yang mampu mencegah perpindahan limbah ilegal (illegal traffic)
dan menyediakan hukuman bagi praktek illegal traffic tersebut.45 Dalam hal
ini, Konvensi juga menyatakan bahwa illegal traffic merupakan tindak
pidana.46
Apabila limbah telah dianggap sebagai hasil dari illegal traffic, maka
Konvensi Basel menyatakan:
- jika illegal traffic merupakan hasil dari tindakan eksportir atau penghasil
limbah, maka negara pengekspor memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa limbah diambil kembali oleh eksportir atau penghasil limbah, atau jika
perlu oleh negara pengekspor sendiri;47
- jika illegal traffic merupakan hasil perbuatan dari importer atau pembuang
(disposer) limbah, maka negara pengimpor harus memastikan bahwa limbah
akan dikelola secara ramah lingkungan. Untuk ini, maka negara anggota yang
terlibat harus bekerja sama terkait pembuangan limbah yang ramah
lingkungan;48

45

Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 5.


Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 4 Ayat 3.
47
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 2a. Akan tetapi, jika pengambilan kembali
limbah tidak dimungkinkan, maka negara pengeskpor memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa
limbah akan dibuang sesuai dengan persyaratan dari Konvensi Basel. Pembuangan ini merupakan
kesepakatan dari negara yang terlibat. Meski demikian, Konvensi Basel juga menyatakan bahwa
negara anggota yang terlibat tidak boleh menghalangi pengembalian limbah ke negara pengekspor.
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 2b.
48
Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 3.
46

29

- jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat
ditentukan, negara anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk
memastikan bahwa limbah sesegera mungkin akan dibuang di negara
pengekspor atau negara pengimpor atau tempat lain, sesuai dengan
pembuangan limbah yang ramah lingkungan.49
Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal
traffic memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah
yang layak, untuk perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut
Kitt, ketentuan ini menujukkan adanya tanggung jawab negara secara
langsung (direct state responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh
warganya.50

49

Konvensi Basel 1989, 28 ILM 649 (1989), Pasal 9 Ayat 4.


Jennifer R. Kitt, Waste Exports to the Developing World: A Global Response, Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 7, 1995, hal. 490-491

50

30

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Bangkitnya kesadaran lingkungan dan sesuai pengetatan peraturan
lingkungan di dunia industri pada 1970-an dan 1980-an telah menyebabkan
peningkatan resistensi publik untuk pembuangan limbah berbahaya - sesuai
dengan apa yang dikenal sebagai NIMBY (Not In My Back Yard) sindrom dan untuk peningkatan biaya pembuangan. Hal ini pada gilirannya
menyebabkan beberapa operator untuk mencari pilihan pembuangan murah
untuk limbah berbahaya di Eropa Timur dan Negara-negara berkembang,
dimana kesadaran lingkungan masih kurang berkembang dan juga peraturan
dan mekanisme penegakan hokum lingkungan yang kurang. Dengan latar
belakang ini lah Konvensi Basel dinegosiasikan di akhir 1980-an, dan
dorongannya pada saat diadopsi adalah untuk memerangi "perdagangan
bahan beracun", seperti yang telah disebutkan. Konvensi mulai berlaku pada
tahun 1992.

31

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Basel Convention Secretariat. The Basel Convention At A Glance.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgwell. International Law and The
Environment, 3rd ed. New York: Oxford University Press. 2009.
Kamil, Imelda. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Prinsip-prinsip Umum
dalam Hukum lingkungan Internasional. Jakarta: Diadit Media. 2007.
Koivurova, Timo. Introduction to International Environmental Law. New York:
Routledge. 2014.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Ed.1. Cet.4. Jakarta: Rajawali
Pers. 2014.
Siahaan, N. H. T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.
2004.
Syarif, Laode M. dan Andri G. Wibisana. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan
Studi Kasus. Jakarta: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation. 2015.
Organisation for Economic Co-operation and Development. Ratification of the
Convention on the OECD. 2010.
JURNAL
Andrews, Alan. Beyond The Ban Can The Basel Convention Adequately Safeguard
The Interests Of The Worlds Poor In The International Trade Of Hazardous
Waste vol.5/2, Law Environment and Development Journal (2009), hal.167
Alter, Harvey. Industrial recycling and the Basel Convention dalam Resources,
Conservation and Recycling,Volume 19, Issue 1, Januari 1997
The composition and environmental hazard of copper slags in the context of
the Basel Convention dalam Elsevier Volume 43, Issue 4, Maret 2005.

32

Bradford, Mark. United States, China & The Basel Convention on the
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposa ldalam
Fordham Environmental Law Journal Volume 305, Issue 8, 1996.
Hackett, David.P. An Assessment of the Basel Convention on the Control of The
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,
American University International Law Review Vol.5 No. 2 (1990)
Jennifer, R. Kitt, Waste Exports to the Developing World: A Global Response,
Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 7, 1995.
Qonita, Alfia. Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and Their Disposal dalam Jurnal Hukum Internasional
Indonesian Journal of International Law, Vol. 8 No. 4, 11 Juli 2011.
United States. Cong. House. Committee on Foreign Affairs. Exporting Toxic Trash:
Are We Dumping Our Electronic Waste on Poorer Countries? : Hearing
before the Subcommittee on Asia, the Pacific, and the Global Environment of
the Committee on Foreign Affairs, House of Representatives, One Hundred
Tenth Congress, Second Session, September 17, 2008. By F. H.
Faleomavaega. H. Bill. Washington: U.S. G.P.O., 2008.
INTERNET
Basel Convention.
http://www.basel.int/TheConvention/Overview/History/Overview/tabid/3405/
Default.aspx diunduh pada tanggal 20 Maret 2016
Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous
Wastes. Council on Foreign Relations.
http://www.cfr.org/publication/20588/basel_convention_on_the_control_of_t
ransboundary_movements_of_hazardous_wastes.html diakses pada tanggal
25 Maret 2016.
The Basel Convention at a Glance..." United Nations Environmental Program.
http://www.basel.int/convention/bc_glance.pdf diakses pada tanggal 25 Maret
2016.

33

Obamas EPA Allows Toxic Navy Ships to be Dumped in Bangladesh. " Basel
Action Network (BAN). 27 Aug. 2009.
http://www.ban.org/BAN_NEWS/2009/090827_toxic_navy_ships_to_be_dum
ped.html diakses pada tanggal 25 Maret 2016.

"Ratification of the Convention on the OECD." Organisation for Economic Cooperation and Development. Web. 10 Apr. 2010.
http://www.oecd.org/document/1/0,3343,en_2649_201185_1889402_1_1_1_
1,00.html.

34

Anda mungkin juga menyukai