Disusun oleh :
Jeremia Humolong Prasetya Nainggolan (1306412294)
Tengku Muhamad Derizal (1306380393)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 1
BAB
PENDAHULUAN............................................................................. 2
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 2
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Metode Penelitian ....................................................................... 4
BAB II
BAB III
BAB IV
PENUTUP ....................................................................................... 32
Kesimpulan ..................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN
Hackett, David.P An Assessment of the Basel Convention on the Control of The Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, American University International Law Review
Vol.5 no 2 (1990), hal. 291-323
2
Alifia Qonita. Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes
and Their Disposal dalam Jurnal Hukum Internasional Indonesian Journal of International Law, Vol. 8
No. 4, 11 Juli 2011, hal. 751.
meroket, toxic traders mencari solusi yang lebih murah dengan memulai pengiriman
ke Afrika, Eropa Timur, dan kawasan lain. Saat di pantai, limbah-limbah ini terbuang
dimana-mana, baik itu dari kebocoran yang disengaja atau pengelolaan yang tidak
baik, dan hal ini menyebabkan masalah kesehatan yang kronis bahkan hingga
kematian dan meracuni tanah, laut, dan udara dalam waktu yang lama3.
Negara-negara berkembang kesusahan untuk menolak transaksi pengiriminan
ini karena pendapatannya cukup signifikan bagi perkembangan bangsa sedangkan
biaya ini dianggap murah oleh negara-negara maju tersebut. Kita melihat contoh
Guinea Bissau yang membuat kontrak-kontrak untuk menerima limbah Amerika dan
Eropa dalam periode lima tahun seharga $600 juta, atau sebesar pendapatan domestik
bruto (PDB) tiap tahunnya. Pengiriman-pengiriman ke negara berkembang tersebut
berbahaya karena beberapa alasan. Pertama, banyak eksportir menyesatkan dan
menipu Negara Penerima mengenai isi limbah. Kedua, banyak negara tidak memiliki
teknologi atau keahlian untuk membuang limbah tersebu dengan baik dan ketiga,
moda transportasi dan alat pembuangan tersebut juga memiliki masalah-masalah
teknis. Langkah signifikan pertama akhirnya dilakukan pada Juni 1987, dimana
Dewan UNEP menyetujui Cairo Guidelines, sebuah instrumen yang bersifat tidak
mengikat, yang pada dasarnya bertujuan untuk membantu pemerintah dalam
perkembangan dan implementasi daripada kebijakan pengaturan nasional masingmasing tentang limbah berbahaya.4
Di waktu yang sama, atas proposal yang diajukan Swiss dan Hungaria,
Dewan UNEP memberikan mandat kepada Direktur Eksekutif untuk membuat suatu
working group yang bertugas untuk menghasilkan sebuah konvensi tentang
pengawasan terhadap perpindahan lintas batas limbah berbahaya, dengan
memanfaatkan Cairo Guidelines dan organ nasional, regional, dan internasional yang
terkait. Working Group yang bersifat ad-hoc tersebut memantapkan langkahnya pada
sebuah pertemuan internasional pada Oktober 1987 dan menyelenggarakan lima sesi
negoisasi secara total di antara Februari 1988 dan Maret 1989.
Akhirnya pada tanggal 20-22 Maret 1989, Konferensi Plenipotentiaries
tentang Konvensi Global tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
3
Berbahaya diselenggarakan atas undangan dari Pemerintah Swiss dan pada tanggal
22 Maret, Konvensi Basel diadopsi, juga beserta delapan resolusi terkait dengan
perkembangan lebih lanjut dan implementasi daripada Konvensi Basel5. Indonesia
adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 sebelum pada tahun 2005,
dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2005 untuk
mengesahkan amandemen terhadap Konvensi Basel 1989.
http://www.basel.int/TheConvention/Overview/History/Overview/tabid/3405/Default.aspx,
diunduh pada tanggal 20 Maret 2016
BAB II
KONVENSI BASEL 1989
2.1 Sejarah
Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
Berbahaya diadopsi pada tahun 1989 dan mulai berlaku pada tahun 1992. Perjanjian
itu berusaha untuk membangun kerangka kerja untuk mengatur transportasi
internasional dan pembuangan limbah berbahaya. Pada 1980-an, negara semakin
menetapkan peraturan lingkungan yang lebih ketat, dan sebagai hasilnya, biaya
pembuangan limbah berbahaya meningkat secara substansial. Tingginya biaya
pembuangan limbah berbahaya menyebabkan terciptanya pasar gelap jaringan
limbah beracun, atau "pedagang beracun," yang diangkut limbah ke negara-negara
berkembang untuk pembuangan murah. pedagang beracun membuang limbah tanpa
kepedulian terhadap lingkungan atau kesehatan masyarakat. wahyu media pada
praktek memicu kemarahan internasional, dan dengan itu, diproduksi momentum
untuk negosiasi Konvensi Basel.6
Konvensi Basel mengatur "generasi, manajemen, gerakan lintas batas dan
pembuangan berbahaya dan limbah lainnya."7 Pihak pada Konvensi Basel
diharapkan untuk lulus undang-undang domestik yang menghukum transportasi
ilegal limbah berbahaya. Transportasi limbah berbahaya ke dan dari non-partai
adalah ilegal, kecuali izin khusus diberikan. Selain itu, perjanjian membutuhkan
pihak untuk mendorong praktik pembuangan limbah yang aman, khusus untuk
"untuk meminimalkan jumlah yang bergerak melintasi perbatasan, untuk mengobati
dan membuang limbah sedekat mungkin ke tempat mereka generasi dan untuk
mencegah atau meminimalkan timbulnya limbah pada sumbernya."8
Yang penting, Konvensi Basel tidak membangun definisi yang seragam dari
"limbah berbahaya." Sebaliknya, ia mendefinisikan limbah sebagai "zat atau benda
yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh
6
ibid
ibid
11
"Ratification of the Convention on the OECD." Organisation for Economic Co-operation and
Development. Web. 10 Apr. 2010.
http://www.oecd.org/document/1/0,3343,en_2649_201185_1889402_1_1_1_1,00.html.
12
ibid
10
laptop, monitor layar datar, dan televisi mengandung lampu neon yang mengandung
merkuri, racun saraf yang berbahaya. Juga mencatat bahwa banyak produk elektronik
mengandung bahan kimia beracun seperti timbal, merkuri, berilium, kadmium,
kromium, dan brominated flame. Perhatikan juga bahwa sekitar 2.630.000 ton
digunakan atau elektronik yang tidak diinginkan dibuang di Amerika Serikat 3 tahun
yang lalu, menurut EPA. Perhatikan juga bahwa sekitar 330.000 ton limbah
elektronik dikumpulkan dan dialihkan dari tempat pembuangan sampah untuk
digunakan kembali atau daur ulang 3 tahun yang lalu, lagi menurut EPA. Perhatikan
juga bahwa sekitar 50 persen menjadi 80 persen dari limbah elektronik dikumpulkan
untuk digunakan kembali atau daur ulang diekspor ke negara-negara seperti China,
India, Ghana, Nigeria, Pakistan, dan Thailand, menurut Departemen Perdagangan.13
Sebagai konsumen menanggapi teknologi baru, seperti televisi definisi tinggi,
jumlah sampah yang dihasilkan oleh tua, barang elektronik yang tidak diinginkan
kemungkinan akan meningkat. Hal ini mungkin mengakibatkan, "lebih banyak
perusahaan ingin memanfaatkan peluang dengan membawa negara e-waste to-kurang
berkembang di masa depan."14
Pemerintahan Obama belum mendukung ratifikasi Konvensi Basel. Obama,
sebagai calon presiden, mengumumkan dukungannya untuk meningkatkan regulasi
limbah berbahaya. Namun, pemerintahan Obama baru-baru ini gagal untuk
memperbaharui moratorium EPA mengenai pengiriman kapal AS untuk Asia Selatan
untuk pembongkaran. Larangan itu dimulai karena "neraka lingkungan pekarangan
shipbreaking Asia Selatan."15 Selain itu, Lawrence Summers, Direktur Dewan
Ekonomi Nasional Obama, dikabarkan menulis dalam memo, "Saya pikir logika
ekonomi di balik pembuangan beban limbah beracun di negara upah terendah
sempurna dan kami harus menghadapi itu."16Mengingat tren ini dan pernyataan,
13
United States. Cong. House. Committee on Foreign Affairs. Exporting Toxic Trash: Are We Dumping
Our Electronic Waste on Poorer Countries? : Hearing before the Subcommittee on Asia, the Pacific,
and the Global Environment of the Committee on Foreign Affairs, House of Representatives, One
Hundred Tenth Congress, Second Session, September 17, 2008. By F. H. Faleomavaega. H. Bill.
Washington: U.S. G.P.O., 2008.
14
Faleomavaega, supra note 11.
15
Obamas EPA Allows Toxic Navy Ships to be Dumped in Bangladesh. " Basel Action Network (BAN).
27 Aug. 2009.
http://www.ban.org/BAN_NEWS/2009/090827_toxic_navy_ships_to_be_dumped.html diakses pada
tanggal 25 Maret 2016.
16
Ogunseitan, Oladele. "The Wild West of Electronic Waste." Business Day [Nigeria] 8 Mar. 2010.
tampaknya tidak mungkin bahwa pemerintahan Obama akan mendorong baik Basel
Convention ratifikasi, atau peraturan yang lebih kuat dari transportasi limbah
berbahaya dan dumping.
2.2 Tujuan, Ruang Lingkup, dan Kerangka Pengaturan
Berdasarkan kesadaran akan ancaman limbah berbahaya kepada kesehatan
manusia dan lingkungan, Konvensi ini menetapkan tiga tujuan, yaitu:17 Pertama,
pengurangan terhadap jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan; Kedua,
pengurangan terhadap jumlah perpindahan lintas wilayah limbah berbahaya; dan
Ketiga, mempromosikan atau mengenalkan environmentally sound management of
hazardous waste (ESM). ESM sendiri di dalam Pasal 2 ayat 8 Konvensi Basel
didefinisikan sebagai mengambil semua langkah praktis untuk memastikan limbah
berbahaya atau limbah lainnya dikelola dengan cara yang akan melindungi kesehatan
manusia dan lingkungan dari efek yang akan dihasilkan oleh dari limbah-limbah tadi.
Tadi disebutkan sebelumnya bahwa salah satu faktor atau kondisi yang
melatarbelakangi kehadiran Konvensi ini adalah adanya ketakutan akan pelimpahan
limbah-limbah berbahaya dari negara-negara industry ke negara-negara Dunia Ketiga
atau negara berkembang. Namun, pada awalnya Konvensi ini tidak melarang
pemindahan limbah berbahaya dari negara-negara OECD ke negara-negara
berkembang. Hingga pada tahun 1994, saat pertemuan antar anggota barulah
Konvensi ini diamandemen dan mengatur tentang larangan tersebut, meskipun belum
berlaku hukum hingga sekarang.
Konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berkaitan atau berhubungan
dengan limbah berbahaya dan pesticides, yang diikuti oleh pembentukan Konvensi
Roterdam mengenai Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous
Chemicals and Pesticides in International Trade dan Konvensi Stockholm tentang
Persistent Organic Pollutants.Ketiga Konvensi ini memiliki tujuan bersama untuk
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahan-bahan kimia dan limbah
yang berbahaya. Kooperasi dan koordinasi dalam implementasi praktis ketiga rezim
tersebut memberikan contoh kepada rezim perjanjian internasional lainnya,
membuktikan bahwa sinergi dapat dilakukan di antara rezim perjanjian internasional
17
Alan Andrews, Beyond The Ban Can The Basel Convention Adequately Safeguard The Interests Of
The Worlds Poor In The International Trade Of Hazardous Waste vol.5/2, Law Environment and
Development Journal (2009), hal.167
18
Bradford, Mark, The United States, China & the Basel Convention on The Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Fordham Environmental Law ReviewVol.8 no 3
(2011), hal. 317
10
for the implementation of the Basel Convention for 2012-2021.Di dalam kerangka
ini, diatur mengenai tujuan dan langkah implementasi Konvensi Basel secara lebih
lanjut, yang akan menjadi dasar daripada pengaturan specific technical guidelines.
11
(d) Memastikan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain dikurangi
hingga ke kondisi minimum sesuai dengan environmentally sound dan pengelolaan
yang efisien terhadap limbah-limbag tersebut, dan dilakukan dengan cara yang akan
memproteksi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek merugikan yang mungkin
timbul akibat perpindahan tersebut;
(e) Tidak memperbolehkan pengiriman (export) limbah berbahaya atau limbah lain
ke sebuah Negara atau sebuah kumpulan Negara yang termasuk dalam sebuah
organisasi integrasi ekonomi dan/atau politik yang merupakan pihak, khususnya
Negara Berkembang, yang telah melarang segala jenis penerimaan (import) melalui
peraturan perundang-undangannya, atau apabila telah ada alasan untuk memercayai
bahwa limbah-limbah tidak akan dikelola dengan cara yang environmentally sound,
sesuai dengan kriteria yang telah diputuskan oleh Pihak-pihak dalam pertemuan
pertama;
(f) Memberi informasi tentang permintaan perpindahan lintas batas limbah berbahaya
dan limbah lainnya kepada Negara terkait, sesuai dengan Annex V A, ke Negara
yang jelas-jelas terkena efek dari perpindahan tersebut terhadap kesehatan manusia
dan lingkungan;
(g) Mencegah penerimaan (import) limbah berbahaya dan limbah lain apabila telah
ada alasan untuk percaya bahwa limbah tersebut dipertanyakan tidak akan dikelola
dengan cara yang environmentally sound.
(h) Bekerjasama dalam kegiatan dengan pihak lain dan organisasi-organisasi yang
tertarik, secara langsung atau melalui Sekretariat, termasuk penyebaran informasi
tentang perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain, dengan maksud
untuk meningkatkan pengelolaan yang berbasis lingkungan (Environmentally Sound
Management) terhadap limbah-limbah tersebut dan mencegah daripada lalu lintas
yang illegal.
3. Pihak menganggap lalu lintas atau perdagangan ilegal dalam limbah berbahaya atau
limbah lain sebagai tindak kriminal atau kejahatan.
4. Setiap pihak harus mengambil langkah hukum, administratif, dan lainnya yang tepat
untuk mengimplememtasi dan memberlakukan ketentuan-ketentuan di dalam
Konvensi ini, termasuk langkah untuk menghalangi dan menghukum tindakan yang
bertentangan dengan Konvensi ini.
12
5. Pihak tidak boleh mengijinkan limbah berbahaya atau limbah lain dikirim (export) ke
non-Pihak atau menerima (import) dari non-Pihak.
6. Pihak-pihak setuju untuk tidak memperbolehkan pengiriman limbah berbahaya atau
limbah lain untuk dibuang di dalam area 60 Lintang Selatan, meskipun limbah
tersebut termasuk dalam perpindahan lintas batas atau tidak.
2.4Protokol Basel 1999
Protokol ini bertujuan untuk menyediakan sebuah rezim yang komprehensif
untuk kewajiban dan kompensasi yang cukup dan cepat terhadap kerusakan yang
dihasilkan dari perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain dan
pembuangannya termasuk lalu lintas ilegal limbah20. Dalam pasal 3 dijelaskan
mengenai ruang lingkup Protokol ini, yakni sebagai berikut.
1. Protokol ini berlaku kepada kerusakan yang diakibatkan oleh insiden yang
terjadi sewaktu perpindahan batas lintas limbah berbahaya atau limbah lain
dan pembuangannya, termasuk lalu lintas ilegal, dari poin dimana limbah
diangkut ke moda transportasi di sebuah kawasan dibawah jurisdiksi
nasional dari negara Pengirim. Setiap Pihak yang Mengadakan Perjanjian
boleh dengan cara memberitahu ke Depositary mengecualikan aplikasi
daripada Protokol, berkaitan dengan semua perpindahan lintas batas yang
mana dia merupakan Negara Pengirim, untuk insiden-insiden tersebut yang
terjadi di sebuah area yang berada di bawa jurisdiksi nasional, dan
menghasilkan kerusakan di area tersebut. Sekretariat harus menginformasikan
semua Pihak Yang Mengadakan Perjanjian tentang notifikasi yang diterima
sesuai dengan Pasal ini.
2. Protokol ini harus berlaku:
(a) berhubungan dengan perpindahan yang ditujukan untuk salah satu operasi yang
disebut di Annex IV ke Konvensi kecuali D13, D14, D15, R12 atau R13, hingga
waktu notifikasi penyelesaian pembuangan yang diatur di Pasal 6 para.9
Dalam menentukan pihak yang bertanggung jawab, Protokol ini menerapkan
prinsip Strict Liability (SL). Implementasi Strict Liabilty atau Pertanggungjawaban
Mutlak yang diatur dalam Protokol ini adalah sebagai berikut.
20
Article 1 1999 Basel Protocol on Liability and Compensation for Damage Resulting from
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.
13
14
(c) keseluruhan hasil dari ketaatan dengan langkah yang wajib dari otoritas Negara
dimana kerusakan terjadi; atau
(d) keseluruhan hasil dari kesengajaan kesalahan tindakan dari pihak ketiga,
termasuk orang yang menderita kerusakan.
6. Apabila dua atau lebih orang bertanggung jawab sesuai Pasal ini, Penggugat
memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi penuh atas kerusakan dari
tanggung jawab setiap atau semua orang.
Selain itu, dalam Pasal 5 dituliskan bahwa setiap orang juga harus
bertanggung jawab atas kerusakan yang dihasilkan atau dikontribusikan oleh
kurangnya ketaatan terhadap ketentuan implementasi Konvensi atau dengan
maksud yang salah, ketidakhati-hatian, atau pembiaran. Dengan adanya
pengaturan mengenai tanggung jawab tersebut, setiap orang khususnya yang
bekerja di bagian operasional pengawasan limbah berbahaya dan limbah lain
harus mengambil langkah yang terbaik ketika ada suatu insiden untuk dapat
mengurangi kerusakan yang timbul karenanya.
Ketika ada kerusakan yang disebabkan oleh limbah yang diatur di dalam
Protokol dan yang tidak diatur di dalam Protokol, maka orang tersebut hanya
bertanggung jawab sebesar kontribusi yang dimiliki oleh limbah yang diatur
di dalam Protokol. Proporsi kontribusi kerusakan sebagaimana dimaksud
ditentukan dengan volume dan sifat limbah terkait, dan tipe dari kerusakan
yang terjadi. Ketika memang tidak dimungkinkan untuk dibuat pembedaan
kontribusi, maka semua kerusakan dianggap diatur oleh Protokol. Dalam hal
orang yang menderita kerusakan atau orang yang bertanggung jawab atasnya
melalui hukum domestik ternyata mengakibatkan atau memberi kontribusi
terhadap kerusakan tersebut, maka kompensasi mungkin dikurangi atau
dibatalkan.
Keberlakuan Protokol ini dikesampingkan ketika ada perjanjian bilateral,
multilateral, regional yang juga mengatur mengenai tanggung jawab dan
kompensasi terhadap insiden yang timbul akibat perpindahan batas lintas.
Untuk mengklaim kompensasi, maka Pengadilan yang berwenang adalah
Pengadilan Contracting Parties yang merupakan tempat kerusakan, atau
tempat insidennya terjadi; atau tempat defendant atau Tergugat berdomisili
15
21
Imelda Kamil. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum
lingkungan Internasional. Jakarta: Diadit Media. 2007, Hal. 54
22
Pada tahun 1983 Majelis Umum PBB membentuk sebuah badan, yaitu The World Commission on
Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem
Brutland. Komisi ini juga dikenal dengan sebutan Komisi Brutland. WCED diserahi tugas sebagai
berikut:
a. Reexamine the ctirical issue of the environment and development, and formulate innovative
concrete, and realistic action proposals to deal with them;
b. Strengthen international cooperation on environment and development, and asses and propose
new forms of cooperation that can break out of existing patterns and influence policies and events in
direction of needed changes, and;
c. Rise the level of understanding and commitment to action on the part of individuals, voluntary
organizations, business, institutes and governments.
23
Walaupun terdapat penerjemahan yang berbeda-beda (susceptible) dari konsep sustainable
development ini, namun kutipan dari Komisi Brutland inilah yang diterima secara umum. Kemudian
parameter dari sustainable development ini dijelaskan ke dalam Agenda 21 dan Deklarasi Rio, juga
diadopsi dalam UNCED dan selanjutnya diletakkan dalam instrumen-instrumen nasional, regional
dan internasional.
16
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam inilah WCED24 pada tahun
1987 merumuskan konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). WCED dalam laporannya yang berjudul
Our Common Future. Kemudian definisi ini dijadikan sebagai prinsip pada Deklarasi
Rio pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992.
Susan Smith25 mengartikan sustainable development26sebagai meningkatkan
mutu hidup generasi kini dan mencadangkan modal / sumber alam bagi generasi
mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat (4) hal:
i. pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang
dapat diperbaharui,
ii. melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible
resources),
iii. pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis,
iv. pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.
b. Intergenerational Equity and Intragenerational Equity
Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity)
negara dalam hal ini harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber
daya alam bagi kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan
antargenerasi ini terumuskan dalam Prinsip 3 yang menyatakan hak untuk melakukan
24
WCED pada tahun 1987, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dengan anggota
mencakup pemuka-pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Amerika
Serikat, Republik Rakyat Cina, India, Kanada, Kolumbia, Saudia Arabia, Italia, Meksico, Brasil, Aljazair,
Nigeria, Yugoslavia, dan Indonesia (yang diwakili oleh Prof. Emil Salim) mengeluarkan suatu laporan
yang diberi nama Our Common Future yang memerikan banyak rekomendasi khusus untuk
perubahan institusional dan perubahan hukum. WCED juga mengajukan usulan untuk melaksanakan
suatu konferensi tingkat dunia guna membicarakan masalah-masalah lingkungan global dalam
kaitannya dengan upaya pembangunan berkelanjuatan. Rekomendasi dan usulan ini diterima oleh
sidang Majelis Umum PBB dengan Resolusi No. 44/228. Implementasi dari resolusi ini adalah
diselenggarakannya United Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro,
Brasil.
25
N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Erlangga) h. 147.
26
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukakan secara
lebih rinci dalam deklarasi dan perjanjian internasional yang dihasilkan melalui Konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pembangunan UNCED di Rio de Janeiro 1992. Dari berbagai dokumen yang
dihasilkan pada konferensi itu, secara formal terdapat 5 (lima) prinsip utama (pokok) dari
pembangunan berkelanjutan yaitu: Prinsip Keadilan Antargenerasi (Intergenerational Equity
Principle), Prinsip Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity Principle), Prinsip
Pencegahan Dini (Precautionary Principle), Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Conservation of
Biological Principle), Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan.
17
mengenai
kebijaksanaan
atas
perhitungan
nilai
kerusakan
dan
28
18
pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma hukum dalam
bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran
yang sebenarnya dielakkan.29
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya
lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini
mengandung
makna
bahwa
pencemar
wajib
bertanggung
jawab
untuk
menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib membayar biayabiaya untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi dasar pengenaan
pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan demikian menggunakan
instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran (pollution charges) terhadap air
dan udara serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees).30
d. Principle of Preventive Action
Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini
mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan paling
baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada penanggulangan atau
pemberian ganti kerugian.31 Dalam Deklarasi Rio, prinsip pencegahan dirumuskan
dalam Prinsip 11 yang antara lain, berbunyi:
States shall enact effective environmental legislation .
ekonomis dan teknis mempunyai daya kekuasaan menanggulangi pencemaran. Pengusaha
mempunyai kemampuan membuat produksinya bebas pencemaran dengan cara memasang alat
pencegahan pencemaran, sehingga tidak layak untuk membebani Korban semata-mata. Dengan
lain perkataan, the polluter-pays principle berbeda hasilnya, tergantung pada penerapan terhadap
produsen atau konsumen. Laporan, OECD di atas membahas pula mengenai actual polluters.
Pencemar yang secara potensial menimbulkan risiko pencemaran dibebani pajak yang di
peruntukkan bagi dana pembayaran ganti kerugian terhadap korban pencemaran, apabila pihak yang
bertanggung jawab tidak dapat ditemukan. Misalnya: kasus pencemaran laut, dibiayai dari pajak atas
minyak yang diimpor atau diangkut melalui laut. (Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (h. 256)
29
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga Univ.
Press, 2005) h 244.
30
Muhammad Akib, h. 122. lihat juga Siti Sundari Rangkuti h. 261, Ketentuan tentang larangan dan
denda terhadap sanksi terhadap pencemar, merupakan salah satu kemungkinan sarana fisik. Inggris
dapat dijadikan sebagai contoh negara yang memberlakukan larangan dengan denda kepada barang
siapa yang membuang sampah dengan sembarangan di jalan. Larangan tersebut berbunyi: Littering
is an offence. Liability to a 100.00 fine. Begitu pula di Singapura terdapat larangan membuang
sampah seenaknya dengan sanksi denda S.$1.000.00 bagi yang melanggarnya; juga larangan
membiarkan air tergenang di halaman rumah, got dan dalam talang-talang yang sewaktu-waktu
dikontrol sebagai usaha untuk mencegah malaria, dengan sanksi S.$1.000.00.
31
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan (Raja Grafindo Persada), h. 20.
19
Prinsip ini juga dipandang sangat berhubungan erat dengan prinsip keberhatihatian yang akan diuraikan pada bagian berikut. Kedua prinsip menekankan
pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya masalah-masalah
lingkungan.
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan pembiaran
terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berasal dari kejadian di dalam negerinya
dan kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.32 Terdapat juga
prinsip pengelolaan lingkungan tanpa merugikan. Deklarasi Rio juga merumuskan
prinsip mengenai kedaulatan negara untuk mengelola atau memanfaatkan sumber
daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit resources but responsible do
not to cause damage to the environment of other states) (Prinsip 2). Prinsip ini
diadopsi dari Deklarasi Stockholm (Prinsip 21; state have, in accordance with the
Chapter of the United nations and Principle of International law, the sovereign right
to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the
responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not
course damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of
national jurisdiction.), di mana prinsip ini merupakan asas hukum Romawi yang
dikenal dengan Prinsip Sic utere tuo ut alienum non laedas33(use your own so as not
to injure another), sebuah prinsip bahwa negara harus menjamin tidak akan
menggunakan atau mengelola sumber alam di wilayah yurisdiksinya yang dapat
merugikan negara lainnya.34
Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan
hukum internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan sistem
tanggung jawab dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau perkan lingkungan di
negara sebagai akibat kegiatan di wilayah yurisdiksinya (Prinsip 22).
e. Prinsip Pencegahan Dini (The Precautionary Principle)
32
FX , Samekto, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional (Citra Aditya Bakti, 2004), h. 120.
Prinsip ini diklasifikasikan ke dalam prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pencemaran lintas batas
dan perusakan ligkungan, khususnya mengenai a duty to prevent, reduce and control environmental
harm. Dalam kasus Trial Smelter. prinsip Sic Utere ini disebutkan dan digunakan oleh Dewan
Arbitrase yang memutuskan bahwa Canadian Smelter harus memberikan ganti rugi kepada Amerika
Serikat atas pencemaran yang ditimbulkannya.
34
N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan (Pancuran Alam) h. 145.
33
20
Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah
yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya
mencegah kerusakan lingkungan. Dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio
dinyatakan sebagai berikut:
In order to protect the environment, the precautionary approach shall be
widely applied by States according to their capabilities. Where are threats of
serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be
used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent
environment degradation
Prinsip ini merupakan jawaban atas kebijakan pengelolaan lingkungan yang
didasarkan kepada satu hal yang perlu dalam melakukan prevensi atau
penanggulangan hanya akan dapat dilakukan jika telah benar-benar dapat diketahui
dan dibuktikan. Sungguh sangat merugikan sekali jika sesuatu yang sudah berpotensi
atau sudah terjadi kerusakan lingkungan, baru dapat diambil sebuah keputusan
setelah diketahui atau dibuktikan lebih dahulu secara pasti.
Pendasaran pada pembuktian lebih dahulu menjadi penghalang bagi
pengambilan keputusan yang bersifat segera, sementara dampak dan risiko (threats)
sudah sangat nyata sekali dirasakan. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk
mengaplikasikan prinsip pencegahan dini. Acuan tersebut adalah:35
a. ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan
(irreversible). Misalnya memiliki akibat yang sifatnya membahayakan yang bersifat
antargenerasi, atau keadaan tidak terdapat subsitusi dari sumber daya yang
digunakan,
b. bersifat ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Terdapat keadaan di mana
akibat yang akan timbul dari suatu aktivitas tidak dapat diperkirakan secara pasti
berhubung karakter dari masalahnya sendiri, penyebab maupun dampak potensial
dari kegiatan tersebut,
c. ikhtiar prevensional mencakup ikhtiar pencegahan hingga biaya-biaya yang
bersifat efektif (cost effectiveness).
35
21
BAB III
STUDI KASUS PERGERAKAN LINTAS BATAS LIMBAH BERBAHAYA
DAN BERACUN
Untuk memahami lebih lanjut mengenai Basel Convention on The Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal akan dibahas
dua kasus dan bagaimana konvensi ini berperan dalam masing-masing kasus.
3.1 Kasus Ekspor Used Lead Batteries oleh Amerika Serikat ke Meksiko
a. Kasus Posisi
Lead batteries (baterai timbal) banyak digunakan di kendaraan, penyimpanan
energi untuk sistem surya, tenaga angin, telekomunikasi, dan pusat data. Karena
perluasan saat ini segmen pasar, industri ini berkembang pesat di seluruh dunia.
Misalnya Republik Rakyat Tiongkok mengalami peningkatan 133% dalam produksi
baterai timbal antara 2004 dan 2010, sehingga menjadi produsen terbesar di dunia.
Sekitar 80% dari timah yang diproduksi di seluruh dunia masuk ke dalam baterai.
Tidak seperti kebanyakan limbah berbahaya, baterai timbal bekas hampir selalu
didaur ulang karena ini merupakan usaha yang menguntungkan di seluruh dunia.
Sayangnya, banyak dari hal ini dilakukan secara primitif oleh orang-perorangan
dengan cara meleburkan baterai pada api yang terbuka. Bahkan dalam pabrik daur
ulang yang resmi, efisiensi dan pengendalian pencemaran sangat bervariasi dan ada
ribuan pengolah-pengolah yang sangat kecil yang sangat mencemari.
Industri daur ulang baterai timbal merupakan sumber signifikan dari paparan
timbal di seluruh negara-negara berkembang. Sebuah artikel yang merangkum
penelitian yang diterbitkan dari 37 negara menemukan paparan timbal yang tinggi
dalam pabrik daur ulang limbah berbahaya ini juga dalam masyarakat sekitar. Telah
dilaporkan rata-rata kandungan timbal dalam darah para pekerja di pabrik daur ulang
baterai di negara-negara berkembang adalah 64 mikrogram per desiliter (g/dL) dan
konsentrasi udara yang melebihi batas paparan yang diperbolehkan dalam Lembaga
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat. Rata-rata kandungan timbal
dalam darah pada anak-anak yang berada di dekat fasilitas ini adalah 19 g/dL, atau
22
sekitar 13 kali lebih tinggi dari kandungan rata-rata pada anak-anak di Amerika
Serikat.
Konvensi Basel membatasi pengiriman lintas batas timbal baterai yang
digunakan, tapi ada perdagangan legal dan ilegal yang cukup timbal baterai yang
digunakan di seluruh dunia. Digunakan baterai asam timbal (ULABs) ekspor dari AS
ke Meksiko telah meningkat secara dramatis sejak 2008 menyusul perubahan
peraturan lebih lanjut membatasi emisi timbal udara di AS lintas batas pengiriman
timah baterai yang digunakan antara negara-negara ini diatur oleh Organisasi untuk
Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan ( OECD), konvensi Basel dan Perjanjian La
Paz.
Berdasarkan semua perjanjian ini, laboratorium dianggap limbah berbahaya
dan negara penerima harus memberikan persetujuan sebelum mereka dapat diimpor.
Konvensi Basel melarang negara dari ekspor limbah berbahaya dengan beberapa
pengecualian. Demikian pula, 1986 OECD Keputusan Ekspor Limbah Berbahaya
membatasi
ekspor
limbah
berbahaya
ke
non-OECD
23
limbah
24
37
25
3.2 Kasus Impor Besi Bekas Mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya di
Indonesia
a. Kasus Posisi43
Ribuan kontainer limbah impor tertahan di sejumlah pelabuhan besar
di Indonesia. Kontainer yang tertahan itu berisi ribuan ton besi bekas untuk
bahan industri logam. Sebagian di antara besi bekas itu terindikasi
terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya.
Impor limbah untuk bahan industri memang diizinkan. Namun, jelasjelas ditegaskan, limbah impor itu tidak membahayakan lingkungan dan
kesehatan (nonbahan beracun dan berbahaya/B3). Kalau mengandung B3,
ketentuan hukum sudah jelas tidak mengizinkan, kata Deputi V Bidang
Penaatan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),
Sudariyono di Jakarta, Sabtu (28/4/2012).
KLH bersama penyidik dari kejaksaan dan kepolisian membuka 11
kontainer berisi besi bekas impor dari Afrika Selatan yang masuk melalui
Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Hari Sabtu, giliran 102 kontainer
serupa dibuka di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sisanya menunggu
pemeriksaan di Pelabuhan Belawan, Medan, dan Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya.
Sebelumnya, awal April lalu, ratusan kontainer dibuka di Tanjung
Priok. Kontainer ternyata tidak hanya berisi bongkahan besi-besi bekas, tetapi
juga tercampur tanah, oli bekas, aspal, dan plastik. Bau bahan kimia menguar
ketika pintu kontainer dibuka.
Semua kontainer tersebut merupakan bagian dari sekitar 7.000
kontainer berisi besi bekas impor dari sejumlah negara yang masuk Indonesia
42
Jennifer R. Kitt, Waste Exports to the Developing World: A Global Response, Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 7, 1995, hal. 490-491
43
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/30/09354944/Limbah.Impor.Banjiri.Pelabuhan,
diakses pada tanggal 23 Maret 2016
26
27
Sebelumnya,
ratusan
kontainer
serupa
miliknya
lolos
pemeriksaan.
Penahanan kontainer-kontainer itu sempat memunculkan protes dari
Asosiasi Industri Besi dan Baja. Mereka menyatakan bahwa importasi besi
bekas untuk bahan baku industri sudah berlangsung 30 tahun dengan
pemahaman pentingnya menjaga keselamatan lingkungan. Mereka menilai
penahanan kontainer tersebut hanya akan menghambat pertumbuhan industri
baja, bahkan mengancam keberlanjutannya.
Menurut Sudariyono, KLH tidak mempersulit industri besi baja yang
sedang
tumbuh,
tetapi
justru
melindungi
keberlanjutannya
dengan
28
- dilakukan tanpa adanya notifikasi sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
- tanpa adanya persetujuan tertulis sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
- dengan persetujuan tertulis yang diperoleh melalui cara pemalsuan,
kesalahpahaman, dan penipuan (falcification, misinterpretation, and fraud),
- adanya ketidakcocokan antara limbah dan dokumen yang menyertainya,
- menghasilkan pembuangan limbah yang bertentangan dengan Konvensi
Basel dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.
Konvensi Basel juga meminta agar negara anggota mengadopsi peraturan
nasional yang mampu mencegah perpindahan limbah ilegal (illegal traffic)
dan menyediakan hukuman bagi praktek illegal traffic tersebut.45 Dalam hal
ini, Konvensi juga menyatakan bahwa illegal traffic merupakan tindak
pidana.46
Apabila limbah telah dianggap sebagai hasil dari illegal traffic, maka
Konvensi Basel menyatakan:
- jika illegal traffic merupakan hasil dari tindakan eksportir atau penghasil
limbah, maka negara pengekspor memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa limbah diambil kembali oleh eksportir atau penghasil limbah, atau jika
perlu oleh negara pengekspor sendiri;47
- jika illegal traffic merupakan hasil perbuatan dari importer atau pembuang
(disposer) limbah, maka negara pengimpor harus memastikan bahwa limbah
akan dikelola secara ramah lingkungan. Untuk ini, maka negara anggota yang
terlibat harus bekerja sama terkait pembuangan limbah yang ramah
lingkungan;48
45
29
- jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat
ditentukan, negara anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk
memastikan bahwa limbah sesegera mungkin akan dibuang di negara
pengekspor atau negara pengimpor atau tempat lain, sesuai dengan
pembuangan limbah yang ramah lingkungan.49
Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal
traffic memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah
yang layak, untuk perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut
Kitt, ketentuan ini menujukkan adanya tanggung jawab negara secara
langsung (direct state responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh
warganya.50
49
50
30
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Bangkitnya kesadaran lingkungan dan sesuai pengetatan peraturan
lingkungan di dunia industri pada 1970-an dan 1980-an telah menyebabkan
peningkatan resistensi publik untuk pembuangan limbah berbahaya - sesuai
dengan apa yang dikenal sebagai NIMBY (Not In My Back Yard) sindrom dan untuk peningkatan biaya pembuangan. Hal ini pada gilirannya
menyebabkan beberapa operator untuk mencari pilihan pembuangan murah
untuk limbah berbahaya di Eropa Timur dan Negara-negara berkembang,
dimana kesadaran lingkungan masih kurang berkembang dan juga peraturan
dan mekanisme penegakan hokum lingkungan yang kurang. Dengan latar
belakang ini lah Konvensi Basel dinegosiasikan di akhir 1980-an, dan
dorongannya pada saat diadopsi adalah untuk memerangi "perdagangan
bahan beracun", seperti yang telah disebutkan. Konvensi mulai berlaku pada
tahun 1992.
31
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Basel Convention Secretariat. The Basel Convention At A Glance.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgwell. International Law and The
Environment, 3rd ed. New York: Oxford University Press. 2009.
Kamil, Imelda. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Prinsip-prinsip Umum
dalam Hukum lingkungan Internasional. Jakarta: Diadit Media. 2007.
Koivurova, Timo. Introduction to International Environmental Law. New York:
Routledge. 2014.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Ed.1. Cet.4. Jakarta: Rajawali
Pers. 2014.
Siahaan, N. H. T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.
2004.
Syarif, Laode M. dan Andri G. Wibisana. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan
Studi Kasus. Jakarta: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation. 2015.
Organisation for Economic Co-operation and Development. Ratification of the
Convention on the OECD. 2010.
JURNAL
Andrews, Alan. Beyond The Ban Can The Basel Convention Adequately Safeguard
The Interests Of The Worlds Poor In The International Trade Of Hazardous
Waste vol.5/2, Law Environment and Development Journal (2009), hal.167
Alter, Harvey. Industrial recycling and the Basel Convention dalam Resources,
Conservation and Recycling,Volume 19, Issue 1, Januari 1997
The composition and environmental hazard of copper slags in the context of
the Basel Convention dalam Elsevier Volume 43, Issue 4, Maret 2005.
32
Bradford, Mark. United States, China & The Basel Convention on the
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposa ldalam
Fordham Environmental Law Journal Volume 305, Issue 8, 1996.
Hackett, David.P. An Assessment of the Basel Convention on the Control of The
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,
American University International Law Review Vol.5 No. 2 (1990)
Jennifer, R. Kitt, Waste Exports to the Developing World: A Global Response,
Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 7, 1995.
Qonita, Alfia. Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and Their Disposal dalam Jurnal Hukum Internasional
Indonesian Journal of International Law, Vol. 8 No. 4, 11 Juli 2011.
United States. Cong. House. Committee on Foreign Affairs. Exporting Toxic Trash:
Are We Dumping Our Electronic Waste on Poorer Countries? : Hearing
before the Subcommittee on Asia, the Pacific, and the Global Environment of
the Committee on Foreign Affairs, House of Representatives, One Hundred
Tenth Congress, Second Session, September 17, 2008. By F. H.
Faleomavaega. H. Bill. Washington: U.S. G.P.O., 2008.
INTERNET
Basel Convention.
http://www.basel.int/TheConvention/Overview/History/Overview/tabid/3405/
Default.aspx diunduh pada tanggal 20 Maret 2016
Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous
Wastes. Council on Foreign Relations.
http://www.cfr.org/publication/20588/basel_convention_on_the_control_of_t
ransboundary_movements_of_hazardous_wastes.html diakses pada tanggal
25 Maret 2016.
The Basel Convention at a Glance..." United Nations Environmental Program.
http://www.basel.int/convention/bc_glance.pdf diakses pada tanggal 25 Maret
2016.
33
Obamas EPA Allows Toxic Navy Ships to be Dumped in Bangladesh. " Basel
Action Network (BAN). 27 Aug. 2009.
http://www.ban.org/BAN_NEWS/2009/090827_toxic_navy_ships_to_be_dum
ped.html diakses pada tanggal 25 Maret 2016.
"Ratification of the Convention on the OECD." Organisation for Economic Cooperation and Development. Web. 10 Apr. 2010.
http://www.oecd.org/document/1/0,3343,en_2649_201185_1889402_1_1_1_
1,00.html.
34