Anda di halaman 1dari 11

Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan

Perang Paderi
Oleh Batara R Hutagalung
Disampaikan dalam Seminar Perang Paderi, 1803 1838. Aspek Sosial
Budaya, Sosial Psikologi, Agama dan Manajemen Konflik."
Di Arsip Nasional RI, Jakarta, 22 Januari 2008.
Pendahuluan
Sejak terbit pertama kali tahun 1964, buku karya Mangaraja Onggang
Parlindungan (MOP), Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak. 1816 1833. telah menuai banyak kritik dan
sanggahan. Sanggahan tertulis pertama datang dari HAMKA dengan
bukunya yang berjudul: Antara Fakta Dan Khayal. TUANKU RAO.
Secara garis besar HAMKA menyebutkan, bahwa isi buku MOP 80 %
bohong dan 20 % meragukan.
Cetakan kedua buku MOP terbit pada bulan Juni 2007, dan buku yang
langsung memberikan sanggahan terhadap buku tersebut ditulis oleh
Basyral Hamidy Harahap, dengan judul Greget Tuanku Rao.
Selain kedua buku tersebut, berbagai silang pendapat dan kontroversi
mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi muncul dalam berbagai
tulisan, baik di media massa maupun di internet.
Mengenai sosok dan asal-usul Tuanku Rao sendiri terdapat beragam
versi. Namun kelihatannya tak satupun yang dapat mengklaim, bahwa
pendapatnyalah yang paling benar, karena semua versi hanya bedasarkan
cerita rakyat atau cerita keluarga yang tidak dapat melampirkan
dokumen yang otentik, termasuk yang dikemukakan oleh HAMKA.
Dalam bukunya, HAMKA menyebut suatu sumber Belanda, J.B.
Neumann, Kontelir BB, yang menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari
Padang Matinggi, bukan orang Bakkara. Sumber Neumann juga orang
Belanda, Residen T.J. Willer. (Hlm. 239)
Sumber lain yang disebut oleh HAMKA adalah Asrul Sani, yang juga
menyebut bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi. Namun

tidak disebutkan, dari mana sumber informasinya. (Hlm. 240)


Bahkan Sanusi Pane menganggap, bahwa Tuanku Rao dan Tuanku
Tambusai adalah orang yang satu itu juga. (Hlm. 242)
Selain mengenai sosok Tuanku Rao, HAMKA juga membantah
keterangan mengenai sejumlah tokoh yang ditulis oleh MOP dalam
bukunya. Juga HAMKA membantah segala bentuk kekerasan dan
perkosaan terhadap perempuan Batak.
Buku BHH Greget Tuanku Rao membantah beberapa hal yang ditulis
oleh MOP, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti
perkosaan yang dilakukan oleh tentara Paderi.
Bantah membantah mengenai suatu tulisan atau peristiwa adalah hal
yang biasa, juga dalam penulisan sejarah. Banyak kalangan dari etnis
Jawa membantah adanya Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357.
Namun kenyataannya, di kota-kota di Jawa Barat tidak ada nama jalan
Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit, karena di masyarakat
Sunda, berkembang cerita sebagimana tertulis dalam Kidung Sunda.
Tuanku Rao Dalam Turi-Turian Batak
Di masyarakat Batak, baik Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas
maupun Toba, cerita rakyat dikenal sebagai turi-turian atau cerita yang
dituturkan oleh seorang Bayo Parturi. Turi-turian yang juga diceritakan
turun temurun oleh para orang tua kepada anak-cucunya dapat
bersumber dari peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi bisa juga
legenda atau hikayat, yang hanya merupakan produk fantasi dari nenek
moyang.
Walaupun etnis Batak memiliki aksara sendiri yang dinamakan Surat
Batak, namun sangat sedikit sastra Batak yang dituliskan dengan Surat
Batak. Pada umumnya, Surat Batak digunakan untuk menuliskan ilmu
kedukunan dan surat-menyurat, dan di beberapa daerah, antara lain di
Karo, Angkola dan Simalungun, Surat Batak digunakan untuk
menuliskan syair. Hal ini yang menyebabkan, banyak turi-turian tidak
ditulis dalam Surat Batak, melainkan hanya melalui penuturan secara
lisan turun-temurun dari nenek moyang ke anak cucu, atau dituturkan
oleh Bayo Partuturi.
Mengenai asal-usul Tuanku Rao, terdapat beberapa versi. Versi yang

paling banyak berkembang adalah versi yang ditulis oleh Mangaraja


Onggang Palindungan (MOP) dalam bukunya Tuanku Rao. Teror
Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 1833.
Dalam buku ini disebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah anak hasil
hubungan gelap dari Gana boru Sinambela, putri Singamangaraja IX
dengan paman kandungnya sendiri, Gindoporang Sinambela, adik dari
Singamangaraja X.
Ketika Gana Sinambela hamil akibat hubungan dengan pamannya,
kehamilan ini diketahui oleh ayahnya. Untuk menutup aib ini,
Gindoporang dan Gana diasingkan ke Singkil, Aceh, karena untuk hamil
di luar nikah, apalagi hasil hubungan dengan keluarga sendiri (incest),
sanksinya adalah hukuman mati.
Di Singkil, Gindoporang masuk agama Islam dan mengambil nama
Muhammad Zainal Amirudin Sinambela. Gana sendiri tidak bersedia
masuk Islam, dan tetap menganut agama Batak, Parmalim. Ketika putra
mereka lahir, Gindoporang memberikan nama Muhammad Fakih
Amirudin Sinambela. Oleh ibunya, dia diberi nama Pongki Na
Ngolngolan yang artinya adalah Fakih yang menunggu-nunggu, karena
Gana masih berharap, suatu hari akan dapat kembali ke Tanah Batak.
Setelah Singamangaraja IX meninggal, dia diganti oleh putranya, yang
menjadi Singamangaraja X. Singamangaraja X memanggil kembali
adiknya, Gana Sinambela bersama putranya, Pongkinangolngolan.
Beberapa Datu (dukun) di Bakkara yang mengetahui mengenai asal-usul
Pongkinangolngolan meramalkan, bahwa suatu hari dia akan membunuh
Singamangaraja X. Oleh karena itu mereka mendesak, agar
Pongkinagolngolan dihukum mati.
Pongkinangolngolan dapat menyelamatkan diri dan mengembara sampai
ke Mandailing, di mana dia kemudian menjadi anak didik Tuanku Nan
Renceh. Setelah masuk Islam, namanya diganti menjadi Umar Katab.
Nama Katab apabila dibaca dari belakang menjadi Batak. Umar Katab
ini kemudian bergelar Tuanku Rao. Demikian asal-usul Tuanku Rao
menurut versi MOP.
Versi lain menyebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah putra dari Nai
Napatihan, putri Singamangaraja X, yang menikah dengan putra Ompu
Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Nai Napatihan dan

Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut,


diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke Singkil, Aceh,
agar tidak menjadi saingannya di kemudian hari. Dalam pengungsian
lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang
kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin.
Juga ada versi yang menyebutkan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan
Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian
diusir dari tanah Batak.
Ada versi lain yang ditulis oleh seorang sarjana Batak dalam
disertasinya di UGM, yang menyatakan bahwa Pongkinangolngolan
bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan
bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam
sebuah konstalasi politik saat itu.
(lihat weblog: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinaninses.html)
Dalam bukunya Antara Fakta Dan Khayal TUANKU RAO, HAMKA
menulis, bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, Rao Padang
Nunang. (Hlm. 240).
Imam Bonjol sendiri menulis dalam catatan hariannya, bahwa Tuanku
Rao berasal dari suatu desa di Mandailing (sebagaimana disampaikan
oleh Dr. Phil. Ichwan Azhary dalam diskusi Hikayat Tuanku Rao dan
Kilas Balik Perang Paderi di Medan, 24 November 2007 dan di
Pematang Siantar, 26 November 2007). Namun tidak diterangkan lebih
lanjut mengenai asal-usul Tuanku Rao. Mungkin Imam Bonjol hanya
mengetahui, bahwa Tuanku Rao datang dari suatu desa di Mandailing
dan tidak mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usulnya apakah
memang asli dari daerah tersebut.
Agresi kaum Paderi ke Sumatra Utara
Mengenai agresi kaum Padri ke Tanah Batak yang dikenal di kalangan
Batak sebagai Tingki Ni Pidari atau Zaman Padri, dua sesepuh
Batak, Drs Muara Sitorus dan Edith Dumasi Nababan, SH, yang hadir
dalam diskusi Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi yang
diselenggarakan di Sekretariat Plot (Pusat Latihan Opera Batak) Siantar,
pada Senin 26 November 2007, memberikan kesaksiannya: (Dikutip dari

harian METRO SIANTAR edisi 27, 28 dan 29 November 2007).


... Drs Muara Sitorus, seorang mantan guru, misalnya, menyatakan
sangat senang saat harian METRO SIANTAR menulis kisah Perang
Paderi dan 'cerita kelam' dalam keluarga Dinasti Singamangaraja,
sebanyak empat seri. "Saya tak menyangka, di zaman sekarang masih
ada orang yang peduli dengan kisah sejarah di masa lalu. Terima kasih
METRO," kata tokoh masyarakat asal Porsea yang merantau ke Siantar,
mengawali ( terima kasih kembali, Pak, red).
Selanjutnya ia mengatakan, fakta sejarah yang ditulis Parlindungan
dalam buku Tuanku Rao, sudah lama didengarnya, jauh sebelum buku
Tuanku Rao terbit. "Saya sudah lama mendengar kisah mengenai Tingki
ni Pidari. Itu adalah kisah mengenai Pasukan Paderi menyerang Tanah
Batak. Dari peristiwa Tingki ni Pidari inilah, muncul istilah Monjo
(mirip dengan bunyi Bonjol). Monjo ini adalah sebutan orang Batak
menyebut Pasukan Paderi," katanya.
Kalau pasukan Paderi datang, orang-orang akan berteriak "Monjo
datang...Monjo datang!" "Kalau ada teriakan Monjo, itu menjadi
pertanda bagi orang-orang Batak yang mendengarnya, untuk lari ke
hutan menyelamatkan diri," katanya. Kisah ini didengarnya dari orangorangtua, yang diceritakan secara lisan. Karena itu, Drs Muara Sitorus
senang dengan penerbitan buku Tuanku Rao, dan menegaskan, kalau
kisah di dalamnya adalah fakta sejarah.
Mendukung pernyataan Drs Muara Sitorus, Ibu Edith Dumasi Br
Nababan, mantan Hakim Agung yang hadir dalam diskusi di Sekretariat
PLOt itu mengatakan, Tingki Ni Pidari itu sungguh benar terjadi. "Saya
sudah lama mendengar kisah mengenai kisah Tingki Ni Pidari. Dan
seperti dikatakan Pak Sitorus, pasukan Imam Bonjol itu disebut Monjo.
Kalau Monjo datang, seluruh orang Batak haruslah berlari
menyelamatkan diri ke hutan," katanya.
Sayangnya, hanya anak-anak,wanita, dan pria yang tengah bekerja di
sawah yang sempat melarikan diri ke hutan. Sementara yang tinggal di
rumah, umumnya perempuan-perempuan cantik yang bekerja menenun
ulos/kain, tak sempat kabur.
Untuk memaksa orang-orang yang sembunyi di rumah agar keluar,
Pasukan Paderi pun membakar rumah-rumah. Semua perempuan yang

bersembunyi dalam rumah terpaksa keluar, daripada terpanggang hiduphidup. "Itulah makanya, rumah-rumah Batak habis di daerah Silindung.
Hanya di Toba saja yang masih tersisa sedikit," katanya ...
... Yang melarikan diri ke hutan, sebagian besar mati kelaparan. Hanya
yang kuat-kuat dan umumnya tak cantik, yang bertahan selamat. "Itulah
sebabnya, perempuan-perempuan Batak yang cantik baru ada sekarang
ini. Itu karena yang cantik-cantik sudah mati dipancung atau diperkosa
oleh Monjo, atau kelaparan di hutan. Hanya perempuan-perempuan kuat
dan berbadan tegap, yang umumnya tak begitu cantik yang berhasil
bertahan hidup di hutan. Makanya perempuan-perempuan Batak sampai
waktu yang cukup lama, umumnya tak cantik. Sekarang saja, baru ada
perempuan Batak yang cantik," kata Ibu Edith Dumasi Br Nababan,
yang masih saudara kandung dengan Dr SAE Nababan, mantan Ephorus
HKBP.
Selain membenarkan adanya kisah mengenai Tingki ni Pidari yang
disebutnya sebagai masa kelam di Tanah Batak --seperti diceritakan oleh
Parlindungan dalam buku Tuanku Rao-- Ibu Edith Nababan yang juga
istri Ir Sahat Lumban Tobing (alm) ini mengatakan, kisah mengenai
Pongkinangolngolan Sinambela alias Tuanku Rao, adalah benar
merupakan bere (keponakan) Singamangaraja X. Tapi karena
Pongkinangolngolan memiliki kekuatan batin/spiritual, sejumlah datu di
Bakkara mengatakan dia harus diusir/dibunuh. Itulah kisahnya maka dia
terusir hingga ke Minang.
"Mertua dari mertua saya masih keturunan Dinasti Singamangaraja. Dan
saya ada mendengar keberadaan Pongkinangolngolan sebagai bere
Singamangaraja X, yang membunuh tulangnya (paman red) itu," kata
mantan Ketua Pengadilan Tinggi di Lampung yang juga pernah
menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Jawa Baratdan di
Kalbar ini.
Caranya, Pongkinangolngolan yang sudah begelar Tuanku Rao,
mengirim pesan ke Tulang-nya, untuk menerima pisau sebagai hadiah.
Namun saat Tulangnya datang dari Bakkara, Pongkinangolngolan
memeluk Tulang-nya itu dan menikamnya hingga tewas (versi MO
Parlindungan, Singamangajara X dibunuh Jatengger Siregar).

Dari sana, Pasukan Paderi menyerang kampung Tulang-nya di Bakkara,


dan menjarah harta benda, seperti perhiasan, baju, ternak, untuk logistik
tentara. "Itulah cerita yang saya dengar dari ayah saya. Bahkan bibi dari
ayah saya adalah salahsatu yang sempat ditawan Pasukan Paderi, yang
berhasil melarikan diri dengan mengikuti aliran Aek Sigeaon," kata ibu
Edith Nababan (yang selanjutnya diwawancarai METRO).
Saat epidemi penyakit merajalela, Pasukan Paderi mundur dari Tanah
Batak. Namun sebagian memilih tinggal di Silindung, di daerah
Sosorpadang, dan sampai sekarang masih ditempati oleh orang Padang
yang Islam. "Sampai saat ini mereka tidak pernah diganggu," kata ibu
yang saat ini menjabat sebagai Ketua Paguyuban Darma Wulan (Warga
Usia Lanjut) cabang Medan.
Ibu Edith juga mengaku, sempat kenal dengan Sutan Martua Raja, ayah
MO Parlindungan, si penulis buku Tuanku Rao. Saat itu, mereka tinggal
bertetangga di Siantar. Ibu Edith sendiri kala itu masih murid SD,
sementara Sutan Martua Raja sudah tua.
Menurut ibu yang sudah berambut putih ini, orang Batak tidak
tersinggung dan tidak perlu dendam membaca buku Tuanku Rao.
"Sejarah kelam di Tanah Tapanuli jangan sampai menumbuhkan
dendam. Kekerasan horizontal antarsuku ataupun atas nama
agama/kepercayaan harus diakhiri. Mari kita membuka diri menerima
fakta, bahwa orang orang Batak pernah kalah dalam Perang Paderi. Dan
mari kita belajar dari sejarah, dengan tidak mengulangi perbuatan
kekerasan. Karena sejarah memang sangat mungkin berulang," kata ibu
yang saat masih gadis ini sudah menjabat sebagai Ketua PN Taput dan
Dairi...
Demikian juga buku yang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap (BHH),
memaparkan penyerbuan tentara Paderi ke Simanabun yang dipimpin
oleh Tuanku Tambusai. BHH menuliskan a.l.: (lihat Weblognya:
http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog)
Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab
Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita
tentang ketidak-berperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang
membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus

menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi


yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang
mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia,
membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam
kebiadaban, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak
Belanda jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan
rombongannya terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan
Belanda kemudian melindungi rombongan Datu Bange. Karena jika
tidak demikian, sebuah tragedi kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti
terjadi, yang bagaimanapun tidak akan bisa diterima manusia beradab !!!
Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada
akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang
berat, berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara
dengan jarak lebih dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di
daerah Angkola dan Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu
Bange harus menebusnya dengan nyawanya sendiri
Bahkan BHH menganggap dasar yang digunakan oleh panitia yang
mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk Tuanku Tambusai tersebut
naif dan menjatuhkan harkat dan martabat Datu Bange. BHH menulis
(Hlm. 67):
Pada masa itu daerah-daerah dataran tinggi yang penduduknya
masih parbegu dan sering membuat kekacauan seperti merampok dan
mengambil Budak yang meresahkan penduduk. Tuanku Tambusai ingin
mengakhiri keadaan itu dengan melakukan gerakan terhadap kelompok
parbegu tadi dipimpin oleh Datu Bange, Raja Siminabun yang
bentengnya terletak di atas puncak bukit terjal di tepian sungai Batang
Pane
BHH menulis bahwa Datuk Bange telah beragama Islam, namun tidak
mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama
sebelum gerakan Paderi mereka sudah memeluk Islam. BHH
menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala
Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas raya yang dicintai

rakyatnya. BHH juga menonjolkan peranan ulama-ulama Sufi


Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad
sebelum Paderi datang. (Hlm. 68)
Memang Islam telah masuk ke Sumatera Utara sejak abad 8, dan
kebanyakan beraliran Syiah. Selama ratusan tahun Islam dan agama asli
Batak, Parmalim, serta penganut Hindu-Buddha dapat hidup
berdampingan dengan damai.
Banyak kalangan termasuk HAMKA- menolak isu tentang adanya
pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh sebagian
pasukan Paderi. Cerita tentang bagaimana anggota Paderi melampiaskan
nafsu syahwatnya secara terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik
dituding Hamka sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga
menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang Parlindungan untuk
menarik hati para pemuda ketimbang mencari data ilmiah. Di mata
Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama asli Idris
Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka. Sedangkan dalam
bukunya, MOP menyatakan, bahwa Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah
kakek buyutnya.
Mengenai penculikan kaum perempuan di daerah yang telah ditaklukkan
dan kemudian dijual sebagai budak, juga pernah ditulis oleh Rosihan
Anwar di harian Kompas edisi Senin, 06 Februari 2006 dengan judul
Perang Padri yang Tak Anda Ketahui , di mana tertulis:
Yang menarik ialah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam
serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak
(slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan
budak masa itu sebuah gejala lazim
Di zaman penjajahan Belanda, perbudakan adalah hal yang resmi
dipraktekkan. Bahkan ada undang-undang perbudakan, yang berlaku
sejak tahun 1640 dan secara resmi baru dihapus tahun 1863. Namun
pada kenyataannya, praktek perbudakan di wilayah jajahan Belanda
masih berlangsung hingga akhir abad 19. Demikian juga dengan
perkosaaan terhadap perempuan di daerah diserang dan telah dikalahkan
atau diduduki. Hal ini masih terus terjadi hingga sekarang.
Dalam bukunya Antara Fakta dan Khayalan -entah disadari atau tidak-

HAMKA banyak membeberkan tindak kekerasan dalam penyebaran


beberapa aliran Islam di Timur-Tengah, terutama yang dilakukan untuk
menyebarluaskan sesuatu aliran atau mazhab. HAMKA juga menuliskan
kekejaman Tuanku Nan Renceh yang sangat fanatik kewahabiannya,
yang memerintahkan untuk membunuh adik ibunya, karena tidak mau
mengikuti sembahyang. (Hlm. 238)
Mengenai pakaian putih yang dikenakan oleh para ulama di
Minangkabau, HAMKA menulis, bahwa warna putih yang dikenakan
oleh para ulama merupakan warisan dari agama Buddha. HAMKA
menulis (Hlm. 303):
Bahkan warna putih itu mungkin sudah ada sejak orang
Minangkabau masih memeluk Agama Budha. Biksu-biksu Budha
berjalan dengan pakaian selendang putih meminta bakal (mungkin yang
dimaksud adalah bekal pen.) makanan kepada penduduk. Setelah
datang Agama Islam pusaka secara Budha itu diteruskan oleh santrisantri di Minangkabau yang dinamai Orang Siak.: Mereka bersarung
putih, berbaju dan celana putih meminta sedekah bekal mengaji tiap-tiap
hari Kamis ke runah-rumah penduduk
Memang sulit untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa atau halhal yang terjadi di masa lalu, dengan ukuran kemanusiaan sekarang.
Juga apabila tidak ada atau kurangnya data, fakta dan dokumen yang
dapat memperkuat cerita rakyat atau penuturan mengenai suatu peristiwa
sejarah.
Referensi:
- Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao. Teror Agama Islam
Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 1833. Cetakan kedua,
Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2007
- HAMKA, Antara Fakta Dan Khayal. TUANKU RAO. Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta, 1964
- Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao. Penerbit Komunitas
Bambu, Jakarta, 2007.
- Beberapa Situs dan Weblog internet.

*******
Ringkasan buku Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak, dapat dibaca di:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/tuanku-rao-terroragama-islam-mazhab.html

Anda mungkin juga menyukai