PENDAHULUAN
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan zat terlarut
dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal oleh karena suatu hal gagal dalam
menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu.
Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus diikuti
dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah sesuai di sepanjang
tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air akan diekskresikan keluar tubuh
dalam urine melalui sistem pengumpul urine. Gagal ginjal kronik (GGK) adalah
suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Gejala gagal ginjal kronik yaitu
kurang nafsu makan, mual, dan muntah, pembengkakan tangan, kaki, wajah, dan
sekitar mata, letih, lemas, dan lesu. Laju filtrasi flomerulus akan menurun dengan
progresif seiring dengan rusaknya nefron. Hubungan antara gagal ginjal kronik
dengan anemia sudah diketahui sejak awal abad 19. Anemia pada penyakit ginjal
kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari
permukaan tubuh. Anemia akan lebih berat apabila fungsi ginjal menjadi lebih
buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia
relative akan menetap. Anemia pada Gagal Ginjal Kronis terutama diakibatkan
oleh berkurangnya produksi Eritropoietin. Eritropoetin merupakan hormon yang
dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Anemia
yang terjadi pada gagal ginjal kronis biasanya jenis normokrom normositer dan
non regeneratif. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya
mempertahankan kualitas hidup pasien GGK. Anemia yang terjadi dapat
mengganggu sejumlah aktifitas fisiologis sehingga dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas.
BAB II
A. ANATOMI, FISIOLOGI GINJAL
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua
sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena
tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12 sedangkan
kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas,
bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medial nya
berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar
dari ginjal melalui hilus adalah Arteria dan Vena Renalis, saraf, pembuluh
limfatik, dan ureter.1
Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi
arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk
percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut.
Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel
dalam korteks. Arteriol interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriol aferen.
Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke rumbai-rumbai kapiler yang
disebut glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk
arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan
portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular.1
Fungsi Utama Ginjal :
1. Fungsi ekskresi
a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah
ekresi Na+.
c. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal.
d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan
H+ dan membentuk kembali HCO3-.
2
pertumbuhan,
ADH,
dan
hormone
gastrointestinal
Gambar 1. Ginjal dan nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)
Gambar 4. Ginjal dan nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)
Chronic
Kidney
Disease
dapat
disebabkan
oleh
Insiden
Diabetes Mellitus
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
44 %
27 %
10 %
4%
3%
2%
2%
4%
4%
Neoplasma
Tidak diketahui
Penyakit lain
Tabel 2. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
Diabetes Mellitus
Obstruksi dan Infeksi
Hipertensi
Sebab lain
46,39 %
18,65 %
12, 85 %
8,46 %
13,65 %
4. Patofisilogi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal
menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat.
Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vaso aktif, sitokin, dan
growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
6
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah
tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis Renin Angiotensin
Aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya
hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut. Aktivasi jangka
panjang Aksis Renin Angiotensin Aldosteron, sebagian diperantarai oleh
Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor atau TGF-. Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. 1,5
Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%,
pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na dan K. Pada LFG di bawah
15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal.1,5,6
5. Faktor-faktor pemburuk faal ginjal (LFG)
a. Infeksi
Setiap infeksi saluran kemih dan ginjal pielonefritis (intra renal) dan
infeksi paru pneumonia (extra renal) terutama disertai septicemia, seringkali
infeksi saluran
dapat memperberat faal ginjal yang sebelumnya telah menderita gagal ginjal
krnok. Nefropati hypokalemia dapat juga merupakan salah satu factor
predisposisi infeksi sekunder. Derajat dan lama hypokalemia sehingga dapat
menyebabkan nefropati belum jelas.
Hipoaklemi dapat disebakan beberapa factor antara lain :
1) Kehilangan Kalium K+ melalui saluran cerna misal muntah, diare, aspirasi
getah lambung.
2) Kehilangan melalui urin setelah pemberian diuretic kuat, hiperaktif
kelenjar adrenal dan syndrome fanconi.7
6. Klasifikasi
Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut
diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis
etiologi, penyakit ginjal kronik dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal
9
diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit pada transplantasi sebagai
berikut :
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Diagnosis Etiologi8
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR, yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140-umur) x berat badan
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
GFR (ml/mnt/1,73m2) =
*)
Penatalaksanaan
Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya8
10
Derajat
LFG(ml/mnt/1,73m)
Rencana
tatalaksana
1
>90
60-89
fungsi ginjal
3
30-59
15-29
<15
11
yang
akan
menstimulasi
produksi
sel
darah
merah.
produksi
eritropoietin,
yang
selanjutnya
12
13
hormon
PTH
pada
darah
akibat
sekunder
14
hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi
respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. 10
f. Defisiensi Fe dan Asam Folat
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 %
pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 %
mulai muncul tandadan gejala uremia dengan keluhan pada seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Adanya
keluhan pada gastrointestinal ini dapat mempermudah tejadinya anemia, karena
deisiensi besi dan asam.11
g. Trombositopati
Pada pasien gagal ginjal terdapat penurunan jumlah trombosit, yang
menyebabkan terjadinya trombositopati. Akibatnya mudah terjadi perdarahan
pada gastrointestinal dan mukosa.11
3. Gejala klinis
a. Kulit dan membran mukosa pucat
b. Cepat lelah / letih / lesu
c. Cepat mengantuk
d. Sakit kepala
e. Kapasitas berolah raga menurun
f. Sesak napas
g. Sensitif terhadap udara dingin
h. Susah berkonsentrasi
i. Jantung berdebar-debar10
4. Diagnosis
Sebuah anemia, normositik normokromik disebabkan PGK diamati mulai
pada tahap 3 PGK dan hampir universal pada tahap 4. Jika tidak diobati, anemia
dari PGK berkaitan dengan sejumlah kelainan fisiologis, termasuk penurunan
pengiriman dan pemanfaatan oksigen jaringan, meningkatkan output jantung,
pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif,
15
penurunan kognisi dan ketajaman mental, perubahan siklus haid, dan gangguan
pertahanan host terhadap infeksi. Selain itu, anemia mungkin memainkan peran
dalam keterbelakangan pertumbuhan anak-anak dengan PGK
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat
penyakit terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki
komplikasi, anemia ini bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus
darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darah merah
menampilkan proses hemolitik primer, mikroangiopati atau hemoglobinopati.
Jumlah total retikulosit secara umum menurun. Mean corpuscular volume
meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan
kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada pasien dengan
thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.
Pada anemia defisiensi besi dengan pemeriksaan status besi (Fe) didapatkan
kadar SI dan saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat atau normal. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC yang dapat
diperoleh dengan cara [Fe serum/TIBC] x 100% merupakan nilai yang
menggambarkan suplai Fe ke eritroid sumsum tulang, dan sebagai penilaian
terbaik untuk mengetahui pertukaran Fe antara plasma dan cadangan Fe dalam
tubuh. Bila saturasi transferin < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak
adekuat untuk mendukung eritropoiesis, < 7% diagnosis anemia defisiensi besi
dapat ditegakkan, sedangkan 7-16% dapat digunakan untuk mendiagnosis anemia
defisiensi besi bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan
lainnya.
Menurut KDIGO, anemia pada pasien gagal ginjal kronik ditetapkan, bila:
a. Pada pasien dewasa atau anak usia >15 tahun jika kadar Hb <13 g/dL pada
pria atau <12 g/dL pada wanita.
b. Pada pasien anak jika kadar Hb <11 g/dL (usia 0,5 5 tahun), <11,5 g/dL (usia
5 12 tahun), dan <12 g/dL (usia 12 15 tahun).9,10
16
Pemantauan anemia pada pasien gagal ginjal kronik diperlukan karena hasil
penelitian membuktikan terdapat korelasi positif antara penurunan laju filtrasi
ginjal dan insidensi anemia. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan seperti yang telah disebutkan di atas. Sebagai panduan
umum, KODGI juga telah mengeluarkan rekomendasi pemantauan anemia pada
pasien gagal ginjal kronik, yakni:
1. Pada pasien gagal ginjal kronik tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar
Hemoglobin (Hb) jika terindikasi (setelah tindaka bedah mayor, dirawat, atau
perdarahan) atau secara berkala (tergantung stadium):
a. Setiap tahun pada pasien CKD stage 3
b. Dua kali per tahun pada pasien CKD non hemodialisa
c. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa maupun
peritoneal dialisa
2. Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, lakukan pemantauan kadar
Hb jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium):
a. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 3-5 dengan hemodialisa dan gagal
ginjal kronik dengan peritoneal dialisa
b. Setiap bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa. 11,12
Pendekatan diagnosis anemia dengan cara gabungan dari penilaian klinik dan
laboratorik adalah cara yang paling ideal. Pendekatan diagnostik klinik meliputi
kecepatan timbulnya penyakit, berat ringanya anemia, serta gejala yang
menonjol.13
17
18
demikian
banyak
pasien
uremia
memiliki
hipertensi
dan
19
20
21
terapi
antihipertensi
pasien
dengan
atau
terapi
22
23
defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi,
penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan
iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding
injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang
menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejadian komplikasi yang
berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil
dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi
dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron
dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam. Berikut adalah panduan
pemberian suplementasi Fe pada pasien gagal ginjal kronik dengan anemia
menurut KDIGO (2012):
a. Saat memberikan terapi
Fe,
pertimbangkan
rasio
risiko-manfaat
24
mg/minggu
IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
a. Status besi diperiksa setiap 3 bulan
b. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi
besi dosis pemeliharaan.
c. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
d. Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L
dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan
dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya. 15
25
D. TRANSFUSI DARAH
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
menurut PERNEFRI (2001) adalah:
1.
Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
2.
Tidak memungkinkan penggunaan EPo dan Hb < 7 g /dL
3.
Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
4.
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi
IV/IM belum tersedia
Diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan
transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi
EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya
overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL
berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,
walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang
direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat
mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis virus B
dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfusi.15
Adapun menurut KODGI (2012), transfusi darah diberikan pada pasien gagal
3.
risiko allosensitization.
Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan pemberian transfusi
sel darah merah pada pasien di mana terapi ESA tidak efektif dan risiko terapi
ESA melebihi manfaatnya (misal, riwayat keganasan/riwayat stroke).
26
4.
5.
anemia.
Pada kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian transfusi
jika manfaatnya melebihi risiko (meliputi saat koreksi cepat anemia dibutuhkan
untuk menstabilkan kondisi pasien atau saat koreksi Hb pre-operasi
dibutuhkan).12
Situasi
Situasi
akut:
kronik:
Ya
Tidak
Perdarah
Anemia
akut
kronik
yangdan
berat
terapi ESA tak efektif (hemoglobinopati, kegagalan sumsum tulang, resisten terhada
Penyakit arteri koroner tak stabil
Preoperatif koreksi Hb cepat
Risiko allosensitisasi?
Tinggi
Transfusi
Riwayat transplantasi
Riwayat kehamilan
Riwayat transfusi
Transfusi
Rendah
Gambar 8. Algoritma transfusi pada pasien gagal ginjal kronik (Sumber Kidney
Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012).
BAB III
KESIMPULAN
Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal
kronis. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun
kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian
memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe
normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti
defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3 mekanisme utama yang
terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor
28
DAFTAR RINGKASAN
1. GGK
2. CKD
3. ECF
4. ADH
5. ESRD
6. LFG
7. TGF
8. VCES
9. RBF
10. EPO
11. BFU-E
30