Usulan Proposal (UP) 3
Usulan Proposal (UP) 3
NASRULLAH
NIM. 7774150064
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, usulan penelitian ini dapat diselesaikan.
Kebijakan pengelolaan keuangan negara pada dasarnya dapat diarahkan
untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah.
Masing-masing daerah tidak memiliki kemampuan yang sama dalam menggali
potensi sumber dayanya. Dalam hal ini, desentralisasi fiskal adalah kebijakan
demokrasi ekonomi dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat yang
dapat dinilai dari indeks pembangunan manusia. Hal tersebut menjadi latar
belakang dilakukannya penelitian ini. Oleh karena itu, usulan penelitian ini diberi
judul Pengaruh Dana Perimbangan, Kapasitas Fiskal dan Belanja Daerah
terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui Kinerja Keuangan Daerah
di Provinsi Banten.
Keberhasilan dalam penyusunan usulan penelitian ini dapat tercapai atas
dukungan berbagai pihak, maka penulis haturkan terima kasih atas dukungannya
tersebut. Penulis menyadari usulan penelitian ini tidak akan pernah sempurna,
namun saran dan masukan tetap diharapkan demi hasil yang lebih baik.
Serang,
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kajian Pustaka
.........................
22
Kerangka Pemikiran ...
.........................
3.
Hipotesis....
..........
24
26
28
Operasionalisasi Variabel .................................................................
3.2.2
28
Variabel Independen .........................................................................
3.2.3
28
Variabel Dependen ...........................................................................
3.2.4
29
Model Penelitian ..............................................................................
29
3.3 Jenis dan Dumber Data Penelitian ...............................................................
30
3.4 Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................
31
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................................
31
3.6 Metode Analisis ............................................................................................
3.6.1
32
Uji Asumsi Klasik .............................................................................
3.6.2
32
Uji Beda t Test ..................................................................................
32
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
3.1
21
3.2
27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Dalam pemerintahan yang terdesentralisasi di Indonesia, salah satu
kebutuhan yang mendesak adalah peningkatan efektifitas pembangunan daerah
antara lain melalui kebijakan yang koheren serta penerapan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance) secara konsisten. Tantangan lainnya
adalah peningkatan kemampuan aparat di daerah dalam penggunaan dana
pembangunan secara efisien, efektif dan akuntabel berdasarkan standar yang jelas.
Konsisten dengan kondisi dan tantangan tersebut, Pemerintah telah merumuskan
RPJMN untuk periode 2010-2014 yang meletakkan titik berat pada pembangunan
daerah dan peningkatan kesejahteraan ekonomi (Bappenas, 2011).
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun
2001, telah terjadi pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal
ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan daerah dalam memberikan
pelayanan publik yang juga diiringi dengan meningkatnya pendanaan dari pusat
ke daerah dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tersebut.
(Dirjen Perimbangan Keuangan RI., 2014)
Instrumen fiskal sebagai salah satu pendukung desentralisasi dalam
menyelenggarakan pembangunan daerah, meliputi Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain ketiga dana
perimbangan dalam rangka desentralisasi fiscal di atas, Pemerintah juga
mengalokasikan belanja dalam rangka azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan
1
yang bersifat langsung ke daerah tanpa melalui APBD. Esensi dari desentralisasi
fiskal adalah adanya kewenangan (diskresi) atau pun keleluasaan daerah
mengalokasikan anggarannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerahnya. Dua
instrumen penting dalam konteks desentralisasi fiskal adalah kewenangan
memungut pajak (taxing power) dan transfer daerah (Seknas FITRA, 2012).
Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenang dari
pemerintah daerah yang diekspresikan dalam wujud desentralisasi fiskal tersebut,
setiap daerah memiliki dan dibekali kapasitas fiskal. Secara umum, yang
dimaksud dengan kapasitas fiskal daerah adalah kemampuan pemerintah daerah
untuk menghimpun pendapatan berdasarkan sumber- sumber yang dimilikinya
(Simanjuntak, 2003). Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil (UU 33 tahun 2014 pasal 28).
Untuk saat ini, sulit mengharapkan pajak dan restribusi daerah sebagai
komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kontribusi PAD rata-rata hanya
berkisar antara 10% sampai 20% dari pendapatan daerah. Oleh karena itu dana
perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah (Seknas FITRA, 2012).
Meskipun undang-undang telah mengatur fleksibiiitas dan diskresi daerah
secara penuh dalam mengelola keuangan daerah, namun demikian daerah tetap
harus memperhitungkan kapasitas kemampuan basis penerimaan yang dimiliki,
sehingga dapat menyeimbangkan antara penerimaan dan kebutuhan untuk
2.
3.
Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi
Aspek Praktis
Aspek praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu, menilai
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1
sedang
ketidakefisienan
berkembang
untuk
pemerintahan,
menghindari
ketidakstabilan
ketidakefektifan
ekonomi
makro,
dan
dan
dan
dilaksanakan.
Artinya,
setiap
pelimpahan
wewenang
pertama,
fiscal
sustainability,
yaitu
menjaga
kesinambungan
kebijaksanaan fiskal dalam konteks makro ekonomi. Kedua, koreksi atas vertical
imbalance, yaitu memperkecil kesenjangan antara keuangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang dilakukan melalui strategi taxing power. Ketiga, koreksi
atas horizontal imbalance, yaitu memperkecil kesenjangan kemampuan keuangan
10
Dana Perimbangan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, perimbangan keuangan diartikan
11
12
APBN.
Perhitungan
DAK
dilakukan
oleh
pemerintah
dengan
dengan
memperhatikan
peraturan
perundang-undangan
dan
khusus
13
Menurut Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil adalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari pajak dan
sumber daya alam. Di sektor pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pasal
21. DBH sektor sumber daya alam berasal dari sektor kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambahan minyak bumi, pertambahan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi (Pasal 11 UU. No. 33 Tahun 2004).
Dana Bagi Hasil mempunyai beberapa prinsip, antara lain:
a.
b.
c.
15,5% daerah);
Alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun,
dan d)Penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam
satu tahun (Pheni Chalid, 2005:24).
Menurut UU. Nomor 3 Tahun 2004 Pasal 11 bahwa Dana Bagi Hasil
bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber
dari pajak terdiri atas
a.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
c.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
d.
Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:
a. Kehutanan;
b. Pertambangan umum;
c. Perikanan;
14
Kapasitas Fiskal
Dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 kapasitas fiskal adalah
pendapatan daerah dari PAD dan Dana Bagi Hasil. PAD diperoleh melalui
pengalihan sebagian kewenangan pengumpulan pajak ke daerah (tax
assignments), sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan
negara dari sumber daya manusia dan sumber daya alam daerah yang diberikan
ke daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah faktor
pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, istilah kapasitas
fiskal juga digunakan untuk mengetahui peta kapasitas fiskal daerah sebagai
dasar dalam menentukan hibah dan pinjaman daerah yang dimuat dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan setiap tahun.
Kapasitas fiskal daerah yang selanjutnya disebut kapasitas fiskal adalah
gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yahg dicerminkan
melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak
termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja
pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Kapasitas fiskal
merupakan gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yahg
dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja
15
Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama,
dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai
pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi
belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin (Permenkeu No.
33 Tahun 2015).
Besar kecilnya kapasitas fiskal sangat tergantung pada ketersediaan
sumber-sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buouyancy) dari objek
pajak karena pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak
dari objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya terhadap kekuatan
yang mempengaruhi pengeluaran misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat
pelayanan yang baik secara kualitatif dan kuantitatif (Makmun, 2008).
2.1.4
Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU. No. 17 Tahun 2003). APBD merupakan wujud
pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan
Daerah. (2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan. (3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. (4) Belanja daerah dirinci
menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja (Pasal 16 Ibid). APBD disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah. (2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud
16
dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam
rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara (Pasal 17 Ibid).
Proses penyusunan APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan
kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang tersedia, mengalokasikan
sumber daya secara tepat sesuai kebijakan pemerintah dan mempersiapkan kondisi
bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik. Oleh karena itu pengaturan
penyusunan anggaran merupakan hal penting agar dapat berfungsi sebagaimana
diharapkan yaitu (1) dalam konteks kebijakan, anggaran memberikan arah
kebijakan perekonomian dan menggambarkan secara tegas penggunaan
sumberdaya yang dimiliki masyarakat; (2) fungsi utama anggaran adalah untuk
mencapai keseimbangan ekonomi makro dalam perekonomian; (3) anggaran
menjadi sarana sekaligus pengendali untuk mengurangi ketimpangan dan
kesenjangan dalam berbagai hal di suatu negara (Penjelasan PP 55 tahun 2005).
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
a.
b.
c.
17
18
2.1.5
pelaksanaan program dan kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan
visi suatu organisasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerinlah Daerah menjelaskan pengertian
kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
adalah
capaian
alas
19
menggunakan indikator keuangan, maka alat analisis yang tepat untuk mengukur
kinerja keuangan adalah analisis keuangan (Azwar, 2014).
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan
berdasarkan laporan yang tersedia (Halim, 2007). Penggunaan analisis rasio
sebagai alat analisis keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga
perusahaan yang bersifat komersial, namun pada lembaga publik, khususnya
pemerintah daerah, masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya
keterbatasan penyajian laporan keuangan pada pemerintah daerah yang sifat dan
cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh perusahaan yang
bersifat komersil (Azwar, 2014).
Menurut Halim (2007) rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi
keuangan daerah dan rasio keserasian belanja merupakan rasio keuangan yang
dapat mengukur akuntabilitas pemerintah daerah.
a. Rasio Kemandirian
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, dengan
formulasi sebagai berikut :
Rasio
Kemandirian
20
Pola Hubungan
0,00 25,00
Instruktif
25,01 50,00
Konsultif
50,01 75,00
Partisipatif
75,01 100,00
Delegatif
Realisasi Pendapatan
Target Pendapatan yang Ditetapkan
21
Realisasi Pengeluaran
Realisasi Penerimaan
pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang
terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan,
dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat
hidup secara layak. Pembangunan manusia memiliki dua sisi. Pertama,
pembentukan kapabilitas masnusia seperti peningkatan kesehatan, pendidikan, dan
kemampuan. Kedua, penggunaan kapabilitas yang mereka miliki, seperti untuk
menikmati waktu luang, untuk tujuan produktif atau aktif dalam kegiatan budaya,
sosial, dan urusan politik. Apabila skala pembangunan manusia tidak seimbang,
kemungkinan akan terjadi ketidakstabilan.
rakyat
di
era
desentralisasi
fiskal
(Studi
empiris
pada
kesejahteraan
dengan
IPM
23
Populasi
penelitian
adalah
seluruh
masyarakat.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
dana
24
Variabel
Metode
Hasil Penelitian
Analisis Data
Azwar dan
Efektivitas,
Regresi Panel
Tingkat
kemandirian
Subektan
efesiensi dan
(2014)
kemandirian
pola
keuaagan serta
kesejahteraan
pada
masyarakat
dengan proxy
IPM
tata
hubungan
kemandirian
Dana
Partial Least
dan Muklis
peribangan,
Square (PLS)
pengaruh
(2015)
kemandirian
signifikan
keiuangan,
kapasitas fiskal,
struktur
terhadap
kemandirian
keuangan daerah
keuangan,
kemandirian
dan IPM
keuangan
berpegaruh
negatif
25
negatif
dan
terhadap
terhadap
struktur
keuangan
Kemandirian
Analisis
Dharmastuti
finansial,
regresi linier
(2015)
efektivitas,
berganda
signifikan
efisiensi,
dengan SPSS
(2)
keseimbangan
Statistik
belanja, IPM
terhadap
Rasio
IPM,
efektivitas
keuangan
daerah
berpengaruh
tidak
signifikan
belanja
(4)
harmoni
Desentralisasi
Path Analysis
Fiskal,
desentralisasi
Pertumbuhan
disparitas
Ekonomi, Dana
pertumbuhan
Perimbangan,
Disparitas
Regional
Azis,
PAD, Dana
Noholo,
Perimbangan
regresi linier
Nilawaty
Dan Belanja
berganda
(2014)
Modal, Kinerja
Keuangan
Analisis
dengan SPSS
Statistik
26
dan
fiskal
pada
regional
dan
belanja
ekonomi
modal
simultan
kinerja keuangan
terhadap
2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.2.5
2.2.6
2.2.7
Pengaruh Kap
Desentralisasi fiskal akan meningkatkan penerimaan daerah dari dana
menyebabkan
kesenjangan
fiskal
yang
lebih
disebabkan
oleh
strategi
akan terjebak pada sifat politik limbah dan kaku. Sementara itu, di era modern
pembangunan daerah, pemerintah daerah dituntut untuk proaktif untuk
pemberdayaan keuangan dalam melayani barang dan jasa bagi masyarakat
(penyediaan barang publik). Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis secara empiris tentang keberadaan dan dampak
desentralisasi fiskal pada kapasitas fiskal, kemandirian keuangan daerah dan
struktur belanja pemerintah daerah dan indeks pembangunan manusia di Provinsi
Banten. Adapun konsep penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut :
Dana Perimbangan
Belanja Daerah
Kapasitas Fiskal
DAU
Belanja Rutin
PAD
DAK
Belanja Pembangunan
Kejahteraan Masyarakat
Indeks Pembangunan Manusia (Proxy)
2.3 Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1
: Dana perimbangan berpengaruh positif signifikan pada kinerja
keuangan daerah;
28
H2
H3
keuangan daerah;
: Belanja daerah berpengaruh positif signifikan pada kinerja keuangan
H4
daerah;
: Dana perimbangan berpengaruh positif signifikan pada indeks
H5
pembangunan manusia;
: Kapasitas fiskal berpengaruh positif signifikan terhadap indeks
H6
pembangunan manusia;
: Belanja daerah berpengaruh positif signifikan terhadap indeks
H7
pembangunan manusia;
: Kinerja keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap indeks
pembangunan manusia.
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIN
3.1 Objek Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara desentralisasi
fiskal dengan proxy dana perimbangan, kapasitas fiskal dan belanja daerah dengan
kesejahteraan masyarakat dengan proxy indeks pembangunan manusia melalui
29
Nop
Des
Kegiatan
Usulan
Penelitian
Persetujuan
Usulan
Penelitian
Pengumpul
an Data
Analisis
data
Kajian
Hasil
Analisis
Sidang
Feb
Maret
Minggu
1
Jan
Metode Penelitian
Operasionalisasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen atau eksogen
3.2.2
independen
adalah
variabel
yang
mempengaruhi,
yang
3.2.3
Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi karena adanya
Model Penelitian
Model yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan pengembangan
atas penelitian sebelumnya yang berjudul Empirical Study about The Interaction
31
X13
Dana Perimbangan
Y1
Y2
H4
H1
H2
H7
Kapasitas Fiskal
Kesejahteraan Masyarakat
(IPM)
H6
H3
H5
Belanja Daerah
32
Keuangan
Keuangan
Daerah
Republik
Indonesia
33
mengakomodasi
3.6.1
Uji asumsi klasik bertujuan untuk menganalisa apakah model regresi yang
ditentukan layak digunakan dan tidak menimbulkan pengaruh bias, sehingga
pengujian ini dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian terhadap model
regresi. Pengujian ini meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji
autokorelasi, dan uji heteroskedastisitasS
3.6.2
35
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Pembangunan Manusia 2014. Jakarta. Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik Provonsi Banten. 2015. Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi Banten 2014. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten.
Bahl, Roy. W. 1999. Implementation Rules For Fiscal Decentralization, World
ank,New York.
Balil, R. W. dan Linn, J.F. 1992. Urban Public Finance in Developing Countries.
New York: Oxford University Press.
Bappenas. 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi
Khusus (DAK). Jakarta. White Paper.
Budiriyanto, Eko. 2011.Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dalam Formulasi
DAU. Jakarta. Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI.
Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi Tantangan
dan Hambatan. Jakarta. Kemitraan.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. Laporan Pelaksanaan
Spending Performance Dalam Mendanai Pelayanan Publik. Jakarta.
Kementerian Keuangan RI.
Farhan, Yuda dkk. 2011. Kupas Tuntas Hubungan Keuangan Pusat Daerah.
Jakarta. Seknas Fitra, Yayasan Tifa.
Kunarjo. 2003. Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta. Institute
For SME Empowerment.
Lisna, Vera. 2014. Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan
Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi
Kebijakan, Desertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Sidik, Machfud. 2002 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal : Antara Teori dan Aplikasinya di
Indonesia). Jogyakarta. Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia.
36
37