Anda di halaman 1dari 44

PROPOSAL USULAN PENELITIAN

PENGARUH DANA PERIMBANGAN, KAPASITAS


FISKAL DAN BELANJA DAERAH TERHADAP
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA MELALUI
KINERJA KEUANGAN DAERAH
DI PROVINSI BANTEN

NASRULLAH

NIM. 7774150064

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, usulan penelitian ini dapat diselesaikan.
Kebijakan pengelolaan keuangan negara pada dasarnya dapat diarahkan
untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah.
Masing-masing daerah tidak memiliki kemampuan yang sama dalam menggali
potensi sumber dayanya. Dalam hal ini, desentralisasi fiskal adalah kebijakan
demokrasi ekonomi dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat yang
dapat dinilai dari indeks pembangunan manusia. Hal tersebut menjadi latar
belakang dilakukannya penelitian ini. Oleh karena itu, usulan penelitian ini diberi
judul Pengaruh Dana Perimbangan, Kapasitas Fiskal dan Belanja Daerah
terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui Kinerja Keuangan Daerah
di Provinsi Banten.
Keberhasilan dalam penyusunan usulan penelitian ini dapat tercapai atas
dukungan berbagai pihak, maka penulis haturkan terima kasih atas dukungannya
tersebut. Penulis menyadari usulan penelitian ini tidak akan pernah sempurna,
namun saran dan masukan tetap diharapkan demi hasil yang lebih baik.

Serang,

Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................


ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang Penelitian ...................
1
1.2. Rumusan Masalah .........
5
1.3. Tujuan Penelitian .................................................
6
1.4. Kegunaan Penelitian ............................
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS.....
8
1.

Kajian Pustaka
.........................

1. Teor Desentralisasi Fiskal ..............................................................


8
2. Dana Perimbangan ..........................................................................
11
1. Dana Alokasi Umum .........................................................
12
2. Dana Alokasi Khusus ........................................................
13
3. Dana Bagi Hasil .................................................................
14
3. Kapasitas Fiskal ...............................................................................
15
4. Belanja Daerah ................................................................................
17
5. Kinerja Keuangan Daerah ................................................................
20
6. Indeks Pembangunan Manusia .........................................................
2.

22
Kerangka Pemikiran ...

.........................
3.
Hipotesis....
..........

24
26

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN .......................................


27
3.1 Objek Penelitian .......................................................................
27

3.2 Metode Penelitian ..........


3.2.1

28
Operasionalisasi Variabel .................................................................

3.2.2

28
Variabel Independen .........................................................................

3.2.3

28
Variabel Dependen ...........................................................................

3.2.4

29
Model Penelitian ..............................................................................

29
3.3 Jenis dan Dumber Data Penelitian ...............................................................
30
3.4 Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................
31
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................................
31
3.6 Metode Analisis ............................................................................................
3.6.1

32
Uji Asumsi Klasik .............................................................................

3.6.2

32
Uji Beda t Test ..................................................................................
32

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................


33

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian .......................................................................


25
3.1 Metode Penelitian ...........................................................................................
30

DAFTAR TABEL

3.1

Tabel 1 Pola Hubungan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah ...........

21
3.2

Tabel 2 Jadwal Penelitian .............................................................................

27

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Dalam pemerintahan yang terdesentralisasi di Indonesia, salah satu
kebutuhan yang mendesak adalah peningkatan efektifitas pembangunan daerah
antara lain melalui kebijakan yang koheren serta penerapan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance) secara konsisten. Tantangan lainnya
adalah peningkatan kemampuan aparat di daerah dalam penggunaan dana
pembangunan secara efisien, efektif dan akuntabel berdasarkan standar yang jelas.
Konsisten dengan kondisi dan tantangan tersebut, Pemerintah telah merumuskan
RPJMN untuk periode 2010-2014 yang meletakkan titik berat pada pembangunan
daerah dan peningkatan kesejahteraan ekonomi (Bappenas, 2011).
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun
2001, telah terjadi pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal
ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan daerah dalam memberikan
pelayanan publik yang juga diiringi dengan meningkatnya pendanaan dari pusat
ke daerah dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tersebut.
(Dirjen Perimbangan Keuangan RI., 2014)
Instrumen fiskal sebagai salah satu pendukung desentralisasi dalam
menyelenggarakan pembangunan daerah, meliputi Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain ketiga dana
perimbangan dalam rangka desentralisasi fiscal di atas, Pemerintah juga
mengalokasikan belanja dalam rangka azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan
1

yang bersifat langsung ke daerah tanpa melalui APBD. Esensi dari desentralisasi
fiskal adalah adanya kewenangan (diskresi) atau pun keleluasaan daerah
mengalokasikan anggarannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerahnya. Dua
instrumen penting dalam konteks desentralisasi fiskal adalah kewenangan
memungut pajak (taxing power) dan transfer daerah (Seknas FITRA, 2012).
Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenang dari
pemerintah daerah yang diekspresikan dalam wujud desentralisasi fiskal tersebut,
setiap daerah memiliki dan dibekali kapasitas fiskal. Secara umum, yang
dimaksud dengan kapasitas fiskal daerah adalah kemampuan pemerintah daerah
untuk menghimpun pendapatan berdasarkan sumber- sumber yang dimilikinya
(Simanjuntak, 2003). Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil (UU 33 tahun 2014 pasal 28).
Untuk saat ini, sulit mengharapkan pajak dan restribusi daerah sebagai
komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kontribusi PAD rata-rata hanya
berkisar antara 10% sampai 20% dari pendapatan daerah. Oleh karena itu dana
perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah (Seknas FITRA, 2012).
Meskipun undang-undang telah mengatur fleksibiiitas dan diskresi daerah
secara penuh dalam mengelola keuangan daerah, namun demikian daerah tetap
harus memperhitungkan kapasitas kemampuan basis penerimaan yang dimiliki,
sehingga dapat menyeimbangkan antara penerimaan dan kebutuhan untuk

membiayai belanja pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien.


Pengelolaan keuangan daerah yang diformulasikan dalam bentuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mencerminkan kemampuan keuangan
daerah serta menjadi parameter kinerja pemerintahan. Setiap nilai yang ditetapkan
dalam dokumen anggaran memiliki pertanggungjawaban terkait dengan
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat (Chalid, 2005).
Dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melalui terbitan serialnya sejak awal tahun
1990-an mengukur kesejahteraan masvarakat secara lebih komprehensif dengan
menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia yaitu indeks
pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Secara
khusus, IPM mengukur capaian pembangunan manusia berbasis komponen dasar
kualitas.

Menurut paradigma pembangunan manusia, tujuan utama dari

pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan


masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur
panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk
meningkatkan akumulasi barang dan modal (BPS, 2014).
Keberhasilan pembangunan manusia tidak hanya diukur dari tingginya
angka IPM, akan tetapi juga harus dilihat dari kecepatan dalam peningkatannya.
Untuk mengukur kecepatan peningkatan IPM dalam suatu kurun waktu,
digunakan ukuran pertumbuhan atau rata-rata pertumbuhan per tahun.
Pertumbuhan IPM Banten selama periode 2010-2014 terus mengalami penurunan.
Artinya, capain IPM Banten memang terus meningkat, namun kecepatan atau

peningkatannya terasa semakin melambat. Perlambatan pertumbuhan ini


membawa implikasi kepada semakin lama nyawaktu yang dibutuhkan untuk
mencapai IPM yang ideal (BPS Banten, 2014).
Terkait dengan kualitas belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
masih ditemui beberapa permasalahan yang sering muncul di antaranya masih
rendahnya kualitas perencanaan di daerah. Di samping itu, belum terintegrasinya
perencanaan dan penganggaran di daerah juga masih merupakan permasalahan
yang umum di setiap daerah. Permasalahan tersebut diikuti oleh permasalahan lain
yaitu porsi terbesar APBD ada pada belanja tidak langsung bukan pada belanja
langsung (Bappenas, 2011). Hal tersebut terjadi pada struktur APBD Provinsi
Banten pada Tahun 2013 sampai dengan Tahun 2015, dimana nilai belanja tidak
langsung memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan belanja langsung.
Ketika porsi anggaran pemerintah daerah tidak dapat dikembangkan secara
dinamis dalam pemenuhan pembiayaan modal atau pembangunan, maka anggaran
akan terjebak pada sifat politik kotor dan kaku. Sementara itu, di era modern
pembangunan daerah, pemerintah daerah dituntut untuk proaktif dalam
pemberdayaan keuangan dalam melayani barang dan jasa bagi masyarakat atau
penyediaan barang publik (Simanjuntak & Mukhlis, 2014). Isu desentralisasi
fiskal yang dibahas sejauh ini hanya pada sisi pendapatan daerah. Padahal
pembahasan sisi pengeluaran tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan otonomi
daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Sebab, esensi dari pelimpahan
kewenangan dan sumber keuangan kepada daerah sesungguhnya adalah
peningkatan (kualitas) pelayanan masyarakat. Ini hanya bisa tercapai apabila

pemanfaatan dana-dana tersebut dengan pengelolaan yang baik serta kewajaran


biaya lewat pertimbangan value for money (ekonomis, efisien dan efektif) dari
pengeluaran pemerintah daerah sehingga benar-benar terarah untuk pelayanan
publik yang optimal.
Dari berbagai studi yang telah dilakukan di Indonesia, dengan mengambil
isu mengenai dampak implementasi kebijakan desentralisasi fiskal dapat dianalisis
baik dari segi mekanika dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
Simanjuntak dan Muklis (2015) meneliti tentang interaksi antara dana
perimbangan, keuangan daerah dan IPM pada ekonomi daerah di Propinsi Jawa
Timur untuk tahun 2008-2011. Selain itu, penelitian yang masih terkait dengan
apa yang diteliti oleh Simanjuntak dan Mukhlis telah dilakukan sebelumnya oleh
Azwar dan Subektan (2014) tentang kinerja keuangan daerah dan kesejahteraan
rakyat di era desentralisasi fiskal studi empiris pada Kabupaten/Kota provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2008-2012.
Berdasarkan kedua penelitian tersebut, maka penelitian ini akan
menggabungkan beberapa variabelnya dengan anggapan masih relevan untuk
dilakukan pada objek yang berbeda khususnya di Pemerintah Provinsi Banten,
serta beberapa isu kondisi keuangan daerah serta pembangunan manusia yang
telah dikemukakan diatas maka peneliti memandang perlu untuk menganalisis
pengaruh dana perimbangan, kapasitas fiskal dan belanja daerah terhadap indeks
pembangunan manusia melalui kinerja keuangan di Provinsi Banten Tahun 20092015.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang
diangkat pada penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh dana perimbangan, kapasitas fiskal dan belanja
daerah terhadap kinerja keuangan di Provinsi Banten Tahun 2009-2014 ?
2. Apakah ada pengaruh dana perimbangan, kapasitas fiskal dan belanja
daerah terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Banten Tahun
2009-2014 ?
3. Apakah ada pengaruh kinerja keuangan terhadap indeks pembangunan
manusia di Provinsi Banten Tahun 2009-2014?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.

Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh dana perimbangan, kapasitas


fiskal dan belanja daerah terhadap kinerja keuangan di Provinsi Banten
Tahun 2009-2014 ?

2.

Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh dana perimbangan, kapasitas


fiskal dan belanja daerah terhadap indeks pembangunan manusia sebagai
proxi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Banten Tahun 2009-2014?

3.

Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh kinerja keuangan terhadap


indeks pembangunan manusia sebagai proxi kesejahteraan masyarakat di
Provinsi Banten Tahun 2009-2014?

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1

Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi

bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian di bidang keuangan


daerah dan secara umum bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutania yang
berkaitan dengan keuangan daerah di Indonesia.
1.4.2

Aspek Praktis
Aspek praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu, menilai

kinerja keuangan pemerintah daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat


Provinsi Banten, sehingga dapat memberikan masukan dan saran bagi pemerintah
provinsi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan penyusunan anggaran
dan realisasi APBD di masa-masa mendatang.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1

Teori Desentralisasi Fiskal


Peran penting keuangan daerah muncul dalam konteks desentralisasi

fiskal. Oates (1972) dalam teori desentralisasi berpendapat barang publik


seharusnya disediakan oleh yurisdiksi geografis dalam hal ini pemerintah daerah
- yang menginternalisasi persediaan barang publik serta mencakup kebutuhan
konsumsi seluruh penduduk. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu
pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau
pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan
perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas,
desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan
yang lebih rendah (Lisna, 2014).
Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan
dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat
meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan
jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: (1) pemerintah daerah
dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; (2)
pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan
kebutuhan daerah; dan (3) tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong
pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga
dan penduduknya (Oates, 1972). Teori federalisme fiskal Musgrave (1959) dan
Oates (1972) tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan
8

dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar


tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku
pemerintah daerah (Lisna, 2014).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu bentuk dan komponen utama
dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi fiskal banyak dipergunakan negaranegara

sedang

ketidakefisienan

berkembang

untuk

pemerintahan,

menghindari

ketidakstabilan

ketidakefektifan

ekonomi

makro,

dan
dan

ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi (Bahl dan Linn 1992). Bahl (1999)


mengemukakan bahwa dalarn melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules)
finance should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus
diperhatikan

dan

dilaksanakan.

Artinya,

setiap

pelimpahan

wewenang

pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk


melaksanakan kewenangan tersebut.
Kualitas kinerja lembaga berkorelasi positif dengan daya dukung
pembiayaan yang ada. Ketiadaan dukungan sumberdaya keuangan yang memadai
mempengaruhi optimalisasi kinerja lembaga pemerintahan dalam menjalankan
tugas-tugasnya melayani masyarakat. Dengan demikian, pelimpahan kewenangan
pemerintahan dari pusat ke daerah, harus pula disertai dengan pelimpahan
kewenangan pengeloiaan keuangan kepada pemerintah daerah. Pendelegasian
kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah sangat penting agar daerah
memiliki kemandirian dalam membiayai belanja pemerintahan dan kegiatan
pembangunan di daerah tanpa tergantung kepada pusat (Chalid, 2005).
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
9

banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, 2003).


Desentralisasi keuangan tidak lain pada prinsipnya dimaksudkan sebagai cara bagi
pemerintah daerah agar dapat, pertama, meningkatkan kualitas pelayanan publik,
dan kedua, meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD) (Chalid, 2005).
Esensi dari desentralisasi fiskal adalah adanya kewenangan (diskresi) atau
pun keleluasaan daerah mengalokasikan anggarannya sesuai kebutuhan dan
prioritas daerahnya. Dua instrumen penting dalam konteks desentralisasi fiskal
adalah kewenangan memungut pajak (taxing power) dan transfer daerah. (Seknas
FITRA, 2011).
Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 dan Undang-undang
No. 33 Tahun 2004, terdapat tiga komponen yang menjadi sumber penerimaan
keuangan daerah yaitu, (1) dana perimbangan; (2) pendapatan asli daerah (PAD);
(3) pinjaman daerah. Ketiga komponen ini dibagi berdasarkan pendapatan dan
pembiayaan daerah. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah. Dana
perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah, Adapun pinjaman daerah
bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyeienggaraan
pemerintahan daerah (Chalid, 2005).
Implementasi desentralisasi fiskal itu sendiri berdasarkan undang-undang
bertujuan

pertama,

fiscal

sustainability,

yaitu

menjaga

kesinambungan

kebijaksanaan fiskal dalam konteks makro ekonomi. Kedua, koreksi atas vertical
imbalance, yaitu memperkecil kesenjangan antara keuangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang dilakukan melalui strategi taxing power. Ketiga, koreksi
atas horizontal imbalance, yaitu memperkecil kesenjangan kemampuan keuangan
10

antar pemerintah daerah, karena adanya variasi kemampuan keuangan antar


daerah. Keempat, meningkatkan akuntablitas, efektifitas, dan efisiensi anggaran
yang berkorelasi positif dengan kualitas kinerja pemerintah daerah. Kelima,
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dan Keenam, meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (Kadjatmiko, 2002).
2.1.2

Dana Perimbangan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, perimbangan keuangan diartikan

sebagai suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,


transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi
dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kebijaksanaan
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah tersebut dilakukan dengan
mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti
bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan
sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi
tanggungjawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada
(Sidik, 2012).
Dana perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintahan Daerah (PP. 55
Tahun 2005). Sesuai dengan ketentuan UU No.33 Tahun 2004, dana perimbangan
merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas dana
bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan selain
dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya juga

11

bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara


pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan
antar daerah (Penjelasan UU. No. 33 Tahun 2004).
2.1.2.1 Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah dan dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah yang harus ditetapkan pemerintah sekurangkurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri Netto. Pengalokasian DAU kepada
daerah menggunakan dasar alokasi dasar dan celah fiskal. Cara perhitungan DAU
atas dasar Alokasi Dasar berdasarkan jumlah gaji pegawai daerah yang
bersangkutan meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan
sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk di dalamnya
tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). Sementara celah
fiskal (fiscal gap) dihitung dengan cara kebutuhan daerah (fiscal need) dikurangi
potensi daerah (fiscal capacity) (Pasal 27 Penjelasan UU. No. 33 Tahun 2004).
Fiscal need merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum yang diukur secara berturut-turut dengan jumlah
penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik
Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Sementara fiscal
capacity adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH (Pasal
28 Penjelasan UU. No. 33 Tahun 2004).
2.1.2.2 Dana Alokasi Khusus

12

Menurut Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Khusus,


selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
Dana alokasi khusus (DAK) dialokasikan kepada daerah tertentu
untukmembiayai kegiatan khususyang merupakan urusan daerah, di mana
kegiatan khusus tersebut telah disesuaikan dengan fungsi yang telah ditetapkan
oleh

APBN.

Perhitungan

DAK

dilakukan

oleh

pemerintah

dengan

mempertimbangan beberapa kriteria, yaitu umum, khusus, dan teknis. Ketiga


kriteria tersebut menjadi tolak ukur pemerintah dalam memformulasikan
DAKyang akan diberikan kepada daerah. Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus
ditetapkan

dengan

memperhatikan

peraturan

perundang-undangan

dan

karakteristik daerah. Sedangkan kriteria khusus ditetapkan oleh kementrian


negara/ departemen teknis. Tidak semua pembiayaan kegiatan

khusus

dialokasikan dari DAK, namun daerah yang bersangkutan wajib menyediakan


dana sekurang-kurangnya 10% dari DAK yang dialokasikan dari APBD, dana
tersebut diistilahkan sebagai dana pendampingan. Kecuaii bagi daerah yang
memiliki kemampuan fiskal yang tidak memadai, maka tidak memiliki kewajiban
untuk menyediakan dana pendamping (Chalid, 2005).
2.1.2.3 Dana Bagi Hasil

13

Menurut Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil adalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari pajak dan
sumber daya alam. Di sektor pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pasal
21. DBH sektor sumber daya alam berasal dari sektor kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambahan minyak bumi, pertambahan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi (Pasal 11 UU. No. 33 Tahun 2004).
Dana Bagi Hasil mempunyai beberapa prinsip, antara lain:
a.
b.

Harus ada Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP nya;


Besarannya adalah presentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat dan

c.

15,5% daerah);
Alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun,
dan d)Penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam
satu tahun (Pheni Chalid, 2005:24).
Menurut UU. Nomor 3 Tahun 2004 Pasal 11 bahwa Dana Bagi Hasil

bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber
dari pajak terdiri atas
a.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
c.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
d.
Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:
a. Kehutanan;
b. Pertambangan umum;
c. Perikanan;
14

d. Pertambangan minyak bumi;


e. Pertambangan gas bumi; dan
f. Pertambangan panas bumi.
2.1.3

Kapasitas Fiskal
Dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 kapasitas fiskal adalah

pendapatan daerah dari PAD dan Dana Bagi Hasil. PAD diperoleh melalui
pengalihan sebagian kewenangan pengumpulan pajak ke daerah (tax
assignments), sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan
negara dari sumber daya manusia dan sumber daya alam daerah yang diberikan
ke daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah faktor
pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, istilah kapasitas
fiskal juga digunakan untuk mengetahui peta kapasitas fiskal daerah sebagai
dasar dalam menentukan hibah dan pinjaman daerah yang dimuat dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan setiap tahun.
Kapasitas fiskal daerah yang selanjutnya disebut kapasitas fiskal adalah
gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yahg dicerminkan
melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak
termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja
pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Kapasitas fiskal
merupakan gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yahg
dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja

15

Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama,
dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai
pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi
belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin (Permenkeu No.
33 Tahun 2015).
Besar kecilnya kapasitas fiskal sangat tergantung pada ketersediaan
sumber-sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buouyancy) dari objek
pajak karena pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak
dari objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya terhadap kekuatan
yang mempengaruhi pengeluaran misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat
pelayanan yang baik secara kualitatif dan kuantitatif (Makmun, 2008).
2.1.4

Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD,

adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU. No. 17 Tahun 2003). APBD merupakan wujud
pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan
Daerah. (2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan. (3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. (4) Belanja daerah dirinci
menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja (Pasal 16 Ibid). APBD disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah. (2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud

16

dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam
rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara (Pasal 17 Ibid).
Proses penyusunan APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan
kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang tersedia, mengalokasikan
sumber daya secara tepat sesuai kebijakan pemerintah dan mempersiapkan kondisi
bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik. Oleh karena itu pengaturan
penyusunan anggaran merupakan hal penting agar dapat berfungsi sebagaimana
diharapkan yaitu (1) dalam konteks kebijakan, anggaran memberikan arah
kebijakan perekonomian dan menggambarkan secara tegas penggunaan
sumberdaya yang dimiliki masyarakat; (2) fungsi utama anggaran adalah untuk
mencapai keseimbangan ekonomi makro dalam perekonomian; (3) anggaran
menjadi sarana sekaligus pengendali untuk mengurangi ketimpangan dan
kesenjangan dalam berbagai hal di suatu negara (Penjelasan PP 55 tahun 2005).
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
a.

Pendapatan Daerah, dikelompokan atas :


1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2. Dana Perimbangan
3. Lain-lain Pendapatan daerah yang sah

b.

Belanja Daerah, dikelompokan atas :


1. Belanja Tidak langsung
2. Belanja langsung

c.

Pembiayaan Daerah, dikelompokan atas :


1. Penerimaan Pembiayaan
2. Pengeluaran Pembiayaan

17

Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokan atas anggaran


belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam
anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan
untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam
pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan,
dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan
dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan
undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan
dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi
(Solihin,2006). Anggaran rutin berhubungan dengan pengeluaran untuk kegiatan
pemerintahan sehari-hari, sedangkan anggaran pembangunan berhubungan dengan
pengeluaran yang lebih luas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat daerah
yang bersangkutan. Kedua jenis anggaran tersebut berbeda dalam hal metode
pembiayaan serta proses keputusannya. Keduanya, apabila dibiayai dengan dana
rupiah murni, akan berlangsung dalam satu tahun anggaran, sedangkan apabila
dibiayai dari pinjaman luar negeri, terutama pada anggaran pembangunan,
berlangsung lebih dari satu tahun anggaran, tergantung dari loan agreement-nya.
Pada umumnya anggaran pembangunan dipergunakan untuk pengeluaran berupa
proyek-proyek yang relatif mahal biayanya, dan berupa proyekproyek fisik,
seperti gedung, jalan, sarana air bersih, dan lain sebagainya (Kunarjo, 2003)
Definisi belanja pembangunan, menurut Soetrisno (1984) adalah
pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan,
gedung, kendaraan, dan Iain-lain, maupun pembangunan non-fisik termasuk

18

penataran-penataran, training, dan Iain-lain. Menurut Mardiasmo (2002) dan


Halim (2007) adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan pemerintah. Belanja modal
adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian / pengadaan aset
tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (duabelas)
bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan
hewan (Penjelasan PP 55 tahun 2005 Pasal 27).

2.1.5

Kinerja Keuangan Daerah


Kinerja menurut Bastian (2006) adalah adalah gambaran pencapaian

pelaksanaan program dan kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan
visi suatu organisasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerinlah Daerah menjelaskan pengertian
kinerja

penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

adalah

capaian

alas

penyelenggaraan urusan pemerinlahan daerah yang diukur dari masukan, proses,


keluaran, hasil, manfaat, dan atau dampak.
Menurut Sularso dan Restianto (2011) dalam Azwar (2014), Kinerja
keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan.
Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa
lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang
mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena

19

menggunakan indikator keuangan, maka alat analisis yang tepat untuk mengukur
kinerja keuangan adalah analisis keuangan (Azwar, 2014).
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan
berdasarkan laporan yang tersedia (Halim, 2007). Penggunaan analisis rasio
sebagai alat analisis keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga
perusahaan yang bersifat komersial, namun pada lembaga publik, khususnya
pemerintah daerah, masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya
keterbatasan penyajian laporan keuangan pada pemerintah daerah yang sifat dan
cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh perusahaan yang
bersifat komersil (Azwar, 2014).
Menurut Halim (2007) rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi
keuangan daerah dan rasio keserasian belanja merupakan rasio keuangan yang
dapat mengukur akuntabilitas pemerintah daerah.
a. Rasio Kemandirian
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, dengan
formulasi sebagai berikut :
Rasio
Kemandirian

Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Dana Perimbangan

Berdasarkan formula di atas, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi rasio


PAD terhadap Dana Perimbangan dari pemerintah pusat berupa Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi

20

Hasil (DBH) maka semakin baik pula tingkat kemandirian keuangan


keuangan daerah. Adapun kriteria untuk menetapkan tingkat kemandirian
keuangan daerah dapat dikategorikan seperti tabel 4 berikut :
Tabel 1
Pola Hubungan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian

Pola Hubungan

0,00 25,00

Instruktif

25,01 50,00

Konsultif

50,01 75,00

Partisipatif

75,01 100,00

Delegatif

Sumber : Abdul Halim (2002)


b. Efektivitas
Pengukuran tingkat efektivitas ini untuk mengetahui berhasil tidaknya
pencapaian tujuan anggaran yang memerlukan data-data realisasi
pendapatan dan target pendapatan. Formulasinya adalah sebagai berikut
(Halim, 2002) :
Rasio Efektifitas

Realisasi Pendapatan
Target Pendapatan yang Ditetapkan

Pengukuran tingkat efektivitas ini untuk mengetahui berhasil tidaknya


pencapaian tujuan anggaran yang memerlukan data-data realisasi
pendapatan dan target pendapatan
c. Efesiensi
Rasio efisiensi merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan
antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi
penerimaan daerah. Formulasinya adalah sebagai berikut (DJPK, 2011) :
Rasio Efesiensi

21

Realisasi Pengeluaran
Realisasi Penerimaan

Semakin tinggi persentase perbandingan pengeluaran terhadap penerimaan


maka semakin tidak efisien pengelolaan keuangan daerah. Sehingga suatu
daerah dikatakan efisien jika pengeluaran daerah kecil dan total
pendapatannya tinggi (Azwar, 2014).
2.1.6

Indeks Pembangunan Manusia


Pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-

pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang
terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan,
dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat
hidup secara layak. Pembangunan manusia memiliki dua sisi. Pertama,
pembentukan kapabilitas masnusia seperti peningkatan kesehatan, pendidikan, dan
kemampuan. Kedua, penggunaan kapabilitas yang mereka miliki, seperti untuk
menikmati waktu luang, untuk tujuan produktif atau aktif dalam kegiatan budaya,
sosial, dan urusan politik. Apabila skala pembangunan manusia tidak seimbang,
kemungkinan akan terjadi ketidakstabilan.

Perspektif pembangunan manusia

merupakan sebuah pemikiran radikal dalam konsep pembangunan. Perspektif ini


menggantikan konsep pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pendapatan per
kapita yang digunakan oleh perencana kebijakan sebelumnya. (BPS, 2014)
Pertumbuhan ekonomi yang dipandang dari sisi perdagangan, investasi,
dan teknologi merupakan hal yang esensial. Akan tetapi, hal itu hanya melihat
manusia sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan, dan bukan sebagai tujuan dari
pembangunan. Pembangunan manusia memperluas pembahasan tentang konsep
pembangunan dari diskusi tentang cara-cara (pertumbuhan Produk Domestik
22

Bruto/PDB) ke diskusi tentang tujuan akhir dari pembangunan. Pembangunan


manusia juga merupakan perwujudan jangka panjang, yang meletakkan
pembangunan di sekeliling manusia, dan bukan manusia di sekeliling
pembangunan. (Ibid)
Pengukuran pembangunan manusia pertama kali diperkenalkan oleh
UNDP pada tahun 1990. UNDP memperkenalkan sebuah gagasan baru dalam
pengukuran pembangunan manusia yang disebut sebagai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Sejak saat itu, IPM dipublikasikan secara berkala dalam laporan
tahunan Human Development Report (HDR). IPM menjelaskan bagaimana
penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut UNDP, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah
komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun
melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup:
1.
Umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life);
2.
Pengetahuan (knowledge); dan
3.
Standar hidup layak (decent standard of living). (BPS, 2014).
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Ada penelitian tentang dana perimbangan, kapasitas fiskal, belanja daerah
dan kinerja keuangan dengan tingkat kesejahteraan telah dilakukan sebelumnya.
Azwar dan Subektan (2012) meneliti tentang kinerja keuangan daerah dan
kesejahteraan

rakyat

di

era

desentralisasi

fiskal

(Studi

empiris

pada

Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2012). Penelitian ini


menggunakan variabel efektivitas keuangan. efisiensi dan kemandihan keuangan
serta

kesejahteraan

dengan

IPM
23

Populasi

penelitian

adalah

seluruh

Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan yang terdiri dari 23 kabupaten/kota dan hanya


14 kabupatenkota. Metode analisis data menggunakan regresi panel. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemandihan keuangan daerah berada di
pola tata hubungan instruktif yang mengarah pada kemandinan pemerintah
daerah. Tingkat efektivitas keuangan daerab berada di posisi yang sangat efektif
dan tingkat efisiensi keuangan daerah berada di posisi yang kurang efisien.
Simanjuntak dan Muklis (2015) meneliti tentang interaksi antara dana
perimbangan, keuangan daerah dan IPM pada ekonomi daerah di Propinsi Jawa
Timur untuk tahun 2008-2011. Metode analisis data menggunakan Partial Least
Square (PLS). Variabel dependen antara lain desentralisasi fiskal diproxikan pada
dana perimbangan sementara variabel interviening adalah kapasitas fiskal,
kemampuan keuangan daerah dan struktur keuangan daerah sedangkan variabel
dependen adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indeks
kesejahteraan

masyarakat.

Hasil

penelitian

menunjukkan

bahwa

dana

perimbangan memiliki pengaruh negatif dan sigmfikan terhadap kapasitas fiskal.


Kapasitas fiskal berpengaruh positif terhadap kemampuan keuangan daerah,
kapasitas fiskal berpengaruh negatif terhadap struktur keuangan pemerintah dan
kemampuan keuangan berpengaruh positif terhadap IPM
Berdasarkan penelitian sebelumnya maka penulis berusaha untuk
melakukan penelitian yang sama tentang desentralisasi fiskal serta pengelolaan
keuangan dan dampaknya pada kesejahteraan masyarakat, dengan beberapa
pengembangan model penelitian pada objek, variabel dan alat analisis data yang
digunakan.

24

Berikut ringkasan beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijelaskan


pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu


Peneliti
(Tahun)

Variabel

Metode

Hasil Penelitian

Analisis Data

Azwar dan

Efektivitas,

Regresi Panel

Tingkat

kemandirian

Subektan

efesiensi dan

keuangan daerah berada di

(2014)

kemandirian

pola

keuaagan serta

insttruktif yang mengarah

kesejahteraan

pada

masyarakat

pemerintah daerah. Tingkat

dengan proxy

efektivitas keuangan daerah

IPM

berada di posisi yang sangat

tata

hubungan
kemandirian

efektif dan tingkat efisiensi


keuangan daerah berada di
posisi yang kurang efisien
Simanjuntak

Dana

Partial Least

Dana perimbangan memiliki

dan Muklis

peribangan,

Square (PLS)

pengaruh

(2015)

kemandirian

signifikan

keiuangan,

kapasitas fiskal, kapasitas

kapasitas fiskal,

fiskal berpengaruh positif

struktur

terhadap

kemandirian

keuangan daerah

keuangan,

kemandirian

dan IPM

keuangan

berpegaruh

negatif
25

negatif

dan

terhadap

terhadap

struktur

keuangan pemerintah dan


kemandirian

keuangan

berpengaruh positif terhadap


IPM.
Gousario dan

Kemandirian

Analisis

(1) Rasio kemandirian efek

Dharmastuti

finansial,

regresi linier

keuangan daerah positif dan

(2015)

efektivitas,

berganda

signifikan

efisiensi,

dengan SPSS

(2)

keseimbangan

Statistik

keuangan tidak berpengaruh

belanja, IPM

terhadap

Rasio

IPM,

efektivitas

signifikan daerah terhadap


IPM,

(3) Rasio efisiensi

keuangan

daerah

berpengaruh

tidak

signifikan

terhadap IPM, dan


Rasio

belanja

(4)
harmoni

keuangan tidak berpengaruh


positif terhadap daerah IPM.
Fadli (2014)

Desentralisasi

Path Analysis

Tidak ada efek langsung dari

Fiskal,

desentralisasi

Pertumbuhan

disparitas

Ekonomi, Dana

pertumbuhan

Perimbangan,

melalui desentralisasi fiskal

Disparitas

langsung pada kesenjangan

Regional

daerah baik di Indonesia

Azis,

PAD, Dana

timur dan barat Indonesia


PAD, dana perimbangan

Noholo,

Perimbangan

regresi linier

Nilawaty

Dan Belanja

berganda

(2014)

Modal, Kinerja
Keuangan

Analisis

dengan SPSS
Statistik

26

dan

fiskal

pada

regional

dan

belanja

ekonomi

modal

berpengaruh secara parsial


dan

simultan

kinerja keuangan

terhadap

2.2 Kerangka Pemikiran


2.2.1

Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Daerah

2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.2.5
2.2.6

Pengaruh Kapasitas Fiskal terhadap Kinerja Keuangan Daerah


Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kinerja Keuangan Daerah
Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Daerah
Pengaruh Kapasitas Fiskal terhadap Kinerja Keuangan Daerah
Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kinerja Keuangan Daerah

2.2.7

Pengaruh Kap
Desentralisasi fiskal akan meningkatkan penerimaan daerah dari dana

perimbangan sehingga menambah sumber keuangan daerah. Namun, studi-studi


empiris terdahulu menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada dana
perimbangan dimana belanja daerah lebih responsif terhadap kenaikan dana
perimbangan dari pada kenaikan pendapatan lokal atau dalam hal ini kapasitas
fiskal.

Desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi dana perimbangan dapat

menyebabkan

kesenjangan

fiskal

yang

lebih

disebabkan

oleh

strategi

pembangunan lebih mengandalkan penerimaan dari dana perimbangan dari pada


sumber-sumber lokal yaitu kapasitas fiskal. Hal ini terjadi karena masing-masing
daerah tidak memiliki kemampuan yang sama dalam menggali potensi sumber
daya.
Implikasi dari kesenjangan fiskal adalah adanya kesenjangan dalam
alokasi anggaran dalam pemenuhan kebutuhan barang dan jasa bagi masyarakat
yang berimpilkasi terhadap tingkat kesjahteraan masyarakat. Hal ini menimbulkan
keprihatinan dalam upaya untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan
masyarakat yang diukur dari tingkat pencapaian indeks pembangunan manusia.
Ketika porsi anggaran pemerintah daerah tidak dapat dikembangkan secara
dinamis dalam pemenuhan pembiayaan modal / pembangunan, maka anggaran
27

akan terjebak pada sifat politik limbah dan kaku. Sementara itu, di era modern
pembangunan daerah, pemerintah daerah dituntut untuk proaktif untuk
pemberdayaan keuangan dalam melayani barang dan jasa bagi masyarakat
(penyediaan barang publik). Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis secara empiris tentang keberadaan dan dampak
desentralisasi fiskal pada kapasitas fiskal, kemandirian keuangan daerah dan
struktur belanja pemerintah daerah dan indeks pembangunan manusia di Provinsi
Banten. Adapun konsep penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut :

Dana Perimbangan

Belanja Daerah

Kapasitas Fiskal

DAU

Belanja Rutin

PAD
DAK

Belanja Pembangunan

Dana Bagi Hasil


Kinerja Keuangan Daerah

Kejahteraan Masyarakat
Indeks Pembangunan Manusia (Proxy)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

2.3 Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1
: Dana perimbangan berpengaruh positif signifikan pada kinerja
keuangan daerah;

28

H2

: Kapasitas fiskal berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja

H3

keuangan daerah;
: Belanja daerah berpengaruh positif signifikan pada kinerja keuangan

H4

daerah;
: Dana perimbangan berpengaruh positif signifikan pada indeks

H5

pembangunan manusia;
: Kapasitas fiskal berpengaruh positif signifikan terhadap indeks

H6

pembangunan manusia;
: Belanja daerah berpengaruh positif signifikan terhadap indeks

H7

pembangunan manusia;
: Kinerja keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap indeks
pembangunan manusia.

BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIN
3.1 Objek Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara desentralisasi
fiskal dengan proxy dana perimbangan, kapasitas fiskal dan belanja daerah dengan
kesejahteraan masyarakat dengan proxy indeks pembangunan manusia melalui
29

kinerja keuangan pada Pemerintah Provinsi Banten. Data penelitian ini


mengambil data time series tahun 2009 sampai dengan tahun 2015. Sumber data
berasal Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Banten
berupa laporan perhitungan APBD serta Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
berupa kesejahteraan masyarakat melalui indikator indeks pembangunan manusia.
Rencana jadwal penelitian yang akan dilaksanakan sebagai berikut :
Okt
No
.

Nop

Des

Kegiatan

Usulan
Penelitian

Persetujuan
Usulan
Penelitian

Pengumpul
an Data

Analisis
data

Kajian
Hasil
Analisis

Sidang

Feb

Maret

Minggu
1

Jan

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian


3.2
3.2.1

Metode Penelitian
Operasionalisasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen atau eksogen

dan variabel dependen atau endogen. Variabel independen merupakan variabel


yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab berubahnya variabel dependen,
sedangkan variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel
independen. Variabel penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Eksogen - Variabel Independen: Dana Perimbangan (X1), Kapasitas Fiskal

(X2) dan Belanja Daerah (X3);


Endogen - Variabel Intervening: Kinerja Keuangan (Y1)
30


3.2.2

Endogen Varibel Dependen : Indeks Pembangunan Manusia (Y2);


Variabel Independen
Variabel

independen

adalah

variabel

yang

mempengaruhi,

yang

menyebabkan timbulnya atau berubahnya variabel terikat. Variabel independen


yang digunakan dalam penelitian ini adalah Dana Desentralisasi, dengan proxy
Dana Perimbangan (X1). Variabel Desentralisasi Fiskal yang ditunjukkan oleh
Dana Perimbangan memiliki tiga indikator yaitu :
1.
2.
3.

Dana Bagi Hasil (X11),


Dana Alokasi Umum (X12),
Dana Alokasi Khusus (X13).

Kapasitas Fiskal (X2) memiliki dua indikator yaitu :


1.
2.

Pendapatan Asli Daerah (X21);


Dana Bagi Hasil (X11).

Belanja Daerah (X3) memiliki dua indikator yaitu :


1.
2.

Belanja Rutin (X31);


Belanja Pembangunan (X32)

3.2.3

Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi karena adanya

variabel independen. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini


adalah Indek Pembangunan Manusia (Y2) dengan variabel intervening adalah
Kinerja Keuangan (Y1).
3.2.4

Model Penelitian
Model yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan pengembangan

atas penelitian sebelumnya yang berjudul Empirical Study about The Interaction
31

Between Equalization Funds, Regional Financial and Human Development Index


in Regional Economic oleh Timbul Hamonangan Simanjuntak dan Imam
Mukhlis. Jurnal yang mengangkat topik interaksi antara dana perimbangan, indeks
pembangunan manusia dan keuangan daerah di Provinsi Jawa Timur untuk Tahun
2008-2011 yang diambil dari International Journal of Economics and Finance;
Vol. 7, No. 1; 2015 dan diterbitkan pada tahun 2015.
Variabel yang dikembangkan dari penelitian tersebut diambil dari jurnal
yang berjudul Local Financial Performance and The Social Welfare on Districts
and Municipals of South Sulawesi on 2008-2012 : Panel Regression with Random
Effect Model (REM) oleh Azwar Iskandar dan Achmat Subektan. Jurnal yang
mengangkat topik pengaruh pengelolaan keuangan dengan keterukuran kinerjanya
terhadap kesejahteraan rakyat di era desentralisasi fiskal di Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Berikut Tahun 2008-2012 yang diambil dari jurnal
Social Science Research Network yang diterbitkan pada tahun 2014.
Berdasarkan pada kedua penelitian tersebut maka model penelitian yang
akan disusun oleh peneliti adalah sebagai berikut:
X12

X13

Dana Perimbangan
Y1

Y2
H4

H1
H2

H7

Kinerja Keuangan Daerah

Kapasitas Fiskal

Kesejahteraan Masyarakat

(IPM)

H6
H3
H5

Belanja Daerah

32

Gambar 3.1 Model Penelitian


3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data kuantitatif. Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari
penerbitan pada suatu instansi terkait. Data-data ini seperti laporan APBD dan
angka Human Development Index Provinsi Banten. Sumber data diperoleh dari
dokumentasi instansi terkait, diantaranya Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Daerah Provinsi Banten, Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal
Perimbangan

Keuangan

Keuangan

Daerah

Republik

Indonesia

(http://www.djpk.depkeu.go.id). Teknik pengumpulan data sekunder dapat


dilakukan dengan metode analisis dokumen.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode dokumentasi. Metode dokumentasi adalah metode untuk mencari data
mengenai hal-hal atau variabel melalui catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, agenda, dan sebagainya. Pengumpulan data ini bertujuan untuk
memperoleh data mengenai laporan perhitungan APBD serta indeks pembangunan
manusia serta data lainnya yang diperlukan dalam penelitian ini.
3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di
lingkungan Pemerintah Provinsi Banten yang mempunyai Anggaran Pendapatan

33

Belanja Daerah berhubungan dengan tiga dimensi indeks pembangunan manusia


diantaranya :
1.
Dinas Pendidikan;
2.
Dinas Kesehatan;
3.
Dinas Pekerjaan Umum;
4.
Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman;
5.
Dinas Sosial dan
6.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Oleh karena Indek Pembangunan Manusia dibangun melalui pendekatan tiga
dimensi dasar yang mencakup : umur panjang dan hidup sehat (a long and
healthy life), Pengetahuan (knowledge); dan Standar hidup layak (decent standard
of living, maka pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan kesesuaian pada
karakteristik atau kriteria tertentu sesuai dengan dimensi Indek Pembangunan
Manusia tersebut.
3.6 Metode Analisis
Metode Penelitian ini menggunakan data panel atau pooled data yang
merupakan kombinasi dari data time series dan cross-section. Menurut Wibisono
dalam Shochrul R Ajija. dkk (2011 :51), dengan metode

mengakomodasi

informasi baik yang terkait dengan variabel-variabel cross-section maupum time


series, data panel secara substansial mampu menurunkan masalah omittedvariables, model yang mengabaikan variabel relevan. Penelitian ini menggunakan
analisis kuantitatif dengan model ekonometrik untuk mendapatkan gambaran
hubungan antara variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam
penelitian ini penulis menggunkan alat bantu ekonometrika (software) yaitu
eviews.
34

3.6.1

Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik bertujuan untuk menganalisa apakah model regresi yang
ditentukan layak digunakan dan tidak menimbulkan pengaruh bias, sehingga
pengujian ini dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian terhadap model
regresi. Pengujian ini meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji
autokorelasi, dan uji heteroskedastisitasS
3.6.2

Uji Beda t-test

Menurut Ghozali (2005), uji beda t-test digunakan untuk menentukan


apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki rata-rata yang berbeda. Uji
beda t-test dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai
rata-rata dengan standar error dari perbedaan rata-rata dua sampel. Pengujian ini
dilakukan untuk menguji Hipotesis 1, yaitu mengetahui besarnya angka
discretionary accrual dan pola manajemen laba yang dilakukan sebelum IPO.
Pengambilan keputusan:
Jika probabilitas > 0,05, maka H0 tidak dapat ditolak jadi variance sama
Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak jadi variance berbeda

35

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Pembangunan Manusia 2014. Jakarta. Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik Provonsi Banten. 2015. Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi Banten 2014. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten.
Bahl, Roy. W. 1999. Implementation Rules For Fiscal Decentralization, World
ank,New York.
Balil, R. W. dan Linn, J.F. 1992. Urban Public Finance in Developing Countries.
New York: Oxford University Press.
Bappenas. 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi
Khusus (DAK). Jakarta. White Paper.
Budiriyanto, Eko. 2011.Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dalam Formulasi
DAU. Jakarta. Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI.
Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi Tantangan
dan Hambatan. Jakarta. Kemitraan.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. Laporan Pelaksanaan
Spending Performance Dalam Mendanai Pelayanan Publik. Jakarta.
Kementerian Keuangan RI.
Farhan, Yuda dkk. 2011. Kupas Tuntas Hubungan Keuangan Pusat Daerah.
Jakarta. Seknas Fitra, Yayasan Tifa.
Kunarjo. 2003. Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta. Institute
For SME Empowerment.
Lisna, Vera. 2014. Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan
Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi
Kebijakan, Desertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Sidik, Machfud. 2002 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal : Antara Teori dan Aplikasinya di
Indonesia). Jogyakarta. Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia.

36

Simanjuntak, Timbul Hamonangan dan Muklis, Imam. 2015. Empirical Study


about The Interaction Between Equalize ion Funds, Regional Financial
and
Human
Development
Index
in
Regional
Economic.
InternationalJournal of Economics and Finance, Vol. 7, No. 1; fa al. 1-55.
Simanjuntak, Robert A. 2003. Kebutuhan fiskal, Kapasitas fiskal, dan optimalisasi
Potensi PAD: Working Paper. Jakarta. LPEM.
Solihin, Dadang. 2006. Keuangan Publik : Pendanaan Pusat dan Daerah. Jakarta.
Artifa Duta Prakasa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara.

37

Anda mungkin juga menyukai