tp
s://
b an
te
n.
bp
s.
go
.id
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
ANALISIS SOSIAL EKONOMI
PROVINSI BANTEN 2019
ISSN : 2622-1160
No. Publikasi : 36550.2005
.id
Katalog : 3101014.36
o
.g
Ukuran Buku : 17,6 X 25 cm
Jumlah Halaman : xii + 102 Halaman
b ps
n.
.id
o
.g
ps
b
e n.
nt
a
//b
s:
tp
ht
Halaman
id
Kata Pengantar ..................................................................................................... iii
o.
Daftar Isi .................................................................................................................. v
.g
ps
Daftar Tabel ........................................................................................................... ix
.b
Daftar Gambar ...................................................................................................... xi
en
1. Kondisi Perekonomian 1
t
an
Halaman
id
Disparitas Upah Antar Gender Meningkat, Antar Daerah Menurun .... 33
o.
.g
3. Situasi Kemiskinan .................................................................................................. 35
ps
.b
Garis Kemiskinan Meningkat Melebihi Kenaikan Harga Pangan ........... 38
en
5. Kualitas Pertumbuhan 61
id
Studi Literatur : Konsep Pertumbuhan Inklusif ............................................ 69
o.
Pertumbuhan Ekonomi Banten Bercorak Pro Job ....................................... 70
.g
ps
Pertumbuhan Ekonomi Banten Bersifat Pro Poor ......................................... 72
.b
Pertumbuhan Ekonomi Banten : Pertumbuhan yang Inklusif ................ 73
en
Lampiran .................................................................................................................... 81
tp
ht
Halaman
id
Tabel 1.1 Perbandingan Agregat PDRB Banten dan PDB Indonesia
Tahun 2018-2019 ...................................................................................... 6
o.
.g
Tabel 1.2 Laju dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2018-2019 (Persen) ................ 7
Tabel 1.3
ps
Struktur Ekonomi Menurut Lapangan Usaha
.b
Tahun 2018-2019 (Persen) ..................................................................... 10
en
Tabel 2.1 TPAK Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
tp
Tabel 2.2 TPT Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
Agustus 2018-2019 .................................................................................. 25
Tabel 2.3 Jumlah dan Persentase Penduduk yang Bekerja
Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
Agustus 2018-2019 .................................................................................. 28
Tabel 2.4 Statistik Upah/Gaji/Pendapatan Bersih Sebulan
Buruh/Karyawan/Pegawai, Tahun 2018-2019 ................................ 32
Tabel 2.5 Upah/Gaji/Pendapatan Bersih Sebulan
Buruh/Karyawan/Pegawai Menurut Jenis Kelamin dan
Daerah Tempat Tinggal, Agustus 2018-2019 ................................. 34
Halaman
Tabel 5.1 Indikator Kualitas Pro Job dari Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tahun 2012-2019 ...................................................................................... 71
Tabel 5.2 Indikator Kualitas Pro Poor dari Pertumbuhan Ekonomi
Banten Tahun 2012-2019 ....................................................................... 73
id
o.
.g
ps
.b
t en
an
//b
s:
tp
ht
Halaman
id
Gambar 1.1 PDRB Nominal dan Pertumbuhan Ekonomi
Tahun 2012-2019 .................................................................................. 5
o.
.g
Gambar 1.2 Perkembangan Share NTB dan Pangsa Tenaga Kerja
Lapangan Usaha Industri Pengolahan
ps
Tahun 2010-2019 (Persen) ................................................................. 11
.b
Gambar 2.1 Jumlah Angkatan Kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan
en
Halaman
id
yang Masuk ke Banten
o.
Menurut Pembagian Daerah/Kawasan
.g
Tahun 2018-2019 (Persen) ................................................................. 55
Gambar 4.4 Perbandingan Indeks Williamson (IW) Total dan
IW Tanpa Industri Pengolahan Tahun 2012-2019 .....................
ps 57
.b
en
Kondisi
Perekonomian
1
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Kondisi
Perekonomian
id
diketahui sejauh mana keberhasilan atau prestasi yang telah dicapai dan apa saja
o.
yang perlu diperbaiki. Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur
.g
prestasi pembangunan ekonomi suatu negara adalah Produk Domestik Bruto
ps
(PDB). Adapun alat ukur prestasi pembangunan ekonomi untuk tingkat wilayah,
.b
yang selaras dengan PDB adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
en
PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang tercipta akibat
t
an
timbulnya berbagai aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Dari sisi supply, PDRB
menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam mengelola sumber daya alam,
//b
tenaga kerja dan teknologi yang dimilikinya, untuk melakukan proses produksi
s:
yang menghasilkan barang dan jasa. Produk barang dan jasa yang dihasilkan ini,
tp
selanjutnya digunakan untuk memenuhi demand. Oleh karena itu dari sisi demand,
ht
Ekonomi Banten selama tahun 2019 menghadapi tekanan eksternal yang cukup
berat. Hal ini karena kondisi ekonomi global mengalami pelemahan atau
perlambatan pertumbuhan, terutama akibat adanya perang dagang antara
Amerika Serikat dengan China. Demikian pula dengan kondisi negara-negara mitra
dagang utama, yang juga mengalami perlambatan pertumbuhan (IMF-World
Economic Outlook Update January 2020).
Imbasnya, permintaan luar negeri terhadap produk barang dan jasa yang
dihasilkan Banten, selama tahun 2019 mengalami penurunan. Kondisi yang
demikian ditandai oleh turunnya ekspor dari 11,92 miliar US$ di tahun 2018
menjadi 10,84 miliar US$ pada tahun 2019. Selain itu, kecuali pada bulan Maret dan
Desember, nilai ekspor bulanan selama tahun 2019 selalu lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya.
Beruntung, pada saat bersamaan impor luar negeri juga menurun dengan besaran
yang lebih tinggi, yaitu dari 12,89 miliar US$ hingga menjadi 10,83 miliar US$ pada
tahun 2019. Akibatnya, neraca perdagangan luar negeri Banten meningkat drastis,
yakni dari defisit 0,95 miliar US$ di tahun 2018 menjadi surplus 0,01 miliar US$ (BPS
Provinsi Banten, BRS Perkembangan Ekspor dan Impor Banten, Desember 2019).
id
Kondisi ini jelas sangat menguntungkan, karena menjadi penahan dari semakin
o.
melambatnya pertumbuhan ekonomi Banten Tahun 2019.
.g
Betapapun juga, penurunan impor tersebut merupakan respon dari menurunnya
ps
permintaan terhadap produk yang dihasilkan oleh industri pengolahan Banten.
.b
Termasuk dalam hal ini, adalah turunnya permintaan nasional yang juga memberi
en
Selain tekanan luar negeri dan nasional, sisi domestik sebagian juga menunjukkan
adanya pelemahan. Hal ini setidaknya diketahui dari realisasi penanaman modal
//b
selama tahun 2019, yang secara keseluruhan menurun sebesar 7,8 triliun rupiah.
s:
Penurunannya itu, bersumber dari investasi PMA yang menurun 0,96 miliar US$
tp
hingga menjadi 1,87 miliar US$ pada tahun 2019. Sementara investasi PMDN justru
ht
meningkat dari 18,6 triliun rupiah di tahun 2018 menjadi 20,7 triliun rupiah
(https://nisw.bkpm.go.id).
Selain tekanan, sisi domestik juga memberikan peluang bagi perbaikan ekonomi.
Hal ini terlihat dari rendahnya volatilitas harga berbagai jenis barang dan jasa yang
diperdagangkan, yang membuat laju inflasi selama tahun 2019 hanya sebesar 3,30
persen. Berarti, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,42
persen. Kondisi yang demikian jelas menopang naiknya daya beli masyarakat serta
mendorong terjadinya peningkatan konsumsi rumahtangga domestik.
Dari sisi suplai, pembangunan dan perbaikan fasilitas infrastruktur jalan dan
bangunan sipil lainnya yang dilakukan selama tahun 2019, juga memberi peluang
bagi perbaikan ekonomi Banten. Terutama, pembangunan infrastruktur yang
terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam hal ini, dari 227 PSN dengan
26 sektor yang tersebar di 34 provinsi se-Indonesia, 13 PSN dalam 7 sektor di
antaranya ada di Banten. Adapun cakupan PSN nya, meliputi pembangunan 5 jalan
tol, pembangunan jalur kereta api, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Asal
Sampah, pembangunan dua bendungan, pembangunan KEK Tanjung Lesung dan
Selain itu, ada pembangunan pabrik klaster baja terintegrasi dan pabrik kimia di
Kota Cilegon, pabrik campuran beton dan pabrik baja di Kabupaten Serang, serta
pabrik biskuit dan wafer di Kabupaten Tangerang. Ada pula pembangunan proyek
properti, berupa kawasan industri, rumah sakit, pusat-pusat perniagaan,
perkantoran, dan perumahan, di berbagai kabupaten/kota se-Banten.
Gambar 1.1
750 10
PDRB Nominal dan
665,0
Pertumbuhan
id
650 8
Ekonomi 6,83 615,1
6,67
o.
Tahun 2012-2019 563,6
5,51 5,45
.g
550 517,9 6
Sumber : 479,3 5,75
BPS Provinsi Banten,
data diolah
450 428,7
ps 5,28 5,82 5,53
4
.b
377,8
en
350 338,2 2
t
an
250 0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
//b
PDRB Nominal (Sumbu Kiri, Triliun Rupiah) LPE (Sumbu Kanan, Persen)
s:
tp
ht
Bahkan, perkembangan ekonomi Banten selama tahun 2019, juga masih lebih baik
dibandingkan rata-rata Indonesia. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonominya
yang berada di atas Nasional. Selain itu, share ekonomi Banten dalam struktur
perekonomian Indonesia juga bertambah, dari 4,11 persen menjadi 4,14 persen.
Tabel 1.1
Uraian 2018 X 2019 XX Perbandingan
Agregat
(1) (2) (3) PDRB Banten dan
PDB Indonesia
1. Banten Tahun 2018-2019
Sumber :
id
a. PDRB adhb (Triliun Rupiah) 615,1 665,0
BPS Provinsi Banten
o.
b. Pertumbuhan Ekonomi (Persen) 5,82 5,53
.g
c. PDRB per Kapita (Juta Rupiah)
ps 48,5 51,4
.b
2. Indonesia
en
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2019 ini, dari sisi supply
disebabkan oleh pelemahan yang terjadi pada sebagian lapangan usaha yang ada.
Khususnya, kontraksi yang terjadi pada lapangan usaha pengadaan listrik dan gas,
serta melambatnya pertumbuhaan lapangan usaha transportasi dan pergudangan,
lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi, serta lapangan usaha pertanian,
kehutanan, dan perikanan (Tabel 1.2).
id
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
4,88 5,62 0,00 0,01
o.
Limbah, dan Daur Ulang
.g
6. Konstruksi 7,76 8,96 0,74 0,87
ps
7. Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi
7,25 7,58 0,97 1,02
.b
Mobil-Sepeda Motor
en
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 6,85 8,55 0,08 0,10
id
lebih didominasi oleh penyediaan jasa-jasa.
o.
Kedua, akan mempengaruhi serapan tenaga kerja, karena industri pengolahan
.g
selama ini dikenal sebagai lapangan usaha dengan elastisitas kesempatan kerja
ps
tertinggi dibandingkan lapangan usaha lainnya. Ketiga, merupakan kelanjutan dari
.b
implikasi kedua, yakni bukan hanya akan memperlambat kecepatan pengentasan
en
turunnya kemiskinan, khususnya di daerah perdesaan. Hal ini karena cukup banyak
s:
penduduk daerah perdesaan, yang menjadi pekerja atau pedagang kali lima ulang-
tp
alik di daerah perkotaan. Oleh karena itu, tingkat kesejahteraan mereka akan
ht
Sementara itu lapangan usaha transportasi dan pergudangan, lapangan usaha jasa
keuangan dan asuransi, serta lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan,
yang mengalami perlambatan pertumbuhan, secara keseluruhan hanya mampu
menyumbang 0,25 persen poin. Adapun pengadaan listrik dan gas, satu-satunya
lapangan usaha yang mengalami kontraksi, memberikan koreksi sebesar 0,04
persen poin, sehingga pertumbuhan ekonomi Banten hanya sebesar 5,53 persen.
id
kepada sektor tersier yang lebih didominasi oleh penyediaan jasa-jasa. Perubahan
o.
ini berlangsung dalam dua tahap, yaitu dari sektor primer menuju sektor sekunder
.g
(tahap pertama) dan dari sektor sekunder kepada sektor tersier (tahap kedua). Pada
tahap pertama, industri pengolahan dengan teknologi produksi increasing return to
ps
scale (IRS) menjadi motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Adapun pada
.b
tahap kedua, industri pengolahan menjadi penunjang utama bagi berkembangnya
en
Sementara itu struktur ekonomi Banten, sejak tahun 2015 lalu sudah didominasi
oleh sektor tersier (BPS Provinsi Banten-Tabel Statis PDRB Lapangan Usaha,
//b
banten.bps.go.id). Bahkan, share nya terus meningkat hingga menjadi 50,23 persen
s:
pada tahun 2019 (Tabel 1.3). Secara eksplisit, hal ini menandakan bahwa
tp
perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Banten, berada pada tahap
ht
kedua. Kondisi yang demikian itu, terutama dapat terjadi karena rendahnya
pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan. Meskipun demikian, share nya
dalam perekonomian masih sangat besar, yakni mencapai 30,59 persen.
Tabel 1.3
X XX
Lapangan Usaha 2018 2019 Struktur Ekonomi
Menurut
Lapangan Usaha
(1) (2) (3)
Tahun 2018-2019
A. Sektor Primer 6,48 6,23 (Persen)
id
o.
2. Pengadaan Listrik, Gas 2,08 1,82
.g
3. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan
Daur Ulang ps0,08 0,08
.b
4. Konstruksi 10,64 11,05
en
11,08 10,88
s:
Sejak berdiri pada tahun 2000, struktur ekonomi Banten selalu didominasi oleh
lapangan usaha industri pengolahan. Namun dengan semakin rendahnya laju
pertumbuhan, share lapangan usaha industri pengolahan dalam perekonomian
terus mengalami penurunan. Bahkan selama periode 2010-2019, hanya pada tahun
2013 saja yang share nya sedikit menurun (Gambar 1.2). Selebihnya menurun
cukup drastis, sehingga angka penurunannya selama periode tersebut rata-rata
mencapai 1,01 persen poin per tahun. Fenomena seperti ini mengemuka juga di
Indonesia, sehingga banyak orang yang percaya bahwa telah terjadi proses
deindustrialisasi. Benarkah?
id
Gambar 1.2
o.
.g
Perkembangan 39,71
38,49
Share NTB dan 37,50
Pangsa
Tenaga Kerja
ps
37,30
34,70 33,52
32,57 31,93
.b
31,19
Lapangan Usaha 30,59
en
Industri Pengolahan
Tahun 2010-2019
t
an
Sumber :
BPS Provinsi Banten,
s:
data diolah 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
tp
tenaga kerja pada saat nilai tambah menurun. Dalam konteks ini, pada tahun-
tahun tersebut malah terdapat indikasi perubahan teknologi produksi dalam
struktur usaha industri pengolahan Banten, yaitu dari yang mulanya lebih
bercirikan padat modal menjadi semakin padat tenaga kerja.
id
walaupun tidak akan terjadi dalam jangka pendek.
o.
.g
Pertumbuhan Ekonomi Didorong oleh Komponen Pengeluaran ps
.b
Konsumsi Rumahtangga dan Komponen Pembentukan Modal
en
Tetap Bruto
t
an
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Banten selama tahun 2019, dari sisi demand
disebabkan oleh pelemahan pertumbuhan yang terjadi pada hampir seluruh
//b
Sementara itu pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2019 ini, masih didorong
oleh komponen pengeluaran konsumsi rumahtangga dan komponen
pembentukan modal tetap bruto. Kedua komponen tersebut masing-masing
memberikan kontribusi sebesar 2,82 persen poin dan 2,18 persen poin dari total
pertumbuhan ekonomi Banten yang mencapai 5,53 persen. Adapun komponen
perubahan inventori memberikan koreksi terhadap pertumbuhan ekonomi Banten,
yaitu sebesar 0,01 persen poin.
id
5. Perubahan Inventori 9,21 -24,29 0,00 -0,01
o.
.g
6. Ekspor Neto 3,57 3,42 0,25 0,24
Struktur ekonomi Banten dari sisi demand, dalam dua tahun terakhir ini cenderung
tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Aktivitas permintaan akhir masih
didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumahtangga yang mencakup
lebih dari separuh PDRB Banten. Sementara peranan komponen lainnya, secara
berurutan adalah komponen pembentukan modal tetap bruto, komponen ekspor
neto, komponen pengeluaran konsumsi pemerintah, komponen pengeluaran
konsumsi LNPRT, dan komponen perubahan inventori (Tabel 1.5).
sangat bergantung kepada daya beli. Adapun daya beli bergantung kepada
besarnya inflasi. Akibatnya, bila daya beli masyarakat berkurang karena tingginya
inflasi, secara langsung akan menggerus laju pertumbuhan ekonomi.
Tabel 1.5
X XX
Komponen 2018 2019 Struktur Ekonomi
Menurut
Pengeluaran
(1) (2) (3)
Tahun 2018-2019
1. Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga 52,31 52,37 (Persen)
id
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 4,48 4,47
o.
.g
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 31,43 32,63
Khusus komponen pembentukan modal tetap bruto atau investasi, bila sebagian
diarahkan untuk pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur, seperti jalan,
jembatan dan angkutan umum, akan memperlancar distribusi barang dan jasa.
Lancarnya distribusi barang dan jasa ini, dapat mengurangi ongkos transportasi
id
o.
.g
ps
.b
t en
an
//b
s:
tp
ht
Keadaan
Ketenagakerjaan
2
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Keadaan
Ketenagakerjaan
Konstitusi menegaskan bahwa salah satu tujuan utama dari pendirian Negara
id
Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
o.
Dalam konteks ini, maksudnya adalah kesejahteraan untuk seluruh rakyat
.g
Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang
ps
menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state).
.b
en
masyarakat yang tidak dapat hidup layak. Mereka yang tidak dapat hidup layak ini,
biasanya akan masuk ke dalam kategori atau kelompok penduduk miskin.
//b
s:
Secara absolut, penduduk dikatakan miskin bila mereka tidak mampu memenuhi
tp
kebutuhan pokok (pangan, sandang dan papan), serta tidak memiliki kemampuan
dalam mengakses berbagai pelayanan dasar (air bersih, sanitasi, fasilitas kesehatan,
ht
Dari sisi ekonomi, daya beli masyarakat sangat bergantung pada aktif atau tidaknya
mereka dalam pasar kerja. Dimana, penduduk usia kerja atau angkatan kerja yang
aktif bekerja, akan memperoleh kompensasi berupa upah/gaji dari perusahaan
atau institusi tempat mereka bekerja. Sebaliknya, yang tidak aktif bekerja akan
menjadi pengangguran, yang sudah tentu menjadi beban bagi diri mereka sendiri
dan juga keluarganya.
Terkait peran pemerintah, salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah
bagaimana menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja, yang jumlahnya
semakin banyak. Tantangan tersebut, mencakup dua hal sekaligus, yaitu
penciptaan lapangan pekerjaan formal baru bagi angkatan kerja yang belum
bekerja dan peningkatan produktivitas bagi mereka yang sudah bekerja. Kedua hal
ini menjadi mutlak untuk diwujudkan, agar mereka semua dapat memperoleh
imbalan atau upah yang memadai, sehingga dapat hidup secara layak.
Tenaga kerja menjadi salah satu faktor penting dalam proses produksi. Bahkan,
dapat dikatakan lebih penting dibandingkan faktor produksi lainnya. Hal ini karena
tenaga kerjalah yang menggerakkan seluruh faktor produksi yang ada, untuk
menghasilkan berbagai produk barang dan jasa.
id
Namun sama seperti faktor produksi lain, penyediaan tenaga kerja sifatnya juga
o.
terbatas, karena tidak semua penduduk merupakan tenaga kerja. Hanya penduduk
.g
yang telah mencapai usia kerja (usia 15 tahun ke atas) dan aktif dalam kegiatan
ps
ekonomi saja, yang bisa dianggap sebagai tenaga kerja potensial atau biasa dikenal
.b
sebagai angkatan kerja.
t en
Gambar 2.1
an
6,2 66
65,17 6,1
Jumlah Angkatan
//b
63,84
5,7 63,55 5,6 5,6 64,52
64 Kerja (TPAK)
tp
Agustus 2012-2019
ht
63,66 63,49
5,3 5,3 Sumber :
5,2 5,2 5,2 62 BPS (2019a),
62,32
62,24 data diolah
4,7 60
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Angkatan Kerja (Sumbu Kiri, Juta Orang) TPAK (Sumbu Kanan, Persen)
Tabel 2.1, menyajikan komposisi TPAK Banten periode Agustus 2018-2019 menurut
jenis kelamin dan daerah tempat tinggal. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat
id
bahwa meningkatnya TPAK terjadi baik pada angkatan kerja laki-laki maupun
perempuan. Hanya saja, peningkatannya ini lebih banyak pada TPAK Laki-laki.
o.
Imbasnya, TPAK perempuan menjadi semakin lebih rendah dibandingkan laki-laki.
.g
ps
Lebih rendahnya TPAK perempuan ini menjadi petunjuk bahwa tingkat partisipasi
.b
perempuan Banten dalam kegiatan ekonomi, masih lebih kecil dibandingkan laki-
en
laki. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain umur, status perkawinan
dan tingkat pendidikan. Namun demikian, yang paling utama adalah rendahnya
t
an
pendapatan rumahtangga.
//b
Lebih rendahnya TPAK daerah perdesaan ini, menjadi penanda bahwa partisipasi
penduduk daerah perdesaan yang telah berusia kerja dalam pasar tenaga kerja,
lebih rendah dibandingkan penduduk daerah perkotaan. Salah satu penyebabnya
adalah naiknya partisipasi sekolah dan tingginya migrasi penduduk usia kerja.
Naiknya partisipasi sekolah penduduk usia kerja, membuat penduduk usia tersebut
tidak lekas memasuki pasar kerja. Naiknya partisipasi sekolah ini, setidaknya dapat
diketahui dari angka partisipasi sekolah (APS) penduduk daerah perdesaan berusia
16-18 tahun di Indonesia, yang selama setahun terakhir telah meningkat dari 67,16
persen menjadi 68,28 persen (Tabel Statistik Pendidikan 2019, www.bps.go.id).
Sementara itu tingginya migrasi penduduk usia kerja dari daerah perdesaan ke
perkotaan, membuat TPAK daerah perkotaan meningkat lebih tinggi dibandingkan
perdesaan. Tingginya migrasi ini, setidaknya dapat diketahui dari pertumbuhan
penduduk perkotaan Banten selama periode 2015-2020. Dimana, rata-rata laju
pertumbuhan penduduk per tahunnya lebih tinggi 0,3687 persen poin dari laju
pertumbuhan penduduk daerah perdesaan (BPS, 2013).
id
o.
Tabel 2.1
.g
TPAK 2018 2019 TPAK Menurut
ps Jenis Kelamin dan
Daerah
.b
(1) (2) (3)
Tempat Tinggal
en
BPS (2019a)
b. Perempuan 44,93 45,90
s:
Jumlah angkatan kerja yang besar dapat menjadi potensi pembangunan, apabila
dibina dengan baik. Sementara pembinaan yang baik, akan dapat menghasilkan
angkatan kerja yang berkualitas baik pula. Adapun kualitas angkatan kerja, antara
lain tercermin dalam tingkat pendidikan yang ditamatkannya.
Disamping itu, kualitas angkatan kerjanya selama setahun terakhir ini, sepertinya
juga mengalami penurunan. Kondisi yang demikian ditandai oleh turunnya
persentase angkatan kerja lulusan Diploma I/II/III dan Universitas.
Gambar 2.2
Distribusi 34,23
31,98
Persentase
id
Angkatan Kerja
o.
Menurut
21,65
.g
Tingkat Pendidikan 21,51
yang Ditamatkan 17,6118,12
Agustus 2018-2019 ps 14,63
12,62
10,97
.b
10,88
Sumber :
en
Besarnya jumlah angkatan kerja, menuntut kesempatan atau lapangan kerja yang
lebih banyak. Lapangan kerja datang dari pertumbuhan ekonomi. Namun,
pertumbuhan ekonomi tidak selalu menghasilkan lapangan kerja yang banyak,
sehingga akan selalu ada angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar. Bagian
yang tidak terserap ini, dikenal sebagai penganggur dan rasio penganggur
terhadap total angkatan kerja disebut dengan istilah Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT).
Sementara dari sisi ekonomi, mereka yang menjadi penganggur tidak mempunyai
pendapatan sehingga akan berkurang konsumsinya. Kondisi ini secara agregat
berarti melemahkan perkembangan konsumsi rumahtangga keseluruhan serta
mengurangi kemungkinan lebih berkembangnya perekonomian. Oleh karena itu
dalam ilmu ekonomi, angka TPT menggambarkan adanya inefisiensi perekonomian
suatu wilayah. Maksudnya, semakin tinggi TPT, akan semakin tidak efisien pula
perekonomian wilayah tersebut.
Gambar 2.3
0,53 11
9,94 Jumlah
0,52
9,54 9,55 Penganggur dan
0,51 Tingkat
id
9,07 8,92
0,51 0,51 8,52 9 Pengangguran
o.
9,28 8,11 Terbuka (TPT)
0,50
.g
0,50 Agustus 2012-2019
0,49
0,49 ps 0,49
7 Sumber :
BPS (2019a),
.b
0,48
data diolah
t en
0,47 5
an
Jumlah Penganggur (Sumbu Kiri, Juta Orang) TPT (Sumbu Kanan, Persen)
s:
tp
ht
TPT Banten sendiri pada Agustus 2019 sebesar 8,11 persen, menurun 0,41 persen
poin dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 8,52 persen (Gambar 2.3).
Penurunan ini menjadi penanda bahwa tingkat kesempatan kerja yang tercipta
sangat tinggi sekali, sehingga jumlahnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
pencari kerja baru dan sebagian pencari kerja lama. Akibatnya, bukan hanya
persentase pengangguran saja yang mengalami penurunan, jumlah penganggur
pun turut berkurang. Namun demikian, angka TPT Banten tersebut masih menjadi
yang tertinggi di Indonesia (BPS. 2019a).
Sementara itu tingginya lapangan kerja yang tercipta, ternyata bukan hanya
khusus bagi laki-laki saja, melainkan juga untuk kaum perempuan. Kondisi ini dapat
diketahui dari turunnya angka TPT menurut jenis kelamin, seperti yang terlihat
pada Tabel 2.2. Meskipun demikian, penurunan angka TPT laki-laki terlihat lebih
tinggi dari Perempuan. Hanya saja, angka TPT perempuan masih tetap lebih
rendah dibandingkan TPT laki-laki.
Tabel 2.2
TPT Menurut TPT 2018 2019
Jenis Kelamin dan
Daerah (1) (2) (3)
Tempat Tinggal
id
Agustus 2018-2019 1. Menurut Jenis Kelamin
o.
(Persen)
.g
a. Laki-Laki 8,84 8,24
Sumber :
BPS (2019a)
b. Perempuan ps 7,92 7,86
.b
c. Laki-Laki dan Perempuan 8,52 8,11
t en
Diamati menurut daerah tempat tinggal penduduk, terlihat bahwa TPT di seluruh
daerah tempat tinggal sama-sama mengalami penurunan. Namun untuk daerah
perdesaan, penurunannya itu ternyata jauh lebih cepat dari daerah perkotaan.
Tercatat, TPT daerah perkotaan hanya turun 0,04 persen poin, sedangkan di daerah
perdesaan berkurang hingga 1,29 persen poin (Tabel 2.2).
id
Gambar 2.4
o.
14,23 TPT Menurut
Tingkat
.g
13,03
12,49
11,96 Pendidikan
9,87 ps yang Ditamatkan
Agustus 2018-2019
.b
7,32 8,10 (Persen)
en
3,76
BPS (2019a),
an
data diolah
//b
s:
Gambar 2.4, menyajikan TPT Banten menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan.
Penyajian dimaksudkan, sebagai indikator untuk mengetahui kemampuan pasar
dalam memanfaatkan suplai tenaga kerja yang berkualitas. Berdasarkan garis
trennya, secara umum terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan
kerja, semakin rendah pula angka penganggurannya. Hal ini menandakan bahwa
pasar tenaga kerja di Banten memang cenderung untuk menyerap tenaga kerja
yang berkualitas.
Sementara itu hasil studi Willis Towers Watson tahun 2014 tentang Talent
Management and Rewards yang dipublikasikan pada tahun 2016, mengungkap
bahwa delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia mengalami kesulitan dalam
mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Menurut studi ini,
perusahaan semestinya tidak mengalami kesulitan dalam mencari tenaga kerja,
id
karena angka pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun
o.
selalu bertambah. Selain itu, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja
.g
lulusan universitas, juga selalu lebih rendah dari jumlah lulusannya. Bahkan,
ps
Indonesia menempati peringkat ketiga, sebagai negara dengan pertumbuhan
lulusan universitas lebih dari 4 persen dan rata-rata kelebihan lulusan 1,5 persen
.b
per tahun (Gewati, 2018).
en
Sayangnya, hasil studi Willis Towers Watson tersebut, sepertinya juga berlaku di
t
an
terdidik selama setahun terakhir, yaitu dari 4,50 persen menjadi 5,24 persen pada
Agustus 2019. Adapun peningkatannya ini, kemungkinan besar terjadi karena ada
s:
Tingginya pengangguran lulusan SMA Kejuruan (SMK) ini, terjadi karena bahan ajar
kejuruan yang dipelajari masih terlalu rendah dan kurang spesifik, sehingga tidak
sesuai dengan perkembangan kebutuhan pasar kerja. Selain itu, sarana atau mesin
dan alat praktek yang diperlukan (software dan hardware), banyak yang sudah
ketinggalan jaman. Lebih-lebih, pihak SMK kebanyakan juga tidak membangun
kemitraan, atau lebih tepatnya link and match dengan berbagai perusahaan
industri pengolahan dan jasa-jasa yang ada di Banten. Kemungkinan lain, tidak
atau kurang cukup diajarkannya materi kewirausahaan kepada para siswa SMK.
id
Jumlah penduduk Banten yang bekerja selama setahun terakhir ini mengalami
o.
peningkatan, dari 5,33 juta orang menjadi 5,56 juta orang. Peningkatannya itu,
.g
terlihat lebih banyak terjadi pada pekerja laki-laki daripada pekerja perempuan.
ps
Namun demikian, komposisi pekerja menurut jenis kelaminnya cenderung tidak
berubah, yakni masih sekitar 65 laki-laki berbanding 35 perempuan (Tabel 2.3).
.b
en
Tabel 2.3
t
2018 2019
an
Jumlah dan
Penduduk Bekerja
Persentase
//b
Bekerja
(1) (2) (3) (4) (5) Menurut
tp
Daerah
Tempat Tinggal
a. Laki-Laki 3,47 65,03 3,61 64,97 Agustus 2018-2019
Sementara itu perubahan komposisi penduduk yang bekerja, justru terjadi bila
diamati menurut daerah tempat tinggal. Dimana pada Agustus 2018, dari 100
orang pekerja yang ada di Banten, sekitar 72 orang diantaranya bekerja di daerah
id
menyerap tenaga kerja. Dengan demikian, bila pemerintah ingin menerapkan
kebijakan di bidang ketenagakerjaan, dapat fokus kepada lapangan-lapangan
o.
usaha tertentu, sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut.
.g
Gambar 2.5
ps
.b
Lapangan Usaha Lainnya 13,05
en
5,37
Bekerja Jasa Pendidikan
an
4,38
Menurut
6,16
Lapangan usaha
//b
Konstruksi
6,54
Agustus 2018-2019
Penyediaan Akomodasi dan 6,21
s:
6,63
BPS (2019a), Transportasi dan Pergudangan
6,87
ht
0 10 20 30
Berdasarkan Gambar 2.5, lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga
kerja adalah industri pengolahan, dengan proporsi sebesar 24,09 persen. Selain itu,
besaran serapan tenaga kerjanya juga telah meningkat dibandingkan tahun 2018
yang hanya 23,77 persen. Namun demikian, serapan tenaga kerjanya ini masih
tetap kurang sepadan, dengan besarnya sumbangan industri pengolahan dalam
struktur perekonomian Banten yang pada tahun 2019 mencapai 30,59 persen.
Analisis Sosial Ekonomi 29
Provinsi Banten 2019
Bab 2. Keadaan Ketenagakerjaan
Ada dua faktor yang secara bersamaan, mungkin menjadi penyebab mengapa
proporsi serapan tenaga kerja industri pengolahan mengalami peningkatan.
Pertama, struktur lapangan usaha industri pengolahan yang memang semakin
didominasi oleh usaha/perusahaan industri padat tenaga kerja. Dalam hal ini,
berarti ada cukup banyak usaha/perusahan baru dari jenis industri padat tenaga
kerja yang masuk ke Banten. Selain itu, kinerja usaha/perusahaan industri makanan
dan minuman pada tahun 2019 ini juga mengalami peningkatan, yang secara
otomatis meningkatkan serapan tenaga kerjanya.
id
tenaga kerja pada sebagian industri padat tenaga kerja. Di sisi lain, penggunaan
o.
pekerja keluarga/tenaga kerja tidak dibayar pada usaha mikro dan kecil (UMK),
.g
sangat memungkinkan sekali untuk terjadinya inefisiensi.
ps
Sementara itu lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan, pada
.b
umumnya berperan sebagai penyedia tenaga kerja bagi lapangan usaha lain yang
en
ada di daerah perkotaan. Berarti, lapangan usaha ini memiliki kelebihan tenaga
kerja, yang bila memungkinkan dapat dimanfaatkan oleh lapangan usaha lain
t
an
Sementara itu peran lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan, dalam
bidang ketenagakerjaan Banten terlihat cukup besar. Kondisi yang demikian dapat
diketahui dari daya serap tenaga kerjanya, yang mencapai 9,94 persen. Berarti,
lebih tinggi dari sumbangannya dalam struktur perekonomian Banten, yang pada
tahun 2019 hanya 5,57 persen. Adapun penurunan serapan tenaga kerjanya,
menandakan adanya perpindahan tenaga kerja dari lapangan usaha pertanian,
kehutanan dan perikanan ke lapangan usaha non pertanian. Khususnya, lapangan
usaha perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil-sepeda motor serta lapangan
usaha jasa lainnya, yang terletak di daerah perkotaan. Perpindahan tenaga kerja ini,
jelas terkait perannya sebagai buffer dalam bidang ketenagakerjaan.
id
laki-laki. Stereotip ini adalah salah satu bentuk disparitas gender, yang menjadi
o.
penyebab perempuan enggan untuk bekerja.
.g
Gambar 2.6
ps
.b
Lapangan Usaha Lainnya 28,37
Persentase
en
42,84
an
Menurut
2,55
Lapangan usaha Konstruksi
97,45
//b
dan
Penyediaan Akomodasi dan 51,89
Jenis Kelamin Makan Minum
s:
48,11
Agustus 2019
5,89
tp
43,66
BPS (2019a), Jasa lainnya
56,34
data diolah 29,28
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
70,72
Perdagangan Besar-Eceran dan 45,44
Reparasi Mobil-Sepeda Motor 54,56
36,27
Industri Pengolahan
63,73
0 25 50 75 100
Perempuan Laki-Laki
Sementara pekerja perempuan, tampak lebih banyak bekerja pada lapangan usaha
jasa pendidikan serta lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum.
Artinya, kedua lapangan usaha ini bisa disebut lebih ramah terhadap perempuan
dibandingkan lapangan usaha lainnya. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa
di daerah perkotaan akan lebih sering ditemukan kaum perempuan (daripada laki-
laki), yang bekerja pada kedua lapangan usaha tersebut. Kondisi yang demikian
dapat terjadi karena lokasi usaha dari kedua lapangan usaha di atas, memang lebih
banyak terdapat di daerah perkotaan.
id
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kebutuhan keluarga. Sementara seorang
pekerja dapat dikatakan hidup layak, apabila mendapatkan upah yang mencukupi
o.
kebutuhan hidup sehari-harinya.
.g
ps
.b
Tabel 2.4
Uraian Satuan 2018 2019
en
Statistik Upah/Gaji/
Pendapatan Bersih
t
Sebulan
an
b. Kenaikan Upah Nominal yang Diterima Persen 3,78 -0,80 BPS Provinsi Banten
ht
Juta
2. Upah Resmi (Rata-rata Tertimbang UMK) 3,43 3,72
Rupiah
Juta
3. Rata-rata Pengeluaran per Kapita/bulan 1,38 1,43
Rupiah
Pekerja di Banten pada Agustus 2019 rata-rata menerima upah 3,84 juta rupiah per
bulan, atau sekitar 3 persen lebih tinggi dari upah resmi yang seharusnya mereka
terima. Hanya saja, upah tersebut justru menurun dibandingkan tahun sebelumnya
yang mencapai 3,87 juta rupiah. Imbasnya, upah riilnya juga mengalami penurunan,
yang ditandai dengan negatifnya kenaikan upah riil yang mereka terima (Tabel 2.4).
Sementara itu untuk keperluan hidup sehari-hari, penduduk Banten secara rata-rata
mengeluarkan biaya sekitar 1,43 juta rupiah per bulan. Pengeluaran sebesar itu, bagi
pekerja tunggal atau pekerja dengan hanya seorang istri, mungkin tidak terlalu menjadi
Selanjutnya, bila diasumsikan bahwa angka pengeluaran tersebut di atas sebagai batas
kelayakan, berarti akan cukup banyak rumahtangga pekerja yang tidak dapat hidup
layak, karena upah yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Penyebabnya adalah karena rumahtangga di Banten, rata-rata memiliki anggota
rumahtangga minimal empat orang.
id
Selain kelayakan upah, masalah kronis di bidang ketenagakerjaan adalah disparitas
o.
atau perbedaan upah yang diterima oleh para pekerja. Ada dua jenis disparitas upah
.g
yang umum terjadi, yaitu disparitas upah antar gender dan antar daerah tempat
ps
tinggal. Kedua jenis disparitas ini muncul ke permukaan dengan sebab yang berbeda.
.b
Disparitas upah antar gender terjadi karena adanya perbedaan perlakuan antara laki-
en
laki dan perempuan dalam bidang ketenagakerjaan. Sementara disparitas upah antar
t
daerah tempat tinggal, diawali oleh adanya perbedaan upah antara lapangan usaha
an
Sayangnya, disparitas upah antar gender dalam setahun terakhir ini mengalami
tp
antara upah yang diterima oleh pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan. Pada
Agustus 2019, pekerja laki-laki menerima upah 4,04 juta rupiah atau 17 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan upah yang diterima oleh pekerja perempuan. Sementara
pada periode setahun sebelumnya, mereka hanya menerima upah 14 persen lebih
banyak dibandingkan pekerja perempuan. Penyebabnya, adalah turunnya upah yang
diterima oleh pekerja perempuan, sedangkan upah pekerja laki-laki sedikit mengalami
peningkatan (Tabel 2.5).
Berbeda dengan disparitas antar gender, disparitas upah antar daerah tempat tinggal
justru mengalami penurunan. Pada Agustus 2018, pekerja yang tinggal di daerah
perkotaan menerima upah 67 persen lebih banyak dibandingkan rekannya yang
tinggal di daerah perdesaan. Akan tetapi pada Agustus 2019, sudah menurun menjadi
hanya 49 persen.
Lebih jauh lagi, menurunnya disparitas upah ini, diharapkan dapat menjadi peredam
bagi terus berlanjutnya migrasi penduduk dari desa ke kota. Bila tidak, bidang usaha
pertanian akan terus ditinggalkan oleh para pekerjanya. Imbasnya, keberlangsungan
produksi pangan Banten pada masa-masa mendatang menjadi semakin terancam.
id
a. Laki-Laki Juta Rupiah 4,03 4,04 Jenis Kelamin dan
Daerah
o.
b. Perempuan Juta Rupiah 3,55 3,46 Tempat Tinggal
.g
Agustus 2018-2019
c. Perbandingan Upah
Laki-Laki dan Perempuan
Persen ps 114 117 Sumber :
.b
BPS (2019a)
en
c. Perbandingan Upah
Persen 167 149
Perkotaan dan Perdesaan
tp
ht
Situasi
Kemiskinan
3
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Situasi
Kemiskinan
id
mengurangi kemiskinan. Kemiskinan sendiri secara umum diartikan sebagai
o.
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti
.g
makanan, pakaian dan tempat tinggal, serta pendidikan dan kesehatan.
ps
Kemiskinan merupakan masalah global dan bersifat multidimensi, yang bukan saja
.b
mencerminkan kondisi ekonomi tetapi juga kondisi sosial, politik, dan budaya
en
suatu negara.
t
an
konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Kemiskinan absolut ini juga
s:
Kedua, kemiskinan struktural, yaitu kondisi miskin yang timbul karena adanya
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum atau tidak menjangkau seluruh
kelompok masyarakat. Akibatnya, timbul ketimpangan dalam distribusi
pendapatan penduduk, yang berujung kepada kemiskinan.
id
penduduk yang memiliki pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan.
o.
Gambar 3.1, menyajikan nilai dan perubahan garis kemiskinan Banten. Berdasarkan
.g
gambar tersebut, terlihat bahwa garis kemiskinan Banten setiap tahun terus
ps
mengalami kenaikan. Pada September 2019, garis kemiskinannya mencapai 485
.b
ribu rupiah, bertambah 35 ribu rupiah atau meningkat 7,77 persen dibandingkan
en
tahun sebelumnya.
t
an
Bila dicermati lebih lanjut, kenaikan garis kemiskinan ini ternyata lebih tinggi dari
laju inflasi pada September 2019 (y on y), yang mencapai 3,64 persen. Selain itu,
//b
juga berada di atas laju inflasi kelompok bahan makanan serta kelompok makanan
s:
jadi, minuman, rokok, dan tembakau, yang masing-masing sebesar 5,62 persen dan
tp
2,88 persen (BPS Provinsi Banten, BRS Perkembangan Indeks Harga Konsumen/
ht
Inflasi, September 2019). Berarti, kenaikan garis kemiskinan Banten sudah melebihi
laju inflasi dan kenaikan harga pangan.
Gambar 3.1
550 20
485,1 Nilai dan Perubahan
14,96 450,1 Garis Kemiskinan
450 16
356,4
407,0 September 2012-2019
373,4
350 12 Sumber :
315,8
288,7 BPS Provinsi Banten,
12,86
250
251,2 10,59
8
data diolah
9,38 9,01
7,77
150 6,19 4
4,75
50 0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Garis Kemiskinan (Sumbu Kiri, Ribu Rupiah) Perubahan (Sumbu Kanan, Persen)
id
Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM dihitung berdasarkan jumlah kalori yang
dikonsumsi rumahtangga, yakni sebesar 2.100 kilo kalori per kapita sehari, yang
o.
terdiri dari 52 jenis komoditas makanan. Sementara, GKNM terdiri atas 36
.g
komoditas non makanan yang juga biasa dikonsumsi rumahtangga. Adapun untuk
ps
penghitungan GK nya, dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan
.b
daerah perdesaan.
en
Tabel 3.1 menyajikan komposisi garis kemiskinan menurut daerah tempat tinggal
t
an
miskin. Hanya saja untuk daerah perkotaan, kenaikannya di atas daerah perdesaan.
s:
Kondisi ini membuat garis kemiskinan perkotaan menjadi semakin melebihi atau
tp
Tabel 3.1
Garis Kemiskinan 2018 2019 Garis Kemiskinan
Menurut
(1) (2) (3) Daerah Tempat
Tinggal dan
1. Menurut Daerah Tempat Tinggal Kelompok
Pengeluaran
a. Perkotaan September 2018-2019
Sumber :
a.1. Nominal (Ribu Rupiah/Kapita/Bulan) 469 507
BPS Provinsi Banten
a.2. Perubahan (Persen) 11,40 8,24
b. Perdesaan
id
o.
b.1. Nominal (Ribu Rupiah/Kapita/Bulan) 406 434
.g
b.2. Perubahan (Persen) 8,85 6,89
ps
.b
2. Menurut Kelompok Pengeluaran
en
Di sisi lain, Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018, menunjukkan bahwa
penduduk di daerah perdesaan yang berprofesi sebagai petani, kebanyakan
merupakan petani gurem (BPS Provinsi Banten, 2019), yang tingkat produksi
berasnya (padi setara beras) jelas tidak mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Sementara penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, hampir semuanya bukan
id
Sumber :
1. Beras 18,36 1. Beras 25,86
o.
BPS Provinsi Banten
.g
2. Rokok 12,61 2. Rokok 11,97
27,94 27,29
(47 Komoditas, @≤2,69%) (47 Komoditas, @≤2,70%)
s:
Jumlah Jumlah
100,00 100,00
(Makanan+Bukan Makanan) (Makanan+Bukan Makanan)
Terkait komoditas beras, Bank Dunia (2007) menyatakan bahwa turunnya harga
beras akan sangat menguntungkan masyarakat. Dalam hal ini, terutama penduduk
miskin yang seringkali merupakan pembeli beras. Sebaliknya, kenaikan harga beras
bukan saja sangat merugikan penduduk miskin, bahkan juga dapat meningkatkan
insiden kemiskinan.
Kesimpulan yang sama, sebelumnya juga terekam dalam penelitian yang dilakukan
oleh LPM FEUI pada tahun 2003. Dimana untuk setiap kenaikan harga beras
sebesar 10 persen, persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan
dan daerah perkotaan masing-masing bertambah 1,15 persen poin dan 0,90
persen poin (Ikhsan, 2003).
id
o.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurun
.g
ps
Persentase penduduk miskin Banten pada September 2019 mencapai 4,94 persen,
atau turun 0,31 persen poin dari periode sebelumnya (Gambar 3.2). Menurunnya
.b
angka kemiskinan ini, menjadi sinyal bagi keberhasilan program penanggulangan
en
kemiskinan. Lebih-lebih, jumlah penduduk miskin pada periode yang sama juga
t
an
berkurang sebanyak 28 ribu orang hingga menjadi 0,64 juta orang. Selain itu,
angka kemiskinannya juga sudah melampaui target Pemerintah Provinsi Banten
//b
Hanya saja, penurunan angka kemiskinannya berjalan begitu lambat. Kondisi ini
tp
Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab mengapa penurunan angka
kemiskinan di Banten selama setahun terakhir ini berjalan lambat. Dari sisi
anggaran, ada kemungkinan belanja bantuan sosial yang telah dikeluarkan tidak
tepat sasaran, sehingga mengurangi efektivitasnya. Sementara dari sisi lapangan,
ada masalah transient poverty, yaitu fenomena keluar masuknya penduduk ke
dalam kemiskinan, khususnya yang menghinggapi penduduk rentan miskin.
625 3
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
id
o.
Penduduk Miskin (Sumbu Kiri, Ribu Orang) Persentase (Sumbu Kanan)
.g
ps
.b
Penduduk rentan miskin sesungguhnya tidak termasuk dalam kategori miskin.
Namun bila ada sedikit shock atau gangguan, mereka serta merta akan terjerumus
en
ke dalam jurang kemiskinan. Salah satu contoh shock adalah penaikan harga BBM
t
an
pada Juni 2013. Selain itu, ada pula penaikan harga BBM pada November 2014 dan
kenaikan harga beras yang mencapai 14,48 persen selama periode September
//b
jumlah dan persentase penduduk miskin pada September 2013 dan September
tp
Terkait transient poverty, BPS (2009) menyatakan bahwa terdapat 53,3 persen
penduduk miskin di tahun 2008 yang menjadi tidak miskin pada tahun 2009.
Sebaliknya 21,5 persen penduduk rentan miskin, justru jatuh dalam jerat
kemiskinan. Belajar dari pengalaman ini, program penanggulangan kemiskinan
yang dilaksanakan oleh pemerintah, seharusnya juga menyentuh penduduk rentan
miskin. Tujuannya adalah untuk mencegah agar mereka tidak menjadi miskin,
sekaligus mempercepat penurunan angka kemiskinan.
Tabel 3.3 menyajikan jumlah dan persentase penduduk miskin menurut daerah
tempat tinggal. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat adanya disparitas kemiskinan
antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Menurut berbagai literatur,
disparitas kemiskinan ini menjadi salah satu penyebab lambatnya penurunan
angka kemiskinan di berbagai negara atau wilayah.
id
menurun dengan pesat. Adapun penyebabnya, adalah cepatnya penurunan angka
TPT di daerah perdesaan, yaitu dari 10,77 persen menjadi 9,48 persen.
o.
.g
ps Tabel 3.3
.b
Uraian 2018 2019 Jumlah dan
Persentase
en
Menurut
an
2. Daerah Perdesaan
Selain karena turunnya TPT, pesatnya penurunan angka kemiskinan Banten juga
didukung oleh bertambahnya jumlah penduduk daerah perdesaan yang bekerja,
yakni sebanyak 30 ribu orang hingga menjadi 1,52 juta orang. Lebih-lebih, upah
pekerja di daerah perdesaan juga mengalami kenaikan dari 2,49 juta rupiah
menjadi 2,73 juta rupiah (BPS, 2019a). Malahan, nilai tukar petani (NTP) dan upah
rata-rata buruh tani masing-masing meningkat 1,14 persen dan 5,64 persen (BPS
Provinsi Banten, BRS Perkembangan Nilai Tukar Petani dan Harga Produsen Gabah,
Januari-Desember 2019).
id
miskin selama setahun terakhir secara rata-rata mengalami peningkatan, sehingga
pengeluarannya semakin mendekati garis kemiskinan. Pengeluaran penduduk
o.
miskin ini, sesungguhnya merupakan proxy dari pendapatan mereka. Oleh sebab
.g
itu, pengeluaran yang meningkat menjadi penanda bahwa pendapatan mereka
ps
juga meningkat. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun
.b
2019 memang dinikmati pula oleh kalangan penduduk miskin.
t en
an
Gambar 3.3
//b
Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) 1,449
s:
Menurut 1,258
tp
Daerah Tempat
Tinggal
ht
0,908
September 2018-2019 0,800
0,684
0,619
Sumber :
BPS Provinsi Banten,
data diolah
Sementara itu indeks keparahan kemiskinan (P2), pada periode yang sama juga
mengalami penurunan (Gambar 3.4). Hal ini berarti, ketimpangan pengeluaran di
antara sesama penduduk miskin menurun seiring dengan naiknya pendapatan
mereka. Kondisi yang demikian jelas sangat menguntungkan, karena ke depan
pemerintah menjadi lebih mudah untuk melaksanakan program penanggulangan
kemiskinan, akibat semakin homogennya kelompok masyarakat miskin.
id
dibandingkan daerah perkotaan, karena memiliki P2 yang lebih besar. Implikasinya,
o.
program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan di daerah perdesaan,
.g
akan relatif menjadi lebih sulit serta membutuhkan biaya yang lebih mahal
daripada di daerah perkotaan. ps
.b
en
Gambar 3.4
t
an
Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2)
//b
0,475
Menurut
s:
Daerah Tempat
0,325 Tinggal
tp
0,186 0,226
0,157 Sumber :
BPS Provinsi Banten,
data diolah
Kualitas SDM penduduk miskin Banten memang sangat rendah. Kondisi yang
demikian setidaknya terlihat dari karakteristik tingkat pendidikan yang ditamatkan
oleh penduduk pada tahun 2019. Dimana, hanya sekitar satu dari sepuluh orang
penduduk miskin yang berpendidikan SMA ke Atas. Sementara secara keseluruhan,
dari sepuluh orang penduduk Banten, minimal terdapat tiga orang yang
id
berpendidikan SMA ke Atas (Gambar 3.5).
o.
.g
Gambar 3.5
Penduduk
ps
.b
Usia 15 Tahun ke Atas 64,14
en
Menurut
Kategori Kelompok 47,16
t
an
Penduduk dan
Ijazah/STTB 39,05
//b
yang Dimiliki
Tahun 2019 23,76
s:
Sumber :
ht
Lincolin Arsyad (1997) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat sekali antara
tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hal ini karena sebagian rumahtangga di
Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap upah atau gaji
yang diperolehnya. Dimana, hilangnya pekerjaan menjadi penyebab utama
berkurangnya sebagian besar pendapatan, yang akan digunakan untuk membeli
kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh, jika masalah atau insiden pengangguran
tersebut terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, maka akan
dengan mudah menggeser posisi mereka dari semula tidak miskin menjadi
penduduk miskin.
Selain pengangguran, penduduk yang bekerja di sektor informal juga bisa jatuh ke
dalam jurang kemiskinan. Kondisi ini dapat terjadi, karena upah yang mereka
terima biasanya tidak layak atau tidak mencukupi kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, kebanyakan dari pekerja informal masuk dalam kategori penduduk
miskin dan rentan miskin. Oleh sebab itu, bila terjadi shock atau gangguan
terhadap pendapatan yang mereka terima atau biaya hidup yang mereka
keluarkan, pekerja informal yang rentan miskin itu akan dengan mudah berubah
menjadi penduduk miskin.
id
banyak sekali. Kondisi ini dapat diketahui dari distribusi persentase pekerjaan
o.
penduduk miskin usia 15 tahun ke atas tahun 2019 (Gambar 3.6). Dimana, terdapat
.g
50 sampai 51 orang penganggur dari 100 orang penduduk miskin berusia kerja.
ps
Sementara pekerja sektor informal berada pada urutan kedua, dengan sekitar 29
.b
orang dari 100 penduduk miskin berusia kerja.
t en
an
Gambar 3.6
Distribusi
//b
Penduduk Miskin
20,25%
Usia 15 Tahun ke Atas
tp
Menurut
ht
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja Tahun 2019
50,77%
Sumber :
BPS (2019d),
Bekerja di Sektor data diolah
Informal
28,98%
Ketimpangan
Pembangunan
4
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Ketimpangan
Pembangunan
id
proses pembangunan ekonomi kewilayahan. Berkaitan dengan itu, ada dua jenis
o.
ketimpangan pembangunan yang biasa ditemukan, yakni ketimpangan
.g
pembangunan antar wilayah dan ketimpangan pendapatan antar penduduk.
ps
.b
Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah, pada awalnya terjadi
en
karena adanya perbedaan potensi sumber daya alam serta perbedaan kondisi atau
letak geografis yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibatnya,
t
an
sumber daya yang dimiliki, orang atau kelompok masyarakat ini akan memiliki
pendapatan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, ketimpangan pendapatan antar
penduduk di suatu daerah, disebabkan karena adanya keberagaman sumber daya
ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing orang atau kelompok masyarakat
dalam daerah tersebut.
Secara umum, nilai Indeks Williamson (IW) berkisar antara 0 dan 1. Bila nilainya
semakin kecil atau mendekati nol, menunjukkan ketimpangan yang semakin
rendah atau semakin merata. Sebaliknya, semakin besar atau semakin jauh dari nol,
id
memperlihatkan ketimpangan yang semakin melebar. Secara khusus, dalam
o.
beberapa literatur ekonomi regional disebutkan kategorisasi ketimpangan antar
.g
wilayah, yaitu ketimpangan rendah (IW≤0,3), ketimpangan sedang (0,30<IW≤0,5),
dan ketimpangan tinggi (IW>0,5).
ps
.b
en
Gambar 4.1
Perkembangan
t
an
0,779
Indeks Williamson
0,774 0,776 0,775 Tahun 2012-2019
//b
0,764
0,761 0,760 Sumber :
s:
0,756
BPS Provinsi Banten,
tp
data diolah
ht
Namun, yakinlah yang terjadi di Banten tidak seperti hasil analisisnya North.
id
Lambatnya penurunan tingkat ketimpangan antar wilayah ini, bukan karena
o.
Banten masih terbelakang. Mengapa? Hal ini karena Banten adalah salah satu
.g
provinsi termaju di Indonesia. Majunya Banten, bisa dilihat secara kasat mata.
ps
Segala macam fasilitas infrastruktur, baik jalan tol, bandara, pelabuhan, maupun
.b
energi listrik dan gas kota tersedia di sini. Bahkan, fasilitas perkotaan sekelas kota
en
yang sangat wah, sehingga menjadi magnet bagi investor besar. Oleh sebab itu,
tp
tidak berlebihan bila ketiganya dapat menjadi daerah termaju dan tercepat
ht
perkembangannya di Banten.
Sementara itu nun jauh di selatan sana, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak menjadi wilayah yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Fasilitas
infrastrukturnya, terutama jalan, jembatan, dan angkutan umum sangat minim
sekali, sehingga jarang dilirik oleh para investor. Imbasnya, perkembangan kedua
daerah di selatan ini terasa sangat lambat. Kondisi inilah yang menjadi penyebab
mengapa ketimpangan antar wilayah di Banten menjadi sulit diatasi.
Bila tidak dibuatkan peraturan daerah yang baru, satu-satunya cara adalah dengan
memberikan dana kompensasi berupa block grant yang cukup besar. Disebut
sebagai dana kompensasi, karena dana ini memang harus diberikan sebagai ganti
rugi atas pembatasan yang diterapkan terhadap daerah Banten Selatan. Dana
tersebut, selanjutnya dapat digunakan untuk mempercepat proses pembangunan
di daerah Banten Selatan, sekaligus mempersempit jurang ketertinggalan dari
daerah lain di Banten.
id
Tidak dapat dipungkiri bahwa belanja modal pemerintah serta investasi swasta,
o.
merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tingginya pertumbuhan
.g
ekonomi suatu daerah. Dimana, daerah yang memperoleh alokasi belanja modal
ps
yang lebih besar dari pemerintah dan/atau dapat menarik lebih banyak investasi
.b
swasta, tingkat pertumbuhan ekonominya akan cenderung lebih tinggi.
en
Di sisi lain, dengan banyaknya investasi yang masuk, sisi suplai atau kapasitas
t
an
daerah dalam memproduksi barang dan jasa akan meningkat pula. Peningkatan
kapasitas ini, pada akhirnya akan lebih menjamin keberlangsungan pertumbuhan
//b
Gambar 4.2
ht
Sumber :
Banten Selatan Banten Tengah Banten Utara DJPK Kemenkeu RI
(djpk.kemenkeu.go.id),
2018 2019 data diolah
Berbeda dengan belanja modal pemerintah daerah, alokasi investasi swasta lebih
banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam konteks ini, kekuatan yang
berperan besar dalam menarik investasi swasta adalah keuntungan lokasi yang
dimiliki oleh suatu daerah. Keuntungan lokasi ditentukan oleh besarnya biaya
id
transportasi untuk mengangkut bahan baku dan hasil produksi, perbedaan upah
o.
buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha, sewa tanah, dan fasilitas
.g
infrastruktur. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ialah keuntungan aglomerasi,
ps
yang timbul karena adanya konsentrasi spasial kegiatan ekonomi tertentu pada
suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila investasi cenderung lebih
.b
banyak terkonsentrasi di daerah maju, yang memang memiliki keuntungan lokasi
en
Gambar 4.3
//b
Komposisi 68,1
s:
40,9 36,6
ke Banten
Menurut 31,2
Pembagian
Daerah/Kawasan 7,8
Tahun 2018-2019 1,3 1,7
0,7
(Persen)
Banten Banten Banten Banten Banten Banten
Selatan Tengah Utara Selatan Tengah Utara
Sumber :
BKPM RI PMA PMDN
(nswi.bkpm.go.id),
data diolah 2018 2019
Terkait investasi yang masuk ke Banten, terlihat bahwa dana investasi berupa
belanja modal dari pemerintah daerah (Gambar 4.2) dan alokasi investasi swasta
(Gambar 4.3) sangat timpang sekali. Hal ini karena, alokasi kedua jenis investasi
tersebut lebih banyak terkonsentrasi di daerah Banten Utara dan Banten Tengah.
id
Salah satu kebijakan penting yang dapat ditempuh dalam rangka mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah, adalah dengan mengembangkan
o.
pusat-pusat pertumbuhan (Growth Poles) baru secara lebih tersebar. Alasannya,
.g
karena pusat pertumbuhan menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi
secara bersamaan. ps
.b
en
Dari sisi jenis kegiatan ekonomi, banyak lapangan usaha yang memang dapat
dijadikan sebagai core business untuk pengembangan pusat pertumbuhan. Namun
untuk lebih menjamin terjadinya spread effect atau trickle down effect, lapangan
usaha yang dikembangkan sebaiknya adalah industri pengolahan yang berbasis
sumber daya alam lokal.
Lapangan usaha industri pengolahan sendiri, selama ini memang dikenal sebagai
mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan daerah. Kondisi yang
demikian terlihat jelas di Banten, dimana daerah Banten Utara dan Banten Tengah
yang didominasi oleh lapangan usaha industri pengolahan, menjadi daerah yang
jauh lebih maju dibandingkan Banten Selatan yang cenderung mengembangkan
pertanian sebagai lapangan usaha unggulan.
Berdasarkan Gambar 4.4, terlihat bahwa ada gap yang sangat signifikan antara
kedua nilai Indeks Williamson tersebut di atas. Secara negatif, hal ini berarti bahwa
lapangan usaha industri pengolahan menjadi penyebab timbulnya ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Adapun dalam makna yang positif, pengembangan
lapangan usaha industri pengolahan mutlak harus dilakukan di seluruh daerah,
id
agar ketimpangan pembangunan antar wilayah di Banten menjadi berkurang.
o.
.g
Gambar 4.4
Perbandingan ps
.b
Indeks Williamson 0,774 0,776 0,779 0,775 0,764 0,761 0,760 0,756
(IW) Total dan
en
IW Tanpa
t
Industri Pengolahan
an
Tahun 2012-2019
//b
Sumber :
BPS Provinsi Banten, 0,530 0,530 0,531 0,530 0,525
s:
0,498 0,520
0,489
data diolah
tp
ht
id
tinggi (G>0,5).
o.
.g
Gambar 4.5
0,424 ps Perkembangan
.b
Indeks Gini
September 2012-2019
t en
Sumber :
an
0,384
0,380 0,379
s:
0,367
tp
0,361
ht
Gambar 4.5. menyajikan perkembangan nilai Indeks Gini Banten selama periode
September 2012-2019, yang dihitung dengan menggunakan data pengeluaran
penduduk. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa nilai Indeks Gini
mengalami penurunan. Pada periode September 2012-2014, nilai Indeks Gini
sempat menurun, meskipun pada akhirnya melesat naik ke level 0,424. Sementara
selama periode September 2014-2016, cenderung menurun hingga ke posisi 0,392.
Adapun dalam periode tiga tahun terakhir ini, Indeks Gini terus menurun hingga
menjadi 0,361.
Turunnya nilai Indeks Gini yang dihasilkan, menjadi penanda bahwa keterlibatan
lapisan masyarakat bawah dan menengah dalam proses pembangunan ekonomi di
Banten, mengalami peningkatan. Akibatnya, porsi pendapatan mereka dalam
Gambar 4.6
Distribusi Pembagian 45,78
Pengeluaran 43,82
per Kapita Penduduk 36,31 37,63
Menurut
Klasifikasi Bank Dunia
September 2012
dan 17,91 18,55
2019
id
(Persen)
o.
Sumber :
.g
BPS Provinsi Banten,
data diolah September 2012
ps September 2019
.b
40% Pengeluaran Rendah 40% Pengeluaran Sedang 20% Pengeluaran Tinggi
t en
an
//b
Betapapun juga, harus diingat pula bahwa nilai Indeks Gini di atas, dihasilkan dari
data pengeluaran. Sementara data pengeluaran sendiri hanya tepat bila digunakan
s:
kelas bawah. Adapun bila dipakai sebagai proxy, terutama bagi pendapatan
ht
masyarakat kelas atas, akan menjadi bias sekali. Oleh karena itu, nilai Indeks Gini
yang sebenarnya, sepertinya akan jauh melebihi angka 0,361. Berarti, tingkat
ketimpangan pendapatannya ada kemungkinan termasuk dalam kategori tinggi.
Sementara itu bila diamati menurut daerah tempat tinggal (Gambar 4.7), terlihat
bahwa setelah meningkat selama periode 2012-2014, ketimpangan pendapatan
antar penduduk di daerah perkotaan mengalami penurunan hingga menjadi 0,355
pada tahun 2019. Adapun di daerah perdesaan, setelah menurun pada periode
2012-2016 dan meningkat selama periode 2016-2018, pada akhirnya juga menurun
menjadi 0,292.
Gambar 4.7
0,435 Perkembangan
0,399 Indeks Gini
0,381 0,376 0,390 0,380 Menurut Daerah
0,362 0,355
Tempat Tinggal
September 2012-2019
id
Perkotaan Perdesaan
o.
.g
ps
.b
Khusus daerah perdesaan, turunnya ketimpangan pendapatan menjadi berita yang
sangat mengembirakan. Hal ini karena sekitar 42 persen penduduk miskin Banten
en
Pertumbuhan
Kualitas
5
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Kualitas
Pertumbuhan
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh setiap negara pada saat ini, adalah tidak
id
hanya mendorong ekonomi tetap tumbuh dan berkembang, tetapi juga
o.
berkualitas. Menurut berbagai literatur, ukuran berkualitas dapat diartikan sebagai
.g
pertumbuhan ekonomi yang secara signifikan memperbesar ketersediaan
ps
lapangan pekerjaan (pro job) dan menurunkan angka kemiskinan (pro poor). Selain
.b
itu, pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas, ketika lebih banyak lagi
en
masyarakat yang terlibat aktif dan menikmati hasil ekonomi produktif dalam sistem
perekonomian atau inclusive growth (Firmanzah, 2014).
t
an
Sesuai dengan fakta empiris, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu negara
//b
atau wilayah, pada umumnya memang sudah berkualitas. Dalam konteks ini,
s:
ηL
L
L ……….. (5.1)
Y
Y
Dimana :
id
L = Kesempatan Kerja (Tenaga Kerja)
o.
L = Persentase perubahan kesempatan kerja (Tenaga Kerja)
L
.g
Y = Output (PDB/PDRB)
ps
Y
.b
= Persentase perubahan output atau Pertumbuhan Ekonomi
Y
t en
an
jika pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh suatu negara atau wilayah
tp
id
Sementara itu dalam literatur Ekonomi Makro, disebutkan bahwa cikal bakal
o.
penelitian mengenai elastisitas kesempatan kerja sudah dimulai sejak tahun 1962
.g
oleh Arthur M. Okun. Menurut Okun, terdapat hubungan yang positif antara
ps
meningkatnya pengangguran dengan membesarnya PDB Gap, yaitu selisih antara
.b
PDB aktual dari PDB potensialnya. Dengan mengabaikan faktor-faktor lain yang
en
2 sampai 3 persen. Dengan kata lain, PDB riilnya mengalami penurunan sebesar 2
//b
sampai 3 persen. Hasil penelitian ini, selanjutnya lebih dikenal sebagai Okun’s Law
atau Okun’s Rule of Thumb.
s:
tp
Mengikuti Okun, penelitian yang dilakukan pada tahun 1993 oleh Martin
ht
Hasil penelitan mereka juga relatif sama, yakni pertumbuhan ekonomi memiliki
pengaruh positif terhadap penciptaan kesempatan kerja. Adapun perbedaannya,
terletak pada besaran masing-masing elastisitas kesempatan kerja yang
dihasilkannya. Sementara model yang digunakan, pada umumnya mengikuti
model yang dikembangkan oleh Padalino dan Vivarelli (1997), dengan bentuk
umum sebagai berikut :
L α Y ε …………. (5.2)
Dimana :
id
= Elastisitas Kesempatan Kerja,
o.
L = Pertumbuhan Kesempatan Kerja,
.g
Y = Pertumbuhan Ekonomi,
ps
= Error Term.
.b
t en
pertumbuhan ekonomi yang bersifat pro job. Maksudnya adalah lapangan kerja
yang tercipta oleh pertumbuhan ekonomi menjadi sedemikian banyaknya,
s:
Hipotesa Kuznets bersandar pada asumsi bahwa terdapat dua sektor ekonomi
dalam suatu negara. Pertama, sektor tradisional (daerah perdesaan dengan
lapangan usaha pertanian) dengan pendapatan per kapita dan ketimpangan
pendapatan yang rendah. Kedua, sektor modern (daerah perkotaan dengan
id
ketidakmerataan pendapatan antara kedua sektor tersebut meningkat pada awal-
o.
awal pembangunan.
.g
Kesahihan hipotesa “inverted U-curve”, membawa implikasi bahwa jika suatu
ps
negara berada pada tahap-tahap awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi
.b
yang dihasilkannya akan lebih meningkatkan ketimpangan pendapatan. Imbasnya,
en
pengurangan kemiskinan akan memakan waktu yang lebih lama (Adams, 2004).
Oleh sebab itu, hipotesa ini sangat kontroversial dan menjadi bahan perdebatan
t
an
dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, hipotesa tersebut juga mempengaruhi
//b
id
o.
Log Pkt Log Wkt Log Gkt k kt … (5.4)
.g
dan ps
.b
…. (5.5)
t en
an
dimana :
//b
Pkt : Angka Kemiskinan (Persentase Penduduk Miskin) untuk Area ke-k dan
s:
tp
Periode ke-t,
ht
Wkt : PDRB adhk (Welfare Ratio) untuk Area ke-k dan Periode ke-t,
kt : Disturbance Term.
Bank Dunia, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi pro poor atau yang pro
terhadap kemiskinan, sebagai pertumbuhan ekonomi yang efeknya bisa
menurunkan angka kemiskinan (Ravallion, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang
demikian, juga sering diasosiasikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang
bermanfaat bagi penduduk miskin dan memberi mereka peluang untuk
memperbaiki kondisi ekonominya.
Menyadari akan lemahnya konsep Bank Dunia, Kakwani dkk. (2004), memberikan
definisi yang sangat kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang pro terhadap
kemiskinan. Definisi tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, relative pro-poor
growth, yaitu jika pertumbuhan ekonomi memberikan keuntungan lebih sedikit
id
kepada penduduk miskin dibandingkan kepada penduduk tidak miskin. Hal ini
o.
berarti pertumbuhan ekonomi selain menurunkan angka kemiskinan (persentase
.g
penduduk miskin), juga meningkatkan ketimpangan pendapatan secara relatif.
ps
Kedua, absolute pro-poor growth. Adalah jika penduduk miskin menerima
.b
keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara absolute minimal sama atau lebih
en
dari yang diterima oleh penduduk tidak miskin. Dengan kata lain, pertumbuhan
ekonomi berhasil menurunkan angka kemiskinan (persentase penduduk miskin)
t
an
Ada dua kemungkinan untuk hal tersebut, yang pertama adalah dengan melihat
melalui proses pertumbuhannya. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah
pertumbuhan yang meluas antar sektor atau intensif terhadap tenaga kerja.
Dengan begitu pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang
melibatkan partisipasi semua pihak, tanpa diskriminasi dan mampu melibatkan
seluruh sektor ekonomi.
Fokus kedua yaitu pada hasil dari proses pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini,
konsep pertumbuhan inklusif berkaitan erat dengan konsep pertumbuhan yang
pro poor. Dengan kata lain, berdasarkan hasil yang dicapainya, pertumbuhan
inklusif adalah pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang “tidak
diuntungkan” dalam perekonomian.
id
o.
Syarat penting untuk terciptanya pertumbuhan inklusif adalah bahwa
.g
disparitas pendapatan antara pekerja di sektor pertanian dan non-
pertanian, seharusnya tidak terlalu besar (Sen 2007).
ps
Besley et al (2007) menggunakan elastisitas pertumbuhan terhadap
.b
kemiskinan, untuk mengukur inklusifitas proses pertumbuhan terhadap
en
kemiskinan.
t
an
Tabel 5.1
Perubahan Perubahan
Uraian 2012 2018
Indikator 2012-2018 per Tahun
Kualitas Pro Job
dari (1) (2) (3) (4) (5)
Pertumbuhan
id
Ekonomi 1. Angkatan Kerja (Orang) 5.177.151 6.053.654 876.503 125.215
o.
Tahun 2012-2019
.g
2. Bekerja (Orang) 4.662.368 5.562.846 900.478 128.640
Sumber :
BPS Provinsi Banten 3. Pengangguran (Orang) ps
514.783 490.808 -23.975 -3.425
.b
4. TPT (Persen) 9,94 8,11 -1,8324 -0,2618
ten
6. Tambahan angkatan kerja per 1 persen LPE periode 2012-2019 (Orang) 21.906
//b
s:
7. Lapangan kerja tercipta per 1 persen LPE periode 2012-2019 (Orang) 22.505
tp
9. Penurunan TPT per 1 persen LPE periode 2012-2019 (Persen Poin) -0,0458
Sayangnya, angka TPT selama periode 2012-2019 rata-rata hanya turun 0,05 persen
poin per tahun (Tabel 5.1). Oleh karena itu, elastisitas TPT nya menjadi sangat kecil,
yaitu minus 0,50 persen. Dengan demikian, koefisiennya menjadi kurang elastis,
karena hanya berhasil menurunkan angka pengangguran (TPT) sebesar 0,50 persen
untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi.
Ada dua penyebab mengapa elastisitas TPT Banten dalam tujuh tahun terakhir ini
sangat kecil. Pertama, struktur ekonomi yang memang semakin didominasi oleh
sektor tersier yang daya serap tenaga kerjanya relatif rendah. Kedua, lapangan
usaha yang bersifat padat tenaga kerja, terutama industri pengolahan tumbuh di
bawah rata-rata pertumbuhan sektoral, sehingga pertumbuhan ekonomi yang
id
dihasilkannya kurang berhasil dalam menciptakan banyak lapangan kerja.
o.
.g
Terlepas dari itu semua, lapangan kerja yang telah tercipta selama periode 2012-
ps
2019, lebih banyak yang merupakan pekerjaan formal. Kondisi ini dapat diketahui
.b
dari meningkatnya jumlah pekerja formal, yaitu dari 2,76 juta orang menjadi 3,27
juta orang. Pekerja formal ini secara umum sudah menerima upah/gaji yang layak
en
Secara umum telah diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan. Sementara tujuan paling penting dari
suatu proses pembangunan adalah pengurangan tingkat kemiskinan.
Pengurangan kemiskinan ini sudah tentu hanya dapat dicapai melalui
pertumbuhan ekonomi, dengan atau tanpa melalui redistribusi pendapatan
(Kakwani dan Son, 2003).
5. Pengurangan penduduk miskin per 1 persen LPE periode 2012-2019 (Orang) -37
id
o.
6. Penurunan P0 per 1 persen LPE periode 2012-2019 (Persen Poin) -0,0193
.g
7. Elastisitas kemiskinan (P0) thd pertumbuhan ekonomi periode 2012-2019 -0,3585
ps
.b
8. Penurunan Indeks Gini per 1 persen LPE periode 2012-2019 (Poin) -0,0006
en
Pertumbuhan ekonomi Banten sendiri selama periode 2012-2019 cukup tinggi dan
bersifat inklusif. Hal ini terlihat dari sifatnya yang pro job dan pro poor, serta mampu
menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan antar penduduk, yakni dari 0,384
menjadi 0,361. Sementara penurunan ketimpangannya memang sangat kecil, yaitu
hanya 0,0006 poin untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi (Tabel 5.2)
id
lebih tinggi dibandingkan kelompok menengah atas. Imbasnya, ketimpangan
o.
pendapatan antar penduduk mengalami penurunan.
.g
ps
.b
t en
an
//b
s:
tp
ht
Daftar
Pustaka
id
DF
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Daftar Pustaka
Abel, Andrew B. and Bernanke, Ben S., 2005. Macroeconomics (5th ed.). Pearson
id
Addison Wesley.
o.
.g
Adam Jr, Richard H., 2004. “Economic Growth, Inequality and Poverty: Estimating the
ps
Growth Elasticity of Poverty.” World Development, 32 (12), hal. 1989-
.b
2014.
en
Asian Development Bank. 2010. “”Key Indicators for Asia and the Pacific”.
t
Ahluwalia, Montek S., 1976b. “Income Distribution and Development : Some Stylized
ht
BPS. 2019b. Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Di Indonesia 2019. BPS:
Jakarta.
BPS. 2019c. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Per Provinsi Maret
2019, Buku 3. BPS: Jakarta.
BPS. 2019d. Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia 2019. BPS:
Jakarta.
BPS Provinsi Banten. 2015. Proyeksi Penduduk Provinsi Banten 2010-2020. BPS
Provinsi Banten: Serang.
BPS Provinsi Banten. 2019. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 Provinsi
Banten, Seri-A2. BPS Provinsi Banten: Serang.
Deineger, Klaus dan Lyn Squire, 1996. “Measuring Income Inequality : A New Data
Set.” World Bank Economics Review, 10(3), hal. 565-591.
id
Gewati, M. 2018. Edukasi. Retrieved from Kompas.com:
o.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/06/13140861/sarjana-
.g
melimpah-tapi-perusahaan-sulit-dapat-tenaga-kerja-siap-pakai
ps
Ikhsan, M. 2003. Kemiskinan dan Harga Beras, Working Paper No. 3/2003, LPEM UI:
.b
Jakarta
en
Islam, Iyanatul. and Suahasil Nazara, 2000. “Estimating Employment Elasticity for
t
an
Kakwani, Nanak, Shahid Khandker, dan Hyun H. Son, 2004. “Pro-Poor Growth:
Concepts and Measurement with Country Case Studies.” Working Paper
No. 1, International Poverty Centre.
Kuncoro, Mudrajad. (2001). Metode Kuantitatif: Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan
Ekonomi (Edi-si 1). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Okun, A. M., 1962. “Potential GNP: its measurement and significance, In American
Statistical Association.” Proceedings of the Business and Economic
Statistics Section.
id
o.
Siregar, H., 2002. Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi: Mendorong Investasi
.g
dan Menciptakan Lapangan Kerja. Laporan Final.
ps
Solimano, Andres. and Guillermo Larrain, 2002. “From Economic Miracle to Sluggish
.b
Performance: Employment, Unemployment and Growth in the
en
Institute.
ht
Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira
Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.
Syafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media : Padang
Tambunan, Tulus TH. 2001. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia
Indonesia: Jakarta
Wodon, Quentin, 1999. “Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for
Bangladesh.” Policy Research Working Paper No. 2072, World Bank-Sout
Asia Region.
Lampiran
L
ht
tp
s:
//b
an
ten
.b
ps
.g
o.
id
Lampiran
id
Tahun 2018-2019 (Miliar Rupiah)
o.
.g
Atas Dasar Harga Atas Dasar Harga
Lapangan Usaha
ps Berlaku (adhb) Konstan (adhk)
.b
2018 X 2019 XX 2018 X 2019 XX
en
id
15. Jasa Pendidikan 21.129,7 23.749,9 13.103,7 14.111,9
o.
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.444,4 8.384,2 5.249,4 5.698,3
.g
17. Jasa lainnya 10.018,1 11.150,0
ps 6.536,0 7.102,4
.b
PDRB 615.107,8 664.963,4 434.014,6 458.022,7
t en
id
4. Pengadaan Listrik, Gas 2,08 1,82 1,03 0,94
o.
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
0,08 0,08 0,10 0,10
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang
6. Konstruksi
ps 10,64 11,05 9,76 10,08
.b
en
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,21 1,26 1,21 1,24
id
4. Pengadaan Listrik, Gas 7,20 -3,42 0,07 -0,04
o.
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
4,88 5,62 0,00 0,01
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 6,85 8,55 0,08 0,10
1. Pengeluaran Konsumsi
321.788,3 348.229,1 247.892,4 260.150,8
Rumahtangga
3. Pengeluaran Konsumsi
id
27.576,2 29.744,8 18.504,1 19.624,5
Pemerintah
o.
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 193.344,7 217.001,1 135.166,4 144.627,2
.g
5. Perubahan Inventori
ps 101,2 85,6 105,3 79,7
.b
6. Ekspor Neto 69.494,1 66.838,9 30.198,2 31.231,9
en
1. Pengeluaran Konsumsi
52,31 52,37 57,12 56,80
Rumahtangga
3. Pengeluaran Konsumsi
id
4,48 4,47 4,26 4,28
Pemerintah
o.
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 31,43 32,63 31,14 31,58
.g
5. Perubahan Inventori 0,02 0,01
ps 0,02 0,02
.b
6. Ekspor Neto 11,30 10,05 6,96 6,82
en
1. Pengeluaran Konsumsi
5,27 4,95 3,02 2,82
Rumahtangga
3. Pengeluaran Konsumsi
id
8,37 6,05 0,35 0,26
Pemerintah
o.
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 7,02 7,00 2,16 2,18
.g
5. Perubahan Inventori
ps 9,21 -24,29 0,00 -0,01
.b
6. Ekspor Neto 3,57 3,42 0,25 0,24
en
id
2. Bukan Angkatan Kerja 3.351.506 2.527.353
o.
3. Penduduk Usia Kerja 9.180.734 8.581.007
.g
4. TPAK (Persen) 63,49 70,55
ps
.b
5. TPT (Persen) 8,52 8,11
en
id
2. Bukan Angkatan Kerja 2.408.429 2.395.996
o.
3. Penduduk Usia Kerja 6.568.234 6.765.371
.g
4. TPAK (Persen) 63,33 64,58
ps
.b
5. TPT (Persen) 7,62 7,58
en
id
2. Bukan Angkatan Kerja 943.077 933.127
o.
3. Penduduk Usia Kerja 2.612.500 2.617.406
.g
4. TPAK (Persen) 63,90 64,35
ps
.b
5. TPT (Persen) 10,77 9,48
en
id
2. Bukan Angkatan Kerja 868.952 836.085
o.
3. Penduduk Usia Kerja 4.672.983 4.774.949
.g
4. TPAK (Persen) 81,40 82,49
ps
.b
5. TPT (Persen) 8,84 8,24
en
id
2. Bukan Angkatan Kerja 2.482.554 2.493.038
o.
3. Penduduk Usia Kerja 4.507.751 4.607.828
.g
4. TPAK (Persen) 44,93 45,90
ps
.b
5. TPT (Persen) 7,92 7,86
en
id
3. Industri Pengolahan 1.267.797 1.340.008
o.
4. Pengadaan Listrik, Gas 19.528 27.872
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang ps 52.488 39.626
.b
6. Konstruksi 348.997 342.512
en
1.031.459 1.163.022
an
id
3. Industri Pengolahan 978.213 1.011.050
o.
4. Pengadaan Listrik, Gas 17.466 24.474
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang
40.529 ps 32.756
.b
6. Konstruksi 227.985 232.076
en
792.146 878.400
an
id
3. Industri Pengolahan 289.584 328.958
o.
4. Pengadaan Listrik, Gas 2.062 3.398
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang ps 11.959 6.870
.b
6. Konstruksi 121.012 110.436
en
239.313 284.622
an
id
3. Industri Pengolahan 807.010 853.991
o.
4. Pengadaan Listrik, Gas 16.243 23.596
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang
42.180 ps 36.337
.b
6. Konstruksi 342.032 333.795
en
578.899 634.506
an
id
3. Industri Pengolahan 460.787 486.017
o.
4. Pengadaan Listrik, Gas 3.285 4.276
.g
5. Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Daur Ulang ps 10.308 3.289
.b
6. Konstruksi 6.965 8.717
en
452.560 528.516
an
1. Garis Kemiskinan
450.108 485.096
(Rupiah per Kapita Sebulan)
id
2. Jumlah Penduduk Miskin (Orang) 668.736 641.415
o.
.g
3. Persentase Penduduk Miskin (P0) 5,25 4,94
1. Garis Kemiskinan
468.572 507.198
(Rupiah per Kapita Sebulan)
id
2. Jumlah Penduduk Miskin (Orang) 382.134 371.282
o.
.g
3. Persentase Penduduk Miskin (P0) 4,24 4,00
ps
4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) 0,684 0,619
.b
5. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 0,157 0,186
en
1. Garis Kemiskinan
405.965 433.925
(Rupiah per Kapita Sebulan)
id
2. Jumlah Penduduk Miskin (Orang) 286.602 270.133
o.
.g
3. Persentase Penduduk Miskin (P0) 7,67 7,31