Anda di halaman 1dari 4

Atha bin Abi Rabaah

Seorang alim yang sangat ikhlas


(bag. I)

sekarang memasuki sepuluh hari


Kita
terakhir bulan Dzul Hijjah tahun 97
H. Dan rumah tua (Ka'bah) ini disesaki
oleh tamu-tamu Allah dari segala penjuru; para pejalan kaki dan para pengendara, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, berkulit hitam dan putih; orang Arab
dan non Arab serta raja dan rakyat jelata.
Mereka semua telah datang menghadap Raja manusia dengan khusyu'
seraya bertalbiyah dan mengharapkan
pahala Allah.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul
Malik, seorang Khalifah kaum muslimin
dan salah seorang raja agung yang
pernah bertahta di muka bumi sedang
berthawaf di sekeliling Ka'bah dengan
kepala terbuka dan bertelanjang kaki.
Dia hanya mengenakan kain sarung dan
selendang. Kondisinya kala itu sama
seperti saudara-saudaranya seIslam yang
menjadi rakyat jelata. Sementara di
belakangnya ada dua orang putranya,
keduanya adalah remaja yang keceriaan

wajahnya bagaikan bulan purnama,


wangi serta kilauannya ibarat bunga
yang sedang mekar.
Begitu khalifah menyelesaikan
thawafnya, beliau menengok ke arah salah
seorang pengawalnya sembari berkata,
"Di mana sahabatmu?"
Orang itu menjawab, "Dia di sana
sedang shalat", sambil menunjuk ke
pojok barat Masjid Al-Haram. Lalu
Khalifah dengan diikuti kedua putranya
menuju tempat yang ditunjuk oleh
pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin
mengikuti khalifah guna melapangkan
jalan baginya dan melindunginya dari
suasana berdesak-desakan. Akan tetapi
Khalifah melarang mereka melakukan
hal itu sembari berkata, "Para raja dan
rakyat jelata sama kedudukannya di
tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih
mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan
ketakwaannya. Boleh jadi ada orang

yang kusut dan lusuh berdebu datang


kepada Allah, lalu Allah menerima
ibadahnya dan pada saat yang sama, para
raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju
orang tersebut, lalu dia mendapatinya
masih melaksanakan shalat, khusyu' di
dalam ruku' dan sujudnya. Sedangkan
orang-orang duduk di belakang, di
sebelah kanan dan kirinya, Khalifah
kemudian duduk di barisan paling
belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy
ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul
mu'minin (bapak mereka) dan duduk
bersama orang-orang awam lainnya menunggu hingga ia selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang
tua yang berasal dari Habasyah, berkulit
hitam, berambut keriting lebat dan
berhidung pesek. Jika dia duduk tampak
bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari
shalatnya, dia menoleh ke arah dimana
Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin
Abdul Malik, sang khalifah memberi
salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya
dan bertanya tentang manasik haji, dari
satu hal ke hal lainnya, dan orang itu
menjawab setiap pertanyaan dengan
jawaban yang tuntas dan rinci sehingga
tidak memberikan kesempatan lagi bagi
si penanya untuk bertanya lebih jauh.
Dia juga menisbahkan setiap perkataan

yang diucapkannya kepada sabda


Rasulullah saw.
Ketika Khalifah telah selesai
mengajukan pertanyaan-pertanyaannya,
beliau mengucapkan, "Mudah-mudahan
Allah membalas Anda dengan kebaikan."
Lalu beliau berkata kepada kedua
putranya, "Berdirilah," lalu keduanya
berdiri Kemudian mereka bertiga
berlalu menuju tempat sa'i.
Ketika mereka berada di pertengahan jalan menuju tempat sa'i, antara Shafa
dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
"Wahai kaum muslimin, siapapun tidak
boleh memberi fatwa kepada orangorang di tempat ini kecuali 'Atha' bin
Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka
Abdullah bin Abi Nujaih!!
Salah satu dari kedua anak muda
itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata, "Bagaimana mungkin pegawai Amirul
mu'minin bisa menyuruh orang-orang
supaya tidak meminta fatwa kepada
siapapun selain kepada 'Atha' bin Abi
Rabah dan sahabatnya kemudian kita
telah datang meminta fatwa kepada
orang ini seorang yang tidak peduli
terhadap kehadiran Khalifah dan tidak
memberikan penghormatan yang layak
terhadapnya?."
Maka Sulaiman berkata kepada
putranya, "Orang yang telah kamu lihat
ini -wahai anakku- dan yang kamu lihat
kita merendah di hadapannya dialah
'Atha' bin Abi Rabah, pemilik fatwa di
Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin

Abbas radhiyallahu anhuma di dalam


kedudukan yang besar ini."
Kemudian Khalifah melanjutkan
perkataannya, "Wahai anakku, belajarlah
ilmu, karena dengan ilmulah orang yang
rendah akan menjadi mulia, dan orang
yang tadinya budak akan melebihi
derajat raja."
Perkataan Sulaiman bin Abdul
Malik
kepada
putranya
tentang
kedudukan ilmu tidaklah berlebihan.
Karena 'Atha' bin Abi Rabah pada masa
kecilnya adalah hamba sahaya milik
seorang perempuan penduduk Mekkah.
Akan tetapi, Allah SWT memuliakan
budak Habasyah ini, dengan meletakkan
kedua kakinya semenjak kecil di jalan
ilmu. Dia membagi waktunya menjadi
tiga bagian: satu bagian untuk majikan
perempuannya, melayaninya dengan
sebaik-baik pelayanan dan memberikan
hak-haknya dengan sempurna. Dan satu
bagian dia jadikan untuk Tuhannya.
Waktu ini dia gunakan untuk beribadah
dengan sepenuhnya, sebaik-baiknya dan
seikhlas-ikhlasnya kepada Allah SWT.
Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk
mencari ilmu.
Dia banyak berguru kepada
sahabat-sahabat Rasulullah saw yang
masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu
mereka yang banyak dan murni. Dia
berguru kepada Abu Hurairah, 'Abdullah
bin Umar, 'Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Az-Zubair dan sahabatsahabat mulia lainnya radhiyallahu

anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu,


fiqih dan hadits Rasulullah saw.
Ketika majikan perempuannya
melihat bahwa budaknya telah menjual
jiwanya kepada Allah dan mewakafkan
hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia
melepaskan haknya terhadap 'Atha',
kemudian memerdekakannya sebagai
bentuk taqarrub kepada Allah, mudahmudah Allah menjadikannya bermanfaat
bagi Islam dan kaum muslimin.
Sejak hari itu, 'Atha' bin Abi
Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai
tempat tinggalnya, sebagai rumahnya
tempat dia berteduh dan sebagai sekolah
tempat dia belajar di dalamnya, serta
tempat shalat yang dia ber-taqarrub
kepada Allah dengan penuh ketakwaan
dan keta'atan. Hal ini membuat ahli
sejarah berkata, "Masjid Haram menjadi
tempat tinggal 'Atha' bin Abi Rabah
kurang lebih dua puluh tahun."
Seorang tabi'in yang mulia, 'Atha'
bin Abi Rabah ini telah sampai kepada
kedudukan yang sangat tinggi di dalam
bidang ilmu dan sampai kepada derajat
yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa
orang semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa 'Abdullah
bin Umar radhiallahu 'anhuma sedang
menuju ke Mekkah untuk beribadah
umrah. Lalu orang-orang menemuinya
untuk bertanya dan meminta fatwa,
maka 'Abdullah bin Umar berkata,
"Sungguh aku sangat heran kepada
kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kalian mengerumuniku untuk

menanyakan tentang masalah-masalah


tersebut sedangkan di tengah-tengah
kalian sudah ada 'Atha' bin Abi
Rabah?!."
'Atha' bin Abi Rabah telah sampai
kepada derajat agama dan ilmu dengan
dua sifat:
Pertama, bahwa dia mampu
menjadikan dirinya sebagai pemimpin
atas nafsunya. Dia tidak memberikan
kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang
tidak berguna.
Kedua, dia mampu menjadikan
dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di
dalam perkataan dan perbuatan yang
melebihi keperluan.
Muhammad bin Suuqah bercerita
kepada pengunjungnya, "Maukah kamu
mendengar suatu ucapan, barangkali
ucapan ini dapat memberi manfaat
kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?." Mereka berkata, "Baik."
Dia berkata, "Pada suatu hari,
'Atha' bin Abi Rabah menasehatiku, dia
berkata, 'Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami
dahulu tidak menyukai perkataan yang
sia-sia."
Lalu aku berkata, Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?

Atha' berkata, Dahulu mereka


menganggap setiap perkataan yang bukan
membaca atau memahami Kitab Allah
SWT sebagai perkataan sia-sia. Demikian
pula yang bukan meriwayatkan dan
mengkaji hadits Rasulullah saw atau
menyuruh yang ma'ruf dan mencegah
yang mungkar atau ilmu yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT
atau kamu berbicara tentang kebutuhan
dan ma'isyah (pekerjaan)mu yang
memang harus dibicarakan.
Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata,
Apakah kamu mengingkari Sesungguh-

nya bagi kamu ada (malaikat-malaikat)


yang mengawasi (pekerjaanmu) " (QS.
Al-Infithar : 10), dan bahwa bersama
setiap kamu ada dua malaikat "Seorang

duduk di sebelah kanan dan yang lain


duduk di sebelah kiri. Tiada suatu
ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir" (QS. Qaaf : 17-18).
Kemudian dia berkata, "Apakah
salah seorang di antara kita tidak malu,
jika buku catatannya yang dia penuhi
sepanjang siangnya dibuka di hadapannya lalu dia menemukan apa yang
tertulis di dalamnya bukan dari urusan
agamanya dan bukan pula kepentingan
dunianya?!"

Anda mungkin juga menyukai