Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Atresia Ani

Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus,
rectum atau keduanya (Betz, 2002).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.
Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rectum (Purwanto, 2001)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Donna L. Wong, 2003: 205).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan.
Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak
adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh,
hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang
mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani.
Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus
imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk
membuat saluran seperti keadaan normalnya
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3.

Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam macam jarak dari
peritoneum

4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung


B. Anatomi Fisiologi

C. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.

Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur

2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan


3.

Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.

D. Patofisiologi
Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses
perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam
perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan
berkembang jadi genitor urinary dan struktur anoretal.
Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon
antara 12 minggu atau tiga bulan selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena
abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus imperforate
ini terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan
feses tidak dapat dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya 'fistula. Obstuksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya Apabila
urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi

berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki- laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke urethra
(rektourethralis)

E. Manifestasi Klinis
1.Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3.Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4.Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5.Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6.Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.
7.Perut kembung (Betz, 2002).
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1. Asidosis hiperkioremia.
2. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang.
a.

Eversi mukosa anal

b. Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)


5.

Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

6. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)


7. Prolaps mukosa anorektal.
8. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)n (Ngastiyah, 1997 : 248)
G. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.

2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.


3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Wong, Whaley. 1985)
H. Penatalaksanaan Medis
1. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan.
Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan
kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur
penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan
pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat
badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong
rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan
membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut
dilubangi dengan hemostr atau skapel.
2. Pengobatan
a.

Aksisi membran anal (membuat anus buatan)

b.

Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi
sekaligus (pembuat anus permanen)
(Staf Pengajar FKUI, 2005).

I.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada
gangguan ini.
2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
3.

Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya


kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai
keujung kantong rectal.

4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.

5.

Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai
melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek
tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

6. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan


a.

Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.

b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus
dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus.
Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c.

Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas
pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan
dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

J.

Pemeriksaan Penunjang

1.

Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada
gangguan ini. Pemeriksaan fisik rectum kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.

2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
3.

Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya


kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai
keujung kantong rectal.

4.

Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. Ultrasound

terhadap

abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
5.

Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai
melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek
tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
1. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut
2. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini
harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus
impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.

3. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan
kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda
radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
4. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
5. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari
adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
6. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
7. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
8. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
9. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus
urinarius.
K. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1. Asidosis hiperkioremia.
2. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang.\
a.

Eversi mukosa anal

b. Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)


5. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)

7. Prolaps mukosa anorektal.


8. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi). (Ngustiyah, 1997 : 248)
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Dx Pre Operasi
a.

Konstipasi berhubungan dengan aganglion.

b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.


c.

Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.
2. Dx Post Operasi

a.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.

b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.


M. INTERVENSI
1. Diagnosa Pre Operasi
Dx. 1 Konstipasi berhubungan dengan aganglion
Tujuan

Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.


Kriteria Hasil
a.

Penurunan distensi abdomen.

b. Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi

1. Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order


R/ Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak.
2. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam
R/ Meyakinkan berfungsinya usus
3. Ukur lingkar abdomen

R/ Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi


Dx. 2 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah
Tujuan

Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan


Kriteria Hasil
a.

Output urin 1-2 ml/kg/jam

b. Capillary refill 3-5 detik


c.

Turgor kulit baik

d. Membrane mukosa lembab


Intervensi

1. Monitor intake output cairan


R/ Dapat mengidentifikasi status cairan klien
2. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV
R/ Mencegah dehidrasi
3. Pantau TTV
R/ Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang tinggi
Dx 3 Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.
Tujuan

: Kecemasan orang tua dapat berkurang


Kriteria Hasil

: Klien tidak lemas

Intervensi :
1.

Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran
pencernaan normal. Gunakan alay, media dan gambar
R/ Agar orang tua mengerti kondisi klien

2. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua


R/ Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi
R/ Membantu mengurangi kecemasan klien

2. Diagnosa Post Operasi


Dx 1 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.
Tujuan

Klien tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.


Intervensi :
1. Gunakan kantong kolostomi yang baik
2. Kosongkan kantong ortomi setelah terisi atau 1/3 kantong
3. Lakukan perawatan luka sesuai order dokter
Dx 2 Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Tujuan

:
Orang tua dapat meningkatkan pengetahuannya tentang perawatan di rumah.
Intervensi :
1. Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya pemberian makan tinggi kalori tinggi protein.
2. Ajarkan orang tua tentang perawatan kolostomi.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta
: EGC.
Brunner and Suddarth. 1996). Text book of Medical-Surgical Nursing. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.
Doengoes Merillynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25.
Jakarta: EGC
Long, Barbara. C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan. USA: CV Mosby
Prince A Sylvia. 1995. Patofisiologi Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah Jakarta:
EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed),
Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai