Anda di halaman 1dari 38

PENDAHULUAN

Indonesia selalu diindentikkan dengan kekayaan alam yang melimpah, baik


dari segi sumber daya alam hayati maupun sumber daya alam tambang. Besarnya
potensi kekayaan alam tambang yang dimiliki oleh Indonesia tersebut, membuatnya
disebut-sebut sebagai negara dengan peringkat keenam yang memiliki kekayaan
sumber daya tambang. Hal inilah yang membuat investor-investor, baik lokal maupun
asing, tertarik untuk terjun dalam industri bisnis pertambangan.
Secara umum, industri pertambangan di Indonesia dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu industri minyak dan gas bumi (migas), dan industri mineral dan batubara
(minerba). Meski banyak pihak yang memprediksi bahwa industri pertambangan di
Indonesia tidak akan bertahan selamanya mengingat kondisi cadangan hasil tambang
terutama migas yang semakin menipis, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
keduanya memiliki peran penting dalam pembangunan dan perekonomian nasional,
yaitu antara lain sebagai penjamin sumber pasokan energi dan bahan baku bagi
pengembangan industri dalam negeri, dan menjadi sumber penerimaan negara.
Industri minyak dan gas bumi (migas), sebagai primadona dalam industri
pertambangan, memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan industri lain pada
umumnya, terutama terkait dengan konsep industri hulu migasnya. Bisnis hulu migas
memiliki empat karakter utama (SKK Migas, 2013). Pertama, pendapatan baru
diterima bertahun-tahun setelah pengeluaran direalisasikan. Kedua, bisnis ini
memiliki risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih. Ketiga,
usaha hulu migas memerlukan investasi yang sangat besar. Namun, di balik semua
risiko tersebut, industri ini memiliki karakter keempat, yaitu menjanjikan keuntungan
yang sangat besar.
Dalam konteks kontribusi kepada negara, industri migas setidaknya
menyumbang secara langsung kepada negara melalui Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) dan pajak, baik Pajak Penghasilan (PPh)
migas dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor migas. Dilihat dari kontribusinya,
peranan migas dalam PNBP SDA sangat dominan dibandingkan dengan peranan

penerimaan SDA yang lain. Dari data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP),
pada tahun 2013 PNBP migas berkontribusi sebesar 203 triliun rupiah atau 89% dari
keseluruhan penerimaan sumber daya alam, sedangkan pada tahun 2014, jumlah
tersebut meningkat menjadi 216 triliun rupiah atau 90% dari keseluruhan penerimaan
sumber daya alam. Apabila dilihat dari kontribusi PPh migas terhadap penerimaan
pajak dalam negeri secara keseluruhan, peranan PPh migas juga tidak kalah penting.
Industri ini mampu menyumbang 88 triliun rupiah pada tahun 2013 atau sebesar
8,55% dari total penerimaan pajak dalam negeri dan 87 triliun rupiah atau sebesar
7,88% pada tahun 2014. Jumlah ini hanya kalah dari penerimaan PPh non migas dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang
memang menjadi andalan penerimaan pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyadari bahwa industri migas memiliki
keunikan karakteristik dan keistimewaan tersendiri, yang tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap penerimaan pajak dari sektor industri migas itu sendiri. Oleh
karena itu, pada tahun 2012 DJP membentuk satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
yang secara khusus bertugas mengadministrasikan para Wajib Pajak yang bergerak
pada sektor industri migas, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi
(KPP Migas). Selain bertujuan untuk memberikan pelayanan perpajakan yang lebih
optimal terhadap Wajib Pajak industri migas, pembentukan KPP Migas ini juga
bertujuan untuk mempermudah pengawasan penyetoran pajak dari para Wajib Pajak
industri migas yang terkenal cukup rumit proses bisnisnya.
Melihat keunikan karakteristik dan peranan pajak dari industri migas, maka
dibutuhkan suatu pembahasan tersendiri dalam rangka memahami bagaimana proses
bisnis dalam industri migas dan aspek-aspek perpajakan yang terkait dengan industri
migas. Oleh karena itu, makalah ini secara khusus disusun dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
GAMBARAN UMUM INDUSTRI MIGAS
Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam bagian pendahuluan, bahwa
industri migas adalah industri yang unik dan memilik karakteristik yang berbeda

dengan industri pada umumnya. Dalam industri migas ada berbagai kegiatan yang
terkait, yaitu meliputi usaha pencarian (exploration), pengembangan (development),
serta produksi cadangan migas, usaha pengolahan migas (refinery); dan usaha
angkutan dengan kapal laut (tanker) serta usaha pemasaran migas serta produkproduk hasil pengolahan yang lain. Pencarian (exploration) minyak dan gas bumi
merupakan

kegiatan

untung-untungan

(gambling),

karena

meskipun

telah

dipersiapkan secara cermat dengan biaya yang besar, tidak ada jaminan bahwa
kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan cadangan minyak (PSAK 29,
1991). Sedangkan kegiatan lain tidak jauh berbeda dengan kegiatan pada industri lain,
seperti refinery yang tidak banyak berbeda dengan kegiatan pengolahan pada industri
lain dan usaha tanker yang merupakan bagian dari usaha perkapalan, serta usaha
lainnya.
Landasan Hukum Industri Migas
Pada era sebelum tahun 1960, industri migas di Indonesia menganut aturan
dari Indische Mijn Wet Tahun 1899. Aturan ini mengatur industri migas dalam bentuk
kerja sama konsesi, dimana pemerintah menyerahkan suatu daerah tertentu kepada
perusahaan swasta dalam rangka penguasaan dan pemilikan sumber daya alam yang
terkandung di daerah tersebut. Seluruh hasil migas yang diperoleh menjadi milik
perusahaan swasta tersebut, sedangkan pemerintah hanya mendapatkan sejumlah
royalti tertentu sesuai perjanjian.
Pada masa tahun 1960-1966, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi. Peraturan ini ditetapkan dalam rangka mengatasi kelemahan pada aturan
sebelumnya yang dianggap bertentengan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
peraturan ini, industri migas menganut konsep kerja sama kontrak karya, dimana
pemegang kuasa pertambangan adalah perusahaan milik Negara (Pertamina),
sedangkan perusahaan swasta (baik asing maupun dalam negeri) hanya bertindak
sebagai kontraktor (mining right dan economic right).

Kerja sama kontrak karya memiliki kelemahan yang utama, yaitu keberadaan
mining right dan economic right pada pihak kontraktor, sedangkan Perusahaan
Negara belum diberikan wewenang manajemen untuk mengarahkan dan menentukan
kegiatan kontraktor. Oleh sebab itu, pada tahun 1966-2001 diperkenalkan konsep
kerja sama kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) melalui
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Dalam kontrak bagi hasil, ditetapkan
bahwa wewenang berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia (dalam hal ini
diwakili oleh Pertamina). Peranan kontraktor hanya sebagai penyandang dana dan
pelaksana kegiatan operasi perminyakan. Model kerja sama ini pun memiliki
kelemahan yang utama, dimana regulator, supervisor dan pelaku hanya dipegang oleh
satu institusi yaitu Pertamina.
Tahun 2001 diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, yang menandai perubahan mendasar dalam industri Migas
nasional. Melalui UU Migas ini penguasaan dan pengusahaan Migas yang
sebelumnya dipegang Pertamina (berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971) dicabut.
Penguasaan minyak dan gas bumi kembali diserahkan ke pemerintah sebagai
pemegang Kuasa Pertambangan (Pasal 4 Ayat 2), di mana kemudian pemerintah
membentuk Badan Pelaksana (BP Migas) untuk menyelenggarakan Kegiatan Usaha
Hulu. Kegiatan Usaha Hulu (eksplorasi dan eksploitasi) ini dilaksanakan dan
dikendalikan oleh Badan Pelaksana melalui Kontrak Kerja Sama. Sedangkan
pengusahaan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan melalui pemberian Izin Usaha yang
terbuka bagi Badan Usaha. Dengan demikian, melalui UU Migas, pengusahaan Migas
menjadi terbuka. Badan Usaha (semacam BUMN, BUMD, Koperasi, Usaha Kecil,
dan Badan Usaha Swasta) dan Bentuk Usaha Tetap (perusahaan multinasional/asing)
berkesempatan terlibat bisnis Migas.
Lebih khusus lagi, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

(sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2005)


yang mengatur pelaksanaan dan pengawasan Kegiatan Usaha Hulu Migas, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak
dan Gas Bumi yang mengatur pelaksanaan dan pengawasan Kegiatan Usaha Hilir
Migas agar prinsip-prinsip persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan
terlaksana.
Taksonomi Industri Migas Indonesia
Secara kategoris terdapat dua jenis kegiatan usaha di industri migas, yakni
Usaha Inti (core business) dan Usaha Penunjang (non-core business). Usaha Inti
terdiri atas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir, sementara Usaha
Penunjang meliputi Jasa Penunjang (services) dan Industri Penunjang (supporting
industries).
A Usaha Inti (core business)
1 Kegiatan Usaha Hulu Migas
Kegiatan usaha hulu migas terdiri atas kegiatan usaha eksplorasi dan
eksploitasi. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh
informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan migas di Wilayah Kerja yang ditentukan, sedangkan
kegiatan eksploitasi merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
memproduksi migas yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,
pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk
pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan
2

lain yang mendukungnya.


Kegiatan Usaha Hilir Migas
Kegiatan usaha hilir

terdiri

atas

kegiatan

usaha

Pengolahan,

Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga.


a Pengolahan
Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian,
mempertinggi mutu dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau
gas bumi, tapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

Pengolahan minyak mentah dilakukan pada kilang minyak bumi


sebagai sistem peralatan untuk mengolah minyak mentah (minyak bumi)
menjadi berbagai produk kilang. Produk hasil pengolahan minyak bumi
b

berupa berbagai jenis BBM dan produk-produk non-BBM.


Pengangkutan
Kegiatan pengangkutan migas adalah kegiatan pemindahan Minyak
Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari
tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi

melalui pipa transmisi dan distribusi.


Penyimpanan
Kegiatan penyimpanan migas

adalah

kegiatan

penerimaan,

pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas


Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan atau hasil olahan pada
lokasi diatas/dibawah tanah untuk tujuan komersial, misalnya depot dan
d

tanki timbun terapung (floating storage).


Niaga
Kegiatan Niaga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor
Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil
Olahan, termasuk gas melalui pipa.Untuk Kegiatan Usaha Niaga dibagi
menjadi 2 macam yaitu:
1 Usaha Niaga Umum (Wholesale) yaitu suatu kegiatan usaha pembelian,
penjualan, ekspor dan impor Bahan Bakar Minyak (BBM), Bahan Bakar
Gas (BBG), Bahan Bakar Lain (BBL) dan Hasil Olahan dalam skala
besar yang menguasai atau memiliki fasilitas dan sarana niaga dan
berhak menyalurkannya kepada semua pengguna akhir dengan
2

menggunakan merk tertentu.


Usaha Niaga Terbatas (Trading) merupakan usaha penjualan (Trading)
produk-produk niaga migas dalam hal ini adalah Minyak Bumi, BBM,
BBG, BBL, Hasil Olahan, Niaga gas bumi yang tidak memiliki fasilitas

dan Niaga terbatas LNG.


B Usaha Penunjang (non-core business)

Usaha Penunjang Migas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan


usaha Minyak dan Gas Bumi, terdiri dari:
Usaha Jasa Penunjang
Adalah kegiatan usaha jasa layanan dalam kegiatan usaha hulu dan kegiatan
usaha usaha hilir. Kegiatan Jasa Penunjang meliputi Jasa Konstruksi Migas
dan Jasa Non-Konstruksi Migas. Pada Jasa Konstruksi Migas terdiri dari
Jasa Perencanaan (design engineering), Pelaksanaan (EPC, Instalasi dan
Komisioning) dan Pengawasan Konstruksi. Sedangkan Jasa Non-Konstruksi
Migas adalah usaha jasa layanan pekerjaan selain jasa kontruksi dalam
menunjang kegiatan migas seperti: survei seismik & non seismik, pemboran,

inspeksi dan jasa lainnya.


Industri Penunjang

Adalah kegiatan usaha industri yang menghasilkan barang, material dan/atau


peralatan yang digunakan terkait sebagai penunjang langsung dalam kegiatan usaha
Migas. Kegiatan Industri Penunjang meliputi Industri Material, Peralatan Migas dan
Industri Pemanfaat Migas.
Cakupan Komoditas
Komoditas yang diusahakan, diproduksi dan diniagakan di industri migas
dapat dilihat sebagai berikut.
A Minyak Bumi
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin
mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan,
tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk
padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi.
B Gas Bumi
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi.

C Gas Metana Batubara (Coal Bed Methane)


Gas Metana Batubara (Coal Bed Methane) adalah gas bumi (hidrokarbon) di
mana gas metana merupakan komponen utamanya yang terjadi secara alamiah
dalam proses pembentukan batubara dalam kondisi terperangkap dan terserap
(terabsorbsi) di dalam batubara dan/atau lapisan batubara.
D Bahan Bakar Minyak
Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari
minyak bumi. Bahan Bakar Gas Bahan Bakar Gas adalah bahan bakar untuk
digunakan dalam kegiatan transportasi yang berasal dari Gas Bumi dan/atau hasil
olahan dari Minyak dan Gas Bumi.
E Bahan Bakar Lain
Bahan Bakar Lain adalah bahan bakar yang berbentuk cair atau gas yang berasal
dari selain minyak bumi, gas bumi, dan hasil olahan.
F LPG (Liquified Petroleum Gas)
LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan
penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas
propana, butana, atau campuran keduanya.
G LNG (Liquified Natural Gas)
LNG adalah Gas Bumi terutama terdiri dari metana yang dicairkan pada suhu
sangat rendah (sekitar minus 160o C) dan dipertahankan dalam keadaan cair
untuk mempermudah transportasi dan penyimpanan.
H Hasil Olahan Lainnya
Hasil Olahan adalah hasil dan/atau produk selain Bahan Bakar Minyak dan/atau
Bahan Bakar Gas yang diperoleh dari kegiatan usaha Pengolahan Minyak dan
Gas Bumi baik berupa produk akhir atau produk antara kecuali pelumas dan
produk petrokimia.
ASPEK PERPAJAKAN: HULU MIGAS
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (UU Migas) menyebutkan bahwa Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan
usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi
geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas

bumi di wilayah kerja yang ditentukan. Sedangkan Eksploitasi adalah rangkaian


kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja
yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian
minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya (Pasal 1
angka 8 dan 9 UU Migas).
Kegiatan eksplorasi meliputi kegiatan-kegiatan antara lain:
a
b
c
d

Mengusahakan ijin untuk memulai kegiatan eksplorasi di daerah tertentu.


Melakukan berbagai kegiatan penyelidikan geologis dan geofisika di lapangan.
Menginterpretasikan data yang dihasilkan dalam penyelidikan ini.
Melakukan pengeboran sumur, termasuk sumur uji stratigrafi di daerah yang

belum terbukti mengandung cadangan.


Memperoleh dan membangun aktiva tetap yang berhubungan dengan kegiatan di

atas.
Menggunakan jasa yang diperlukan sehubungan dengan kegiatan di atas.
Setelah proses eksplorasi, kegiatan berikutnya adalah pengembangan.

Pengembangan

merupakan

setiap

kegiatan

yang

dilakukan

dalam

rangka

mengembangkan cadangan terbukti minyak dan gas bumi sampai siap berproduksi.
Pengembangan cadangan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a

Penyediaan peralatan dan persediaan, yang meliputi: penyediaan angkutan alatalat berat, pembuatan jalan dan lokasi pengeboran, dan pengadaan alat dan
fasilitas pengeboran yang antara lain terdiri dari rig unit, mud logging unit,

wireline logging unit, cementing unit, platform, dan base camp.


Penambangan, pengaliran, pengumpulan, dan penyimpanan minyak dan gas

bumi.
Penyediaan sistem pengurusan yang telah diperbaiki.
Proses berikutnya adalah eksploitasi atau produksi. Produksi adalah semua

kegiatan dalam rangka pengangkatan minyak dan gas bumi ke permukaan bumi dari
cadangan terbukti serta pengakutannya ke stasiun pengumpul yang antara lain
meliputi kegiatan sebagai berikut:
a

Pengangkatan minyak dan gas bumi ke permukaan bumi.

Pengangkatan minyak dan gas bumi ke permukaan (lifting) merupakan kegiatan


yang berhubungan dengan pengangkatan minyak dan gas dari cadangan terbukti
sampai batas kepala sumur. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui tiga tahap
pengurasan.
1 Pengurasan tahap pertama dapat terjadi melalui tekanan alamiah (natural
lift), sembur buatan (artificial lift) dengan bantuan gas alam (gas lift), dan
penyedotan dengan pompa. Tekanan alamiah terjadi kalau di dalam
cadangan terdapat kandungan air atau gas tekanan tinggi dengan tenaga
untuk mendorong minyak ke permukaan bumi melalui lubang sumur. Kalau
tekanan alamiah tersebut tidak cukup kuat untuk mendorong minyak ke
permukaan bumi, maka digunakan sumur buatan dengan bantuan gas alam
2

(gas lift) atau dengan pompa (pumping lift).


Pengurasan tahap kedua dilakukan setelah produksi minyak dan gas bumi
dengan melalui pengurasan tahap pertama menjadi kurang ekonomis.
Pengurasan pada tahap ini dilakukan dengan menginduksikan suatu
dorongan (tenaga) buatan ke dalam formasi. Metode peluapan air adalah
metode paling umum digunakan yaitu dengan mengalirkan air bertekanan
tinggi ke dalam sumur injeksi untuk mendorong minyak dan di dalam

lapisan permukaan bumi.


Pengurasan tahap ketiga dilakukan dengan metode enhanced oil recovery,
yakni dengan menambah energy pada cadangan cara penginjeksian bahan
kimia atau energi ke dalam sumur untuk mendorong minyak di dalam
lapisan ke permukaan bumi sehingga sumur yang tidak berproduksi dapat

berproduksi kembali.
Proses pemisahan antara minyak, gas bumi, dan endapan dasar & air (Basic
Seiliment & Water/BS&W).
Proses pemisahan minyak meliputi pemisahan gas dan cairan separator dan

pemisahan minyak mentah, endapan dasar dan air melalui dehydrator.


Pengangkutan minyak dan gas dari permukaan bumi ke stasiun pengumpul atau
pusat pengumpul produksi dan selanjutnya ke lokasi distribusi.

Proses pengangkutan meliputi kegiatan mengangkut minyak dari permukaan


sumur ke tempat penimbunan sementara kemudian ke instalasi pemisahan, dan
selanjutnya ke tempat penimbunan di lapangan produksi dan yang akhirnya ke
d

lokasi distribusi.
Pengumpulan minyak mentah di tangki penimbunan.
Proses pengumpulan meliputi:
1 Pengumpulan sementara minyak dan gas bumi dari sumur ke tempat
penimbunan sementara sebelum proses pemisahan minyak, gas bumi dan
2

BS&W di instalasi pemisahan.


Pengumpulan minyak dari instalasi pemisahan ke lokasi stasiun pengumpul
dan/atau pusat pengumpulan produksi di lapangan.
Fungsi produksi pada umumnya dianggap berakhir pada saat minyak dan gas

bumi ke luar melalui katup saluran di pusat pengumpulan produksi. Dalam keadaan
dimana secara fisik atau operasional tidak seperti biasanya, fungsi produksi berakhir
pada saat minyak, gas bumi atau kondensat untuk pertama kali dialirkan ke pipa
utama, kendaraan pengangkut, pengilangan atau ke terminal laut.
Jenis Pertambangan Hulu Migas
Secara umum, kegiatan pertambangan hulu migas dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
A Onshore
Onshore adalah kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi mulai dari
eksplorasi, pengembangan, dan eksploitasi dimana wilayah kerja pertambangan
berada di daratan. Mobilitas piranti pertambangan onshore baik crew, peralatan
pengeboran, dan logistik sangat mudah dan tinggi. Juga storage area yang luas
sehingga menekan operational cost. Crew juga lebih nyaman bila bekerja di
onshore karena interaksi antar crew lebih intensif dan lebih luas, serta
komunikasi antar crew lebih mudah baik di dalam maupun di luar area.
Kebutuhan rig (alat pengebor) di onshore adalah untuk drilling
menembus reservoir minyak dan gas. Dalam produksi, selain mengandalkan

aliran alami dari sumur (umumnya untuk sumur baru), perusahaan minyak juga
mengandalkan pompa angguk untuk meningkatkan tekanan keluar dari reservoir.
B Offshore
Offshore adalah kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi mulai dari
eksplorasi, pengembangan, dan eksploitasi/produksi dimana wilayah kerja
pertambangannya terletak di lautan atau perairan baik itu dangkal maupun dalam.
Karena wilayah kerja pertambangan berbeda di perairan, maka kegiatan
pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig yang khusus untuk perairan.
Begitu deposit hidrokarbon ditemukan, maka tahap berikutnya adalah
membangun platform untuk aktivitas pengeboran dan eksploitasi.
Aspek Perpajakan Hulu Migas
Prinsip Pengenaan Pajak
a

Block Basis
Penghitungan bagi hasil dan Pajak Penghasilan (PPh) Migas dihitung
berdasarkan kegiatan usaha pada

suatu wilayah kerja (blok) pertambangan

migas.
Ring Fence Policy
Ring fence policy adalah kebijakan yang membatasi hak dan kewajiban
suatu KKKS di satu wilayah kerja pertambangan (WKP) tidak bisa
dikonsolidasikan ke WKP lainnya yang dimiliki oleh KKKS yang sama.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994
tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan
Gas Bumi, yang menyatakan kepada setiap kontraktor diberikan satu wilayah
kerja pertambangan (WKP). Tujuan dari kebijakan ini adalah agar KKKS yang
dimiliki satu perusahaan induk dan beroperasi di beberapa wilayah kerja tidak
dapat melakukan konsolidasi biaya dari beberapa wilayah tersebut, baik untuk
tujuan cost recovery maupun untuk tujuan perhitungan PPh Badan (tax
consolidation).

Sesuai prinsip ini, maka setiap block (wilayah kerja) harus

diusahakan oleh satu entity san setiap entity baik operator maupun partner yang

mempunyai penyertaan di suatu block wajib memiliki NPWP sendiri. Dalam hal
Wajib Pajak mengelola beberapa block, maka Wajib Pajak tersebut harus
membentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap WKP dan wajib memiliki
NPWP sendiri untuk tiap-tiap WKP.
Dalam PSC dimungkinkan terjadinya pengalihan interest atas pengelolaan
suatu WKP yang biasa dikenal dengan istilah Farm in Farm out. Apabila terjadi
pengalihan interest atas WKP, pemilik interest yang baru harus membentuk
badan tersendiri untuk penyertaan di WKP tersebut dan wajib mempunyai NPWP
c

sendiri.
Uniformity Principle
Sesuai dengan surat Menteri Keuangan nomor S-443a/MK.012/1982
tentang

interpretasi

dari

Keputusan

Menteri

Keuangan

nomor

267/KMK.012/1978, yaitu biaya-biaya dalam menghitung Penghasilan Kena


Pajak harus diartikan sama dengan biaya yang dihitung berdasarkan PSC (biaya
yang diatur dalam Exhibit C Kontrak Bagi Hasil). Dengan demikian cost of oil
harus sama dengan cost of tax artinya bahwa biaya-biaya operasi yang boleh
dibebankan (cost recoverable) menurut PSC harus sama dengan biaya-biaya
yang boleh dibebankan menurut UU PPh (tax deductible) dengan beberapa
d

pengecualian.
Assume and discharge
Pemerintah menanggung dan membebaskan kontraktor dari pajak-pajak
Indonesia lainnya termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pungutan ekspor
dan impor terhadap barang-barang, peralatan dan barang-barang persediaan yang
dibawa ke Indonesia oleh kontraktor. Dengan diterbitkannya PP 79/2010,
kontrak-kontrak yang ditandatangani setelah berlakunya PP 79/2010 tersebut,
kontraktor berkewajiban membayar sendiri pajak-pajak tidak langsung tersebut

di atas (assume and discharge tidak diberlakukan lagi).


Kompensasi Kerugian
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU
PPh) yang merupakan perubahan keempat Undang-Undang No. 7 Tahun 1983,
menyatakan bahwa kerugian yang diderita dalam satu tahun pajak dapat

dikompensasikan ke penghasilan tahun pajak berikutnya selama lima tahun


berturut-turut (Pasal 6 ayat (2)). Pembatasan jangka waktu kerugian yang dapat
dikompensasikan tidak dikenal dalam PSC sesuai dengan PP 79 Tahun 2010.
Atas biaya operasi yang belum di-recover pada tahun-tahun sebelumnya (Prior
Years Unrecovered Operating Cost) diizinkan untuk dilakukan recovery setiap
tahun berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Aspek Perpajakan Berdasarkan Periodisasi Migas Indonesia
Aspek perpajakan dalam migas dibagi dalam beberapa periode, yaitu:
a

Periode Pra-1984
Pada periode ini UU pajak yang berlaku adalah Ordonansi Pajak
perseroan tahun 1925. Periode ini dibagi dalam :
1 Periode
sebelum
berlakunya
Kep.

Menteri

Keuangan

No.

267/KMK.012/1978
Pada periode ini setiap KPS berkewajiban untuk menghitung
besarnya Net Operating Income (NOI) dari produksi migas yang dihasilkan
setiap tahun buku yang besarnya dihitung dari Equity to be split (ETS) yang
merupakan sisa dari total production dikurangi cost oil/recovery sebesar
maksimum 40%. Selanjutnya dari NOI tersebut ditetapkan besarnya bagian
Pertamina/Pemerintah dan bagian kontraktor, umumnya sebesar 85% : 15%
untuk minyak. Dalam jumlah 85% NOI tersebut dianggap bahwa semua
kewajiban pajak dan pungutan kepada pemerintah termasuk di dalamnya dan
pembayaran dianggap telah dilakukan melaui pemerintah. Dengan demikian
bagian kontraktor senesar 15% dianggap merupakan penghasilan bersih
2

setelah pajak (net income after tax).


Periode
sebelum
berlakunya

Kep.

Menteri

Keuangan

No.

267/KMK.012/1978
Ketentuan ini mengatur :
a Besarnya bagian Pertamina/Pemerintah dan bagian kontraktor adalah
65,91% dan 34, 09%. Penetapan ini diperoleh berdasarkan Ordonansi
1925, besarnya tarif pajak perseroan sebesar 45% dan tarif efektif Pajak

atas Bunga, Dividen dan Royalti (PBDR) adalah 11% yang diperoleh
dari 20% x (100% - 45%), total pajak menjadi 56%.
setelah pajak adalah 44% (100% - 56%).

Penghasilan

Berdasarkan kontrak

perjanjian bagi hasil antara pemerintah dengan kontraktor disepakati


pembagian prosentase 85% : 15%. Jumlah 15% merupakan neto bagian
b

kontraktor.
Ketentuan mengenai pembatasan cost recovery maksimum sebesar 49%

dihapuskan.
Perhitungan depresiasi atas assets didasarkan pada metode double

d
e

declining balance.
Penetapan investment credit sebesar 20%
Penetapan Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga pasar
untuk 5 tahun. DMO adalah kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap untuk menyerahkan sebagian minyak dan gas bumi dari bagiannya
kepada negara melalui Badan Pelaksana dalam rangka penyediaan
minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang

f
b

besarnya diatur didalam Kontrak Kerja Sama.


Perhitungan biaya oleh kontraktor mengikuti general accepted

accounting principles (GAAP)


Periode 1984 sampai dengan 1994
Dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, sejak 1 Januari 1984 tarif PPh berubah menjadi 35% dan pajak
deviden tetap 20%. Dengan adanya penurunan tarif tersebut, maka penetapan
besarnya bagian kontraktor melalui cara gross-up sebagai dasar penghitungan
Penghasilan Kena Pajak harus disesuaikan lagi agar hak Pertamina/Pemerintah
tidak berkurang sebagai akibat penurunan pendapatan pajak.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 458/KMK.012/1984 tentang
Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Terutang oleh
Kontraktor yang Mengadakan Kontrak Production Sharing dalam Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) diatur mengenai besarnya PPh yang

terutang oleh Kontraktor sebesar 35% dari Penghasilan Kena Pajak dan 20% dari
keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan.
Dalam Pasal 33 UU No 7 Tahun 1983 diatur bahwa, Penghasilan kena
pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas
bumi sehubungan dengan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat
berlakunya Undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuanketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas
Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
Dengan demikian, ketentuan dalam Undang-undang ini baru berlaku terhadap
penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan
minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam Kontrak Bagi Hasil, apabila
perjanjian tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini.
First Trance Petroleum (FTP) diberlakukan atas kontrak yang
ditandatangani mulai tahun 1988, sebesar 20% dari produksi (gross). Tujuan
pengenaan FTP ini adalah untuk menjamin pemerintah menerima bagian hasil
produksi.

FTP ini nantinya akan dibagi antara kontraktor dam pemerintah.

Kewajiban DMO oleh kontraktor ditentukan bervariasi antara harga ekspor.


Sesuai dengan perkembangan Undang-Undang perpajakan serta peraturan
pelaksanaannya, maka timbul kewajiban kontraktor selaku wajib pungut, yaitu :
PPh Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan;
PPh Pasal 23 atas penghasilan yang dibayarkan kepada atau terutang oleh
Wajib Pajak dalam negeri, berupa deviden, bunga, sewa, royalty, imbalan

jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia


PPh Pasal 26 atas penghasilan yang dibayarkan kepada atau terutang oleh
Wajib Pajak luar negeri, berupa deviden, bunga, sewa, royalti, imbalan jasa
teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia dan
keuntungan setelah dikurangi pajak dari suatu Badan Usaha Tetap (BUT) di

Indonesia.
Periode Pasca 1994
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan sejak 1 Januari 1995 maka tarif PPh berubah menjadi 30% dan pajak

deviden tetap 20%. Dengan adanya penurunan tarif tersebut, maka penetapan
besarnya bagian kontraktor melalui cara gross-up sebagai dasar perhitungan
Penghasilan Kena Pajak harus disesuaikan lagi agar hak Pertamina/Pemerintah
tidak berkurang sebagai akibat penurunan pendapatan pajak. Besarnya bagian
hasil Pertamina/Pemerintah sebesar 73,22% diperoleh dari berdasarkan UU No.
10/1994, besarnya tarif PPh 30% dan berdasarkan tarif efektif besarnya PBDR
adalah 14%.
Dalam Pasal 33 A UU Nomor 10 Tahun 1994 diatur bahwa Wajib Pajak
yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi
berdasarkan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak
Bagi Hasil sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama
dimaksud. Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan
untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang
dilakukan dalam bentuk kontrak bagi hasil yang ditanda tangani setelah
berlakunya Undang-undang ini.
Untuk kewajiban kontraktor selaku Wapu diperluas untuk PPh Pasal 23
dengan menambahkan hadiah dan jasa-jasa lain di luar jasa teknik, jasa
manajemen, jas konstruksi dan jasa konsultan. Dan untuk PPh Pasal 26 diperluas
dengan menambahkan jasa-jasa lain seperti imbalan sehubungan dengan
pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, serta pension dan pembayaran
d

berkala lainnya.
Periode Pasca UU No. 36 Tahun 2008
Dengan berlakunya Undang-undang No. 36 Tahun 2008, tarif PPh
berubah menjadi 25% dan pajak deviden tetap 20%. Dengan adanya penurunan
tarif tersebut, maka penetapan besarnya bagian kontraktor melalui cara gross-up
sebagai dasar perhitungan Penghasilan Kena Pajak harus disesuaikan lagi agar
hak Pemerintah tidak berkurang sebagai akibat penurunan pendapatan pajak.

Besarnya bagian hasil Pemerintah sebesar 71.16%, besarnya tarif PPh 28% dan
berdasarkan tarif efektif besarnya PBDR adalah 40%.
Kewajiban Perpajakan Kontraktor Migas
Berdasarkan Section V butir 5.3.2 PSC antara lain diatur bahwa Pemerintah
(d/h. Pertamina) akan menanggung, kecuali kewajiban kontraktor untuk membayar
PPh Badan dan PPh final atas laba setelah pajak, semua pajak-pajak Indonesia
lainnya atas kontraktor, termasuk PPN, transfer tax, pajak-pajak atas impor dan
ekspor bahan baku, peralatan dan perlengkapan dan lain-lain. Berdasarkan Section V
butir 5.3.2 PSC tersebut maka kewajiban perpajakan kontraktor hanyalah terbatas
pada PPh Badan dan PPh final atas laba setelah pajak dan PPh pemotongan dan
pemungutan, sedangkan pajak lainnya akan ditanggung oleh pemerintah, yaitu pajakpajak tersebut apabila sudah dibayar oleh kontraktor akan dikembalikan oleh
pemerintah kepada kontraktor. Kewajiban perpajakan kontraktor migas meliputi
kewajiban formal dan kewajiban material.
a

Kewajiban Formal
Kewajiban formal perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009,
berlaku sama terhadap Wajib Pajak KKKS maupun Wajib Pajak non migas
lainnya, sebagai berikut:
Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
Setiap blok (wilayah kerja pertambangan) harus diusahakan oleh satu entitas
dan di suatu blok wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Menyelenggarakan pembukuan dan wajib menyimpan pembukuan tersebut
selam 10 tahun di Indonesia
Melakukan pembayaran dan pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.
Kewajiban Material
Kewajiban material Wajib Pajak KKKS meliputi kewajiban:
1 PPh Badan

Kontraktor harus membayar PPh Badan dan pajak final atas laba setelah

pajak (Branch Profit Tax/BPT).


Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, Penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan serta penyusutan sebagaimana dimaksud dalam

UU PPh dan PP Nomor 79 Tahun 2010.


Pasal 21/22/23/26/4(2) Final
Ketentuan mengenai pemotongan dan pemungutan untuk kontraktor secara

umum mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku.


PPN, PBB, dan Pajak Lainnya
a Pemerintah menanggung dan membebaskan pajak lainnya (PPN, PBB,
b

Bea Masuk) untuk kontrak yang ditandatangani sebelum PP 79/2010;


Sesuai dengan ketentuan UU PPN serta peraturan pelaksanaannya,

crude oil, gas bumi bukan merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
Untuk kontrak-kontrak yang ditangani sebelum Undang-undang Migas
No. 22 Tahun 2001 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
20/PMK.03/2005 bahwa PPN tidak dipungut atas impor barang modal

untuk kegiatannya eksplorasi migas.


Untuk kontrak-kontrak yang ditangani setelah Undang-undang Migas
No. 22 Tahun 2001, atas impor barang modal untuk kegiatan eksplorasi
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 27/PMK.011/2012
diatur bahwa atas impor barang modal untuk kegiatannya eksplorasi

migas dibebaskan dari pengenaan PPN.


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010,
Kontaktor migas ditunjuk sebagai pemungut PPN dengan tarif umum
10% dikalikan Dasar Pengenaan Pajak. Pengecualian atas ketentuan
tersebut dituangkan dalam Pasal 5 ayat (1), dimana PPN dan PPh BM
tidak dipungut oleh kontraktor dalam hal :
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,(sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah;

Pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang menurut ketentuan


perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak

dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN;


Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan bukan

Bahan Bakar Minyak oleh PT.PERTAMINA (Persero);


Pembayaran atas rekening telepon;
Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh

perusahaan penerbangan; atau


Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak

dikenakan PPN.
Sama halnya dengan PPN, maka kontraktor tidak akan dibebani dengan
PBB, Pajak daerah, dan Retribusi daerah untuk kontrak-kontrak yang

ditandatangani sebelum PP Nomor 79 Tahun 2010.


Pemerintah akan membayar pajak-pajak tersebut yang diambil dari
bagian pemerintah (government share) sesuai dengan tagihan yang
diterima oleh Kontraktor.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010


Peraturan Pemerintah (PP) ini berisi ketentuan khusus di bidang
pertambangan minyak dan gas bumi, utamanya tentang cost recovery untuk
menghitung bagi hasil dan sekaligus untuk perpajakan yang wajib dijadikan dasar
dalam kontrak di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Adapun pokok-pokok
ketentuan yang diatur dalam perturan pemerintah ini adalah sebagai berikut:
A Prinsip Biaya
1 Berdasarkan prinsip bagi hasil, investor diundang untuk membawa modal,
teknologi dan menanggung risiko operasi. Dengan demikian, biaya modal
2

tidak dapat dibebankan.


Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh Kontraktor dalam rangka
Operasi Perminyakan menjadi milik/kekayaan Negara yang pembinaannya
dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana.

Atas barang dan peralatan dalam rangka cost recovery tidak dapat dilakukan

penilaian kembali (revaluasi).


Kontraktor mendapatkan kembali Biaya Operasi sesuai dengan Rencana
Kerja dan Anggaran dan Otorisasi Pengeluaran Finansial (AFE) yang telah
disetujui oleh Badan Pelaksana, setelah Wilayah Kerja menghasilkan

produksi komersial.
Saat mulai produksi komersial suatu Wilayah Kerja ditetapkan oleh Menteri
yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi Kegiatan Usaha Minyak
dan Gas Bumi (Menteri ESDM) melalui persetujuan rencana pengembangan

lapangan pertama (Plan of Development I).


Pengembalian Biaya Operasi dilakukan dengan memperhitungkan hasil
produksi minyak dan/atau gas bumi untuk masing-masing persetujuan

pengembangan lapangan dari Wilayah Kerja yang bersangkutan.


Jenis, norma, dan batasan biaya dalam PP ini mengikuti konsep best
business practices, arms length principle dan good engineering practice
sebagai dasar penyusunan dan pelaksanaan kontrak, termasuk kontrak yang

berjalan.
Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program & Budget/WP&B)
dan Authorization for Expenditure (AFE) oleh BPMIGAS mengacu pada

prinsip tersebut di atas.


Pajak Tidak Langsung, PBB serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

merupakan komponen dari cost recovery.


10 Pemerintah menetapkan besarnya biaya pada tahapan Eksplorasi setiap
tahunnya di bidang usaha hulu migas.
11 Biaya-biaya yang terjadi selama masa Eksplorasi di suatu wilayah kerja,
pengembalian biayanya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang
berproduksi secara komersial di wilayah kerja tersebut.
12 Biaya-biaya selanjutnya dalam rangka melaksanakan kegiatan Eksplorasi di
lapangan lain pada wilayah kerja yang sama (di luar rencana pengembangan
yang telah disetujui/Plan of Development I - PoD I), pengembalian biayanya
ditangguhkan sampai dengan lapangan tersebut berproduksi komersial.

B Standar dan Pembatasan Biaya


1 Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan
pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan:
a dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait
langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja
b

kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;


menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;


pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis
(best business practice) dan keteknikan yang baik (good engineering

practice);
kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran
yang telah mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana

2
3

sebagaimana.
Audit dilakukan berdasarkan standar atau norma, jenis, kategori dan besaran
biaya yang diterbitkan oleh Badan Pelaksana.
Biaya-biaya tertentu harus memenuhi persyaratan tambahan sebagai berikut:
a untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan
b

untuk operasi perminyakan yang menjadi milik negara


untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di

Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang:
tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
tidak rutin.
untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada
karyawan/pekerja dalam bentuk natura/kenikmatan dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;


untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang perpajakan;
untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan
yang dikeluarkan hanya pada masa eksplorasi;

untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan


syarat:
digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat

yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan


besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan

Menteri ESDM.
Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga
kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah
mendapatkan pertimbangan dari Menteri ESDM.

Batasan maksimum remunerasi tenaga kerja asing ini telah diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Keuangan nomor 258/PMK.03/2011 tentang Batasan Maksimum
Tenaga Kerja Asing untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi.
4

Penyusutan
Dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (Placed Into Service).
Menggunakan metode Declining balance.
Aktiva yang tidak dapat digunakan lagi tetap disusutkan sesuai masa
manfaat awal.
Kelompok aktiva diatur dalam lampiran PP ini.
Gas Cost
a Biaya langsung minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi,
sedangkan biaya langsung gas bumi dibebankan pada produksi gas
b

bumi.
Dalam hal terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, maka diatur
sebagai berikut:
Biaya bersama dialokasikan sesuai proporsi nilai relatif hasil

produksi.
Apabila dalam suatu lapangan atau Wilayah Kerja diperoleh baru
satu jenis produksi, minyak bumi atau gas bumi, sementara jenis
produksi yang lainnya belum diperoleh, maka biaya bersama

dialokasikan secara adil dan setimbang (equitable manner)


c

berdasarkan kesepakatan antara Badan Pelaksana dan Kontraktor.


Pengembalian Biaya Operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya
terhadap Lifting minyak bumi, sedangkan Pengembalian Biaya Operasi

untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan gas bumi.
Dalam hal pengembalian Biaya Operasi minyak bumi atau gas bumi
tidak mencukupi dari hasil produksinya atau nilai penjualannya, diatur
sebagai berikut:
Apabila Biaya Operasi gas bumi melebihi nilai produksinya, maka

selisih tersebut dibebankan pada hasil produksi minyak bumi.


Apabila Biaya Operasi minyak bumi melebihi nilai produksinya,

maka selisih tersebut dibebankan pada nilai penjualan gas bumi.


Inventory Accounting
a Persediaan dibiayakan pada saat digunakan.
b Pembebanan penggunaan persediaan dilakukan dengan mendahulukan
persediaan yang diperoleh terdahulu (First-In First-Out/FIFO) atau

dengan cara rata-rata.


Abandonment & Site Restoration
a Besarnya cadangan biaya

penutupan

dan

pemulihan

tambang

(abandonment and site restoration) yang dibebankan untuk 1 (satu)


Tahun Pajak dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan
b

pemulihan tambang berdasarkan masa manfaat ekonomis.


Cadangan tersebut wajib disimpan dalam rekening bersama (escrow
account) Badan Pelaksana dan Kontraktor di bank umum Pemerintah

Indonesia di Indonesia.
Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang
(abandonment and site restoration) lebih kecil atau lebih besar dari
jumlah yang dicadangkan, selisih tersebut menjadi pengurang atau
penambah Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dari masing-masing
Wilayah Kerja atau Lapangan yang bersangkutan sesuai dengan

persetujuan Badan Pelaksana.


C Negative List

Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil
dan pajak penghasilan meliputi:
1 biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau
keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang participating interest, dan
2

pemegang saham;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan
pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana
dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang

3
4

berada di Indonesia;
harta yang dihibahkan;
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat

kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;


biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan

milik negara;
insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan
pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang

saham;
biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan
tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing

(IKTA);
biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi

perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama;


9 biaya konsultan pajak;
10 biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya
pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;
11 biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan
nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
12 biaya bunga atas pinjaman;
13 pajak penghasilan karyawan yang ditanggung pajak kontraktor maupun
dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak penghasilan yang wajib

dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang ditanggung


kontraktor atau di-gross up;
14 pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui
nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10% (sepuluh persen) dari
nilai otorisasi pengeluaran;
15 surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan
pembelian;
16 nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak
dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor;
17 transaksi yang:
a merugikan negara;
b tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-

18
19
20
21
22

undangan kecuali dalam ha1 tertentu; atau


c bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
insentif interest recovery; dan
biaya audit komersial.
biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa

eksploitasi;
23 biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
24 biaya terkait merger, participating interest; akuisisi, atau biaya pengalihan.
D Penghitungan Pajak Terutang
Perhitungan pajak terutang bersumber dari perhitungan bagi hasil (uniformity
principle). Penghasilan bruto Kontraktor dalam rangka penghitungan Pajak
Penghasilan, adalah:
1 nilai realisasi penjualan atas:
minyak dan/atau gas bagian Kontraktor dari Equity Share dan FTP

Share;
minyak dan/atau gas yang berasal dari Pengembalian Biaya Operasi;
minyak dan/atau gas tambahan yang berasal dari pemberian insentif atau

karena hal lain;


dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas bumi

ditambah DMO fee;


ditambah Varian Harga atas Lifting (lifting price variance).

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk 1 (satu) Tahun Pajak bagi
Kontraktor dalam rangka Kontrak Bagi Hasil, penghasilan bruto tersebut
dikurangi:
a Biaya Bukan Modal tahun berjalan;
b Penyusutan Biaya Capital tahun berjalan;
c Biaya Operasi yang Belum Dapat Dikembalikan dari tahun-tahun
sebelumnya.
Dalam hal jumlah pengurang tersebut lebih besar dari penghasilan
bruto, sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai
dengan berakhirnya kontrak.
Penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi
Kontraktor adalah Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Besarnya
pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya
ditandatangani sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini, di hitung
berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak penghasilan pada saat kontrak
ditandatangani.
Atas Penghasilan Kena Pajak dimaksud setelah dikurangi Pajak
Penghasilan Badan terutang Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang
berlaku.

Dalam hal Kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia,

Penghasilan Kena Pajak tersebut diatas setelah dikurangi Pajak Penghasilan


Badan diperlakukan sebagai dividen yang disediakan untuk dibayarkan dan
terutang Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.
E Audit
Untuk
perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan
besarnya biaya pada tahapan eksplorasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu
minyak bumi dan gas bumi setelah mendapat rekomendasi dari Badan Pelaksana.
Sebelum menetapkan besarnya biaya yang dimaksud, auditor Pemerintah atas
nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Dalam hal besaran
biaya yang direkomendasikan Badan Pelaksana berbeda dengan besaran biaya
hasil pemeriksaan auditor Pemerintah, auditor Pemerintah dan Badan Pelaksana

wajib menyelesaikan perbedaan tersebut.

Mulai Tahun Pajak 2010, audit

dilakukan oleh tim bersama yang terdiri dari DJP, BPKP, dan BP Migas
sebagaimana dituangkan dalam MoU.
Atas pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan pada masa eksploitasi akan
diterbitkan Surat Ketetapan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak dan Gas
Bumi setelah dilakukan pemeriksaan pajak.

Sebelum Surat Ketetapan

Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi diterbitkan, dapat


diterbitkan Surat Ketetapan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak dan Gas
Bumi Sementara. Ketentuan mengenai penerbitan Surat Ketetapan Pembayaran
Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi akan diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak nomor PER-29/PJ/2011.
F Keterkaitan dengan Tax Treaty
Apabila Kontraktor akan menerapkan tarif branch profit tax yang lebih
rendah dari 20% sesuai dengan tarif P3B, maka Kontraktor wajib menyediakan
Surat Keterangan Domisili dari negara tempat perusahaan tersebut didirikan
sesuai dengan format yang diatur dalam PER-61/PJ./2009 sebagaimana telah
diubah dengan PER-24/PJ/2010.

Namun demikian, sesuai dengan Pasal 37

PP79/2010, disebutkan bahwa dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum


dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating interest
atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan
perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara
harus tetap.
Aspek Perpajakan
Mengingat untuk menghitung penghasilan neto dari Bentuk Usaha Tetap yang
melakukan kegiatan usaha di bidang pengeboran minyak dan gas bumi secara
internasional, sukar dilaksanakan dengan seksama karena adanya kesulitan untuk
menghitung besarnya penyusutan atas peralatan pengeboran (drilling rings) dan biaya
operasional lainnya, maka diperlukan perlakuan khusus mengenai perpajakan, hal ini

terutama sekali ditujukan kepada perusahaan pengeboran minyak asing (Foreign


Drilling Company/FDC).
Perlakuan perpajakan khusus untuk Jasa Pengeboran (terutama ditujukan
untuk Foreign Drilling Company/FDC) diatur di dalam berbagai ketentuan yang
saling berkaitan, yaitu:
1

FDC sebagai BUT, sebuah entitas yang diakui hak dan kewajiban perpajakannya
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 2
1 Yang menjadi subjek pajak adalah:
a 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang

berhak;

2
2

b badan; dan
c bentuk usaha tetap.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya

dipersamakan dengan subjek pajak badan.


Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Keuntungan Cabang
1 Penghitungan Penghasilan Neto dengan Norma Penghitungan Khusus
(Deem Profit) Dasar Hukum:
Keputusan
Menteri
Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

628/KMK.04/1991 tanggal 26 Juni 1991 tentang Norma Penghitungan


Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Badan Yang Melakukan
Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran Minyak Dan Gas Bumi Serta
Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Oleh Wajib Pajak
Sendiri
a Pasal 1 ayat (1)
Penghasilan neto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan Usaha
pengeboran minyak dan gas bumi dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan
b

bruto.
Pasal 1 ayat (2)

Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah


penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam
kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan.
Atas penghasilan neto tersebut, Foreign Drilling Company (FDC)
dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Hal ini juga menegaskan bahwa penghasilan dari kegiatan
pengeboran yang dilakukan oleh FDC adalah penghasilan Jasa Drilling
bukan sebagai penghasilan dari royalti ataupun sewa.
Dengan demikian kontrak drilling secara keseluruhan dianggap
sebagai kegiatan jasa drilling dengan alasan bahwa kegiatan tersebut
merupakan satu kesatuan yang nilai kontraknya tidak dapat dipisah dan
dirinci antara nilai penggunaan rig dengan jasa, dan kewajiban pajak
2

dihitung sesuai dengan KMK-628/KMK.04/1991 .


Pengakuan penggantian biaya (reimbursable costs) dan handling charge
(Biaya RCHC)
Dasar Hukum:
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-21/PJ.31/1991 tanggal 31 Desember 1991
Butir 3.
Dalam menghitung penghasilan bruto untuk menerapkan Norma
Penghitungan khusus tersebut hendaklah diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
Butir 3.1. Yang dimaksud dengan penghasilan bruto meliputi penghasilan
bruto (gross revenue) dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam
kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan, yang
penghitungannya didasarkan pada tarif harian (daily rates) yang menjadi hak
dari BUT-FDC, dengan mengingat hal-hal sebagai berikut:
a Biaya reimbursable :
Wajib Pajak BUT-FDC tersebut dapat pula menerima dari Pertamina,
Kontraktor Bagi Hasil (KBH) atau Kontraktor Kontrak Karya (KK)
berupa penggantian biaya (reimbursable costs), yang pada umumnya
merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh BUT-FDC untuk

pekerjaan-pekerjaan yang tidak tercakup dalam kontrak tetapi


diperlukan agar pekerjaan dalam kontrak dapat dilaksanakan. Pada
hakikatnya, bentuk penghasilan tersebut diterima atau diperoleh BUTFDC untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu, misalnya penambahan
atau perubahan peralatan yang diperlukan sesuai kondisi pengeboran,
yang tidak tercantum dalam kontrak.
Seluruh pengeluaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut diganti oleh
pihak yang bersangkutan (Pertamina, Kontraktor KBH/KK) tanpa
penambahan suatu margin keuntungan, dan dengan demikian dalam
penggantian biaya dimaksud tidak terdapat unsur laba bagi BUT-FDC.
Penerimaan penggantian biaya tersebut bukan merupakan unsur
penghasilan bruto yang diterapkan Norma Penghitungan Khusus (nontaxable revenue).
b

Handling Charge:
Untuk melaksanakan kegiatan tambahan tersebut pada huruf a ada
kemungkinan BUT-FDC memerlukan
dimungkinkan

adanya

pembebanan

biaya

handling, sehingga

"handling

charge"

kepada

PERTAMINA atau Kontraktor KBH/KK. Biaya mobilisasi dan


demobilisasi serta biaya bongkar muat rig memasuki atau keluar
perairan Indonesia adalah termasuk dalam pengertian Handling Charge.
Handling charge merupakan non-taxable revenue pula, sepanjang Wajib
Pajak dapat menunjukkan bukti dari pihak ketiga atas pengeluaran
tersebut. Jika Wajib Pajak tidak dapat menunjukkannya, maka handling
charge merupakan taxable revenue dan dimasukkan ke dalam
penghasilan bruto sebagai dasar penerapan Norma.
Reimbursable Cost dan Handling Charge tersebut diperlakukan sebagai
non taxable revenue hanya sepanjang jumlah seluruhnya tidak melebihi
10% dari penghasilan bruto yang berupa Drilling Fee. Adapun hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam menghitung penghasilan bruto berkaitan


dengan RCHC, adalah :
a

Biaya reimburseable merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh


BUT-FDC untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak tercakup dalam
kontrak tetapi diperlukan agar pekerjaan dalam kontrak dapat

dilaksanakan, dan tanpa penambahan margin.


Handling charge, untuk menunjang kegiatan di atas (co. bongkar
muat rig, mobilisasi rig dsb) sepanjang WP dapat menunjukkan

bukti dari pihak ketiga atas pengeluaran tsb.


Reimburse cost & handling charge diperlakukan sebagai nontaxable income bila tidak lebih dari 10% drilling fee. Pengecualian
harus diberikan untuk biaya penggantian dan biaya penanganan jika

mereka tidak melebihi 10% dari biaya pengeboran.


Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Para Tenaga Kerja Asing melalui Hal-hal
penting dalam penerapan Norma/Deem Salary
Dasar Hukum :
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik

Indonesia

Nomor

433/KMK.04/1994 tanggal 26 Agustus 1994 dan butir 1 Surat Edaran Dirjen


Pajak No. SE-17/PJ.43/1994 tanggal 16 September 1991, mengatur:
Norma Penghitungan khusus penghasilan kena pajak sebagai dasar
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan sebagai berikut :
1 Untuk Kelompok General Manager
: US$ 11.275
2
3

per bulan
Untuk Kelompok Manager

US$

9.350

per bulan
a. Untuk Kelompok Rig Supervisor/Rig
Superintendent atau Tool Pusher

US$

5.830

US$

4.510

per bulan
b. Untuk Kelompok Assistant Rig Supervisor/
Assistant Rig Superintendent atau
Assistant Tool Pusher
per bulan

Untuk Kelompok Crew lainnya

US$

3.245

per bulan
Ketentuan Deem Salary ini berdasarkan juga pada hal-hal di bawah ini:
1 Berlaku bagi tenaga asing/expatriate baik NDC maupun FDC.
2 Penghasilan Kena Pajak tersebut telah meliputi seluruh jenis
penghasilan yang diterima expatriate termasuk pemberian dalam bentuk
3
4

natura (fringe benefit).


Dalam menerapkan tarif tidak boleh dikurangi lagi dengan PTKP.
Fiskal LN oleh expatriate hanya dapat dikreditkan atas PPh Pasal 21
karyawan yang bersangkutan sepanjang telah ditambahkan terlebih
dahulu sebagai tunjangan pajak di atas norma.
Dalam meneliti laporan pemotongan PPh Pasal 21 baik NDC maupun

FDC agar diperhatikan jumlah rig yang beroperasi, kelompok kerja/shift


dalam suatu unit kerja dan sistem penggiliran kerja masing-masing unit dan
lain-lain yang mempengaruhi jumlah expatriate yang dipekerjakan.
Catatan :
Sesuai hasil penelitian penggajian pada perusahaan drilling, saat ini gaji
sudah di atas ketentuan Deem Salary yang berlaku.
4

Penghitungan PPh Pemungutan dan Pemotongan (Withholding Tax)


Aspek Pajak Penghasilan withholding tax seperti PPh Pasal 21, 22, 23, dan
26.
Dalam kaitannya dengan pembayaran PPh Pasal 26 atas laba yang
diberikan kepada pihak Head Office, pihak BUT Foreign Drilling Company
diwajibkan membayar pajak final atas laba setelah pajak (Branch Profit Tax),
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 26 (4) UU PPh .
Pemotongan pajak penghasilan seperti pembayaran/akrual dividen,
bunga, royalti, biaya teknis & manajemen untuk jasa yang dilakukan di
Indonesia dan oleh badan usaha Indonesia maka dikenakan pajak
pemotongan dan pemungutan sebagaimana yang diatur di dalam UU PPh.
Tarif Pajak/Tarif Pajak Efektif
Pemotongan pajak yang meliputi PPh Pasal 4 (2), 15, 22, 23, 26
dikenakan tarif yang tarif beragam, tergantung pada jenis obyek pajak dan

atau lawan transaksi. Tarif yang diterapkan pada pembayaran WPDN


ataupun BUT bervariasi dari 1,5% sampai 15%.
Pemotongan pajak yang bersifat final (misalnya dalam hal
pembayaran sewa untuk sewa tanah dan bangunan) atau non-final
(pembayaran misalnya untuk manajemen, administrasi atau biaya atas jasajasa yang diperlukan dalam operasional). Tarif yang lebih tinggi sebesar 20
% akan dikenakan kepada lawan transaksi yang tidak mempunyai NPWP.
Periode pemotongan pajak
Pajak-pajak harus dipungut pada tanggal pembayaran biaya atau pada
tanggal tersebut biaya terutang, mana yang lebih dulu.
Karena tanggal Pembayaran & mengisi Surat Pemberitahuan FDC
harus membayarkan pajak penghasilan yang dipotong ke Kas Negara (Kas
Negara) dengan tanggal 10 bulan berikutnya setelah pemotongan pajak dan
menyerahkan SPT ke kantor pajak dengan 20 bulan berikutnya. Denda
bunga atas keterlambatan pembayaran adalah 2% per bulan untuk 24 bulan,
dan adanya denda atas keterlambatan penyampaian SPT.
Perlakuan penghasilan Jasa Drilling
Ketika KPS/PSC melakukan pembayaran ke pihak BUT FDC maupun
NDC :
1

Tidak dipotong PPh Pasal 23 atas Jasa Pengeboran yang dilakukan BUT.

(PER-70/ PJ/2007)
Dipotong PPh Pasal 23 atas jasa keagenan yang diberikan oleh NDC.
(PER-70/ PJ/2007). Dasar Pengenaan pajaknya adalah 30% dari jumlah

imbalan jasa tidak termasuk PPN.


3 PPN dan PPNBM
Dasar Hukum :
a S-1136/PJ.531/1998 tanggal 14 Mei 1998 Perihal PPn atas Penyerahan
b
c

Jasa Pengeboran;
S-3473/PJ.51/1997 tanggal 15/12/1997;
S-1288/PJ.531/2000 tanggal 14/8/2000 perihal PPN atas penyerahan

Jasa Katering sebagai bagian dari Penyerahan Jasa Drilling kepada PSC;
S-252/PJ.532/2000 tanggal 18/2/2000 perihal PPN atas penyerahan jasa
katering sebagai bagian dari penyerahan jasa pengeboran minyak;

S-488/PJ.312/2003 tanggal 24/7/03 perihal Perlakuan Perpajakan atas


Jasa Drilling yang Dilakukan oleh BUT.

Atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masukan yang harus dibayar oleh
Kontraktor
Production

Sharing

akan

dikembalikan

(di-reimburse)

oleh

Pertamina / BP Migas. Hal ini memiliki dasar Peraturan Menteri Keuangan


Republik Indonesia Nomor 64/Pmk.02/2005 Tentang Tata Cara Pembayaran
Kembali Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Atas Perolehan Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak Yang
Digunakan Oleh Badan Usaha Atau Bentuk Usaha Tetap Dalam
Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi.
Demikian juga halnya dengan impor barang modal oleh Kontraktor
Production Sharing tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor.
Mengingat barang modal tersebut adalah milik Pemerintah (Pasal 15d UU
8/1971). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 97/Pmk.010/2006 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor
Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, bahwa atas
barang modal yang diimpor oleh Kontraktor Production Sharing dikenakan
tarif Bea Masuk sebesar 0% (nol per seratus). PBB dan Pajak / Retribusi
Daerah sama halnya dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka
Kontraktor Production Sharing tidak akan dibebani dengan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan sebagainya.
Pertamina atau BP Migas akan membayar pajak-pajak tersebut yang diambil
dari bagian pemerintah (Government share) sesuai dengan tagihan yang
diterima oleh Kontraktor Production Sharing.
Ketika KPS/PSC melakukan pembayaran ke pihak BUT:
1

KPS/PSC memungut PPN atas Jasa Pengeboran tersebut. (SE-

09/PJ.531/2000).
NDC wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan
jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan

serta melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (mekanisme


3
4

biasa). (SE-09/PJ.531/2000)
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Kontraktor Utama (NDC)
selaku agen hanya yang berhubungan langsung dengan jasa keagenan.
Lain-lain.
a Pembukuan dan Pencatatan
WP tidak Melampirkan Pembukuan dalam SPT Tahunan Badan
Berikut adalah aturan yang dijadikan dasar oleh WP BUT
yang bergerak dalam bidang pengeboran minyak asing (Foreign
Drilling Company/FDC) tidak melampirkan laporan keuangan
dalam SPT Tahunan Badannya.
Berdasarkan Keputusan

Menteri

Keuangan

Republik

Indonesia Nomor 628/KMK.04/1991 tanggal 26 Juni 1991 tentang


Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran
Minyak Dan Gas Bumi Serta Angsuran Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Berjalan Oleh Wajib Pajak Sendiri disebutkan bahwa :
1

Pasal 1 ayat (1)


Penghasilan neto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari
kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar
15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto.

Pasal 1 ayat (2)


Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang
tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi
yang bersangkutan.

Pasal 3 ayat (1)


Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 diwajibkan untuk menyelenggarakan pencatatan

penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat


(2) dan pengeluaran-pengeluaran yang wajib dilakukan
pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan
Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
4

Pasal 3 ayat (2)


Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap dari Usaha lain selain usaha pengeboran
minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (3) wajib diselenggarakan pembukuan yang terpisah.
Atas dasar aturan tersebut WP tidak melampirkan

pembukuannya dalam laporan SPT Tahunan Badannya.


Sementara untuk National Drilling Company/NDC berlaku
ketentuan Pasal 28 UU KUP, yaitu kewajiban membuat pembukuan
dan menyampaikan Laporan Keuangan.
b

Jenis-jenis Penghasilan Lain


1 Sewa dari harta yang dimiliki baik digunakan di Indonesia
2

maupun di luar.
Bunga dari penggunaan uang/dana baik yang ditempatkan di

Indonesia maupun di luar.


Kegiatan usaha (business income) selain drilling, penghasilan
dari modal (investment income) ataupun penghasilan lain.

Daftar Pustaka
Ditjen Migas. 2014. Statistik Minyak dan Gas Bumi 2013. Jakarta:
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral.
IAI. 1994. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 29
Akuntansi Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan
Akuntansi Indonesia.
Kementerian ESDM. 2011. Buku Peluang Investasi Sektor ESDM. Jakarta:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

KPP Migas. 2012. Buku Panduan Kantor Pelayanan Minyak dan Gas Bumi.
Jakarta: KPP Minyak dan Gas Bumi.
Medco Energi. 2015. Laporan Keuangan Konsolidasian Tanggal 31
Desember 2014 dan Untuk Tahun yang Berakhir Pada Tanggal
Tersebut Beserta Laporan Auditor Independen. Jakarta: PT Medco
Energi Internasional Tbk.
Medco Energi. 2015. Laporan Tahunan 2014. Jakarta: PT Medco Energi
Internasional Tbk.
Pemerintah RI. 2015. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014
(Audited). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Pusdatin ESDM. 2014. Handbook of Energy & Economic Statistics of
Indonesia. Jakarta: Ministry of Energy and Mineral Resources.
PWC. 2014. Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide 6 th
Edition May 2014. Jakarta: PT Pricewaterhouse Coopers Consulting
Indonesia.
SKK Migas. 2013. Mengenal Kontrak Hulu Migas Indonesia. Jakarta: Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Shobah, S., Widhiyanti, H.N., Audrey, P. 2015. Cost Recovery Dalam
Kontrak Kerjasama Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia Ditinjau Dari
Hukum Kontrak Internasional. Jurnal Hukum UB. Malang: Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Anda mungkin juga menyukai