Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis, sebagian besar kuman TB menyerang paru
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Mycobacterium tuberculosis ini merupakan kuman berbentuk batang lurus atau
sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul dengan ukuran panjang 14/m dan tebal 0,30-0,60/m. Mempunyai dinding sel yang unik, berupa lapisan
lilin yang komposisi utamanya adalah mycolic acid, asam lemak (lipid) yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisik sehingga disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat
mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam keadaan
dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan TB aktif lagi.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob.
Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya.
Sumber penularan yang utama adalah penderita TB paru dengan BTA
positif, yang ditularkan melalui percikan dahak (droplet) yang mengandung basil
TB pada saat batuk, bersin maupun bicara (Miller, 2002). Orang lain akan tertular
apabila droplet tersebut terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan, dan dari paru ke bahagian tubuh lainnya (extrapulmonar) melalui
melalui bronchus (saluran nafas), sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
atau percontinuitatum (melalui penyebaran langsung). Daya penularan dari
seseorang penderita ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

Universitas Sumatera Utara

menghirup udara tersebut. Penderita TB paru yang dalam pemeriksaan dahak


BTA (-), penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kurang lebih 5 10% individu yang terinfeksi kuman TB akan menderita
penyakit TB paru dalam beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Faktor
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru adalah
daya tahan tubuh (imunitas) yang rendah di antaranya karena gizi buruk atau
menderita HIV/AIDS.
2.1.2 Klasifikasi tuberculosis
Ada beberapa klasifikasi, salah satunya berdasarkan hasil pemeriksaan
dahak mikroskopis, yaitu :
a. TB paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)
hasilnya BTA positif.
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB.
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif (DepKes RI, 2007) :

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.1.4 Gejala penyakit tuberkulosis paru


Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas dua golongan, yaitu gejala
sistemik (demam dan malaise) dan gejala respiratorik, seperti batuk, sesak napas,
nyeri dada (PDPI, 2011). Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang suspek (tersangka) pasien TB dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (DepKes RI, 2007).

2.1.5

Diagnosis tuberkulosis paru


Diagnosis pasti TB paru pada orang dewasa ditegakkan bila ditemukan

kuman tuberkulosis (BTA) di dalam dahak atau jaringan paru penderita (Miller,
2002). Suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu
- pagi - sewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui

Universitas Sumatera Utara

10

pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain


seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis
TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis (DepKes RI, 2007).

Pembacaan Sediaan Slide BTA


Hasil pemeriksaan mikroskopis dibacakan dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease), yaitu:

Tabel 2.1. Skala IUATLD


Dahak
Mikroskopis

dalam

Interpretasi

Hasil

Pemeriksaan

Hasil

Keterangan

Negatif

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang


pandang

+1, +2, ..., +9 (sesuai jumlah


basil)

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang

1+

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang


pandang

2+

Ditemukan 1-10 BTA per lapang pandang


dalam setidaknya 50 lapang pandang

3+

Ditemukan >10 BTA per lapang pandang


dalam setidaknya 20 lapang pandang

Sumber: Depkes (2007)

2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

Universitas Sumatera Utara

11

terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (DepKes RI, 2007). Dalam pengobatan
TB digunakan OAT dengan jenis, sifat dan dosis sebagaimana pada Tabel 2.1.

Tabel 2.2 Jenis dan Sifat serta Dosis OAT

Jenis OAT

Sifat

Isoniazid (H)

Bakterisid

Rifampicin (R)

Bakterisid

Pyrazinamide (Z)

Bakterisid

Streptomycin (S)

Bakterisid

Ethambutol (E)

Bakteriostatik

Dosis yang direkomendasikan


(mg/kg)
Harian

3x seminggu

5
(4-6)

10
(8-12)

10
(8-12)
25
(20-30)
15
(12-18)
15
(15-20)

10
(8-12)
35
(30-40)

30
(20-35)

Sumber: DepKes RI (2007)

2.1.6.1 Prinsip pengobatan


Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT) oleh PMO.
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.6.2 Tahap awal (intensif)


1) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan (DepKes RI, 2007).

2.1.6.3 Tahap lanjutan


1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (DepKes RI, 2007).

2.1.6.4 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB
di Indonesia sesuai rekomendasi WHO dan IUATLD, dan kategori paduan OAT
yang paling sering dipakai adalah :
1) Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
2) Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 (DepKes RI, 2007).
Untuk paket OAT dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
1) OAT dalam bentuk Obat Kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang
dikemas dalam blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
2) OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan
sisipan, yang dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan
khusus untuk pengatasi effek samping KDT.

Universitas Sumatera Utara

13

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat


diperlukan untuk:
1) menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi,
2) menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3) mengurangi efek samping.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya:
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), artinya, selama 2 bulan pertama obat yang
diberikan adalah INH (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan etambutol (E)
setiap hari. Kemudian 4 bulan selanjutnya INH (H) dan rifampisin (R) tiga kali
dalam seminggu. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru

Universitas Sumatera Utara

14

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari


selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali


seminggu selama 16
minggu RH (150/150)

30 37 kg
38 54 kg

2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT

2 tablet 2KDT
3 tablet 2KDT

55 70 kg

4 tablet 4KDT

4 tablet 2KDT

71 kg

5 tablet 4KDT

5 tablet 2KDT

Sumber: DepKes RI (2007)


2) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) , artinya, selama satu bulan pertama
obat yang diberikan adalah INH (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z),
etambutol (E), dan lima bulan berikutnya diberikan INH (H), rifampisin (R),
dan etambutol (E) tiga kali seminggu. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien
BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

2.1.7 Conversion Rate (Angka Konversi)


Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang
mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien,
BTA postif baru dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat
kecenderungan

keberhasilan

pengobatan

dan

untuk

mengetahui

apakah

pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Universitas Sumatera Utara

15
Perhitungan angka konversi untuk pasien TB baru BTA positif :

Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang konversi


X 100 %
Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang diobati

Di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), indikator ini dapat dihitung dari


kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA
Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung
berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan
intensif (2 bulan). Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka
konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula.

2.1.8 Pemantauan kemajuan pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik pada TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila
ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut
hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis sebagaimana tercantum dalam Tabel
2.4.

Universitas Sumatera Utara

16

Tabel 2.4 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

TIPE PASIEN
TB
Pasien baru BTA
positif dengan
pengobatan
kategori 1

URAIAN

HASIL BTA

Akhir tahap
Intensif

Negatif

Sebulan sebelum
Akhir Pengobatan

Positif

Dilanjutkan
dengan OAT
sisipan selama 1
bulan. Jika setelah
sisipan masih
tetap positif,
tahap lanjutan
tetap diberikan.

Negatif

OAT dilanjutkan.

Positif

Gagal, ganti
dengan OAT
Kategori 2
mulai dari awal.

Akhir Pengobatan Negatif dan


(AP)
minimal satu
pemeriksaan
sebelumnya
negatif
Positif

Pasien baru BTA


neg & foto toraks
mendukung TB
dengan pengobatan
kategori 1

Akhir intensif

Negatif

Positif

Pasien BTA positif


dengan pengobatan
kategori 2

Akhir Intensif

TINDAK
LANJUT
Tahap lanjutan
dimulai.

Negatif

Sembuh.

Gagal, ganti
dengan OAT
Kategori 2
mulai dari awal.
Berikan
pengobatan tahap
lanjutan sampai
selesai, kemudian
pasien dinyatakan
Pengobatan
Lengkap.
Ganti dengan
Kategori 2 mulai
dariawal.
Teruskan
pengobatan
dengan tahap
lanjutan.

Universitas Sumatera Utara

17

Positif

Sebulan sebelum
Akhir Pengobatan

Negatif

Positif

Akhir Pengobatan
(AP)

Negatif
Positif

Beri Sisipan 1
bulan. Jika setelah
sisipan masih
tetap positif,
teruskan
pengobatan tahap
lanjutan. Jika ada
fasilitas, rujuk
untuk uji
kepekaan
obat.
Lanjutkan
pengobatan
hingga selesai.
Pengobatan gagal,
disebut kasus
kronik, bila
mungkin lakukan
uji kepekaan obat,
bila tidak rujuk ke
unit pelayanan
spesialistik.
Sembuh.
Pengobatan gagal,
disebut kasus
kronik, jika
mungkin, lakukan
uji kepekaan obat,
bila tidak rujuk ke
unit pelayanan
spesialistik

Sumber: DepKes RI (2007)

Universitas Sumatera Utara

18

2.2 Tinjauan Umum tentang Faktor yang Berhubungan dengan Konversi

2.2.1 Faktori internal penderita TB paru


a. Jenis kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
masyarakat (Ditjen Binkesmas) Depkes RI (2010) status kesehatan masyarakat
berbasis gender fakta hasil survei kesehatan nasional tahun 2006 proporsi lakilaki (57%) lebih banyak daripada perempuan (43%). Pada laki-laki lebih tinggi
mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial, karena merokok tembakau dan
minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga
lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru.
Menurut WHO (2003), sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta
perempuan meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa kaum
perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan TB paru
dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Kepekaan untuk
terinfeksi penyakit ini adalah semua penduduk, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, tua muda, bayi dan balita. Angka pada pria selalu
lebih tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun
tajam sesudah melampaui usia subur. Pada wanita prevalensi mencapai
maksimum pada usia 40-50 dan kemudian menurun. Pada pria prevalensi terus
meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton,
2002).

b. Umur
Umur berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru, dimana umur dapat
mempengaruhi kerja dan efek obat karena metabolisme obat pada orang yang
muda berbeda dengan orang tua. Insidensi tertinggi TB paru biasanya pada
usia muda atau produktif, yaitu umur 15-45 tahun (Crofton, 2002). Dewasa ini

Universitas Sumatera Utara

19

dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia


menjadi lebih tinggi.
Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis pada umumnya
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk TB
paru. Makin tua usia akan terjadi perubahan fungsi secara fisiologik, patologik
dan penurunan sistem pertahanan tubuh dan ini akan mempengaruhi
kemampuan tubuh menangani OAT yang diberikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Trihadi dan Rahardja (1995), menunjukkan
bahwa kelompok usia di atas 35 tahun memberikan respon yang kurang baik
terhadap pengobatan. Penelitian kohort Gustafson (2004) juga menyatakan
terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan
risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah
1,36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08.
Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah
kelompok usia produktif (Depkes, 2007). Usia yang lebih tua, melebihi 60
tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis, karena adanya defisit
imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009).

c. Status gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu
(Supriasa, 2001). Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya
tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor kelaparan atau gizi buruk
pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak
mengurangi daya tahan terhadap penyakit TB (Crofton, 2002).
Menurut Hernilla (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari
90 mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran dan buahbuahan secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit
tuberkulosis. Status gizi berpengaruh pada cara tubuh kita melawan basil
tuberkel. Apabila gizi yang masuk dalam tubuh cukup, akan berpengaruh pada
daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman
tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi

Universitas Sumatera Utara

20

daya tahan tubuh terhadap penyakit, karena kekurangan kalori dan protein serta
kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru.

d. Pendidikan
Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita, hal ini menunjukkan
bahwa

pendidikan

mempengaruhi

kesuksesan

pengobatan

penderita.

Pengetahuan sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, perilaku


yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari pengetahuan (Kemenkes RI DirJend PP & PL, 2011a). Semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik penerimaan informasi tentang
pengobatan dan penyakitnya sehingga akan semakin tuntas proses pengobatan
dan penyembuhannya, termasuk penyakit TB paru. Fahrudda (2001)
mendapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan
rendah akan berisiko lebih dari 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan
dibandingkan

dengan

penderita

dengan

tingkat

pengetahuan

tinggi.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau


masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan
yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 2003). Proporsi kejadian
TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang
rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional
dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006).

e. Tingkat pendapatan
Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya
pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada
kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan
lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006).
Kemiskinan memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit
tuberkulosis. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk

Universitas Sumatera Utara

21

dengan status ekonomi rendah atau miskin dan umumnya terjadi pada negara
berkembang termasuk Indonesia (Crofton, 2002 dan WHO, 2003).
Menurut Pertiwi (2004), orang yang memiliki penghasilan yang rendah
memiliki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan
orang yang memiliki penghasilan yang tinggi. Hasil penelitian Mahpudin
(2006) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian TB paru BTA positif salah satunya adalah pendapatan perkapita
dengan OR 2,145.
Tingkat pendapatan yang rendah diduga mempengaruhi perubahan
konversi sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif. Hal ini karena
dengan kondisi keuangan yang kurang baik maka orang akan sulit membayar
biaya berobat, transport, memperbaiki pola makan dan sebagainya sehingga
pengobatan dihentikan sendiri karena kehabisan dana (Robert, 2002).

f. Kepatuhan berobat
Menurut Rowley (2001) kepatuhan atau yang dikenal dengan adherensi
adalah tindakan nyata untuk mengikuti aturan atau prosedur dalam upaya
perubahan sikap dan perilaku individu yang dipengaruhi oleh pendidikan
kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan, sosio demografi, faktor
psikososial berbentuk kepercayaan terhadap perubahan perilaku. Kepatuhan
berobat dalam hal ini adalah kegiatan meminum obat Isoniazid (H), Rifampisin
(R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) pada dua bulan pertama setiap hari,
diminum sekaligus dan tidak pernah lupa. Kepatuhan berobat pada penelitian
ini menyangkut aspek jumlah serta jenis OAT yang diminum, keteraturan
waktu minum obat yang harus diminum pada fase intensif. Gagal dan tidaknya
konversi BTA sangat ditentukan pengobatan. Sedangkan pengobatan dapat
berhasil dipengaruhi oleh kepatuhan. Namun variabel kepatuhan tidak berdiri
sendiri melainkan dipengaruhi sakit dan penyakitnya, sistem pelayanan
kesehatan dan pengobatannya.

Universitas Sumatera Utara

22

g. Merokok
Merokok tembakau merupakan faktor penting yang dapat menurunkan
daya tahan tubuh (Leung, 2010) sehingga dapat mempengaruhi kesembuhan
pengobatan penderita TB paru. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia
beracun dan bahan bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen).
Bahan berbahaya dan racun dalam rokok bahkan tidak hanya mengakibatkan
gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang
disekitarnya yang tidak merokok. Merokok dapat menyebabkan sistim imun di
paru

menjadi

lemah

sehingga

mudah

untuk

perkembangan

kuman

mycobacterium.

h. Faktor penyakit lain yang menyertai


Jurnal Tuberkulosis Indonesia yang diterbitkan oleh Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) pada Maret 2012 diantaranya
melaporkan bahwa adanya penyakit lain menyertai seperti Diabetes Mellitus
(DM) dan infeksi HIV AIDS dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB
paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian
penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.

2.2.2 Faktor eksternal penderita TB paru


2.2.2.1 Aspek pelayanan kesehatan
1) Faktor Pengawas Minum Obat (PMO)
Menurut Aditama (2008), salah satu yang menyebabkan sulitnya TB paru
dibasmi adalah kenyataan bahwa obat yang diberikan harus beberapa macam
sekaligus serta pengobatannya memakan waktu yang lama, setidaknya 6 bulan.

Universitas Sumatera Utara

23
Hal ini menyebabkan penderita tidak menuntaskan pengobatannya dan bahkan
putus obat.
Untuk itu diperlukan Pengawas Minum Obat (PMO) untuk menjaga agar
penderita tidak putus berobat atau teratur berobat, WHO tahun 1995 telah
merekomendasikan strategi DOTS sebagai pendekatan terbaik penanggulangan
TB. Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek yang diawasi oleh PMO untuk menjamin seseorang menyelesaikan
pengobatannya (Depkes, 2007).

a)

Persyaratan PMO

(1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
penderita.
(2) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
(3) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
penderita.
(4) Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
b)

Tugas seorang PMO

(1) Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
(2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
(3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu
yang telah ditentukan.
(4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang
mempunyai

gejala-gejala

tersangka

tuberkulosis

untuk

segera

memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (PPTI, 2010).

2) Peran Petugas Kesehatan


Peran petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi pasien
dengan memberikan bantuan berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata,
atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh pada

Universitas Sumatera Utara

24
perilaku penerimanya (Depkes, 2002). Dukungan emosional sehingga merasa
nyaman,merasa diperhatikan, empati, merasa diterima dan ada kepedulian.
Dukungan kognitif dimana pasien memperoleh informasi, petunjuk, saran atau
nasehat.
Menurut Mukhsin (2006), hubungan yang saling mendukung antara
pelayanan kesehatan dan penderita, serta keyakinan penderita terhadap
pelayanan kesehatan lanjutan merupakan faktor-faktor yang penting bagi
penderita

untuk

menyelesaikan

pengobatannya.

Pelayanan

kesehatan

mempunyai hubungan yang bermakna dengan keberhasilan pengobatan pada


penderita TB. Pelayanan kesehatan mengandung dua dimensi, yakni (1)
menekankan aspek pemenuhan spesifikasi produk kesehatan atau standar teknis
pelayanan kesehatan (2) memperhatikan perspektif pengguna pelayanan yaitu
sejauh mana pelayanan yang diberikan mampu memenuhi harapan dan
kepuasan pasien. Interaksi petugas kesehatan dengan penderita TB terjadi di
beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan
obat dan pada waktu kunjungan rumah.
Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang TB perlu dilakukan,
karena masalah tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan
dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan
penyakit tuberkulosis (Depkes, 2002). Penyuluhan tuberkulosis dapat
dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun
menggunakan media.

3) Ketersediaan obat
Salah satu strategi DOTS adalah jaminan ketersediaan OAT bahkan harus
yang bermutu untuk penanggulangan TB dan diberikan kepada pasien secara
cuma-cuma (Kemenkes-RI. 2009). Dengan jaminan ketersediaan obat OAT,
tidak terjadi kegagalan pengobatan karena obat tidak dimakan secara rutin.
Obat yang tersedia tidak lengkap juga dapat mengakibatkan terjadi resistensi
OAT dan akan menambah kasus MDR-TB.

Universitas Sumatera Utara

25
2.2.2.2 Aspek kesehatan lingkungan
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host),
dan lingkungan (environment). Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk
(tidak memenuhi syarat kesehatan) dan sanitasi lingkungan yang buruk akan
berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB
(Atmosukarto, 2000).
1) Kondisi rumah
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana
orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Pada umumnya, lingkungan
lingkungan fisik dan sosial rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat
kesehatan) yang berpengaruh pada penyebaran penyakit TB meliputi
kelembaban udara, ventilasi rumah, suhu rumah, pencahayaan rumah,
kepadatan penghuni rumah dan lantai rumah.
Bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan
tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air
membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang
essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould &
Brooker, 2003). Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara
yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri patogen termasuk
bakteri tuberkulosis. Kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan
dalam rumah adalah 4060 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Depkes RI, 2000).
Menurut Atmosukarto dan Soeswati (2000), kuman tuberkulosis bertahan
hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol,
karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai
risiko penghuninya menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan
rumah yang dimasuki sinar matahari. Penelitian Girsang tahun 2000,
menyatakan kuman mycobacterium tuberculosis akan mati dalam waktu 2 jam
oleh sinar matahari.

Universitas Sumatera Utara

26
2) Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya

(Notoatmodjo,

2010).

Lingkungan

sangat

mempengaruhi

penyebaran penyakit TB, dimana lingkungan yang kurang kebersihan dan


sirkulasi udara yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan
berpengaruh pada penyebaran penyakit menular terutama penyakit TB.

2.2.2.3 Aspek mikroba atau sifat dari kuman mycobacterium tuberculosa


Penelitian untuk mengetahui faktor apa saja penyebab kegagalan dalam
pengobatan TB telah banyak dilakukan dan aspek mikroba telah banyak diteliti
sebagai salah satu penyebab kegagalan pengobatan dimana seseorang terinfeksi
oleh kuman TB yang memang sudah memiliki sifat resistensi terhadap obatobat TB. Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan
sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme
alamiah untuk bertahan hidup (Setiabudy, 1995).
Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitifitas mikroba terhadap
antimikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Didasarkan pada
lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi kromosal dan resistensi
ekstrakromosal. Sifat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba sejak semula
resisten terhadap pengaruh suatu antimikroba, yang dikenal sebagai sifat
resisten alamiah.
Perubahan sifat genetik karena kuman memperoleh elemen genetik yang
membawa sifat resistensi yang dikenal sebagai resistensi yang diperoleh
(acquired resistance). Atau resistensi dari luar disebut resistensi yang
dipindahkan (transferred resistance), dapat juga terjadi akibat adanya mutasi
genetik yang spontan atau akibat rangsang antimikroba (induced resitance)
(Setiabudy, Vincent, 1995). Berbeda dengan resistensi pada banyak bakteria
terhadap antibiotika dimana resistensi dapat dengan transformasi, tranduksi
atau konjugasi gen, resisten yang didapat mycobacterium tuberculosis adalah
pada mutasi gen kromosom utama (genomically based).

Universitas Sumatera Utara

27

Sel bakteria tumbuh dan memperbanyak diri, replikasi terjadi berulangulang sehingga jumlah yang besar selama infeksi atau pada permukaan tubuh.
Untuk tumbuh dan berkembang, organisme harus mensintesa atau memerlukan
banyak biomolekul.
Obat antimikroba mengganggu dengan proses yang spesifik bahan-bahan
esensial untuk pertumbuhan dan atau perkembangan mikroba tersebut.
Mekanisme kerja antimikroba dapat dipisahkan pada kelompok seperti
penghambat sintesa dinding sel, penghambat fungsi membran sitoplasma,
penghambat sintesa asam nukleat, penghambat fungsi ribosom (Baron, 1996).
Sama seperti mekanisme kerja obat antimikroba, resistensi kuman
terhadap obat umumnya terjadi dalam 4 jalur, yaitu adanya proses enzimatik,
penurunan permeabilitas terhadap antibiotik, modifikasi letak reseptor obat dan
peningkatan sintesa metabolit antagonis terhadap antibiotik.
Prinsip pengobatan TB paru dengan masa pengobatan tahap insentif
selama 2 bulan dengan terapi pemberian pengobatan kombinasi adalah untuk
memastikan tidak terjadinya mutan resisten pada satu obat (single resistance),
kemudian 4 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan untuk membunuh kuman
yang masa pertumbuhannya lambat. Isoniazid dan Rifampisin adalah dua OAT
yang sangat poten membunuh lebih dari 99% basil TB dalam 2 bulan awal
pengobatan (WHO, 2003)
Bersama kedua obat ini Pirazinamid dengan efek yang tinggi yang bekerja
terhadap basil semidorman yang tidak dipengaruhi oleh OAT yang lain.
Penggunaan obat ini bersamaan dengan OAT yang lain mengurangi masa
pengobatan dari 18 bulan menjadi 6 bulan. Oleh karena itu munculnya strain
resisten terhadap salah satu atau lebih obat-obat ini menjadi perhatian yang
utama sebagai penyebab kejadian gagal konversi.

Universitas Sumatera Utara

28

2.3

Kerangka Teori Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, maka kerangka

teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

ASPEK
INTERNAL
PENDERITA

Aspek penderita :
Jenis Kelamin
Umur
Status gizi
Tingkat pendidikan
Tingkat pendapatan
Kepatuhan berobat
Kebiasaan merokok
Penyakit penyerta

Konversi
(+)/(-)

Aspek pelayanan kesehatan :

ASPEK
EKSTERNAL
PENDERITA

Pengawas Menelan Obat


(PMO)
Peran petugas kesehatan
Ketersediaan obat

Aspek kesehatan lingkungan :

Kondisi rumah
Sanitasi lingkungan

Aspek mikroba atau sifat kuman


mycobacterium tuberculosa

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai