Anda di halaman 1dari 24

M a j al a h

KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU AKTUAL DAN STRATEGIS

VOL. VIII NO. 21/I/P3DI/NOVEMBER/2016

Puteri Hikmawati

Adirini Pujayanti

Achmad Muchaddam F.

Achmad Sani Alhusain

Ahmad Budiman

P U S A T

P E N E L I T I A N

B A D A N

K E A H L I A N

D P R

R I
ISSN: 2088-2351

Majalah

Vol. VIII, No. 21/I/P3DI/November/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

ANCAMAN PIDANA TERHADAP


DELIK PENGHINAAN DALAM UU ITE
Puteri Hikmawati*)

Abstrak
Pengesahan RUU tentang Perubahan UU ITE menjadi UU, yang salah satu
perubahannya menurunkan ancaman sanksi pidana terhadap penghinaan dan/
atau pencemaran nama baik dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun, masih
menimbulkan kritik dalam masyarakat. Ketentuan tersebut dianggap mengancam
hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Tulisan
ini mengkaji apakah ancaman pidana terhadap penghinaan mengancam hak atas
kebebasan berekspresi. Dalam pembahasan tulisan ini, dikemukakan bahwa hak atas
kebebasan berekspresi dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945, tetapi UUD NRI Tahun 1945
juga mengatur pembatasan hak yang ditetapkan dengan undang-undang. UU ITE,
sebagaimana telah diubah, mengancam penghinaan dengan pidana yang lebih tinggi
daripada yang diatur dalam KUHP, karena dianggap penghinaan melalui media
elektronik akan memiliki dampak negatif yang lebih ekstrem dan masif di dunia nyata.
Oleh karena itu, DPR RI dan Pemerintah perlu melakukan sosialisasi, agar masyarakat
mengetahui aturan tersebut dan mencegah dilakukannya penghinaan, yang dapat
merugikan orang lain.

Pendahuluan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) telah menyetujui
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
yang merupakan RUU Usul Pemerintah, untuk
disahkan menjadi undang-undang dalam
Rapat Paripurna tanggal 27 Oktober 2016.
Salah satu alasan diubahnya UU No. 11 Tahun
2008 (UU ITE) tersebut karena telah beberapa
kali diajukan permohonan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Putusan MK

Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUUVII/2009 terkait tindak pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik dalam bidang Informasi
dan Transaksi Elektronik harus dianggap
sebagai delik aduan; Putusan MK Nomor 5/
PUU-VIII/2010, bahwa pengaturan penyadapan
harus dengan undang-undang; dan terakhir,
Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, bahwa
intersepsi/penyadapan harus dilakukan secara
sah, dalam rangka penegakan hukum.
Salah satu substansi dalam UU
Perubahan UU ITE adalah mengubah ancaman

*) Peneliti Madya Hukum Pidana pada Bidang Hukum, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: puterihw@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-1-

sanksi pidana terhadap pelaku penghinaan


atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3))
dari semula ancaman pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) (Pasal 45 ayat (1)) menjadi pidana 4
(empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah) (Pasal 45 ayat (3) UU Perubahan
UU ITE). Namun, perubahan tersebut dianggap
tidak memberikan perubahan yang berarti
terhadap kebebasan berekspresi.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis
Independen, Imam D. Nugrono, mengatakan
pengurangan masa tahanan tidak memiliki
makna apa-apa. Siapapun tetap dibayangbayangi aturan yang bisa dikenakan kapan saja.
Lanskap hukum tidak sepenuhnya memahami
kritik sebagai sesuatu yang membangun. Hal
senada disampaikan oleh peneliti Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara,
bahwa UU ini hanya melegitimasi kepentingan
pemerintah agar sikap kritis masyarakat
dikekang. Pasal penghinaan dan pencemaran
nama baik seharusnya dicabut, tidak sebatas
menurunkan ancaman pidana dan denda.
Dengan norma itu masih ada, kebebasan
berekspresi tetap terancam.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
tulisan ini akan mengkaji apakah ancaman
pidana terhadap delik penghinaan dalam UU
ITE mengancam hak kebebasan berekspresi.

tidak mencantumkan penghinaan sebagai


delik aduan, sehingga dipermasalahkan
dalam penerapannya. Namun, dari Putusan
MK Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai
konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE
telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat
(3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam
pertimbangan MK dijelaskan keberlakuan dan
tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat
dipisahkan dari norma hukum pokok dalam
Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus
delict yang mensyaratkan adanya pengaduan
(klacht) untuk dapat dituntut, harus juga
diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang
dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga
Pasal juga harus ditafsirkan sebagai delik yang
mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat
dituntut di depan Pengadilan.
Oleh karena itu, dalam UU Perubahan
UU ITE, ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3)
merupakan delik aduan ditegaskan dalam Pasal
45 ayat (5). Ketentuan tersebut memang sebagai
konsekuensi dari Putusan MK, sebagaimana
ditegaskan dalam Naskah Akademik RUU
bahwa, penambahan pasal delik aduan sesuai
pendapat Mahkamah Konstitusi sehingga
perbuatan pidana pencemaran dalam Pasal
27 ayat (3) yang dilakukan tidak dituntut jika
tidak ada pengaduan dari orang yang terkena
kejahatan itu.
Selain itu, sebagai perbandingan UU
ITE dengan KUHP, UU ITE mengancam
penghinaan dengan ancaman pidana yang lebih
berat daripada KUHP. Salah satu perbedaan
antara komunikasi di dunia nyata dengan
dunia maya (cyberspace) adalah media yang
digunakan, sehingga setiap komunikasi dan
aktivitas melalui internet, misalnya melalui
transfer data, melalui distribusi, transmisi,
dan/atau dapat diaksesnya informasi dan
dokumen elektronik, akan memiliki dampak
bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata,
dapat menimbulkan dampak negatif yang
lebih ekstrem dan masif di dunia nyata. Pada
kenyataannya, seringkali masyarakat tidak
menyadari adanya aturan ini, sehingga dalam
pelaksanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah
menjerat lebih dari 100 orang.

Delik Penghinaan dalam UU ITE


dan KUHP
UU ITE mengatur perbuatan yang
dilarang berupa penghinaan dan pencemaran
nama baik dalam Pasal 27 ayat (3), yang
berbunyi setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya data Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU
ITE tersebut mengacu pada Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 310 dan
Pasal 311.
KUHP memuat penghinaan dalam
bab tersendiri, yaitu Bab XVI. Penghinaan
merupakan delik aduan diatur dengan tegas
dalam Pasal 319 KUHP, bahwa penghinaan
yang diancam dengan pidana, tidak dituntut
jika tidak ada pengaduan dari orang yang
terkena kejahatan. Sementara itu, UU ITE

Perlindungan atas Hak Kebebasan


Berekspresi
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) menjamin hak
kebebasan berekspresi seseorang. Pasal 28E
ayat (2) menyatakan, setiap orang berhak atas
-2-

kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan


pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Selanjutnya pada ayat (3) ditegaskan lagi bahwa,
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Jaminan konstitusional ini dielaborasi lebih jauh
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, bahwa setiap orang bebas mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan
melalui media cetak maupun media cetak
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa.
Hak asasi manusia (HAM) sering
didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian
melekat, sehingga tanpa hak-hak itu kita
tidak mungkin mempunyai martabat sebagai
manusia (inherent dignity). Karena itu pula
dikatakan bahwa hak-hak tersebut adalah
tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak
boleh dilanggar (inviolable). Mukadimah
Universal Declaration of Human Rights mulai
dengan kata-kata berikut: .....recognition
of the inherent dignity and of the equal and
inalienable rights of all members of the human
family...... Kata equal disini menunjukkan
tidak boleh adanya diskriminasi dalam
perlindungan negara atau jaminan negara atas
hak-hak individu tersebut (Mardjono, 1997: 7).
HAM melekat pada setiap manusia
melalui seperangkat aturan hukum yang ada.
Penegakan hukum HAM selalu berhadapan
dengan beragam kondisi yang ada, sehingga
peran Pemerintah menjadi mutlak dalam hal
ini karena hukum adalah sesuatu atau norma
yang diam dan lemah. Hukum hanya dapat
bergerak dan hanya dapat digerakkan oleh
penguasa atau the strong arms agar hukum
dapat berjalan dan efektif (A. Masyhur, 2005:
32-33).
Konsepsi dasar HAM pada dasarnya
adalah adanya pengakuan bahwa semua
manusia dilahirkan bebas dan sama hak dan
martabatnya. HAM wajib dilindungi oleh
hukum karena apabila HAM tidak dilindungi
oleh hukum, keberadaan penjaminan dan
penghormatan terhadap HAM akan terlanggar.
Dengan demikian, perlindungan HAM yang
merupakan salah satu ciri dari negara hukum
(the rule of law principle) tidak akan terpenuhi.
Perlindungan HAM bersifat universal, yang
saat ini menjadi bagian dari norma hukum
internasional yang wajib dipatuhi dan ditaati
oleh masing-masing negara.

HAM terbagi menjadi dua bagian,


yakni HAM yang dapat dibatasi (derogable
rights) dan HAM yang tidak dapat dibatasi
(nonderogable rights) (Rizky, 2013: 66). Istilah
derogable rights diartikan sebagai hak-hak
yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi
(dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam
kondisi tertentu. Sementara itu, maksud dari
istilah nonderogable rights adalah hak-hak
yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi
(dikurangi) pemenuhannya oleh negara.
Derogable
rights
muncul
dengan
tujuan utama negara akan tetapi dengan
mempertimbangkan dari segala unsur dan
aspek yang dapat memengaruhi stabilitas
politik dan keamanan suatu negara dengan
mengedepankan
nilai
demokratis
dan
kepentingan masyarakat umum. Sedangkan
nonderogable rights merupakan jaminan
atas hak-hak dasar setiap manusia dengan
perimbangan segala aspek persoalan yang
terkait, seperti masalah kebebasan menentukan
jalan hidup sendiri, bebas dari ancaman dan
ketakutan, hak perlindungan negara, dan
kebebasan untuk menyalurkan pendapat dan
keyakinan sesuai dengan hati nuraninya (Rizky,
2013: hal. 67).
Sebaliknya, selain dari limitasi hak dalam
nonderogable rights, maka hak-hak lain yang
melekat pada manusia merupakan hak yang
bersifat derogable atau dapat dikesampingkan
karena
adanya
kepentingan
hukum,
kepentingan umum, atau bahkan karena
pelaksanaan hak lainnya atau campuran dari
ketiganya. Dalam hal ini, HAM tidak mutlak
sepenuhnya harus ditegakkan, derogable rights
dapat dikesampingkan pelaksanaannya.
UUD NRI Tahun 1945 memberikan
dasar konstitusional bagi adanya pembatasan
hak pribadi seseorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 28J ayat (2), yang menyatakan
bahwa Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa
UUD NRI Tahun 1945 memberikan syarat
mutlak bagi adanya pembatasan hak dan
kebebasan pribadi seseorang, harus ditetapkan
-3-

dengan undang-undang. Oleh karena itu,


ancaman
pidana
terhadap
penghinaan
yang dilakukan melalui media elektronik,
sebagaimana diatur dalam UU ITE, secara
yuridis formal tidak bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945. Dengan adanya
ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE
maka larangan atas tindakan penghinaan dan/
atau pencemaran nama baik melalui media
elektronik bukan merupakan pelanggaran
atas kebebasan berekspresi, sebab norma ini
ditentukan melalui Pasal 27 ayat (3) UU ITE
dan dapat dinyatakan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi
manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.
UU tentang Perubahan UU ITE
mengancam pidana terhadap orang yang
melakukan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik melalui media elektronik, dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Penurunan ancaman pidana dari 6 (enam)
tahun menjadi 4 (empat) tahun didasari pada
munculnya keberatan dari sebagian masyarakat
terhadap ancaman pidana Pasal 27 ayat (3)
yang berujung diajukannya uji materi ke MK.
Selain itu, pengaturan ancaman pidana penjara
5 (lima) tahun atau lebih berimplikasi pada
dapat ditahannya tersangka, sesuai dengan
ketentuan KUHAP, seperti yang terjadi dalam
kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit
Omni Internasional. Penyidik mengualifikasi
perbuatan Prita sebagai pelanggaran Pasal 27
ayat (3) UU ITE, dan menahan Prita karena
ancaman sanksi maksimal 6 (enam) tahun.
Dengan penurunan ancaman pidana dalam
Pasal 27 ayat (3) UU tentang Perubahan UU
ITE dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat)
tahun, perlakuan atas tersangka delik
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
melalui media elektronik tidak perlu ditahan
selama
proses
penyidikan
berlangsung,
sehingga potensi pelanggaran HAM dengan
ditahannya tersangka sebelum berkas perkara
selesai disusun dapat dihindari.

dengan UUD NRI Tahun 1945. DPR dan


Pemerintah
perlu
melakukan
sosialisasi
terhadap pengaturan tersebut, agar masyarakat
mengetahui aturan tersebut dan mencegah
timbulnya penghinaan melalui media elektronik
yang dapat merugikan orang lain.

Referensi
Ancaman UU ITE Berlanjut, Kompas, 28
Oktober 2016.
Effendi, A. Masyhur, Perkembangan Dimensi
Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi
Manusia (HAKHAM), Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/
PUU-VI/2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUUVII/2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUUVIII/2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/
PUU-XIV/2016.
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia
dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia, 1997.
Rizky
Ariestandi
Irmansyah,
Hukum,
Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi,
Yogyakarta: Graha Ilmu, Cetakan Pertama,
2013.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik.
Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
UU ITE Baru Cegah Kriminalisasi, Media
Indonesia, 28 Oktober 2016.

Penutup
Hak atas kebebasan berekspresi dijamin
oleh UUD NRI Tahun 1945, namun UUD NRI
Tahun 1945 juga membatasi pelaksanaan hak
tersebut, yang ditetapkan dengan UU. UU
ITE sebagaimana telah diubah, mengancam
sanksi pidana bagi pelaku penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, sehingga secara yuridis
formal pengaturan ancaman pidana terhadap
penghinaan dalam UU ITE tidak bertentangan
-4-

Majalah

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Vol. VIII, No. 21/I/P3DI/November/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

SENJATA KIMIA DAN KONFLIK SURIAH


Adirini Pujayanti*)

Abstrak
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah kembali menjadi sorotan dunia
internasional. Kedua pihak yang bertikai, baik pemerintah maupun pemberontak,
ditengarai kembali menggunakan senjata kimia. Bukti penggunaan senjata kimia
tersebut ditemukan dalam konflik yang berpusat di Kota Aleppo oleh Kelompok
Pemantau HAM untuk Suriah. Masyarakat internasional harus memberi peringatan
keras kepada pihak-pihak yang bertikai di Suriah untuk mematuhi larangan
penggunaan senjata kimia dalam konflik. Indonesia dapat memanfaatkan hubungan
baik kedua negara untuk mencegah penggunaan senjata kimia dalam konflik Suriah
demi mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia.

Pendahuluan

Masyarakat internasional tidak dapat


membiarkan situasi di Suriah semakin
memburuk, terutama dengan digunakannya
senjata kimia secara berulang kali dalam
konflik tersebut. Penggunaan senjata kimia
dalam konflik Suriah telah lama menjadi
keprihatinan Indonesia, terutama karena
selalu adanya korban warga sipil. Tulisan
ini merupakan analisis mengenai apa yang
dapat dilakukan Indonesia untuk mencegah
berulangnya penggunaan senjata kimia di
Suriah.

Konflik Suriah telah berlangsung


selama lebih dari lima tahun. Sejak tahun
2011 lalu, pertempuran dimulai dengan
adanya pihak-pihak yang tidak puas dan
menentang pemerintahan negara itu di
bawah kepemimpinan Presiden Bashar alAssad. Kota Aleppo, kota perang terbesar
Suriah telah menjadi panggung utama
konflik antara Presiden Bashar al-Assad
yang didukung Iran, Rusia, dan milisi
Syiah. Sementara pihak pemberontak
didukung milisi Suni, Turki, negara-negara
Teluk, dan Amerika Serikat. Akibat perang,
Kota Aleppo selama beberapa tahun telah
terbagi dua dengan pasukan pemerintah di
barat dan pasukan pemberontak di timur.
Konflik Suriah semakin parah karena
kecenderungan kedua pihak yang bertikai
saling serang menggunakan senjata kimia
dengan korban warga sipil.

Senjata Kimia dalam Konflik Suriah


Konflik bersenjata di Suriah kembali
pecah di Kota Aleppo setelah gencatan
senjata sepihak yang diumumkan oleh Rusia
berakhir akhir bulan Oktober lalu. Gencatan
senjata tersebut bertujuan memberikan
waktu bagi evakuasi warga sipil dan militan

*) Peneliti Madya Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Penelitian,
Badan Keahlian DPR RI. Email: apujayanti@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-5-

asing meninggalkan daerah timur Kota


Aleppo. Selama gencatan senjata, delapan
jalur penyaluran bantuan kemanusiaan dan
evakuasi dibuat untuk warga meninggalkan
kota. Jalur evakuasi seringkali dihalangi
oleh kelompok pemberontak yang ingin
menjadikan warga sipil sebagai perisai dan
tameng hidup mereka. Pihak pemberontak
berasumsi pemindahan secara paksa
penduduk dari wilayah timur ke luar Aleppo
adalah strategi pembersihan etnis Suni oleh
pihak pemerintah.
Menurut Kelompok Pemantau Hak
Asasi Manusia (HAM) di Suriah atau The
Syrian Observatory for Human Rights
(SOHR), sedikitnya 253 warga sipil, termasuk
49 anak-anak, tewas di Aleppo sejak 22 April
2016. Kota Aleppo terus diserang dengan
ratusan roket dan tembakan peluru, meski
masih terdapat sekitar 250 ribu orang
terkepung di wilayah tersebut. Banyaknya
jumlah korban sipil mendapat kecaman
dari utusan PBB untuk Suriah, Staffan de
Mistura, yang terkejut dengan tingginya
jumlah roket serangan yang dinilai sangat
tidak proposional dan diarahkan ke
perumahan warga sipil di desa-desa, serta
ditemukan kembali penggunaan senjata
kimia dalam serangan tersebut. Mistura
mengategorikan serangan senjata berat dan
kimia dalam konflik pasca-gencatan senjata
sebagai kejahatan perang.
Kembalinya
penggunaan
senjata
kimia dalam konflik Suriah menjadi
keprihatinan internasional. PBB telah
menyatakan penggunaan senjata kimia oleh
pihak manapun dan dalam situasi apapun
adalah suatu kejahatan luar biasa. Proses
kematian akibat senjata kimia bukan karena
daya ledaknya tetapi proses kematian
korbannya yang sangat memilukan. Korban
akan mati perlahan, cacat seumur hidup, dan
dampaknya sampai ke generasi berikutnya.
Pihak yang bertikai saling melemparkan
tuduhan terhadap penggunaan senjata kimia
tersebut kepada pihak lawannya. Pasukan
pemberontak dituduh melakukan serangan
senjata kimia ke wilayah al-Hamdaniya
yang dikuasai pemerintah di Aleppo Barat.
Sementara tentara pemerintah dituduh
melakukan serangan senjata kimia ke distrik
Raasyidin di Aleppo Timur.
Penggunaan senjata kimia dalam
konflik di Suriah diketahui terjadi sejak tahun
2013. Saat itu masyarakat internasional telah

mendesak Dewan Keamanan PBB untuk


mengecam penggunaan senjata kimia di
Suriah dan menyerukan pemberian sanksi
kepada para pelakunya. Pemerintahan
Presiden Bashar menolak tuduhan tersebut,
namun di bawah kesepakatan yang ditengahi
oleh Rusia dan Amerika Serikat, Bashar
bersedia
menandatangani
Kesepakatan
Konvensi Senjata Kimia tahun 1997.
Pemerintahan Bashar menyerahkan stok
senjata kimianya kepada misi bersama
Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia
atau Organization for the Prohibition of
Chemical Weapons (OPCW), dan bersedia
memberi akses kepada para inspektor
PBB untuk melakukan pengawasan sesuai
ketentuan
dalam
perjanjian
tersebut.
Pengawasan
untuk
menemukan
dan
menghancurkan senjata kimia di Suriah terus
dilakukan. Namun di tahun 2015, penggunaan
senjata kimia oleh kedua pihak yang bertikai
kembali terjadi. Pertempuran di Kota Aleppo
pasca-berakhirnya gencatan senjata akhir
Oktober 2016 juga membuktikan kembali
adanya penggunaan senjata kimia gas klorin.
Rezim Suriah maupun kelompok
pemberontak kembali saling melempar
tuduhan satu sama lain menggunakan
senjata
kimia
dalam
perang
yang
mengakibatkan lebih dari 260.000 orang
tewas. Sebagai tindak lanjut berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2235
tahun 2015, PBB telah membentuk tim
Mekanisme Investigasi Bersama atau Joint
Investigative Mechanism (JIM) dari OPCW
untuk menyelidiki penggunaan senjata
kimia dan mengidentifikasi pihak yang
harus bertanggung jawab atas serangan
senjata kimia di Suriah. Hasil investigasi
akan menjadi dasar pemberian sanksi PBB
kepada Suriah. Tim panel memeriksa tujuh
kasus yang berpotensi menggunakan senjata
kimia yang serius, termasuk lima di Provinsi
Idlib pada tahun 2014 dan 2015. Dua
kasus lainnya berada di Hama dan Marea,
Provinsi Aleppo. Suriah menolak temuan
dari tim penyelidik PBB tersebut dan akan
menyajikan pengamatan dan catatan sendiri.

Perlucutan Senjata dan NonProliferasi Kimia


Senjata kimia merupakan senjata
sangat berbahaya. Teknologi sistem senjata
kimia relatif murah jika dibandingkan
dengan teknologi pembuatan senjata
-6-

nuklir. Oleh karena itu bagi negara-negara


Berkembang, senjata kimia dianggap sebagai
senjata deterrent. Penggunaan senjata kimia
sangat berbahaya karena efeknya dapat
membunuh manusia secara massal, terjadi
sangat cepat, perlu keahlian khusus dalam
pendeteksiannya, serta dibutuhkan pakaian
dan peralatan pelindung khusus dalam
penyelamatan korban.
Regulasi universal tentang kepemilikan
senjata kimia sama ketatnya dengan
kepemilikan senjata nuklir. Protokol Jenewa
tahun 1925 jelas menyatakan melarang
penggunaan senjata kimia. Senjata kimia
yang dimaksud dalam perjanjian tersebut
adalah seluruh zat kimia yang digunakan
seperti Venomous Agent X (VX), sulfur
mustard, sarin, klorin, dan hidrogen sianida.
Termasuk penyandangnya, seperti ranjau,
granat tangan, serta hulu ledak rudal.
Protokol ini lahir sebagai akibat penggunaan
senjata kimia dalam Perang Dunia I yang
menewaskan puluhan ribu tentara. Jerman
menggunakan gas klorin di Belgia yang
menewaskan 15 ribu tentara lawan, kemudian
pihak Inggris dan sekutunya melakukan
pembalasan dengan menggunakan gas sulfur
mustard. Inilah cikal bakal lahirnya Protokol
Jenewa tahun 1925. Penggunaan senjata
kimia yang tercatat paling buruk dalam
sejarah dunia karena menggunakan senjata
kimia adalah pada Perang Vietnam tahun
1961- 1975. AS membombardir Vietnam
dengan menggunakan senjata kimia, salah
satunya dikenal dengan nama Agent Orange.
Setidaknya 20 juta galon disebar dari udara
di bumi Vietnam. Versi Pemerintah Vietnam
menyebut 400 ribu orang Vietnam tewas
atau cacat berat, 500 ribu bayi lahir cacat,
dan 2 juta warga Vietnam terkena kanker
dan penyakit lain sebagai dampak lanjutan
penggunaan senjata kimia itu.
Semua negara di dunia ini memiliki
potensi untuk membuat senjata kimia.
Oleh karena itu meski setiap negara bebas
membuat dan mengembangkan industri
kimianya, terdapat komitmen internasional
untuk larangan penggunaan senjata kimia
dalam konflik. Chemical Weapons Convention
(Konvensi Senjata Kimia/KSK) merupakan
suatu perjanjian internasional di bidang
arms control yang melarang produksi,
penimbunan, dan penggunaan senjata kimia.
KSK mulai berlaku pada tanggal 29 April
1997. Administrasi dari implementasi KSK

dilakukan oleh OPCW yang merupakan


organisasi independen dan tidak berada di
bawah naungan PBB. Saat ini terdapat 190
Negara Pihak KSK. Israel dan Korea Utara
tidak ikut menandatangani perjanjian tersebut.
Karena proses membuat senjata kimia lebih
mudah dibanding senjata nuklir, maka kontrol
untuk kepemilikan senjata kimia lebih sulit
terdeteksi. Bahan-bahan pembuat senjata
kimia masih dapat diperoleh di pasar gelap.
Ancaman senjata kimia bagi manusia semakin
besar ketika muncul laporan yang menyebut
ISIS dan kelompok-kelompok teroris lainnya
mulai menggunakan senjata kimia dalam
melancarkan aksi mereka.

Sikap Indonesia terhadap Konflik


dan Penggunaan Senjata Kimia
di Suriah
Indonesia hingga saat ini masih
mempertahankan sikap politik bebas aktif
dan bersikap netral dalam konflik Suriah.
Indonesia menjadi salah satu negara yang
masih mempertahankan kedutaan besarnya
di Suriah bahkan Dubes Djoko Harjanto
juga masih bertugas di ibukota Damaskus.
Sikap netral Pemerintah Indonesia sangat
membantu perwakilan Indonesia dalam
melakukan evakuasi dan repratiasi warga
negara Indonesia (WNI) di Suriah. Indonesia
tegas menyatakan solusi politik untuk
mengatasi krisis Suriah dengan memastikan
PBB menjadi bagian dari solusi konflik
tersebut dan mendesak dunia internasional
menghentikan
kekerasan
yang
telah
menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Indonesia
menegaskan sejumlah poin penting dalam
hubungan bilateral kedua negara, antara
lain (1) dukungan RI terhadap Suriah dalam
memberantas terorisme; (2) dukungan solusi
politik untuk penanganan krisis di Suriah dan
penegasan bahwa masa depan Suriah berada
di tangan rakyatnya.
Indonesia sejalan dengan PBB dalam
hal pengawasan dan pemusnahan senjata
kimia di Suriah. Indonesia sangat menekankan
bahwa kemajuan-kemajuan di bidang kimia
harus dipergunakan semata-mata untuk
kesejahteraan umat manusia. Indonesia
termasuk negara pihak dalam KSK dan telah
meratifikasinya
melalui
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pengesahan
Convention On The Prohibition Of The
Development, Production, Stockpiling, And
Use Of Chemical Weapons And On Their
-7-

Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan


Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan
Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang
Pemusnahannya). Kebijakan anti senjata
kimia kembali dipertegas Indonesia dengan
meratifikasi Undang-undang Implementasi
KSK menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun
2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan
Larangan Penggunaan Bahan Kimia sebagai
Senjata Kimia.
Di
Indonesia
sendiri
potensi
ancaman senjata kimia ada, karena
ditengarai keahlian membuat senjata kimia
dikuasai oleh kelompok teroris di tanah
air. Pemerintah Indonesia harus aktif
dalam kerjasama anti senjata kimia dan
perlucutan senjata pemusnah massal. KSK
merupakan contoh dari multilaterallyagreed framework. KSK memiliki tiga pilar
penting yang perlu selalu berada dalam
titik keseimbangan yaitu: penghancuran
senjata kimia yang masih ada sesuai dengan
timeline yang ditentukan; upaya-upaya
OPCW dan negara pihak untuk selalu
meningkatkan nonproliferasi senjata kimia
di antaranya melalui mekanisme verifikasi;
dan terakhir, adanya jaminan kerjasama dan
bantuan internasional (ICA-International
Cooperation and Assistance).

dalam mengawasi dan memusnahkan


senjata kimia Suriah. Pemerintah Indonesia
perlu mendesak PBB untuk memberikan
perlindungan dan menggalang bantuan
kemanusiaan kepada rakyat Suriah.
Dengan tujuan yang sama, DPR
diharapkan juga lebih aktif menggalang
kerjasama
internasional
anti
senjata
kimia melalui upaya diplomasi parlemen.
Diantaranya melalui forum Parliamentary
Union of the OIC Member States (PUIC),
Asian Parliamentary Assembly (APA), dan
Inter Parliamentary Union (IPU). Melalui
forum antarparlemen, Anggota DPR-RI
dapat menjalin komunikasi dengan sesama
anggota parlemen dari berbagai negara untuk
turut mencari solusi damai dalam mengatasi
konflik Suriah.

Referensi
Dubes RI Damaskus Diwawancara Eksklusif
Oleh Harian Al-Baath Suriah, 9 Mei 2016,
http://www.kemlu.go.id/, diakses
7
November 2016.
ISIS Gunakan Senjata Kimia, Lavrov: Ancaman
Kian Besar, 1 Maret 2016, international.
sindonews.com, diakses 3 November 2016.
Kementerian Luar Negeri Indonesia Perlucutan Senjata dan Non-proliferasi
Senjata Pemusnah Massal, http://www.
kemlu.go.id/, diakses 2 November 2016.
"Pemberontak Gunakan Gas Beracun", Media
Indonesia, 1 November 2016 h. 10.
Pengamat Banyak Teroris Mahir Rakit Senjata
Kimia di Indonesia - Kompas.com, 17
Februari 2016, diakses 2 November 2016.
"Senjata Kimia di Ladang Tempur Suriah",
Republika, 2 November 2016, h. 19.
"Senjata Kimia Sejak Perang Dunia I",
Republika, 2 November 2016, h. 19.
Suriah Sangkal Laporan PBB Soal Penggunaan
Senjata Kimia2 September 2016, https://
www.voa-islamnews.com/suriah-sangkallaporan-pbb-soal-penggunaan-senjatakimia.html, diakses 7 November 2016.
"Tears on Syrias green buses", The New
York Times, 1 November 2016, h. 1.
"Utusan PBB Meradang Soal Aleppo",
Republika, 1 November 2016, h. 7.
"Ungkapkan Solidaritas Korban Aleppo
Melalui Donasi dan Aksi", 6 Mei, 2016
-http://www.pikiran-rakyat.com/b,
diakses 7 November 2016.

Penutup
Sikap netral Indonesia dalam krisis
Suriah harus disertai upaya untuk mengatasi
krisis kemanusiaan yang terjadi di Suriah
saat ini. Pemerintah Indonesia dianggap
belum memiliki andil yang cukup besar
dalam mengurangi penderitaan rakyat
Suriah. Dengan terungkapnya fakta mengenai
penggunaan berulang senjata kimia oleh oleh
pihak-pihak yang bertikai di Suriah, DPR
perlu meminta kepada Pemerintah Indonesia
untuk lebih aktif dalam upaya membantu
penyelesaian konflik di negara tersebut.
Dalam hal pengawasan dan pemusnahan
senjata kimia di Suriah, sebagai negara
yang dianggap netral, Indonesia dapat
memanfaatkan posisinya untuk melakukan
pendekatan kepada pihak yang bertikai agar
mau lebih bekerja sama dengan PBB.
Melihat kekerasan sistemik yang
berkelanjutan
di
Suriah,
Pemerintah
Indonesia harus mengambil sikap politik
yang lebih tegas, mendorong PBB untuk
segera mencari solusi damai bagi konflik
Suriah, dan memperkuat OPCW agar netral
-8-

Majalah

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Vol. VIII, No. 21/I/P3DI/November/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

AKSI DAMAI BELA ISLAM DAN


PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA
Achmad Muchaddam F.*)

Abstrak
Aksi Bela Islam pada 4 November 2016 muncul akibat lambannya proses hukum atas
kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaya
Purnama. Kasus ini memperlihatkan bahwa toleransi antarumat beragama masih perlu
dikelola dengan serius. Saat ini Pemerintah mengusulkan RUU tentang Perlindungan
Umat Beragama. RUU tersebut diharapkan dapat menjawab persoalan sikap intoleransi
antarumat beragama yang masih sering terjadi, dengan paradigma pengaturan yang
seyogyanya diarahkan untuk melayani dan melindungi sehingga menghindarkan
terjadinya diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan.

Pendahuluan

wajib
menjaga
harmoni
kehidupan
beragama,
bermasyarakat,
berbangsa,
dan bernegara. Kedua, Pemerintah wajib
mencegah setiap penodaan dan penistaan
Al-Quran dan agama Islam dengan tidak
melakukan pembiaran atas perbuatan
tersebut. Ketiga, aparat penegak hukum
wajib menindak tegas setiap orang yang
melakukan penodaan dan penistaan AlQuran dan ajaran agama Islam serta
penghinaan terhadap ulama dan umat
Islam sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Keempat, aparat
penegak hukum diminta proaktif melakukan
penegakan hukum secara tegas, cepat,
proporsional, dan profesional dengan
memerhatikan rasa keadilan masyarakat,
agar masyarakat memiliki kepercayaan

Pada tanggal 4 November 2016


ratusan ribu orang turun ke jalan menuntut
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) dipenjara karena
diduga telah menistakan agama. Dugaan
tersebut terkait dengan pernyataannya
saat melakukan kunjungan di Kepulauan
Seribu, pada 27 September lalu. Dalam
kunjungan itu, ia terekam meminta warga
jangan mau dibohongi pakai surat alMaidah ayat 51. Dugaan penistaan agama
itu diperkuat oleh pendapat dan sikap
keagamaan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dimana Gubernur DKI Jakarta
nonaktif itu, dipandang menghina AlQuran dan/atau menghina ulama. Atas
dasar
itu
MUI
merekomendasikan:
Pertama, Pemerintah dan masyarakat

*) Peneliti Madya Agama dan Tradisi Keagamaan pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: achmad.fahham@gmail.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-9-

tidak perlu dilakukan karena pelaku sudah


meminta maaf atas perbuatan yang sudah
dilakukannya. Mereka juga menilai bahwa
apa yang telah dilakukan oleh Gubernur
DKI Jakarta nonaktif bukan merupakan
penistaan agama. Karena dugaan penistaan
agama yang dilakukannya masih bisa
diperdebatkan, bahkan tindakan pelaku
tidak menghina atau menistakan agama atau
keyakinan tertentu.
Meskipun ditolak oleh sebagian
masyarakat muslim, aksi damai ini
kemudian tetap digelar. Dengan melibatkan
ratusan ribu massa Islam dari berbagai
daerah di Indonesia aksi ini berjalan damai
dan tertib hingga tenggat waktu yang telah
ditetapkan, yakni pukul 18.00 WIB. Akan
tetapi, setelah pukul 18.00, masih ada massa
yang tidak juga membubarkan diri, hingga
akhirnya terjadi kerusuhan pada malam hari.
Saat ini pihak kepolisian sedang melakukan
proses penyelidikan atas kerusuhan yang
terjadi.
Bagi Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj
aksi damai 4 November itu merupakan
bagian dari cara berdemokrasi yang beradab
dan niat yang tulus meluruskan etika
kepemimpinan. Kepemimpinan menurutnya
merupakan teladan yang baik (uswatun
hasanah), tidak berujar kalimat kotor yang
menimbulkan kontroversi. Karena itu, ia
meminta aparat keamanan untuk menindak
pihak-pihak yang ingin menodai aksi yang
luhur. Kericuhan ia nilai tidak muncul dari
pengunjuk rasa damai, melainkan dilakukan
oleh kelompok yang ingin merusak dan
niat suci dari aksi damai itu. PBNU
menyayangkan kelambanan pemerintah
dalam melakukan komunikasi politik dengan
rakyat dan meminta pemerintah untuk
melakukan dialog dengan tokoh agama
untuk menimbulkan suasana negara yang
kondusif. PBNU menyerukan kepada seluruh
rakyat Indonesia bersatu padu senantiasa
membangun ukhuwah dan memperkokoh
kebangsaan kita.
Senada dengan itu, Ketua Umum
Pimpinan
Pusat
Muhammadiyah,
Haedar Nashir, mengajak Umat Islam
tidak berhenti menebarkan perdamaian
pascaaksi unjuk rasa penyampaian sikap 4
November 2016. Pesan aksi tersebut telah
sampai pada tujuannya karena Pemerintah
melalui presiden dan wakil presiden

terhadap penegakan hukum. Kelima,


masyarakat diminta untuk tetap tenang dan
tidak melakukan aksi main hakim sendiri
serta menyerahkan penanganannya kepada
aparat penegak hukum, di samping tetap
mengawasi aktivitas penistaan agama dan
melaporkan kepada yang berwenang.
Sebagai negara yang multiagama,
Indonesia menjamin agar masing-masing
pemeluk agama dapat menjalankan ajaran
agama dan kepercayaannya. Jaminan itu,
tegas dinyatakan dalam konstitusi Pasal
29 ayat (1) dan (2). Namun dalam konteks
interaksi antarumat beragama, gesekan dan
ketegangan antarumat beragama kerapkali
tidak terhindarkan. Kasus dugaan penistaan
agama yang mendorong aksi ribuan
massa umat Islam dari berbagai daerah 4
November lalu harus menjadi perhatian kita
semua. Oleh karena itu, tulisan ini hendak
mengkaji kembali pentingnya merawat
toleransi di tengah masyarakat Indonesia
yang plural, terutama antarumat beragama.

Aksi damai dan demokrasi


Aksi ratusan ribu orang pada Jumat
lalu dikenal dengan Aksi Bela Islam atau
Aksi Damai 4 November. Jumlah peserta
aksi ini dipandang yang terbesar di antara
aksi-aksi yang terjadi di Indonesia. Aksi itu
melahirkan dua sikap masyarakat muslim
di Indonesia. Pertama, masyarakat muslim
pendukung aksi dan kedua, masyarakat
muslim antiaksi. Bagi kelompok pertama,
aksi itu harus dilakukan sebagai bentuk
protes, karena aparat kepolisian lamban atau
tidak proaktif menangani kasus penistaan
agama. Dalam demokrasi, protes adalah
hal jamak. Aksi itu, menurut Koordinator
Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (GNPF MUI) tidak
bertentangan dengan hukum, bahkan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum. Menurut mereka
aksi harus dilakukan karena apa yang
dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif
itu menghina Islam. Selain itu, aksi juga
dimaksudkan sebagai bentuk peringatan
kepada semua lapisan masyarakat agar lebih
berhati-hati dalam mengemukakan satu
pandangan terkait agama dan keyakinan
tertentu.
Di sisi lain, kelompok yang kontra
menganggap aksi damai membela Islam
- 10 -

Perlindungan Umat Beragama

telah memerintahkan kepolisian untuk


memproses hukum dugaan penistaan agama
dengan cepat, tegas dan transparan. Seluruh
umat Islam harus menunjukkan iktikad dan
sikap baik dan terpercaya yang merupakan
pembuktian kepada masyarakat luas bahwa
dalam keadaan apapun umat Islam mampu
memberikan uswah hasanah atau suri
teladan yang baik.

Kasus-kasus gesekan dan ketegangan


sosial bernuansa agama sejatinya telah
lama menjadi perhatian semua pihak, dan
termasuk pemerintah. Untuk meminimalisir
gesekan, ketegangan dan konflik bernuansa
agama
di
tengah-tengah
masyarakat
Indonesia yang multiagama ini pemerintah
pada 2003 pernah mengusulkan RUU
Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB).
RUU itu mengatur antara lain: tata tertib
penyiaran agama, pengaturan tenaga
dan
bantuan
asing,
penyelenggaraan
hari-hari besar keagamaan, persyaratan
pendirian dan penggunaan tempat ibadah
umum keagamaan, kebebasan beragama
dan menjalankan ibadah/ritual agama,
kebebasan mengikuti pendidikan agama,
perkawinan antarpemeluk agama yang
berbeda, dan penyalahgunaan agama untuk
mengganggu ketertiban masyarakat dan/
atau Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena mendapat penolakan dari berbagai
elemen masyarakat, RUU ini kemudian
dihentikan.
Pada tahun 2010, Komisi VIII DPR
RI juga pernah mengusulkan RUU serupa,
namun berhenti dan tidak dibahas karena
RUU ini dipandang belum sempurna dan
belum mampu memberi kepastian hukum
terhadap umat beragama. Kini pemerintah
kembali mencoba mengusulkan RUU
tentang Perlindungan Umat Beragama
(RUU PUB).
RUU ini sudah masuk
Prolegnas 2015-2019 No. 111. RUU ini tentu
diharapkan dapat menjawab persoalan
sikap intoleransi yang sampai saat ini
masih sering terjadi. Meskipun demikian,
perlu ditegaskan bahwa intoleransi dalam
pengertian sikap tidak mau menerima,
mengakui, menghormati, dan menghormati
perbedaan agama, tidak sepenuhnya dapat
diselesaikan melalui UU. Karena persoalan
intoleransi dalam bentuk penghinaan,
kekerasan dan sejenisnya terjadi karena
faktor penegakan hukum, bukan faktor
kekosongan hukum.
Karena itu, RUU PUB seyogyanya
mengubah paradigmanya, dari mengatur
menjadi
melayani,
dari
mengontrol
menjadi melindungi. Selain itu, RUU ini
juga seyogyanya menghindari diskriminasi
berdasar agama dan keyakinan, dan sensitif
terhadap Hak Asasi Manusia, terutama hakhak minoritas.

Merawat Toleransi
Sebagai negara dengan multiagama,
masyarakat Indonesia dituntut untuk
menerima dan menghargai perbedaan.
Tidak hanya bagi individu, sikap untuk
menerima dan menghargai perbedaan harus
dimiliki oleh setiap kelompok dan golongan.
Salah satu bentuknya adalah menghindari
segala bentuk ungkapan, ucapan dan pikiran
yang buruk terkait agama sendiri atau agama
orang lain. Tanpa sikap mau menerima dan
menghargai perbedaan, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika tak akan pernah terwujud.
Tanpa sikap menerima dan menghargai
perbedaan, yang muncul kemudian adalah
hujatan, makian, dan olokan.
Kasus penistaan agama adalah contoh
ketidakmampuan untuk menjadi toleran,
yakni menerima dan menghargai perbedaan
keyakinan dan tafsiran agama yang beragam.
Ketidakmampuan menerima dan menghargai
perbedaan itu, saat ini tampak pada media
sosial. Fenomena intoleransi dalam media
sosial, sangat mengejutkan, sebab pelakunya
bukan saja orang biasa, tetapi juga orangorang terpelajar dan mengerti pentingnya
merawat toleransi. Sikap intoleransi dalam
media sosial ini memiliki pengaruh yang tidak
kecil terhadap retaknya hubungan antarumat
agama yang saat ini harmonis. Lewat media
sosial kebencian dan penghinaan mudah
sekali disebarkan.
Untuk itu, dialog antariman perlu terus
dilakukan, tidak hanya di kalangan elite
agama tetapi juga di kalangan umat. Dengan
dialog pemahaman terhadap perbedaan akan
terwujud. Sikap setuju dalam perbedaan atau
sepakat dalam ketidaksepakatan (agree in
disagreement) perlu terus ditumbuhkan di
kalangan kelompok agama, suku dan etnis,
dengan harapan agar setiap orang tidak perlu
mengusik orang lain. Akhirnya, menghargai
dan menghormati berbagai perbedaan
harus menjadi asas atau fondasi sikap bagi
terciptanya harmonis kehidupan sosial.
- 11 -

Penutup

Referensi

Aksi 4 November mengingatkan


pemerintah bahwa toleransi antarumat
beragama masih menjadi masalah yang
perlu dikelola dengan serius. Pluralitas
bangsa dirajut dan disatukan oleh Semboyan
Bhineka Tunggal Ika, yang tidak akan
pernah terwujud tanpa toleransi. Selain itu,
penegakan hukum harus dilakukan segara
dilakukan tanpa diskriminatif. Mengingat
kasus-kasus intoleransi mudah terjadi
karena faktor penegakan hukum yang
lamban. Penegakan hukum memerlukan
aturan-aturan hukum yang melayani dan
melindungi umat beragama di Indonesia.
RUU PUB diharapkan dapat mewujudkan
aturan-aturan hukum yang melayani dan
melindungi itu.

Ahmad, Rumadi. RUU Perlindungan Umat


Beragama, dalam Kompas.com, Kamis,
27 November 2014,
http://nasional.
kompas.com/read/2014/11/27/09184961/
RUU.Perlindungan.Umat.Beragama,
diakses tanggal 10 November 2016.
Arif, Saiful. "RUU KUB: Cermin Agama
yang Menegara, dalam
http://www.
averroes.or.id/ruu-kub-cermin-agamayang-menegara.html, diakses tanggal 10
November 2016.
Destrianita. "Begini Kronologi Aksi Demo
4
November
Versi
GNPF
MUI",
dalam
https://m.tempo.co/read/
news/2016/11/05/078818050/beginikronologi-aksi-demo-4-november-versignpf-mui, diakses tanggal 8 November
2016.
Iqbal, Muhammad (ed). Aksi Bermatabat,
Republika, Sabtu 5 November 2016.
Ismail, Faisal. 2002. Pijar-Pijar Islam:
Pergumulan
Kultur
dan
Struktur.
Jakarta: Departemen Agama RI.
Jokowi Janji Tak Lagi Lindungi Ahok,
Republika, Rabu 9 November 2016.
Penegakan Hukum untuk Semua, Media
Indonesia, Senin, 7 November 2016.
Rais, M. Amien, Bung Jokowi, jangan
terlambat, Republika, Selasa 8 November
2016.
Salmande, Ali. Penistaan Agama di negaranegara Eropa, Republika, Sabtu, 5
November 2016.
Yosarie, Ikhsan. Merawat Kebhinekaan,
Republika, Sabtu 5 November 2016.
Zamzami,
Fitriyan.
Pesan
Aksi
Tersampaikan, Republika, Senin 7
November 2016

- 12 -

Majalah

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Vol. VIII, No. 21/I/P3DI/November/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

TARGET PENERIMAAN
PAJAK NONMIGAS APBN 2017
Achmad Sani Alhusain*)

Abstrak

Dalam APBN Tahun 2017, DPR dan Pemerintah menyepakati target penerimaan pajak
nonmigas yang terdiri dari PPh nonmigas, PPN dan PPnBM, PBB serta pajak lainnya sebesar
Rp1.271,7 triliun. Target penerimaan pajak nonmigas ini lebih rendah dari target penerimaan
APBN P Tahun 2016 dan lebih realistis. Namun demikian, usaha untuk mencapai target ini
harus terus diupayakan dengan peningkatan basis pajak melalui efektivitas implementasi
kebijakan pengampunan pajak dan kebijakan ekstensifikasi pajak yang tentunya perlu
diiringi dengan penataan kembali road map reformasi perpajakan. Atas target yang telah
disepakati, DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan agar target penerimaan dapat
dicapai dan mendorong pelaksanaan fungsi legislasi untuk mempercepat pembahasan RUU
Ketentuan Umum Perpajakan yang sudah menjadi prioritas.

Pendahuluan

Rp493,9 triliun, pajak bumi dan bangunan


(PBB) sebesar Rp17,3 triliun, serta pajak
lainnya sebesar Rp8,7 triliun. Sementara
penerimaan kepabeanan dan cukai yang
menjadi domain Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai ditargetkan mencapai Rp191,2 triliun.
Target itu terdiri atas penerimaan cukai
Rp157,2 triliun, bea masuk Rp33,7 triliun,
dan bea keluar Rp340 miliar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara,
menyatakan
pihaknya
menggunakan
outlook realisasi penerimaan sebagai
basis perhitungan target penerimaan guna
menciptakan postur anggaran yang kredibel
dan bisa dipertanggungjawabkan. Suahasil
menyebut bahwa kenaikan 13,7 persen

APBN Tahun 2017 telah disahkan.


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
pemerintah menyepakati target penerimaan
pajak nonmigas ditambah penerimaan
kepabeanan dan cukai pada APBN Tahun
2017 sebesar Rp1.462,9 triliun. Target
penerimaan tersebut lebih tinggi 13,7 persen
dibandingkan outlook realisasi penerimaan
yang diperkirakan mencapai Rp1.286,8
triliun hingga akhir tahun ini.
Penerimaan pajak nonmigas yang
menjadi domain Direktorat Jenderal Pajak
ditargetkan mencapai Rp1.271,7 triliun.
Target itu terdiri atas pajak penghasilan (PPh)
nonmigas sebesar Rp751,8 triliun, pajak
pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan
atas barang mewah (PPnBM) sebesar

*) Peneliti Madya Kebijakan Publik pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
E-mail: sani_alhusain@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 13 -

Tabel 1. Perkembangan Realisasi Penerimaan Pajak NonMigas


Dalam triliun rupiah

APBN P 2014
Penerimaan Pajak Nonmigas

APBN P 2015
%

Target

Real

APBN P 2016

Target

Real

Target

Real*

988,5

897,5 90,8 1.244,7 1.011,2 81,2 1.318,9 1.080,9

%
82

*Proyeksi realisasi penerimaan pajak nonmigas Tahun 2016.


Sumber: Kementerian Keuangan, diolah.

didasarkan pada pertumbuhan produk


domestik bruto (PDB) plus inflasi sekitar 10
persen dan sisanya extra effort dari otoritas
pajak dan bea cukai.
Disadari
bahwa
pertumbuhan
penerimaan berdasarkan proyeksi, tetap ada
risikonya dan hal tersebut selalu menjadi
perhatian. Secara khusus, proyeksi realisasi
penerimaan pajak nonmigas menggunakan
asumsi shortfall Rp219 triliun. Suahasil
menambahkan bahwa sepanjang 2012-2015
rata-rata penerimaan perpajakan tumbuh
9,2 persen dengan rincian pertumbuhan
penerimaan
pajak
10,2
persen
dan
pertumbuhan kepabeanan dan cukai 8,2 persen.
Tulisan
ini
difokuskan
untuk
membahas kondisi penerimaan pajak
nonmigas yang di dalamnya akan membahas
posisi pemerintah dan penilaian dari
beberapa pihak mengenai penetapan target
yang telah disepakati dan upaya untuk
mencapai atau bahkan meningkatkan
penerimaan pajak nonmigas yang sudah
ditargetkan.

Pada APBN Tahun 2017, untuk pertama


kalinya DPR dan pemerintah menetapkan
target penerimaan pajak nonmigas lebih
rendah daripada target APBN Perubahan
(APBN-P) Tahun 2016. Namun demikian,
target dalam APBN Tahun 2017 ini masih
lebih tinggi dari proyeksi realisasi APBN-P
Tahun 2016. Menteri Keuangan Sri Mulyani
mengakui
bahwa
target
penerimaan
perpajakan masih cukup ambisius, namun
pemerintah sangat berhati-hati agar target
yang ditetapkan tidak terlihat sebagai
sesuatu yang tidak realistis, yang kemudian
menimbulkan masalah kredibilitas.
Darussalam dari Danny Darussalam
Tax Center mengatakan bahwa target
penerimaan pajak nonmigas APBN Tahun
2017 ini adalah target yang realistis dan
dapat dicapai. Bahkan realisasinya dapat
melebihi apabila pemerintah memberikan
diskresi pengelolaan organisasi, sumber
daya, dan anggaran kepada otoritas
pajak. Ditambahkannya, potensi pajak
Indonesia yang belum tergali masih
sangat besar. Kondisi ini memberi peluang
bagi pemerintah untuk meningkatkan
penerimaan pajak pada tahun 2017 dan
tahun-tahun mendatang.
Darussalam,
mengutip
Ricardo
Fenochietto dan Carola Pessino dalam
kajian berjudul Understanding Countries
Tax Effort pada tahun 2013, menunjukkan
realisasi pajak di Indonesia baru sekitar 47
persen dari total potensi yang ada. Artinya
53 persen dari potensi tersebut masih
terhindar dari pajak.
Direktur
Eksekutif
Center
for
Indonesia
Taxation
Analysis
(CITA)
Yustinus Prastowo menyatakan bahwa
target penerimaan pajak nonmigas tahun ini
lebih realistis dibandingkan dengan target
dua tahun sebelumnya. Hal yang penting
untuk diperhatikan oleh pemerintah adalah
bagaimana mengaitkan moderasi target
pajak dengan kemungkinan pemberian
stimulus yang tepat sasaran sehingga
perekonomian dapat cepat pulih.

Kondisi Penerimaan
Pajak Nonmigas
Merujuk pada kesepakatan antara
DPR dan pemerintah, target penerimaan
pajak nonmigas pada APBN Tahun 2017
sebesar Rp1.271,7 triliun, lebih tinggi 15
persen dibandingkan proyeksi realisasi
penerimaan tahun 2016. Target penerimaan
tersebut masih cukup tinggi apabila melihat
kemampuan pemerintah untuk mencapai
target penerimaan pajak nonmigas yang
diamanatkan selama ini (Tabel 1).
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat
bahwa dari tahun 2014, bahkan tahun
sebelumnya, target penerimaan pajak
nonmigas ini tidak pernah dapat dicapai.
Realisasi Tahun 2014 sebesar 90,8 persen,
tahun 2015 sebesar 81,2 persen dan
berdasarkan hitungan proyeksi penerimaan
yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan,
realisasi tahun 2016 hanya dapat mencapai
82 persen.
- 14 -

Berbeda dengan pendapat sebelumnya,


sebagai pelaku usaha Ketua Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
Rosan Roeslani berpendapat bahwa target
penerimaan
pajak
nonmigas
sebesar
Rp1.271,7 triliun dalam APBN Tahun 2017
yang 15 persen lebih tinggi dari proyeksi
penerimaan pajak nonmigas tahun ini, masih
cukup agresif dan dinilai terlalu ambisius
di tengah pelambatan ekonomi global yang
berpotensi menimbulkan short fall. Rosan
mengingatkan bahwa hingga kini, realisasi
penerimaan pajak nonmigas mencapai
Rp1.105,9 triliun atau kurang Rp213 triliun
dari target APBN-P 2016. Kadin memandang
bahwa pemerintah perlu menurunkan target
penerimaan pajak dan sekaligus mendorong
industri agar bisa meningkatkan penerimaan
pajak dalam jangka panjang. Dengan
demikian dapat mendorong peningkatan
ekspor, penciptaan lapangan kerja, dan
pertumbuhan ekonomi yang sifatnya jangka
panjang dan ada multiplier effect.
Mengingat
masih
terjadinya
pelambatan ekonomi global, pemerintah
harus memiliki strategi yang tepat untuk
mencapai target penerimaan pajak nonmigas
yang telah ditetapkan. Meskipun target
tersebut masih dianggap sedikit ambisius,
namun optimisme pencapaian target
penerimaan pajak nonmigas ini harus terus
dibangun seiring dengan perkembangan data
Direktorat Jenderal Pajak yang menyatakan
bahwa sementara ini sebanyak 436.501
wajib pajak telah ikut pengampunan pajak.
Artinya, dari hasil pengampunan pajak ini
dapat diperoleh potensi penambahan wajib
pajak yang dapat meningkatkan penerimaan
pajak nonmigas pada tahun 2017.

untuk
meningkatkan
tabungan
dan
berinvestasi dengan maksud agar tersedia
dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan
untuk pendanaan pembangunan yang
menjadi
prioritas
pemerintah.
Ini
merupakan sebuah trade off, apabila
pemerintah mengintensifkan pajak maka
masyarakat akan terbebani dan akan
mengambil keputusan untuk mengurangi
tabungan (saving) atau bahkan mengurangi
konsumsi, yang pada akhirnya menurunkan
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu,
perekonomian Indonesia masih ditopang
oleh besarnya konsumsi masyarakat. Untuk
itu, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini
adalah melakukan ekstensifikasi pajak.
Tingkat kepatuhan wajib pajak (WP)
yang dikuantifikasi melalui rasio penerimaan
terhadap PDB (tax ratio) hanya berkisar
10-11 persen selama periode yang sama.
Tax ratio yang berlaku untuk pajak pusat
tersebut sangat rendah. Apabila ditambah
dengan pajak daerah, tax ratio-nya hanya
12-13 persen. Direktur Jenderal Pajak,
Ken Dwijugiasteadi, menyatakan bahwa
dalam upaya menaikkan tax ratio yang
masih rendah ini, kita harus melihat situasi
yang dihadapi karena banyak diskusi di
masyarakat bahwa persoalan pajak ini
berpengaruh kepada ekonomi. Pihaknya
menargetkan tax ratio dapat naik hingga
12,4 persen tahun depan.
Ken juga menyatakan bahwa ada
banyak faktor yang membuat tax ratio di
Indonesia rendah. Faktor-faktor tersebut
utamanya terkait kepercayaan masyarakat
terhadap petugas pajak dan penggunaan
uang pajak, serta terkait kualitas pelayanan.
Untuk itu, Ditjen Pajak akan meningkatkan
seluruh pelayanan pajak menjadi pelayanan
elektronik sehingga masyarakat tidak perlu
datang ke kantor pajak, melainkan cukup
melalui smartphone atau komputer. Ken
juga menjanjikan pihaknya tidak akan
mengganggu dunia usaha dalam upaya
mengejar target penerimaan. Menurutnya,
upaya pemerintah menerapkan kebijakan
amnesti pajak tak lain untuk mendorong
kebijakan perpajakan yang diarahkan pada
peningkatan daya beli masyarakat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani,
menegaskan bahwa untuk mencapai target
penerimaan perpajakan, pemerintah akan
melanjutkan reformasi di bidang perpajakan
dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Upaya Mencapai Target


Penerimaan Pajak
Pelaksanaan APBN Tahun 2017 salah
satunya memberikan tantangan kepada
pemerintah untuk dapat mencapai target
pendapatan negara yang bersumber dari
penerimaan pajak nonmigas. Penerimaan
ini terdiri dari PPh Nonmigas, PPN dan
PPnBM, PBB, dan Pajak lainnya. Harus
disadari bahwa pajak-pajak ini sangat erat
hubungannya dengan masyarakat secara
individu. Pengenaan pajak yang terlalu besar
atau pajak berganda akan menjadi beban
langsung bagi masyarakat. Presiden Joko
Widodo terus menghimbau masyarakat
- 15 -

Secara garis besar, terdapat lima langkah


yang akan dilakukan untuk mengejar
penerimaan negara. Pertama, meningkatkan
potensi perpajakan. Kedua, perbaikan
kualitas pemeriksaan dan penyidikan.
Ketiga, penyempurnaan sistem informasi
teknologi. Keempat, peningkatan pengawasan
dan pelayanan di bidang kepabeanan dan
cukai. Kelima, pemberian insentif fiskal bagi
kegiatan ekonomi strategis.
Direktur Eksekutif CITA, Yustinus
Prastowo,
memprediksi
bahwa
jika
dikaitkan dengan Produk Domestik Bruto
(PDB) maka rasio pajak pada tahun 2017
masih akan stagnan, sebab reformasi pajak
sedang berjalan dan perekonomian sedang
mengalami pemulihan. Rasio pajak terhadap
PDB stagnan di kisaran 11 persen selama
lima tahun terakhir. Pada tahun 2014 dan
2015, rasionya sebesar 10,88 persen dan 10,77
persen. Tahun ini proyeksi rasionya juga
masih di bawah 11 persen dan tahun depan
sekitar 10,93 persen. Prastowo berpendapat
bahwa apablia rasio pajak naik terlalu tajam,
yang dikhawatirkan adalah intensifikasi
kembali. Hal ini dapat mencederai rasa
keadilan para wajib pajak yang sudah patuh
atau yang baru saja ikut pengampunan pajak.
Prastowo
juga
mengingatkan
pemerintah untuk segera membuat road map
reformasi perpajakan, sebab target waktu
yang ditentukan dalam road map sebelumnya
sudah terlewati. Tanpa penataan ulang road
map berikut implementasinya yang tepat
waktu maka perpajakan Indonesia hanya
akan terus tambal sulam. Pada akhirnya,
hanya akan menghasilkan stagnasi rasio pajak
terhadap PDB. Adapun road map reformasi
perpajakan yang dimaksud antara lain
merevisi undang-undang perpajakan.
Untuk mencapai target penerimaan
pajak, pemerintah perlu (1) meningkatan
basis pajak (tax base) dan kepatuhan wajib
pajak melalui kebijakan pengampunan
pajak
yang
sedang
diimplentasikan,
ekstensifikasi dan penguatan basis data
perpajakan, intensifikasi, dan implementasi
konfirmasi Status Wajib Pajak bagi
pelayanan
publik;
(2)
memberikan
insentif perpajakan untuk meningkatkan
iklim investasi, daya saing industri, dan
mendorong hilirisasi industri dalam negeri;
(3) memperbaiki regulasi perpajakan; (4)
menerapkan cukai atau pajak lainnya untuk
pengendalian konsumsi barang tertentu dan

negative externality; dan (5) mengarahkan


perpajakan internasional untuk mendukung
transparansi dan pertukaran informasi,
pertumbuhan
investasi,
peningkatan
perdagangan, dan perlindungan industri
dalam negeri.

Penutup
Di tengah pelambatan ekonomi
global yang masih berlangsung, pemerintah
dituntut untuk dapat mencapai target
penerimaan pajak nonmigas yang oleh
sebagian kalangan sudah lebih realistis
dibandingkan dengan target pada tahun
2016. Upaya meningkatkan basis pajak
untuk mendorong keberhasilan pencapaian
target penerimaan tersebut harus terus
dilakukan terutama efektivitas implementasi
kebijakan
pengampunan
pajak
dan
ekstensifikasi pajak seiring dengan upaya
penataan road map reformasi perpajakan.
Terkait hal ini, DPR harus menjalankan
fungsi pengawasan agar target penerimaan
perpajakan dapat dicapai dan DPR
dapat mendorong untuk mempercepat
pembahasan RUU Ketentuan Umum
Perpajakan yang sudah menjadi prioritas.

Referensi
Target Pajak Dinilai Realistis, Kompas, 31
Oktober 2016.
Beberapa Profesi Kurang Taat Pajak,
Kompas, 31 Oktober 2016.
Kadin: Target Penerimaan Pajak Nonmigas
Terlalu Ambisius, https://bisnis.tempo.
co/read/news/2016/10/28/087815814/
kadin-target-penerimaan-pajak-nonmigasterlalu-ambisius, diakses 2 November 2016.
Kejar Target Penerimaan 2017, Pemerintah
Dorong Kepatuhan Pajak, http://katadata.
co.id/berita/2016/10/27/sri-mulyanipasang-strategi-kejar-penerimaan-2017,
diakses 1 November 2016.
5 Cara Pemerintah Capai Target Penerimaan
Pajak 2016, http://economy.okezone.
com/read/2016/08/16/20/1465489/5cara-pemerintah-capai-target-penerimaanpajak-2016, diakses 1 November 2016.
Penerimaan
Perpajakan
2017
Dipatok
Rp1.462,9
Triliun,
http://economy.okezone.com/
read/2016/09/22/20/1495713/
penerimaan-perpajakan-2017-dipatokrp1-462-9-triliun, diakses 1 November
2016.
- 16 -

Majalah

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Vol. VIII, No. 21/I/P3DI/November/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

URGENSI PENGATURAN MASALAH


KEAMANAN LAUT DI INDONESIA
Ahmad Budiman*)

Abstrak
Potret masalah keamanan laut di Indonesia meliputi identifikasi kecenderungan keamanan laut,
disparitas pembangunan kelautan, regulasi dan kelembagaan, serta infrastruktur pertahanan
dan keamanan. Urgensi pengaturan masalah keamanan laut, sesungguhnya menjadi pijakan
awal bagi terselenggaranya kegiatan keamanan laut yang dilaksanakan oleh instansi
penyelenggara keamanan laut. Hal ini berpegang pada prinsip terpenting dalam hal keamanan
laut yaitu kondisi pertahanan dan keamanan maritim menjadi indikator dari sebuah negara
yang berdaulat. Oleh karena itu, DPR RI perlu segera menyusun dan membahas bersama
Pemerintah, aturan mengenai keamanan laut yang sejalan dengan keinginan bangsa Indonesia
mengembangkan maritime security belt nusantara dan didukung dengan mengembangkan
kemampuan teknologi pertahanan nasional.

Pendahuluan

hubungan Indonesia dan China akibat


peristiwa yang terjadi di perainan Natuna.
Kejadian bermula ketika Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) dari Direktorat Jenderal
Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan, akan menahan KM Kway Fey
10078 berbendera China di perairan Natuna,
Kepulauan Riau yang berada di wilayah
perairan Indonesia. Satu kapal coast guard
China mengejar Kapal Pengawas (KP) Hiu
11 milik Indonesia dan kapal tangkapan KM
Kway Fey 10078 China, dengan kecepatan
25 knots. Ketika mendekat, kapal coast
guard China menabrak kapal tangkapan.
Akibatnya kapal tangkapan rusak, petugas
pun meninggalkan kapal tangkapan tersebut
demi keselamatan.

Kondisi
geografis
Indonesia
yang dikelilingi oleh laut dan pantai,
menempatkan Indonesia memliki peran
penting sebagai negara kepulauan dan
maritim. Indonesia, menurut penilaian
dosen Universitas Pertahanan Indonesia,
Laksdya TNI Dr. Desi Albert Mamahit, M.Sc,
memiliki 4 posisi strategis, yaitu sebagai
strategic junction pelayaran internasional,
sebagai strategic fishing ground, sebagai
strategic potential business, dan sebagai
strategic key partner bagi negara-negara
besar.
Namun demikian, kondisi ini acap kali
mendapatkan ancaman berupa gangguan
keamanan di laut Indonesia. Peristiwa
terkini
terkait
dengan
memanasnya

*) Peneliti Madya Komunikasi Politik pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
Email: a.budiman69@gmail.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 17 -

urgensi pengaturan masalah keamanan


laut dengan mengacu kepada identifikasi
masalah keamanan laut.

Peristiwa
perompakan
yang
belakangan ini sering terjadi di laut
perbatasan
Indonesia,
Malaysia,
dan
Philipina, telah mendorong ketiga menteri
pertahanan negara tersebut untuk membuat
kesepakatan mengenai latihan gabungan
keamanan laut di perbatasan. Menteri
Luar Negeri, Retno Marsudi, sebagaimana
dikutip dari Koran Sindo, menjelaskan ada
enam poin yang didapat dalam kesepakatan
penanganan keamanan laut, yaitu patroli
bersama di perairan Sulu, pemberian
bantuan
darurat,
share
intelligence
(pertukaran informasi dan intelijen), hotline
communication, latihan bersama, dan
sistem identifikasi langsung (automatic
identification system). Menurutnya dari
enam poin tersebut, poin lima dan enam,
yaitu latihan bersama dan sistem identifikasi
langsung (automatic identification system)
dianggap paling utama untuk segera
direalisasikan.
Selanjutnya,
dalam
rangka
memperkuat early warning system (EWS)
guna meminimalisasi terjadinya pelanggaran
di perairan Indonesia, Badan Keamanan
Laut (Bakamla) telah mengadakan Radar
Over The Horizon (OTH). Radar ini
mampu menjangkau wilayah laut dan udara
sejauh 200 Nautical Mile (NM), bahkan
yang jauh sekalipun dapat terdeteksi
dengan baik. Selain mengadakan radar,
Bakamla juga akan meningkatkan EWS
dengan pengoperasiaan pesawat tanpa
awak yang diintegrasikan dengan instansi
terkait lainnya. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan Bakamla dalam
melakukan pengamanan laut Indonesia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Bakamla
di tahun 2015, Bakamla telah berhasil
menyelamatkan potensi kerugian negara
sebesar Rp1,9 triliun.
Berbagai persoalan dan atau ancaman
keamanan yang terjadi di laut Indonesia,
menurut Totok Siswanta dalam rubrik
opini di Koran Jakarta, telah menginjakinjak kedaulatan bangsa dan menampar
otoritas keamanan (laut) Indonesia. Oleh
karena itu, perlu operasi militer untuk
menyelesaikan pembajakan tersebut agar
kewibawaan maritim dapat ditegakkan.
Permasalahannya, hingga saat ini Indonesia
belum memiliki dasar hukum yang menjadi
dasar dalam pengaturan masalah keamanan
laut. Untuk itu tulisan ini ingin mengkaji

Potret Masalah Keamanan Laut


Setidaknya ada 4 (empat) potret
masalah keamanan laut di Indonesia,
sebagaimana diungkapkan Laksdya TNI
Dr. Desi Albert Mamahit, M.Sc., yaitu
kecenderungan keamanan laut, disparitas
pembangunan kelautan, regulasi dan
kelembagaan, serta infrastruktur pertahanan
dan keamanan. Terkait dengan masalah
kecenderung keamanan laut, hingga saat
ini masih marak terjadi aktivitas pencurian
ikan (illegal fishing) dan sumber daya
alam lainnya yang dapat mengancam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Selain masalah pencurian sumber daya alam,
juga diperparah dengan masih terdapatnya
sejumlah kekerasan di laut berupa
pembajakan, perompakan, dan sabotase.
Tindak
kekerasan
yang
terjadi
di perairan Indonesia mengalami tren
kenaikan, setidaknya kondisi itulah yang
ditemukan oleh International Maritime
Bureau (IMB) di Malaysia. Akibat dari
kondisi tersebut, kerugian Indonesia sebagai
akibat dari praktik illegal fishing sebesar
Rp 30 triliun/tahun. Namun demikian,
Indonesia masih harus berhadapan dengan
banyak data yang dipublikasikan oleh asing
terkait kejahatan di laut yang terlalu dibesarbesarkan.
Disparitas pembangunan kelautan
terkait dengan kondisi bahwa keamanan
laut tidak terlepas dari kebijakan dan
strategi nasional yang melingkupi isuisu penegakan hukum di laut, search and
rescue, keselamatan navigasi, perlindungan
perikanan, lingkungan, dan keimigrasian.
Fungsi penegakan hukum, pengamanan,
dan keselamatan yang belum dilakukan oleh
instansi terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, diharapkan dapat
diatasi melalui lembaga atau Bakamla
yang kini sudah terbentuk. Namun
demikian, keterbatasan dukungan anggaran
pertahanan dan keamanan juga menjadi
salah satu permasalahan penting dalam
meningkatkan kinerja keamanan laut.
Permasalahan tersebut di antaranya
regulasi dan kelembagaan terkait dengan
penegakan hukum dan keamanan di
Indonesia yang masih buruk, serta
- 18 -

laut yang di antaranya ditentukan


berdasarkan indikator zona wilayah laut,
potensi ancaman dan masukan (input)
serta keluaran (output) hasil kerja berikut
kemanfaatan (outcome) yang diharapkan.
Identifikasi
atas
ruang
lingkup
pengaturan
masalah
keamanan
laut,
sesungguhnya menjadi pijakan awal bagi
terselenggaranya
kegiatan
keamanan
laut yang dilaksanakan oleh instansi
penyelenggara keamanan laut. Sifat kerja
berikut tugas dan wewenang pada masingmasing institusi penyelenggara keamanan
laut menjadi lebih jelas karena berpegang
pada indikator dimaksud.
Mekanisme keamanan laut akan
bermula
dari
bagaimana
instansi
penyelenggara keamanan laut melaksanakan
tugas dan fungsinya. Pada masing-masing
institusi tersebut akan melekat fungsi
operasional sesuai dengan ruang lingkupnya.
Keuntungan yang didapat pada tataran
implementatif,
yaitu
tumpang-tindih
pengadaan infrastruktur dan pemasangan
peralatan surveillance antarinstitusi dapat
diatasi, sehingga terjadi penghematan
anggaran negara. Jumlah peralatan atau
sistem yang dibangun tidak overlap dalam
hal coverage pada suatu daerah ataupun
overlap pada sistem dan fungsinya.
Walaupun Bakamla telah jelas dalam
melaksanakan tugas fungsinya, namun
dalam penyelenggaraan keamanan laut
tetap harus ditetapkan batasan-batasan
koordinasinya. Hal ini penting ditentukan,
mengingat pada tataran implementasi
pasti ada irisan kewenangan dalam
mengatasi masalah keamanan laut. Di
sinilah Bakamla sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Presiden Nomor 178
Tahun 2014 tentang Badan Keamanan
Laut, berperan menjalankan fungsinya
sebagai koordinator keamanan laut. Untuk
itu, merujuk pada indikator ruang lingkup
dimaksud, Bakamla wajib melaksanakan
fungsi operasional sesuai dengan tugas
dan fungsinya, serta melaksanakan fungsi
koordinator. Bakamla berperan dalam
melakukan koordinasi terhadap instansi
yang memiliki satuan tugas patroli di laut
dan instansi tanpa satuan tugas patroli
di laut, yang keduanya selama ini telah
bekerja berdasarkan peraturan perundangundangan yang mengatur di sektornya. Pada
akhirnya, regulasi akan mampu memberikan

kurangnya koordinasi antarlembaga yang


mempunyai andil di bidang kelautan. Selain
itu, terdapat tumpang-tindih (overlapping)
tugas yang beririsan antarlembaga, seperti
Polisi Air, Airud, Angkatan Laut, Kesatuan
Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea
dan Cukai, hingga Administrator Pelabuhan
(Adpel). Hal ini disebabkan belum adanya
satu regulasi yang menjadi dasar hukum
bagi tindakan koordinasi antarinstansi untuk
menjaga keamanan laut Indonesia. Masingmasing instansi hingga saat ini bekerja
berdasarkan dasar hukum yang dimilikinya.
Batas-batas tugas dan kewenangannya
didasari oleh dasar hukum masing-masing
instansi. Dampaknya, tumpang-tindih tugas
keamanan laut Indonesia acap kali terjadi.

Urgensi Pengaturan
Pakar Hukum Laut Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Melda Kamil Ariadno,
menjelaskan prinsip terpenting dalam hal
keamanan laut yaitu kondisi pertahanan
dan keamanan maritim adalah menjadi
indikator dari sebuah negara yang berdaulat.
Untuk itu, laut perlu aman dari ancaman
kedaulatan
dan
pelanggaran
hukum.
Penegakan keamanan berarti menegakkan
kedaulatan di wilayah negara. Penegakan
keamanan dilakukan dengan membangun
kekuatan pertahanan maritim. Kedaulatan
negara adalah keamanan wilayah, karena itu
laut yang tidak aman menunjukkan negara
tidak berdaulat.
Realitanya,
menurut
Dr.
Indra
Jaya, M.Pd dalam penelitiannya dengan
judul Evaluasi Keamanan Laut, kondisi
sistem kelembagaan saat ini yang terjadi
adalah banyaknya instansi yang terlibat
atau berkepentingan dalam pelaksanaan
penegakan hukum, keselamatan, dan
keamanan di laut. Hal ini diakibatkan
oleh kompleksitas jenis kegiatan yang
ada. Kegiatan-kegiatan penegakan hukum
(penyidikan hingga penuntasan tindak
pidana), keamanan, dan keselamatan
pelayaran di laut tersebut diselenggarakan
oleh berbagai instansi yang berbeda yang
didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berbeda pula.
Koordinasi kelembagaan keselamatan
dan keamanan laut, perlu ditentukan
dengan sebuah aturan yang dapat
memayungi. Untuk itu di dalam regulasinya
perlu ditetapkan ruang lingkup keamanan
- 19 -

Referensi

kepastian hukum bagi terselenggaranya


model pengelolaan keamanan laut yang
bersumber dari kekuatan tugas dan fungsi
penyelenggara keamanan laut.

Laksdya TNI Dr. Desi Albert Mamahit,


M. Sc, Tata Kelola Keamanan Laut
Indonesia dalam Mendukung Program
Pengembangan Poros Maritim Dunia,
Makalah
dipresentasikan
pada
Pertemuan Forum Rektor Indonesia
2015, tanggal 24 Januari 2015 di
Kampus Universitas Sumatera Utara.
Totok Iswantara, Menjaga Keamanan
Laut, http://www.koran-jakarta.com/
menjaga-keamanan-laut/, diakses 1
November 2016.
Bentrok Kapal Indonesia vs China
Terjadi Di Perairan Natuna, Susi : Kita
Disabotase Tiongkok, http://www.
suaranetizen.com/2016/03/bentrokkapal-indonesia-vs-china.html, diakses 1
November 2016.
Menlu Ungkap Hasil Pertemuan Tiga
Menhan Terkait Pengamanan Laut,
http://nasional.sindonews.com/
read/1128402/14/menlu-ungkaphasil-pertemuan-tiga-menhan-terkaitpengamanan-laut-1470206111, diakses 1
November 2016.
Perkuat Pengawasan Laut, Bakamla
Siapkan Radar OTH, http://nasional.
sin do n e ws.co m / r e a d/ 107 6 7 14 / 1 4 /
perkuat-pengawasan-laut-bakamlasiapkan-radar-oth-1452679425, diakses
1 November 2016.

Penutup
Potret
masalah
keamanan
laut
di Indonesia meliputi kecenderungan
keamanan laut, disparitas pembangunan
kelautan, regulasi dan kelembagaan, serta
infrastruktur pertahanan dan keamanan.
Sebagai sebuah negara maritim, Indonesia
perlu fokus pada upaya meningkatkan
pengamanan lautnya, agar potensi dan
wilayah kedaulatannya tidak dirugikan
atau diganggu oleh negara lain. Hadirnya
regulasi yang mengatur masalah keamanan
laut, setidaknya mengatur masalah ruang
lingkup keamanan laut yang di antaranya
ditentukan berdasarkan indikator zona
wilayah laut, potensi ancaman dan masukan
(input) serta keluaran (output) hasil kerja
berikut kemanfaatan (outcome) yang
diharapkan. Dasar hukum ini pastinya akan
menjadi dasar bagi model penyelenggaraan
keamanan laut di Indonesia.
Untuk itu, DPR RI perlu segera
menyusun
dan
membahas
bersama
Pemerintah, aturan mengenai keamanan
laut. Berbagai masalah yang telah terjadi,
berikut potensi ancaman yang akan terjadi,
memerlukan kepastian hukum dalam
penanganan yang dilakukan oleh masingmasing institusi terkait, termasuk juga
dalam tindakan koordinasi atau kerjasama
antarlembaga, lebih dari yang selama
ini telah terjadi. Regulasi harus sejalan
dengan
keinginan
bangsa
Indonesia
mengembangkan
maritime
security
belt nusantara dan didukung dengan
mengembangkan kemampuan teknologi
pertahanan nasional.

- 20 -

Anda mungkin juga menyukai