Anda di halaman 1dari 5

Latar belakang

Komplikasi aspirasi pulmonal terjadi antara 1 dalam 900 sampai 1 dalam 10.000
general anestesi, tergantung faktor resiko. Semua dokter anestesi baru di UK
diajarkan untuk mempertimbangkan resiko aspirasi dan untuk melakukan teknik
anestesi yang sesuai. Pencegahan aspirasi tetap menjadi landasan dalam praktek
anestesi.
Royal College of Anaesthetists 4th National Audit Project (NAP4) mengupulkan data
insidensi dan penyebab utama komplikasi airway akibat anesetesi di UK. Lebih dari
50% kematian akibat anestesi yang berhubungan dengan jalan napas merupakan
konsekuensi dari aspirasi, melebihi kasus yang paling banyak ditakutkan yaitu cant
intubate cant ventilate (CICV). Sebagai tambahan, 23% dari semua kasus yang
dilaporkan kepada NAP4 melibatkan aspirasi sebagai kejadian primer maupun
sekunder.
Meskipun kalangan dokter anestesi menyadari perlunya meminimalisir resiko
aspirasi dan kemajuan dari praktek anestesi, NAP4 menunjukkan bukti bahwa
aspirasi sering terjadi sebagai akibat penilaian resiko aspirasi yang tidak lengkap
atau kesalahan teknik anestesi. Ulasan ini bertujuan untuk menyoroti temuan NAP4
berkaitan dengan aspirasi dan mengevaluasi literatur tentang penilaian resiko
aspirasi dan pengambilan keputusan.
Definisi
Aspirasi pulmonal adalah inhalasi dari cairan orofaring atau lambung kedalam laring
dan saluran pernapasan. Mendelson mendeskripsikan anestesi mengakibatkan
penghilangan reflek saluran nafas yang berpotensi menyebabkan aspirasi dari isi
lambung atau disebut Mendelsons syndrome.
Aspirasi dari benda padat dapat menimbulkan hipoksia akibat obstruksi fisik yang
ditimbulkan, sedangkan aspirasi asam labung akan menyebabkan pneumonitis
berupa sindrom dispneu progresif, hipoksia, wheezing bronkial, konsolidasi dan
kolaps pada foto thorax. Resiko mortalitas dan morbiditas meningkat seiring dengan
jumlah volume dan keasaman material aspirasi yang terpapar ke bronkus.

Insidensi aspirasi dan aspirasi fatal yang berkaitan dengan anestesi.


Insidensi anaesthesia-associated fatal aspiration dalam NAP4 adalah 1 dalam
350.000. Aspirasi termasuk salah satu penyebab terbanyak kematian terkait airway.
Aspirasi menyebabkan kematian 8 dari 16 (50%) kematian akibat anestesi dan 23
dari 133 (17%) dilaporkan sebagai kejadian primer anestesi, didefinsikan sebagai
komplikasi airway yang dapat menimbulkan kematian, kerusakan otak, kebutuhan
perawatan di ICU yang tidak terprediksi sebelumnya, atau kebutuhan dilakukannya
pembedahan saluran nafas darurat.
Insidensi aspirasi dalam anestesi meningkat secara signifikan seiring dengan
peningkatan status ASA dan operasi darurat.

Mikroaspirasi dan ventilator-associated pneumonia


Ventilator-associated pneumonia (VAP) paling sering disebabkan oleh mikroaspirasi
dan dibutuhkan strategi untuk mengurangi resiko dari VAP. Endotracheal tube(ET)
dengan subglottic secretion drainage membantu mengurangi insidensi dari VAP dan
kemudian mengurangi durasi penggunaan ventilator mekanik. Pasien yang
diperkirakan membutuhkan ventilator mekanik selama >72 jam diintubasi
menggunakan ET dengan subglottic secretion drainage akan mengurangi efek
terhadap mikroaspirasi dan menurunkan kejadian VAP.

Mengapa pasien tetap meninggal karena aspirasi selama anestesi?


Data dari NAP4 memperlihatkan bahwa aspirasi terjadi pada pasien dengan faktor
resiko yang dapat diketahui. Contoh jelas terjadinya aspirasi terjadi saat induksi
ketika terdapat indikasi untuk dilakukannya rapid sequence intubation (RSI) namun
tidak dilakukan. Penggunaan laryngeal masks generasi pertama menimbulkan
kejadian aspirasi yang signifikan saat maintenance anestesi dan terdapat kesan
gagal mengidentifikasi resiko dan gagal melakukan antisipasi untuk menurunkan
resiko.
NAP4 menemukan bahwa kebanyakan kasus aspirasi terkait dengan pembedahan
darurat dan residen anestesi. Lima belas dari 29 kasus dengan aspirasi primer atau
sekunder dianestesi oleh residen. Pembedahan darurat meningkatkan resiko
aspirasi secara signifikan dan kebanyakan kasus emergensi tindakan anestesi
dilakukan oleh residen dibandingkan konsultan.
Dari 23 kasus dari aspirasi primer akibat anestesi, hanya 10 kasus (43,3%) yang
dapat teridentifikasi memiliki faktor resiko aspirasi selama pembedahan. Namun,
studi retrospektif memperlihatkan 9 dari 11 pasien awalnya dideskripsikan ridak
memiliki faktor resiko aspirasi. Dari semua pasien yang mengalami aspirasi, 27 dari
29 pasien mempunyai faktor resiko yang bisa diidentifikasi.
Bahaya aspirasi merupakan alasan mengapa diperlukan nya penilaian resiko
aspirasi terkait teknik anestesi yang akan digunakan. Bahkan pasien emergensi
dengan resiko yang tinggi memiliki resiko relatif aspirasi yang rendah secara
absolut.
Dokter
anestesi
memilih
tidak
menggunakan
strategi
yang
direkomendasikan untuk mengurangi resiko aspirasi bisa saja menyelesaikan
anestesi tanpa adanya bahaya yang ditimbulkan, hal ini mengkonfirmasi bahwa
terdapat pemikiran resiko aspirasi terlalu dianggap berlebihan. TIngginya proporsi
kasus yang melibatkan residen menimbulkan pertanyaan terhadap pengawasan,
dukungan, pelatihan dan budaya dalam rumah sakit.
Klasifikasi resiko berdasarkan resiko aspirasi rendah, sedang, dan tinggi tidak
efektif. Dibutuhkan alat penilaian resiko yang terstandar sebagai dasar pengambilan
keputusan.

Setiap kasus dalam NAP4 berkaitan dengan keterampilan non teknis dan faktor
monusia. Box 2 menyoroti empat kasus yang memperlihatkan isu dalam
pengambilan keputusan, serah terima yang buruk, pengawasan yang buruk,
dukungan
terhadap
residen
dan
kurangnya komunikasi. Penulis juga
mengidentifikasi kurangnya perencanaan dan kewaspadaan sebagai salah satu
faktor yang berkontribusi menyebabkan kejadian fatal.
1. Residen anestesi merencanakan intubasi pada pasien tua dan obesitas
dengan hernia strangulata yang akan dilakukan pembedahan. Pasien
mengalami aspirasi saat induksi dan dipindahkan ke ICU. Dokter anestesi
tidak menyadari adanya obstruksi usus atau pasien telah aktif muntah
selama di bangsal.
2. Dokter anestesi memeriksa pasien tua dengan abses parah. Dokter anestesi
pertama memutuskan untuk dilakukannya rapid sequence intubation (RSI)
saat di meja operasi karena terdapat indikasi, tetapi sebelum dilakukan
pembiusan dokter anestesi diganti, dokter anestesi pengganti menilai tidak
perlu dilakukan RSI karena tidak terdapat indikasi. Pasien tersebut mengalami
aspirasi saat pemindahan dari ruang anestesi ke meja operasi, dan
dibutuhkan perawatan di ICU.
3. Pasien tua sudah dibius untuk operasi fraktur femur. Pasien mempunyai
pseudo obstruksi, tetapi manajemen airway dilakukan dengan laryngeal
mask. Pasien mengalami regurgitasi dan aspirasi selama maintenance
anestesi. Pasien ini dilakukan intubasi dan memerlukan perawatan di ICU
setelah operasi.
4. Dokter anestesi yang belum berpengalaman melakukan anestesi pada pasien
tua ASA 3 dengan gagal jantung, dalam operasi emergensi yang dilakukan
dalam hitungan jam. Pasien mengalami aspirasi setelah induksi untuk RSI.
Tidak jelas apakah dilakukannya cricoid force atau tidak. Pasie tersebut
diekstubasi tetapi sehari setelah operasi keadaannya memburuk dan
membutuhkan perawatan di ICU.
Faktor tim dan organisasi termasuk kurangnya pelatihan tim dan kurangnya
kepatuhan pada guidelines yang sudah ada. Hal menarik untuk berspekulasi
mengapa tenaga medis profesional tidak patuh terhadap guidelines yang sudah
ada. Salah satu pendapat yaitu adaptasi yang baik dengan ketidakpastian
merupakan salah satu ciri dunia tenaga kesehatan. Seseorang yang dapat
beradaptasi dengan ketidakpastian dalam dunia kesehatan akan cenderung
tidak mengikuti guidelines atau protokol.
Dalam dua dekade terakhir, terdapat peningkatan kewaspadaan terhadap
pencegahan kasus yang berkaitan dengan faktor manusia. Berdasarkan data
NAP4 pelatihan anestesi kedepan lebih ditekankan pada kerja tim yang efektif,
komunikasi dan keterampilan non teknis.
(Kotak 3) menunjukkan ringkasan rekomendasi dari NAP4 dalam kejadian
aspirasi. Hal yang paling signifikan untuk mengurangi bahaya dari aspirasi
adalah mengubah budaya dari pendidikan dan praktek anestesi bahwa penting
untuk belajar dari penelitian yang ada, seperti NAP4, yang bukan sekedar bukti

dari bahaya terhadap pasien, tetapi juga dimasukkan ke dalam tindakan untuk
manfaat terhadap pasien.

Box 3 Ringkasan rekomendasi dari NAP4 pada aspirasi


1. Semua pasien harus dinilai resiko aspirasi sebelum dilakukan operasi,
terutasma pada kasus emergensi. Pada kasus yang terdapat keragu-raguan
perlu diasumsikan resiko yang lebih tinggi.
2. Manajemen airway harus selalu konsisten sesuai resiko yang telah
diidentifikasi.
3. Alat dan keterampilan untuk mendeteksi dan manajemen regurgitasi dan
aspirasi harus tersedia setiap saat.
4. Rapid sequence intubation merupakan teknik standar dalam proteksi airway.
5. Penerapan cricoid pressure harus dilatih dan dalam praktek nya cricoid
pressure dilakukan secara reguler.
6. Dalam kasus dimana tidak terdapat indikasi untuk intubasi trakea, namun
ketika terdapat sedikit peningkatan aspirasi, generasi kedua supra-glottic
airway harus dipertimbangkan.
7. Strategi pencegahan aspirasi harus digunakan untuk mengurangi aspirasi
saat kasus emegensi jika pasien memiliki resiko aspirasi.
8. Dokter anestesi harus mengetahui pencegahan, deteksi dan manajemen
aspirasi bekuan darah.
9. Tindakan aktif harus dilakukan saat terjadi flat capnography ketika darah
telah didekat jalan napas.

Kesimpulan
Pemeriksaan dan penilaian faktor resiko aspirasi pulmonal merupakan aspek
dasar dalam pendidikan dan praktek anestesi. Pembelajaran dari penelitian dan
studi kasus dapat mengurangi resiko tersebut dengan peningkatan kebutuhan
untuk secara aktif memodifikasi manajemen jalan napas. Anestesi emergensi
merupakan salah satu faktor resiko penting pada kasus aspirasi. Ekstubasi saat
pasien sadar dalam posisi lateral direkomendasikan jika terdapat resiko aspirasi.
Generasi kedua supra-glottic airway lebih baik dibandingkan generasi pertama,
tetapi rapid sequence intubation merupakan teknik paling mendukung.

Kotak 2. Ringkasan rekomendasi dari NAP4 pada aspirasi

1. Semua pasien harus dinilai resiko aspirasi sebelum dilakukan operasi,


terutasma pada kasus emergensi. Pada kasus yang terdapat keraguraguan perlu diasumsikan resiko yang lebih tinggi.
2. Manajemen airway harus selalu konsisten sesuai resiko yang telah
diidentifikasi.
3. Alat dan keterampilan untuk mendeteksi dan manajemen regurgitasi dan
aspirasi harus tersedia setiap saat.
4. Rapid sequence intubation merupakan teknik standar dalam proteksi

airway.
5. Penerapan cricoid pressure harus dilatih dan dalam praktek nya cricoid
pressure dilakukan secara reguler.
6. Dalam kasus dimana tidak terdapat indikasi untuk intubasi trakea, namun
ketika terdapat sedikit peningkatan aspirasi, generasi kedua supra-glottic
airway harus dipertimbangkan.
7. Strategi pencegahan aspirasi harus digunakan untuk mengurangi aspirasi
saat kasus emegensi jika pasien memiliki resiko aspirasi.

Anda mungkin juga menyukai