Anda di halaman 1dari 10

FENOMENA TERBENTUKNYA SPEKTRUM UV-VISIBLE

diajukan untuk memenuhi tugas Elusidasi Struktur

Oleh:

WILDHAN ALVIAN HAKIM

(3311141136/ D)

DWIRAINITA RAMADHANIA

(3311141138/ D)

INTAN YUNITA SARI

(3311141141/ D)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2016

BAB I
FENOMENA TERBENTUKNYA SPEKTRUM UV-VISIBLE
1.1.

Spektrum UV-Visible
Spektrofotometri merupakan suatu metode analisa yang didasarkan pada
pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna
pada panjang gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma
atau kisi difraksi dengan detektor phototube. Spektrofotometer adalah alat
untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi
panjang gelombang. Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu
pemeriksaan visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi.
Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombang
dan dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang
khas untuk komponen yang berbeda.
Spektrum UV-Visible merupakan spektrum yang terbentuk dari hasil
absorpsi panjang gelombang radiasi ultraviolet dan sinar tampak oleh suatu
molekul akibat terjadinya transisi elektronik dari keadaan dasar (ground state)
ke keadaan eksitasi (excited state) atau dari tingkat energi rendah ke tingkat
energi yang lebih tinggi. Daerah UV sekitar 10-380 nm, tetapi paling banyak
penggunaannya secara analitik dari 200-380 nm dan disebut sebagai UV
pendek (dekat). Di bawah 200 nm, udara dapat mengabsorpsi sehingga
instrumen harus dioperasikan kondisi vakum, daerah ini disebut dengan
daerah UV vacuum. Sementara daerah tampak (visible) panjang gelombangnya
dari 380-780 nm. Radiasi elektromagnetik, yang mana sinar ultraviolet
dan sinar tampak merupakan salah satunya, dapat dianggap sebagai
energi yang

merambat

dalam bentuk gelombang. Jika suatu molekul

dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi atau panjang gelombang


yang sesuai sehingga energi molekul tersebut ditingkatkan ke tingkat yang
lebih tinggi, maka terjadi peristiwa penyerapan (absorpsi) energi oleh molekul.
Supaya terjadi absorpsi, perbedaan energi antara dua tingkat energi harus
setara dengan energi foton yang diserap.

Gambar 1. Spektrum Radiasi Elektromagnetik


1.2.

Transisi Elektronik
a. Teori Transisi Elektronik
Transisi elektronik dapat diartikan sebagai perpindahan elektron dari satu
orbital ke orbital yang lain. Energi yang dimiliki sinar UV mampu
menyebabkan perpindahan elektron (promosi elektron). Disebut transisi
elektronik karena elektron yang menempati satu orbital dengan energi
terendah dapat berpindah ke orbital lain yang memiliki energi lebih tinggi
jika menyerap energi, begitupun sebaliknya elektron dapat berpindah dari
orbital yang memiliki energi lebih rendah jika melepaskan energi. Energi
yang diterima atau diserap berupa radiasi elektromagnetik.
b. Jenis-Jenis Transisi Elektron
1) Transisi *
Jenis transisi ini terjadi pada suatu elektron didalam orbital, ikatan
molekul dieksitasi ke orbital elektron bukan ikatan yang sesuai dengan
pengabsorbsian radiasi. Molekul berada dalam bentuk exited state,
* relatif terhadap transisi lainnya, energi yang diperlukan untuk
menyebabkan transisi * relatif besar. Energi yang diperlukan

untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya
kurang dari 180 nm.
2) Transisi n *
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung
atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron non bonding)
energi yang diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil dibanding
transisi * sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang
gelombang lebih panjang yakni sekitar 150-250 nm.
3) Transisi *
Jenis transisi ini akan terjadi jika molekul organik mempunyai gugus
fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus
tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini
merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan
panjang gelombang 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara
teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer.
4) Transisi n *
Transisi dari jenis meliputi transisi elektron-elektron hetero atom tak
berikatan ke orbital anti ikatan Transisi dari jenis meliputi transisi
elektron-elektron hetero atom tak berikatan ke orbital anti ikatan *.
Serapan ini terjadi pada panjang gelombang yang panjang dan
intensitasnya rendah. Senyawa yang mempunyai orbital molekul n *
ialah senyawa yang mengandung atom yang mempunyai pasangan
elektron sunyi dan orbital atau atom yang mempunyai pasangan
elektron sunyi terkonjugasi dengan atom lain yang mempunyai orbital .
Contoh jenis kromofor tersebut adalah C=O dan C=C-O. Senyawa yang
mempunyai transisi n * mengabsorpsi cahaya di daerah ultraviolet
pada panjang gelmbang 200-400 nm. Berdasarkan energi yang
dibutuhkan, maka transisi dari ke * membutuhkan energi yang paling
besar.

c. Transisi Elektronik yang Mungkin Terjadi pada Molekul dan


Kromofor Penyebabnya
a) Transisi yang meliputi elektron , , dan n terjadi pada molekul
organik dan sebagian kecil anion anorganik. Molekul tersebut
mengabsorpsi cahaya elektromagnetik karena adanya elektron valensi,
yang akan tereksitansi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Absorpsi
terjadi pada daerah UV vakum (<185 nm). Absorpsi sinar UV-Vis,
yang panjang gelombangnya lebih besar, terbatas pada sejumlah gugus
fungsi (disebut kromofor) yang mengandung elektron valensi dengan
energi esitasi rendah. Contoh : CH4 mempunyai maksimum pada
125 nm karena adanya transisi *. Transisi n * (dari orbital
tidak berikatan ke orbital anti ikatan) terjadi pada senyawa jenuh
dengan elektron tidak berpasangan. maksimum untuk transisi n
* cenderung bergeser ke h yang lebih pendek dalam pelarut polar,
seperti etanol dan H2O. Transisi n * seperti juga * terjadi
pada sebagian besar senyawa organik. Dengan bertambahnya
kepolaran pelarut pada transisi *, bentuk puncak bergeser ke
panjang gelombang yang lebih pendek (pergeseran biru atau
hipsokromik), sedangkan jika bergeser kepanjang gelombang yang
lebih panjang (pergeseran merah atau batokromik). Pergeseran biru
disebabkan bertambahnya solvasi pasangan elektron hingga berakibat
energinya turun. Pergeseran merah terjadi akibat bertambahnya
kepolaran pelarut (~ 5 nm), disebabkan gaya polarisasi antara pelarut
dan spesies, sehingga berakibat menurunnya selisih tingkat energi
eksitasi dan tingkat tidak tereksitasi. Tabel 1 berikut menunjukkan
beberapa kromofor organik dan senyawa aromatik dengan puncak
absorpsi ( maksimum) dan nilai absorptivitas molar serta transisi
yang mungkin terjadi.

Tabel 1. Absorpsi Kromofor dan Senyawa Aromatik


b) Transisi yang meliputi elektron d dan f. unsur-unsur blok d mengabsorpsi
pada daerah UV-Vis. Terjadinya transisi logam golongan f disebabkan
karena electron pada orbital f. unsur-unsur transisi dalam, mempunyai

puncak yang sempit karena interaksi elektron 4f ataupun 5f (lantanida dan


aktanida). Pita yang sempit teramati karena efek screening (pelindung)
orbital untuk transisi 3d dan 4d mempunyai pita yang lebar dan terdeteksi
dalam daerah tampak, puncak absorbsi dipengaruhi oleh lingkungan yang
mengelilinginya. Besarnya splitting () oleh ligan dapat disusun dalam
suatu deret spektrokimia berikut = I- < Br- < Cl- < F- <OH- < Oksalat- <
H2O < SCN- < NH3 < en < NO2 < CN-. Deret ini berguna untuk
meramalkan posisi puncak absorbsi untuk berbagai kompleks dengan
ligan diatas.
c) Spektrum absorbsi transfer muatan. Spektrum absorpsi merupakan cara
yang peka untuk menentukan spesies absorpsi. Kompleks yang memiliki
muatan misalnya [Fe(SCN)6]3+, [Fe2+ Fe3+ (CN)6+] mengabsorpsi pada h
yang lebih panjang, karena bertambahnya transfer elektron memerlukan
energi radiasi yang lebih kecil.

1.3.

Peranan Kromofor dan Auksokrom dalam Spektrum UV-Visible


Kromofor merupakan senyawa organik yang memiliki ikatan rangkap yang

terkonjugasi. Suatu ikatan rangkap yang terisolasi seperti dalam etilen


mengabsorpsi pada 165 nm, yaitu di luar daerah ukur yang lazim dari
spektroskopi elektron. Dua ikatan rangkap terkonjugasi memberikan suatu
kromofor seperti dalam butadien akan mengabsorpsi pada 217 nm. Panjang
gelombang maksimum absorpsi dan koefisien ekstingsi molar akan bertambah
dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap terkonjugasi lainnya. Juga pada
vitamin A-alkohol (retinol) dan -karoten merupakan polien dengan 1 kromofor
yang terdiri dari 5 atau 11 ikatan rangkap terkonjugasi. Dalam suatu molekul
dapat dikandung beberapa kromofor. Jika kromofor dipisahkan satu sama lain
paling sedikit oleh 2 atom karbon jenuh, maka tidak ada kemungkinan adanya
konjugasi antara gugus kromofor (Roth dan Blaschke, 1985).
Auksokrom, adalah suatu gugus atom yang apabila terikat kepada suatu
kromofor akan menambah panjang gelombang dan intensitas resapan maksimum
(absorbans) ke arah panjang gelombang yang lebih panjang. Gugus auksokrom

mengandung pasangan elektron bebas yang disebabkan oleh terjadinya mesomeri


kromofor. Yang termasuk dalam gugus auksokrom ini adalah substituen seperti
6

OH, -NH2, -NHR dan NR2. Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan
menggeser maksimum absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang.
1.4.

Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Panjang Gelombang di


Daerah UV-Visible
a. Pelarut
Kepolaran pelarut mempengaruhi maksimum karena kepolaran molekul
biasanya berubah jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital
lainnya. Pada umumnya transisi * menghasilkan keadaan tereksitasi
yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol
antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut
yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi
menjadi turun. Akibatnya transisi * suatu molekul dalam pelarut polar
memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi * molekul itu dalam
pelarut nonpolar. Pergantian pelarut heksana dengan etanol menggeser
maksimum suatu senyawa ke nilai yang lebih besar.
Transisi n*, pada keton menunjukan pengaruh yang berlawanan.
Molekul-molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen
berinteraksi lebih kuat dengan molekul pada keadaan dasar daripada
dengan molekul pada keadaan tereksitasi. Transisi n* molekul keton
dalam pelarut air atau etanol (dalam pelarut polar) terjadi geseran biru
(pergeseran hipsokromik) atau transisi dalam kedua pelarut polar tersebut
memerlukan energi yang lebih besar (panjang gelombang lebih kecil)
daripada transisi n* molekul keton dalam pelarut heksana.
b. Sistem Terkonjugasi
Semakin banyak ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu molekul
menyebabkan penurunan energi keadaan tereksitasi sehingga terjadi
pergesaran panjang gelombang ke arah yang lebih besar. Perpanjangan
ikatan rangkap tekonjugasi menggeser maksimum ke arah makin besar
(pergeseran merah) karena makin mudah menjalani terjadinya transisi
* sehingga transisi ini hanya memerlukan energi yang kecil (panjang
gelombang besar). Terjadinya pergeseran maksimum karena orbital
masing-masing ikatan berinteraksi membentuk seperangkat orbital

ikatan dan anti ikatan yang baru. Orbital-orbital baru tersebut mempunyai
tingkat energi yang berbeda dengan orbital dalam ikatan ganda yang
terisolasi.
c. Lingkungan Elektronik
Adanya perbedaan lingkungan dengan molekul dapat menyebabkan
perubahan pada derajat antar aksi orbital. Pada senyawa yang mengandung
senyawa halogen (F, Cl , Br, I, At) lingkungan akan menjadi semakin
elektronegatif sehingga derajat antaraksi orbital bertambah, energi molekul
n * pun bertambah yang menyebabkan panjang gelombang berkurang
atau pergeseran hipsokromik atau pergeseran biru.
d. Ausokrom yang Berikatan pada Kromofor
Gugus kromofor yang berinteraksi dengan

gugus

auksokrom

menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar


(pergeseran batokromik atau pergeseran merah). Auksokrom merupakan
gugus yang dapat meningkatkan daya kerja kromofor sehingga optimal
dalam

pengikatan.

Optimalnya

transisi

elektronik

yang

terjadi

menyebabkan energi orbital molekul berkurang sehingga panjang


gelombang bertambah.

DAFTAR PUSTAKA
Dasli, Nurdin. 1986. Eludasi Struktur Senyawa Organik. Bandung : Angkasa.
Garry, D. Christian. 1971. Analitical Chemistry 2nd Edition. New York: John
Wileys & Sons.
Khopkar, SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Larry, G Hargis. 1988. Analytical Chemistry. Principles And Technigues. New
Jersey: Prentice Hall Inc.
Pecsok and Shield. 1968. Modern Methods of Chemical Analysis. New York: John
Wiley & Sons.
Roth, J. Hermann dan Blaschke, Goffried. 1985. Analisis Farmasi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai