PENDAHULUAN
Status Epileptikus merupakan keadaan emergensi medis berupa kejang
(seizure) persisten atau berulang yang berkaitan dengan mortalitas tinggi dan kecacatan
jangka panjang.1 Insidensi di negara berkembang 100 190 / 100.000 penduduk, angka
tertinggi terjadi pada usia kanak kanak dan usia lanjut lalu menurun pada dewasa
muda dan pertengahan. 50 60% bangkitan pertama epilepsi muncul sebelum usia 16
tahun. 2
Begitu pula dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah
yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun
akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang terus menerus selama
paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan
kesadaran diantaranya. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang
terus menerus lebih dari 5 menit. 1
Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring video
electroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir
satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima menit. 2 Batas ambang
untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh
menit.
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status
petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa
diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh
karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata
15 % penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang
60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat
neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.
Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya
penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar
merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 STATUS PASIEN
IDENTITAS PRIBADI
NAMA
: Juliana
JENIS KELAMIN
: Perempuan
USIA
: 21 Tahun
SUKU BANGSA
: Melayu
AGAMA
: Islam
ALAMAT
STATUS
: Belum Menikah
PEKERJAAN
: Tidak Bekerja
TANGGAL MASUK
: 23 Juni 2016
TANGGAL KELUAR
: 2 Juli 2016
ANAMNESE
Keluhan Utama
: Kejang
Telaah
Riwayat Penyakit Terdahulu : Kejang demam pada usia 1 tahun 2 bulan, dan
mengalami kejang pada umur 6 tahun.
2
: Belum pernah
ANAMNESE TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius
Traktus Respiratorius
Traktus Digestivus
Traktus Urogenitalis
: Tidak dijumpai
ANAMNESE KELUARGA
Faktor Herediter
Faktor Familier
Lain-lain
: Tidak ada
ANAMNESE SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan : Pervaginam
Imunisasi
: Hanya polio
Pedidikan
: 1 SD
Pekerjaan
:-
:-
PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan Darah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 96 x/i
Frekuensi Nafas
: 24 x/i
Temperatur
: 36 c
: Normal
Persendian
: Normal
Pergerakan
: Normal
: Tidak ada
: Normal
Desah
: Tidak ada
Dan lain-lain
: Tidak ada
Rongga Dada
Rongga Abdomen
Inspeksi
simetris
Palpasi
soepel,
nyeri tekan (-)
Perkusi
Auskultasi
peristaltik (+),
normal
GENITALIA
Toucher
STATUS NEUROLOGI
SENSORIUM
: Compos mentis
KRANIUM
Bentuk
Fontanella
: Tertutup keras
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Transiluminasi
PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku Kuduk
:-
Tanda Kernig
:-
Tanda Laseque
:-
Tanda Brudzinski I
:-
Tanda Brudzinski II
:-
:-
Sakit Kepala
:+
Kejang
:+
Anosmia
Parosmia
Hiposmia
NERVUS II
(OS)
Visus
Meatus Nasi
Oculi Sinistra
Lapangan Pandang
Normal
Menyempit
Hemianopsia
:
:
:
+
-
+
-
Scotoma
Refleks Ancaman
Fundus Oculi
Warna
Batas
Ekskavasio
Arteri
Vena
:
:
:
:
:
Oculi Sinistra
Nistagmus
Pupil
Lebar
:
3mm
Bentuk
:
isokor
Reflex cahaya langsung :
+
Reflex cahaya tidak langsung : +
Rima Palbebra
:
6 mm
Deviasi Konjugate
:
Fenomena Dolls Eye :
Strabismus
:
-
3mm
isokor
+
+
6 mm
-
NERVUS V
Kanan
Kiri
Motorik
:
:
:
Sensorik
Kulit
Selaput lendir
Refleks Kornea
Langsung
Tidak Langsung
:
:
Refleks Maseter
Refleks Bersin
: +
NERVUS VII
Kanan
6
+
+
+
+
Kiri
Motorik
Mimik
Kerut Kening
Menutup Mata
Meniup sekuatnya
Memperlihatkan Gigi
Tertawa
Sudut Mulut
:
:
:
:
:
:
:
Normal
Normal
Simetris
Normal
Simetris
Normal
Simetris
Sensorik
NERVUS VIII
Kanan
Kiri
Auditorius
Pendengaran
Test Rinne
Test Weber
Test Schwabach
:
+
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: Tidak dilakukan Pemeriksaan
:
: Tidak dilakukan Pemeriksaan
:
-
Vestibularis
Nistagmus
Reaksi Kalori
Vertigo
Tinnitus
NERVUS IX, X
Pallatum Mole
: Normal
Uvula
: Medial
Disfagia
: -
Disfonia
: -
Refleks Muntah
: +
NERVUS XI
7
Mengangkat Bahu
:+
Tremor
Atrofi
Fasikulasi
:::-
: Medial
: Medial
SISTEM MOTORIK
Trofi
Tonus
Kekuatan Otot
ESD 55555
55555
: Normotrofi
: Normotonus
:
ESS 55555
55555
EID 55555
55555
EIS 55555
55555
:::::::::-
TES SENSIBILITAS
Eksteroseptif
Propioseptif
Fungsi kortikal untuk sensibilatas
Sterognosis
Pengenalan 2 titik
Grafestesia
REFLEKS
Refleks Fisiologis
Biceps
Triceps
Radioperiost:
Kanan
++
:
++
:
++
Kiri
++
++
++
APR:
++
++
KPR:
++
++
Strumple:
++
++
Refleks Patologis
Babinski
:
Oppenheim
:
Chaddock
:
Gordon
:
Schaeffer
:
Hoffman Tromner:
Klonus Lutut
:
Klonus Kaki
:
Refleks Primitif
:
KOORDINASI
Lenggang
Bicara
Menulis
Percobaan Apraksia
Mimik
Test telunjuk-telunjuk
Tes Telunjuk-hidung
Tes tumit-lutut
Tes Romberg
VEGETATIF
Vasomotorik
Sudomotorik
Kanan
-
: Normal
: Normal
: Normal
: Normal
: Normal
: Normal
: Normal
: Normal
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: Tidak dilakukan pemeriksaan
9
Kiri
-
Pilo-erektor
Miksi
Defekasi
Potensi dan Libido
VERTEBRA
Bentuk
Normal
Scoliosis
Hiperlordosis
Pergerakan
Leher
Pinggang
:+
::: Dalam batas normal
: Dalam batas normal
: Compos mentis
: Baik
: Sulit dinilai
: Baik
10
Tempat
Waktu
Situasi
Intelegensia
Daya Pertimbangan
Reaksi Emosi
Afasia
Represif
Ekspresif
Apraksia
Agnosia
Agnosia visual
Agnosia jari-jari
: Baik
: Baik
: Baik
: Sulit dinilai
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Akalkulia
Disorientasi Kanan-Kiri
::-
:::::-
Nilai Rujukan
13-18
4.5 6.5
4.000 11.000
40-54
150.000 450.000
80 96
27 31
30 34
13
01
26
53 75
20 45
48
0 20
Glukosa Darah
KGDs
97 mg/dL
< 140
ANJURAN EEG
2.3 KESIMPULAN PEMERIKSAAN
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan Keluhan Kejang pada
hari kamis kejang dialami Os selama 3 jam, os juga pernah mengalami kejang
yang sama pada saat berumur 6 tahun dan kejang berulang. Dalam 1 bulan Os
mengalami kejang 2 kali dengan sifat kejang yang sama. Kejang diawali
sebagian sampai seluruh tubuh. Setelah kejang os sadar dan merasa lemas. Os
mengetahui jika os merasa ingin kejang. Sebelumnya os pernah terjatuh dan
kepala nya terbentur. Os merasa pusing dan kelelahan setelah kejang. Demam
(+). BAK dan BAB normal
Riwayat penyakit terdahulu
: 100/60mmHg
: 94 x/i
: 24 x/i
: 36 oC
STATUS NEUROLOGI
Refleks Fisiologis
Kanan
B/T
:
++/++
+
APR/KPR
:
++/++
+
Refleks Patologis
: Tidak dijumpai kelainan
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Kejang
:+
Perangsangan Meningeal
12
Kiri
++/+
++/+
Kekuatan Otot
: Normal
2.4 DIAGNOSA
DIAGNOSA FUNGSIONAL
DIAGNOSA ANATOMI
DIAGNOSA ETIOLOGIK
DIAGNOSA KERJA
: Kejang
: Gangguan Sistem Saraf Pusat
: Idiopatik
: Status Epileptikus
2.5 PENATALAKSANAAN
Tirah baring
IVFD RL 15 gtt/i
Diazepam 1 amp/ bolus IV pelan jika kejang > 5 menit
Inj. Phenitoin 3 x 100/8 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/ 12 jam
Tab Asam Folat 1 x 1
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 EPILEPSI
3.1.1 Pengertian
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti
serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat
dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar
belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsy berasal hal tersebut.
Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya
penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama
yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak
adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi
pada setiap orang di seluruh dunia.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.13 Terdapat dua
kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di
mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan
pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan
biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik
termasuk dalam epilepsi umum.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan
serupa(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang
epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandaidengan
serangan tunggal
atau tersendiri.1Sedangkan sindrom epilepsy adalah
14
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang
epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor
pencetus, kronisitas.
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yangharus
ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.Seorang anak
terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab
kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam
tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh
desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam
otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika
kelainan tersebut tidakditangani dengan baik maka dapat menyebabkan
timbulnya epilepsi di kemudian hari.
3.1.2 Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi Kejang merupakan kelainan
neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di mana ditemukan 4 10 %
anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun pertama
kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami
kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi
penderita epilepsi.
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah
infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit
metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60
% kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis
kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki laki lebih tinggi
daripada anak perempuan.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun
pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data
yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun
pertama, 62 pada usia 1 5 tahun, 50 pada 5 9 tahun, dan 39 pada 10 14
tahun.
3.1.3 ETIOLOGI
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik.Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
15
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu :
A. Kejang Umum
1. Penyakit metabolik
2. Reaksi obat
3. Idiopatik
4. Faktor genetik
5. Kejang fotosensitif
B. Kejang Fokal
1. Trauma kepala
2. Stroke
3. Infeksi
4. Malformasi vaskuler
5. Tumor (Neoplasma)
6. Displasia
7. Mesial Temporal Sclerosis
3.1.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi
1) Kejang parsial
a. Kejang parsial sederhana
b. Kejang parsial sederhana dengan gejala motorik
c. Kejang parsial sederhana dengan gejala somatosensorik atau sensorik
d. Khusus Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis
Kejang parsial kompleks
a. Kejang parsial kompleks dengan onset parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
b. Kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial yang menjadi kejang generalisata sekunder
a. Kejang parsial sederhana menjadi kejang umum
b. Kejang parsial kompleks menjadi kejang umumKejang parsial sederhana
menjadi Kejang parsial kompleks dan kemudian menjadi kejang umum
2) Kejang umum
a. Kejang absans
b. Absans atipikal
c. Kejang mioklonik
d. Kejang klonik
e. Kejang tonik-klonik
f. Kejang atonik
Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
16
17
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.
Tak Tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)
a. Idiopatik (primer)
b. Simtomatik (sekunder)
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan
usia
a. Idiopatik (primer)
b. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west,
syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonikastatik)
c. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
a. Bangkitan umum dan fokal
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
a. kejang demam
b. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
c. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau
hiperglikemik non ketotik.
18
d. Epilepsi refrektorik
3.1.5 FAKTOR RESIKO
1) Prenatal
a. Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)
b. Kehamilan denganeklamsia dan hipertensi
c. Kehamilan primipara atau multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2) Natal
a. Asfiksia
b. Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
c. Kelahiran premature atau postmatur
d. Partus lama
e. Persalinan dengan alat
3) Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Gangguanmetabolik
3.1.6 Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari
e. epilepsi, yaitu :
f. Kejang parsial
g. Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian
h. kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada
i. satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
j. Kejang parsial sederhana
k. Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional
3.1.7 PATOFISOLOGI EPILEPSI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion
channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron
diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan
oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
19
20
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang
rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang
lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila
lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron
atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain
damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama.
3.1.7 DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung
maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Pola / bentuk serangan
22
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.34
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya
misal gelombang delta.
23
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi
petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi
mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
24
penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang
penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,
1. Syarat umum yang meliputi :
Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana
penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.
Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG abnormal
Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
Penggunaan OAE lebih dari 1
Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan
selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka
pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi
1. Lobektomi temporal
2. Eksisi korteks ekstratemporal
26
3. Hemisferektomi
4. Callostomi
Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengankejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi
toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita
epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih
belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat
mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di
mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang
diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan
sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan
kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
2.1.9 Pertolongan Pertama
Tahap tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen,kompor api,
dan lain lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di
lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat
mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita.
Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi
minum, penahan lidah.
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan
penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita
beristirahat atau tidur.
3.1.10 PROGNOSIS
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari
status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan
atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis
sebagai etiologi maka prognosis tergantung dari meningitis tersebut.
27
BAB IV
KESIMPULAN
Pada kasus ini keluhan utama yang dialami pasien adalah kejang. Dalam
menegakkan diagnosis kejang berulang, hal pertama yang harus kita lakukan adalah
menetukan penyebab kejang berdasarkan anamnesa dan pemeriksaam fisik yang tepat.
Anamnesis meliputi :
riwayat
kejang
dalam
keluarga,
demam,
riwayat
Pemeriksaan penunjang
EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental.
28
Pungsi
dugaan infeksi
CNS
DAFTAR PUSTAKA
1. Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan manajemen status epileptikus. Available
from : http://www.CME-evaluasi dan manajemen status epileptikus.pdf. [Last
accessed 27th Juny 2016]
2. Sunaryo, Utoyo. Mata kulian epilepsi. Available from : http:/www.mata-kuliahepilepsi-fk-uwks-update.pdf. [Last accessed 27th Juny 2016]
3. Elizabeth, J. corwin. 2001. Buku saku patofisiologi. cetakan 1. penerbit : EGC,
Jakarta
4. MansjoEr, Arif. dkk, 2000. kapita selekta kedokteran. media auskulatius,
Jakarta.
5. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma, Pendahuluan, Definisi, Klasifikasi,
Etiologi, dan Therapy. Dalam : Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta :
Perdosi : 2008. Hal 1-3
6. Dewanto, George, dkk. 2009. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta :
EGC.
7. Manno M.E. New Management Strategies in the Treatment of Status
Epilepticus.
Elsevier:2006.p.95-100
29