Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
Status Epileptikus merupakan keadaan emergensi medis berupa kejang
(seizure) persisten atau berulang yang berkaitan dengan mortalitas tinggi dan
kecacatan jangka panjang.1 Insidensi di negara berkembang 100 190 / 100.000
penduduk, angka tertinggi terjadi pada usia kanak kanak dan usia lanjut lalu
menurun pada dewasa muda dan pertengahan. 50 60% bangkitan pertama
epilepsi muncul sebelum usia 16 tahun. 2
Begitu pula dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan
masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah
kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang terus menerus
selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa
pemulihan kesadaran diantaranya. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai
SE jika kejang terus menerus lebih dari 5 menit. 1
Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring video
electroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonik-klonik
terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima menit.2
Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima
sampai sepuluh menit.
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi:
status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus
tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita meninggal, walaupun pengobatan
dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang
setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi
penderita epilepsi.
Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya
penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar
merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1.

STATUS PASIEN

IDENTITAS PRIBADI
Nama

: M Zaini Nasution

Umur

: 19 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Pematang pasir, Tanjung Balai

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Mahasiswa

Status perkawinan

: Belum Menikah

Tanggal MRS

: 13 Juni 2016

Tanggal KRS

:-

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan kejang. Kejang
dialami Os 5 hari yang lalu. Kejang terjadi secara tiba-tiba saat Os sedang
dalam keadaan kelelahan dan banyak pikiran. Menurut ibu Os, Os tiba-tiba jatuh
lalu kejang. Kejang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku. Selama di RS Haji
Medan, Os sudah mengalami serangan kejang sebanyak 3x dengan sifat kejang
yang sama. Pada saat serangan kejang terakhir kalinya dari mulut Os
mengeluarkan lendir berbusa dan Os di pindahkan ke ruangan ICU RS Haji
Medan oleh karena keluhan tersebut.
Menurut Ibu Os, Kejang berlangsung 30 menit. Keluhan kejang ini
sudah dirasakan oleh sejak berumur 18 tahun. Os sering kejang berulang. Kejang

terjadi tidak berhubungan dengan demam. Kejang biasanya terjadi lebih dari 1
kali seminggu. Biasanya setelah kejang Os merasa pusing lalu tertidur karena
lemas. Riwayat trauma didaerah kepala disangkal. Demam (-). BAB dan BAK
normal.
Riwayat penyakit terdahulu

: epilepsi (+)

Riwayat penggunaan Obat

: Os lupa nama Obat.

ANAMNESA TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius

: Dalam batas normal

Traktus Respiratorius

: Dalam batas normal

Traktus Digestivus

: Dalam batas normal

Traktus Urogenitalis

: Dalam batas normal

Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan

:-

Intoksikasi dan Obat-obatan

: Tidak dijumpai

ANAMNESA KELUARGA
Faktor Herediter

: Tidak ada, disangkal

Faktor Familier

: Tidak ada,disangkal

Lain-lain

: Tidak ada

ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan

:Pervaginam

Imunisasi

: Tidak jelas

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

:Tidak jelas

Perkawinan dan Anak

:-

PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan Darah

: 110/60 mmHg

Nadi

: 75 x/i

Frekuensi Nafas

: 24 x/i

Temperatur

: 36.4oC

Kulit dan Selaput Lendir

: Lembab,Basah

Kelenjar Getah Bening

: Dalam batas normal

Persendian

: Dalam batas normal

KEPALA DAN LEHER


Bentuk dan Posisi

: Bulat dan medial

Pergerakan

: Dalam batas normal

Kelainan Panca Indera

: Tidak ada kelainan

Rongga mulut dan Gigi

: Dalam batas normal

Kelenjar Parotis

: Dalam batas normal

Desah

: Tidak ada

Dan lain-lain

: Tidak ada

RONGGA DADA DAN ABDOMEN


PARU-PARU

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Simetris kanan = kiri


: Stem Fremitus Kanan=kiri
: Sonor dikedua lapangan paru
: Vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)

ABDOMEN

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Simetris, Datar
: Soepel, Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
: Timpani
: Peristaltik (+) normal

GENITALIA
Toucher

: Tidak dilakukan pemeriksaan

STATUS NEUROLOGI
SENSORIUM

: Compos Mentis. GCS E4V5 M6

KRANIUM
Bentuk

: Bulat lonjong, Normocephali

Fontanella

: Tertutup, Keras

Palpasi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Perkusi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Transiluminasi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku Kuduk

:-

Tanda Kernig

:-

Tanda Lasegue

:-

Tanda Brudzinski I

:-

Tanda Brudzinski II

:-

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL


Muntah

:-

Sakit Kepala

:-

Kejang

:+

SARAF OTAK/NERVUS KRANIALIS


NERVUS I

Meatus Nasi Dextra

Meastus Nasi Sinistra

Normosmia

Anosmia

Parosmia

Hiposmia

NERVUS II III

Oculi Dextra (OD)

Visus

Oculi Sinistra (OS)

Tidak dilakukan pemeriksaan

Lapangan Pandang

Normal

Menyempit

Hemianopsia

Scotoma

Refleks Ancaman

Fundus Oculi

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

:
:
:
:
:

Warna
Batas
Ekstavasio
Arteri
Vena

Pupil

Lebar

3 mm

3 mm

Bentuk

Bulat, isokor

Bulat,isokor

Refleks cahaya langsung:

Refleks cahaya tak langsung: +

Rima Palpebra

7 mm

7 mm

Deviasi Konjugate :

Fenomena Dolls Eye:

Strabismus

NERVUS III, IV, VI

Oculi Dextra (OD)

Oculi Sinistra (OS)

Gerakan Bola Mata

Kesegala Arah

Nistagmus

Tidak dilakukan pemeriksaan

NERVUS V

Kanan

Kiri

Motorik

Membuka dan Menutup Mulut:

Kekuatan gigitan

Sensorik

Kulit

Dalam Batas Normal

Selaput lendir

Dalam Batas Normal

Refleks kornea

Langsung

Tidak langsung

NERVUS VII

Kanan

Kiri

Mimik :

Normal

Motorik

Kerut kening

Normal

Menutup mata

Simetris

Meniup sekuatnya :

Normal
Memperlihatkan gigi:

Tertawa

Normal

Sudut mulut

Simetris

NERVUS VIII

Simetris

Kanan

Kiri
+

Auditorius

Pendengaran

Test Rinne

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Test Weber

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Test Schwabach

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Vestibularis

Nistagmus

Reaksi Kalori

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Vertigo

Tinnitus

NERVUS IX, X
Pallatum mole

: Normal

Uvula

: Medial

Disfagia

:-

Disartria

:-

Disfonia

:-

Refleks Muntah

:+

Pengecapan 1/3 belakang

: Tidak Dilakukan Pemeriksaan

NERVUS XI
Mengangkat bahu

:+

Fungsi otot Sternokleidomastoideus : +


NERVUS XII
Lidah

Tremor

:-

Atrofi

:-

Fasikulasi

:-

Ujung lidah sewaktu istirahat

: medial

Ujung lidah sewaktu dijulurkan

:medial

SISTEM MOTORIK
Trofi

: Normotrofi

Tonus

: Normotonus

Kekuatan Otot

:
ESD 55555

ESS 55555

55555

55555

EID 55555

EIS 55555

55555

55555

Gerakan Spontan Abnormal

Tremor

:-

Khorea

:-

Ballismus

:-

Mioklonus

:-

Ateotsis

:-

Distonia

:-

Spasme

:-

Tic

:-

Dan lain-lain

:-

TES SENSIBILITAS
Eksteroseptif

: Nyeri (+), Raba (+), Suhu (TDP)

Propioseptif

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Fungsi kortikal untuk sensibilatas

Sterognosis

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Pengenalan 2 titik

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Grafestesia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

REFLEKS
Refleks Fisiologis

Biceps

Kanan
:

Kiri

++

++

Triceps

++

++

Radioperiost:

++
++

APR:

++
++

KPR:

++
++

Strumple:

++
++

Refleks Patologis

Kanan

Kiri

Babinski

Oppenheim

Chaddock

Gordon

Schaeffer

Hoffman Tromner :

Klonus Lutut

Klonus Kaki

Refleks Primitif
KOORDINASI
Lenggang
Bicara

: Normal

Menulis

: Normal

Percobaan Apraksia

: Normal

Mimik

: Normal

Test telunjuk-telunjuk

: Normal

Tes Telunjuk-hidung

: Normal

Tes tumit-lutut

: Normal

Tes Romberg

: Normal

VEGETATIF
10

Vasomotorik

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Sudomotorik

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Pilo-erektor

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Miksi

:+

Defekasi

:+

Potensi dan Libido

:Tidak dilakukan pemeriksaan

VERTEBRA
Bentuk

Normal

:+

Scoliosis

:-

Hiperlordosis

:-

Pergerakan

Leher

: Dalam batas normal

Pinggang

: Dalam batas normal

TANDA PERANGSANGAN RADIKULER


Laseque

:-

Cross Laseque

:-

Tes Lhermitte

:-

Test Naffziger

:-

GEJALA-GEJALA SEREBELLAR
Ataksia

:-

Disartria

:-

Tremor

:-

Nistagmus

:-

Fenomena Rebound

:-

Vertigo: Dan lain-lain

:-

GEJALA-GEJALA EKSTRAPRAMIDAL

11

Tremor

:-

Rigiditas

:-

Bradikinesia

:-

Dan lain-lain

:-

FUNGSI LUHUR
Kesadaran Kualitatif

: Compos mentis

Ingatan Baru

: Baik

Ingatan Lama

: Baik

Orientasi

Diri

: Baik

Tempat

: Baik

Waktu

: Baik

Situasi

: Baik

Intelegensia

: Normal

Daya Pertimbangan

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Reaksi Emosi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Afasia

Represif

:-

Ekspresif

:-

Apraksia

:-

Agnosia

Agnosia visual

:-

Agnosia jari-jari

:-

Akalkulia

:-

Disorientasi Kanan-Kiri

:-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan
12

Darah Rutin
Hemoglobin

14,2 g/dl

13-18

Eritrosit

5.0 x 106 /L

4.5 6.5

Leukosit

8.000 / L

4.000 11.000

Hematokrit

44.9 %

40-54

Trombosit

209.000 /L

150.000 450.000

MCV

90.0 fL

80 96

MCH

28.6 pg

27 31

MCHC

31.6 %

30 34

Eosinofil

2%

13

Basofil

0%

01

N. Stab

0%

26

N. Seg

59 %

53 75

Limfosit

35 %

20 45

Monosit

4%

48

KGDs
Fungsi Hati

82 mg/dL

< 140

Bilirubin Total

0,29 mg/dL

0,3 1

Bilirubin direk

0,19 mg/dL

< 0,25

AST ( SGOT )

16 U/l

< 40

ALT ( SGPT )

11 U/l

< 40

11 mg/dL

20 40

Kreatinin

0,36 mg/dL

0,6 1,1

Asam urat
Elektrolit

3,3 mg/dL

3,4 7,0

Index Eritrosit

Hitung Jenis Leukosit

KIMIA KLINIK
Glukosa Darah

Fungsi Ginjal
Ureum

13

Natrium (Na)

147 mEq/L

135 155

Kalium (K)

3,6 mEq/L

3,5 5,5

Chlorida (Cl)

105 mEq/L

98 - 106

Head CT SCAN

Dengan Hasil :

Infratentorial cerrebellum, pons dan ventricle 4 tidak tampak kelainan.


Supratentorial tidak tampak gambaran lesi hyperdense maupun hypodens
Tidak tampak midline shift
Cortical sulci dan ventriculer sistem tidak tampak kelainan.
Kesan : Tidak tampak intracranial SOL maupun kelainan cerebral berarti lainnya.
PEMERIKSAAN EEG Tanggal 30 10 - 2015

14

Hasil :
Rekaman dilakukan dalam keadaan sadar tanpa pramedikasi
Irama dasar bervoltase rendah sedang dengan frekwensi 8 13 spd bercampur 15
25 spd.
Dijumpai gelombang sharp wave di temporal sinistra, sentral dan frontal midline
dengan fase reversal pada daerah T5.
PS dan HV tidak dilakukan.
Kesan : EEG Abnormal berat berupa gelombang epileptiform sharp wave.
2.2 KESIMPULAN PEMERIKSAAN
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan kejang. Kejang
dialami Os 5 hari yang lalu. Kejang terjadi secara tiba-tiba saat Os sedang
dalam keadaan kelelahan dan banyak pikiran. Menurut ibu Os, Os tiba-tiba jatuh
lalu kejang. Kejang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku. Selama di RS Haji
Medan, Os sudah mengalami serangan kejang sebanyak 3x dengan sifat kejang
yang sama. Pada saat serangan kejang terakhir kalinya dari mulut Os
mengeluarkan lendir berbusa dan Os di pindahkan ke ruangan ICU RS Haji
Medan oleh karena keluhan tersebut.
Menurut Ibu Os, Kejang berlangsung 15 menit. Keluhan kejang ini
sudah dirasakan oleh sejak berumur 18 tahun. Os sering kejang berulang. Kejang
terjadi tidak berhubungan dengan demam. Kejang biasanya terjadi lebih dari 1
kali seminggu. Biasanya setelah kejang Os merasa pusing lalu tertidur karena
lemas. Riwayat trauma didaerah kepala disangkal. Demam (-). BAB dan BAK
normal.
Riwayat penyakit terdahulu

:-

Riwayat penyakit keluarga

:-

Riwayat penggunaan Obat

: Os lupa nama obat

STATUS PRESENS

15

Tekanan Darah

: 110/60mmHg

Nadi

: 75 x/i

Frekuensi Nafas

: 24 x/i (Kontrol Ventilator)

Temperatur

: 36,4oC

STATUS NEUROLOGI
Refleks Fisiologis

Kanan

Kiri

B/T

++/++

++/++

APR/KPR

++/++

++/++

Refleks Patologis

: Tidak dijumpai kelainan

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Kejang

:+

Perangsangan Meningeal
Kekuatan Otot

: Tidak dijumpai kelainan


: Normal

2.3 DIAGNOSA
DIAGNOSA FUNGSIONAL

: Kejang

DIAGNOSA ANATOMI

: Gangguan Sistem Saraf Pusat

DIAGNOSA ETIOLOGIK

: Idiopatik

DIAGNOSA KERJA

: Status Epileptikus

2.4 PENATALAKSANAAN

Tirah baring

IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Phenitoin 1 amp/8 jam

Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam


16

Inj Ketorolac 30mg / 8 jam

Tab Defakote 2 x 500 mg

Tab Phenobarbital 3 x30 mg

Tab Asam Folat 1 x 1

Tab B12 2x1

FOLLOW UP PASIEN
Mulai Tanggal 16 Juni 2016
Tanggal

Pemeriksaan (VS,

Diagnosis

Penatalaksanaan

16 6

Neurologi)
S: Kejang (+)

1. Tirah baring

2016

O: Compos Mentis

2. IVFD RL 20

(ICU)

TD: 120/60 mmHg


HR: 62 x/i
RR: 18 x/i
Temp: 33,4oC

gtt/i
3. Inj. Phenitoin
1 amp/8 jam
4. Inj.

TIK : Kejang (+),

Ranitidine 50

nyeri kepala (+)

mg/ 12 jam

Rangsang meningeal: -

5. Inj Ketorolac

N. Kranialis : DBN

30mg / 8 jam

Refleks Fisiologis :

6. Tab Defakote

DBN

2 x 500 mg

Refleks Patologis : -

7. Tab

Kekuatan motorik:

Phenobarbita

55555

55555

l 3 x30 mg

55555

55555

8. Tab

Asam

Folat 1 x 1
17-6-2016

S: Kejang (-)

9. Tab B12 2x1


1. Tirah baring

(Ruangan)

O: Compos Mentis

2. Head up 30

17

TD: 110/60mmHg

3. O2 2liter/L

HR: 60 x/i

4. IVFD RL 20

RR: 20 x/i
Temp: 36,5oC
TIK : Nyeri kepala
(+)

gtt/i
5. Inj. Phenitoin
1 amp/8 jam
6. Inj.

Rangsang meningeal: -

Ranitidine 50

N. Kranialis : DBN

mg/ 12 jam

Refleks Fisiologis :

7. Inj Ketorolac

DBN

30mg / 8 jam

Refleks Patologis : Kekuatan motorik:


55555

55555

55555

55555

8. Tab Defakote
2 x 500 mg
9. Tab
Phenobarbita
l 3 x30 mg
10. Tab

Asam

Folat 1 x 1
18-6-2016

S: kejang (-) Sakit

11. Tab B12 2x1


1. Tirah baring

(Ruangan)

Kepala (-)

2. Head up 30

O: Compos Mentis

3. O2 2liter/L

TD: 120/60 mmHg

4. IVFD RL 20

HR: 68 x/i
RR: 18 x/i
Temp: 35,6oC
TIK : -

gtt/i
5. Inj. Phenitoin
1 amp/8 jam
6. Inj.

Rangsang meningeal: -

Ranitidine 50

N. Kranialis : DBN

mg/ 12 jam

Refleks Fisiologis :

7. Inj Ketorolac

DBN
Refleks Patologis : Kekuatan motorik:

30mg / 8 jam
8. Tab Defakote
2 x 500 mg

18

55555

55555

55555

55555

9. Tab
Phenobarbita
l 3 x30 mg
10. Tab

Asam

Folat 1 x 1
11. Tab B12 2x1
21 6

S: Kejang (+)

1. Tirah baring

2016

O: Compos Mentis

2. IVFD RL 20

(Ruangan)

TD: 120/70 mmHg


HR: 70 x/i
RR: 20 x/i
Temp: 35,6oC

gtt/i
3. Inj. Phenitoin
1 amp/8 jam
4. Inj.

TIK : Kejang (+)

Ranitidine 50

Rangsang meningeal: -

mg/ 12 jam

N. Kranialis : DBN

5. Inj Ketorolac

Refleks Fisiologis :

30mg / 8 jam

DBN

6. Tab Defakote

Refleks Patologis : Kekuatan motorik:

2 x 500 mg
7. Tab

55555

55555

Phenobarbita

55555

55555

l 3 x30 mg
8. Tab

Asam

Folat 1 x 1
22 6-

S: Kejang (-) Sakit

9. Tab B12 2x1


1. Tirah baring

2016

Kepala (-)

2. IVFD RL 20

(Ruangan)

O: Compos Mentis
TD: 110/70 mmHg
HR: 80 x/i
RR: 24 x/i

gtt/i
3. Inj. Phenitoin
1 amp/8 jam
4. Inj.

Temp: 37oC

Ranitidine 50

TIK : -

mg/ 12 jam
19

Rangsang meningeal: -

5. Inj Ketorolac

N. Kranialis : DBN

30mg / 8 jam

Refleks Fisiologis :

6. Tab Defakote

DBN

2 x 500 mg

Refleks Patologis : -

7. Tab

Kekuatan motorik:

Phenobarbita

55555

55555

l 3 x30 mg

55555

55555

8. Tab

Asam

Folat 1 x 1
23 6

S: Kejang (-)

9. Tab B12 2x1


1. Tirah baring

2016

O: Compos Mentis

2. IVFD RL 20

(Ruangan)

TD: 110/60 mmHg


HR: 75 x/i
RR: 24 x/i
Temp: 36,4oC

gtt/i
3. Inj. Phenitoin
1 amp/8 jam
4. Inj.

TIK : -

Ranitidine 50

Rangsang meningeal: -

mg/ 12 jam

N. Kranialis : DBN

5. Inj Ketorolac

Refleks Fisiologis :

30mg / 8 jam

DBN

6. Tab Defakote

Refleks Patologis : Kekuatan motorik:

2 x 500 mg
7. Tab

55555

55555

Phenobarbita

55555

55555

l 3 x30 mg
8. Tab

Asam

Folat 1 x 1
9. Tab B12 2x1

20

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
3.1.1

Status Epileptikus
Definisi
Status epileptikus ditegakan apabila kejang yang terjadi berisfat kontinu,

berulang dan disertai gangguan kesadaran pada periode interiktal. Durasi kejang
secara tradisional adalah 15 30 menit, sedangkan secara klinis durasi 4 5 mneit
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis status epileptikus. Faktor yang
menyebabkan terjadinya serangan status epileptikus:3
1. Penghetian obat obatan antikonvulsi secara tiba tiba
2. Demam
3. Kelainan serebrovaskuler
4. Gangguan metabolik
5. Infeksi SSP
6. Gangguan iskemik hipoksik (kasus tenggelam dan inhalasi asap)
7. Tumor
8. Trauma
9. Idiopatik
3.1.2

Epidemiologi
Insidens status epileptikus di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000

individu setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per
100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan
insidens 17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada
penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan
21

pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%.
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien
stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan
etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang
rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.
Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul
pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada
pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena

ketidak teraturan

dalam

memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas


kejang sekitar 1 - 2 persen,tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit
yang menyebabkan status epileptikus kira - kira 10 persen. Pada kejadian tahunan
menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak
dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status
Epileptikus

dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua

Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler,


disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsi merupakan kejadian
yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
3.1.3

Etiologi
Secara klinis dan berdasarkan

EEG,

status

epileptikus

dibagi

menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti


peningkatan aliran darah otak dan cardiac output peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan
glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan
syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa
serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase
ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu
meningkat),

perburukan

pernafasan

dan peningkatan kerusakan syaraf yang

irreversibel.

22

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap


keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang
pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu
kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor
GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.
Komplikasi status epileptikus
1. Otak

Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Oedema serebri

Trombosis arteri dan vena otak

Disfungsi kognitif

2. Gagal Ginjal

Myoglobinuria, rhabdomiolisis

3. Gagal Nafas

Apnoe

Pneumonia

Hipoksia, hiperkapni

Gagal nafas

4. Pelepasan Katekolamin

Hipertensi

Oedema paru

Aritmia

Glikosuria, dilatasi pupil

Hipersekresi, hiperpireksia

5. Jantung

Hipotensi

23

Gagal jantung

Tromboembolisme

6. Metabolik dan Sistemik

Dehidrasi

Asidosis

Hiper/hipoglikemia

Hiperkalemia, hiponatremia

Kegagalan multiorgan

7. Idiopatik
3.1.4

Patofisiologi

1. Tidak diketahui pasti, namun awal terjadinya impuls kejang abnormal


kemungkinan karena terdapat ketidakseimbangan antara neurontransmiter
eksitasi dan inhibisi
2. Hipokampus teraktifasi secara persinten selama serangan status epileptikus
3. Hilangnya

GABA-mediated

inhibitory

synaptic

transmission

pada

hipokampus merupakan faktor utama kejadian status epileptikus


4. Glutamatergic excitatory synaptic transmission menyebabkan serangan
menetap dan dapat menyebabkan kematian neuron.3
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
Hipertensi, hiperpireksia
Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat.
2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
Depresi pernafasan
Disritmia jantung, hipotensi

24

Hipoglikemia, hiponatremia
Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
3.1.5

Gejala Klinis
Status epileptikus dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil

peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom


termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil dan hipertermia. Perubahan
sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus menerus.1
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi

dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului

dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik
klonik umum. Pada status tonik-klonik
serial

kejang

tonik-klonik

umum

umum,

serangan

berawal

dengan

tanpa pemulihan kesadaran diantara

serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkanotot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia

dan

peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan

25

penurunan pH serum dan asidosis respiratorikdan metabolik. Aktivitas kejang


sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. Status
Epileptikus

Klonik

Tonik

Klonik

(Clonic-Tonic-Clonic

Status

Epileptikus)Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum


mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

2. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati
kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome .

3. Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah

menyeluruh

tetapi

sering

asimetris

dan

semakin

memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada
enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada
keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
4. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
26

presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai slow
waktu

periode

yang

motion

movie dan

mungkin

bertahan

dalam

lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau

kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status
epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

5. Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens
atau

parsial kompleks,

karena

gejalanya

dapat

sama.

Pasien

dengan

status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma .


Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari
status absens.
6. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu

sisi

dari tubuh. Kejang

mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada

hemisfer

yang

berlawanan

(PLED),

dimana

sering

berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan
berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

27

Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan

berbicara

dan

keadaan

kebingungan

yang

berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis


atau

frontalis

di

satu

sisi,

tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.

Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus nonkonvulsif pada beberapa kasus.
3.1.6

Diagnosis
Diagnosa dalam keadaan status epileptikus tidak sukar, akan tetapi

perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Status epileptikus dapat timbul


karena berbagai sebab.
penderita,

maka

ia

Bilamana
tidak

dokter

dipanggil

langsung memberi obat

untuk

menolong

untuk menghilangkan

kejang umum yang hebat itu. Dengan tenang harus menyelidiki dahulu penyakit
yang mendasarinya.
Anamnesis:
Anamnesis pasien harus dilakukan secara tertib dan teratur, meliputi lama
kejang, sifat kejang sama ada fokal, umum atau tonik/klonik. Seterusnya, tingkat
kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya serta riwayat kejang dalam
keluarga. Pasien juga harus ditanya sama ada panas, atau ada trauma kepala,
riwayat persalinan dan tumbuh kembang. Selain itu, riwayat penyakit
sistemik/SSP seperti keganasan, infeksi, kelainan metabolic, keracunan. Riwayat
putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan juga penting.
Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran, penglihatan
dan pendengaran, refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan

TIK, akibat

tumor, perdarahan

dll. Sistem

motorik

yaitu

kelumpuhan, tonus, pergerakan tidak terkendali, ataksia dan sistem sensorik yaitu
parastesia, hipestesia, anestesia.

28

3.1.7

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan

laboratorium

yaitu

darah,

elektrolit,

glukosa,

fungsi

ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka
dilakukan kultur darah dan imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk
mengevaluasi lesi struktural di otak
2. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental
3. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS
atau perdarahan subarachnoid.

3.1.8

Diagnosa Banding

1. Pada anak

Sinkop

Tics

Migren

Serangan panik

Vertigo

Bangkitan psikogenik

Hipoglikemi

2. Pada dewasa

Sinkop

Serangan iskemik sepintas


29

Serangan psikogenik

Serangan panik

Iskemik vertebro basiler

Pusing dan vertigo

Gangguan tidur

Hipoglikemi

3.1.9

Penatalaksanaan

Stadium
Stadium I
( 0-10 menit)
Stadium II
(0-60 menit)

Stadium III
(0-60-90
menit)

Stadium IV
(30-90 menit)

Penatalaksanaan
Memperbaiki fungsi kardio respiratorik
Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen dan
resusitasi
Memasang infus di pembuluh darah besar
Mengambil 50 100cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium
Pemberian OAE darurat : diazepam 10 20mg IV
(kecepatan pemberian < 2 5mg/menit atau per rektal
dapat diulang 15 menit kemudian)
Memasukkan 50cc glukosa 40% dengan atau tanpa
thiamin 250mg IV
Menanganu asidosis
Menetukan etiologi
Bila kejang terus berlangsung 30 menit setelah
pemberian diazepam pertama, beri fenitoin IV 1518mg/kg dengan kecepatan 50mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
Mengkoreksi komplikasi
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30 60 menit,
pindahkan pasein ke ICU, beri protokol (2mg/kgBB
bolus IV, diulang bila perlu) atau tiopental (100 250mg
bolus IV dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50mg
setiap 2 3 menit), dilanjutkan sampai 12 24 jam
30

setelah bangkitan klinis atau EEG terakhir, lalu dilakukan


tepering-off
Memonitor bangkitan dari EEG, tekanan intrakranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan

31

32

Menghentikan kejang
Usaha
stabilisasi

mengakhiri

kejang

segera

sesudah

tahap

selesai. Tindakan ini dimulai dengan pemberian bolus diazepam, 2

mg/menit, masing-masing 10 mg.


sampai

dilakukan

jumlah

50

mg,

Pemberian

sementara

bolus

diazepam

dilanjutkan

itu pernafasan dimonitor terus.

Biasanya kejang sudah dapat diatasi. Bila pemberian diazepam yang waktu
paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil, diberikan fenitoin yang bekerja
lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24 jam. Fenitoin diberikan secara
intravena, 2 10 mg fenitoin dilarutkan dalam 1ml garam fisiologis (
5mg/ml),dengan dosis fenitoin 18 mg/kg berat badan, dengan kecepatan kurang
dari 50 mg/menit.
Efek samping aritmi jantung sering timbul pada pemberian fenitoin yang
terlalu cepat atau lebih dari 50 mg/menit, bukan karena jumlah fenitoin yang
diberikan. Diazepam dan fenitoin dapat menekan pernafasan, terutama bila
pemberian terlalu cepat. Oleh karena itu selama pemberian obat ini harus
dilakukan monitoring ECG dan pernafasan. Bila kejang masih terus berlangsung
sesudah 20 menit pemberian fenitoin, intubasi harus dilakukan. Selanjutnya diberi
fenobarbital sampai kejang berhenti atau dosis seluruhnya mencapai 20 mg/kg
berat badan. Fenobarbital juga diberikan per infus dengan kecepatan maksimum
100mg/menit. Selama pemberian fenobarbital harus

diperhatikan kemungkinan

gangguan pernafasan dan turunnya tekanan darah.


Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil menghentikan
kejang,

maka ahli saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui

anestesi dengan pemberian pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang


diberikan disesuaikan sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal dengan outburst
suppression pattern pada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan selama

33

tiga

jam,

agar

otak

mempunyai

waktu

yang

cukup

untuk

membangkitkan homeostasis dan melawan kejang berkelanjutan.


Di tempat-tempat yang tidak
secara

intravena

atau

tidak

mempunyai
ada

sarana

pemberian

obat

fasilitas resusitasi, dapat diberikan

pertolongan pertama dengan pemberian paraldehid ke dalam otot atau rektum.


Suntikan paraldehid masing-masing 5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3
jam, atau paraldehid 10% dalam larutan garam fisiologis, sebanyak 5 ml melalui
rektum. (7,9,10)
3.1.10 Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang
mendasari status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan
antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung
dari meningitis tersebut.

34

BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus ini keluhan utama yang dialami pasien adalah kejang. Dalam
menegakkan diagnosis kejang berulang, hal pertama yang harus kita lakukan
adalah menetukan penyebab kejang berdasarkan anamnesa dan pemeriksaam fisik
yang tepat.
Anamnesis meliputi :

35

Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi

obat,

alkohol, penyakit

serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat


kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat
kejang sebelumnya,

riwayat

kejang

dalam

keluarga,

demam,

riwayat

persalinan, tumbuh kembang dan penyakit yang sedang diderita.


Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan
danpendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema
akibatpeningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik
yaituparestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan
kulturdarah dan imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi
struktural di otak
EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental.
Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.
Pada kasus ini pasien datang ke rumah sakit akibat kejang. Kejang
dirasakan diseluruh tubuh dengan gejala badan kaku dan mulut berbusa. Kejang
terjadi lebih dari 3x. Kejang yang dialami px merupakan salah satu kriteria dari
status epileptikus karena kejang terjadi lebih dari 2 kali, setelah kejang pasien
tidak sadarkan diri kemudian terjadi kejang lagi.
Etiologi kejang pada pasien diduga idiopatik. Karena tidak ditemukan
tanda infeksi yaitu dengan peningkatan Leukosit dan Neutrofil. Tidak ditemukan
penyakit serebrovaskular lain atau gangguan metabolik

pada pasien untuk

dicurigai sebagai etiologi. Diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti

36

CT-Scan, MRI, EEG dan pungsi lumbar untuk menemukan etiologi yang
lain. Pada reflek fisiologi didapatkan kesan normal dan tidak didapatkan reflek
patologis. Kekuatan tonus otot, psikologis dan status interna baik.
Terapi terbaik untuk penanganan status epileptikus adalah dengan
pemberian diazepam secara iv dengan dosis 10 mg dalam waktu 2 - 5 menit jika
kejang . Selain itu phenitoin dapat diberikan secara intravena dengan dosis
15mg/kgbb dengan kecepatan 50mg/menit. Bisa juga ditambahkan obat-obatan
simtomatis seperti ranitidin inj 50 mg/2ml2x1 dan ibuprofen 200 mg 3x1.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan manajemen status epileptikus.


Available from :

http://www.CME-evaluasi dan manajemen status

epileptikus.pdf. [Last accessed 27th Juny 2016]


2. Sunaryo, Utoyo. Mata kulian epilepsi. Available from : http:/www.matakuliah-epilepsi-fk-uwks-update.pdf. [Last accessed 27th Juny 2016]
3. Dewanto, George, dkk. 2009. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta : EGC.
4. Turner

C.

Epilepsy.

In:

Neurology

Crash

course.

2ndedition.Philadelphia:Mosby Elsevier:2006.p.95-100
5. Franzon D.Status Epileptikus [online] [cited on

31st Oktober 2011]

Available from : peds.stanford.edu/8_status_epilepticus.pdf


6. Manno M.E. New Management Strategies in the Treatment of Status
Epilepticus. In.Symposium on Seizures: Mayo Foundation for Medical
Education and Research:2003.p.508-518
7. Aminoff

M.J.

Seizures

and

Syncope

In:Clinical

Neurology:3rd

edition.Stamford:Simon Shuster;1996.p.234-236
8. deGroot

J.

Signalling

in

the

nervous

system.

In

:Correlative

Neuroanatomy. 21st edition.Connecticut:Appleton and Lange;1996.p.1824


9. Omkar N. Pearls,Perils and Pitfalls:EEG in Status Epilepticus [online]
2010

[cited

on

31st

Oktober

2011]

Available

from;http://www.medscape.com/viewarticle/458594_8
10. LBM Sitorus.Gawat Darurat Penyakit Syaraf [online]1992 [cited on 31St
Oktober

2011]

Available

from:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/24_Status
Epileptikus.pdf/24_StatusEpileptikus.html

38

11. Khalil B.A. The EEG in Epilepsy. In: Atlas of EEG and seizure semiology.
Pensylvania:Elsevier Inc:2006.p.125-130
12. Kellaway P.The over all management in adult epileptic. In: The Medical
Clinics of North America.Philadelphia:W.B.Saunders:1958.p.324-326
13. H. Meierkord.EFNS guideline on the management of status epilepticus In:
European Journal of Neurology 2006, 13: 445450.
14. Reetta K. Status epilepticus treatment guidelines. In: Outcomes Of Status
Epilepticus:Finland.p.99-102

39

Anda mungkin juga menyukai